Swatantra [SELESAI]

By ditanhwi

227 57 29

[FOLLOW SEBELUM BACA] Haikal Amran Mahardika; seorang siswa SMA biasa yang terkejut mengetahui bahwa dirinya... More

P R O L O G
S A T U
D U A
T I G A
L I M A
E N A M
T U J U H
D E L A P A N
S E M B I L A N
S E P U L U H
S E B E L A S
D U A B E L A S
T I G A B E L A S
E P I L O G

E M P A T

11 4 0
By ditanhwi

Minggu, 09.15 am

Hae melangkah perlahan menikmati udara pagi dan lalu lalang manusia di halaman perpustakaan kota yang luas. Hae tersenyum, rasanya sudah lama tidak memijak tanah perpustakaan kota. Tempat yang sering Ia kunjungi kala mengenyam pendidikan di taman kanak-kanak dulu. Tempat dimana Ia sering membaca cerita si kancil, menggambar atau sekedar duduk untuk menunggu Ibunya datang menjemput sepulang kerja.

"Hae!"

Hae terhenyak saat baru saja akan berangan tentang masa kecilnya. Ia mendengar samar-samar suara seseorang memanggilnya, dan menoleh ke kiri-kanan mencari sumbernya.

Seseorang melambai padanya dari kejauhan, wajah Hae sumringah seketika dan membalas lambaian tangannya.

Lelaki itu segera berlari menghampiri Hanna yang sudah berdiri di depan gedung.

"Hai Han!"

Mata Hanna memindai Hae dari rambut hingga ujung kaki.

"Kenapa lihat gue kaya gitu?" tanya Hae.

"A-aku? Jangan ge-er!" ketus Hanna.

Hae tertawa, "Bilang aja gue ganteng, ya kan?" goda Hae.

"Ya udah, aku duluan!" ucap Hanna berjalan meninggalkan Hae.

"Eh, tunggu Han! Hanna!"

Begitu memijakkan kaki di ruang baca, Hae langsung disambut lembutnya lantai karpet berwarna marun, serta pintu kayu dengan ukiran batik di permukaannya. Ruang baca begitu luas, rak-rak tinggi berjajar rapi, meja yang saling berhadapan, juga arsitektur ruangan yang didominasi warna kayu.

"Aku pergi mencari buku, kamu duduk saja." pinta Hanna.

"Nggak, gue mau ikut." tolak Hae.

"Baiklah, aku tak memaksamu."

Setelah beberapa saat mencari, akhirnya Hanna menemukan buku yang dia cari. Namun buku itu terletak di rak paling atas, sedangkan Hanna tak sampai meraih buku itu. Walau begitu, Ia tetap berusaha meraih buku tersebut dengan berjinjit.

Hae yang memperhatikan itu merasa Hanna imut, tidak terlihat seperti seorang siswa SMA karena tinggi tubuhnya seukuran umumnya anak SMP.

"Gitu aja ribet." gumam Hae yang langsung meraih buku tersebut dengan mudah karena tubuhnya yang lebih tinggi dari Hanna.

"Makanya minum susu biar tinggi." oceh Hae sambil menyerahkan buku pada gadis berkacamata yang kini menatapnya.

Hanna langsung pergi begitu saja, meninggalkan Hae yang tengah menatap sebal karena Ia pergi tanpa mengucap sepatah katapun setelah membantunya mengambil buku.

"Makasih nggak, nyesel gue nolongin dia tadi." keluh Hae.

Hanna pergi menuju salah satu meja ruang baca, tepatnya meja yang berhadapan langsung dengan jendela. Gadis berkacamata itu langsung membuka buku yang Ia temukan, juga catatan kecil miliknya.

"Ngapain lo cari buku itu?" tanya Hae.

"Mungkin dengan mempelajarinya, akan ada jalan keluar dari sini." jawab Hanna.

Hanna mulai membaca buku dengan teliti, dengan harapan bahwa Ia bisa menemukan petunjuk sekecil apapun dari sana. Sedangkan Hae bertopang dagu di sebelahnya sembari menatap pemandangan di depannya.

Sudah 50 menit berlalu sejak Hanna membaca buku, begitu fokus hingga Hae sudah pergi ke pulau kapuk. Sudah sampai penghujung buku Ia baca hasilnya nihil, sama sekali tak ada petunjuk dalam buku setebal 260 halaman itu.

Hanna memutuskan untuk mencari referensi dari buku lain. Namun saat akan beranjak pergi, netra Hanna menangkap Hae yang tengah terlelap dengan kepala menghadap ke kanan dan tangan sebagai bantalan. Hanna mendekatkan wajahnya, memperhatikan setiap detail wajah Hae. Alis tebal, Bulu mata lentik, hidung mancung, garis rahang tegas, bibir tipis, Hanna termangu untuk beberapa saat.

"Hmm..." Hae menggeliat kemudian membuka mata perlahan.

Gerakan Hae yang tiba-tiba membuat Hanna terkejut dan segera menjauhkan wajahnya. Hae mengerjapkan-ngerjapkan mata mengumpulkan kesadarannya.

"Han, udah beres?" tanya Hae sambil meregangkan persendiannya.

Hanna pergi tanpa menjawab sepatah katapun, membuat Hae mengernyit Heran.

"Hanna, kamu kenapa sih?" Hanna menjitak kepalanya sendiri karena tingkah konyolnya: memperhatikan Hae.

Degh... degh...

Hanna memegang dadanya sebelah kiri, kemudian mengukur denyut nadi per menit.

Mungkin ini karena aku minum kopi sarapan tadi, batinnya.

• • •

Minggu, 11.00 am

Hanna beranjak pergi keluar dari ruang baca, memutuskan menyudahi pencarian petunjuk hari ini.

"Hae, hari ini udah dulu, nanti kapan-kapan kita cari lagi." ucap Hanna.

Hae tersenyum, "Oke, nanti ajak gue lagi ya?"

"Iya. Yaudah, aku pulang." pamit Hanna.

"Han!" Hae mencekal pergelangan tangan Hanna tepat sebelum Ia melangkah.

Hanna berbalik, "Apa?"

"Biar gue anter lo pulang." tawar Hae.

"Gak perlu, aku bisa pulang sendiri." tolak Hanna.

"Hanna, nanti kalau lo digoda preman di jalan, habis itu diculik, terus lo dijual gimana?" tanya Hae.

Hanna menahan tawa, "Gak apa-apa, orang tadi juga aku pergi sendiri ke sini. Sudah ya, aku pergi."

"Han, bentar!"

"Apalagi?"

"Masa kita langsung pulang sih dari sini, gak seru ah!" protes Hae.

"Lalu?"

"Mending kita jalan-jalan dulu bentar, ya ya ya?" pinta Hae.

"Tidak, aku mau pulang." balas Hanna tegas.

"Ayolah Han, mumpung udah di sini." ujar Hae mencoba meyakinkan.

Hanna menghela nafasnya, "Yaudah."

Mereka pun berjalan beriringan di sepanjang trotoar menuju Jalan Braga yang berjarak sekitar 2 km dari perpustakaan kota, waktu yang dibutuhkan kurang lebih 25 menit jika berjalan kaki.

Tanpa Hae sadari, Ia terus berjalan mendekat ke Hanna hingga tangannya dan tangan gadis itu sesekali bersentuhan. Setiap kali itu terjadi, keduanya akan melihat satu sama lain dan suasana menjadi kikuk.

"Ah, maaf." begitulah yang Hae katakan.

Namun Hae terus mengulanginya tanpa sadar. Hanna menggenggam tangan Hae, lelaki itu pun menoleh terkejut.

"Agar kamu tak mendesakku." ucap Hanna yang peka dengan keterkejutan Hae.

Hanna menatap tangan keduanya yang saling menggenggam, "Tanganmu besar juga."

Hae tersenyum, dan mempererat genggamannya.

Sepanjang Jalan Braga, Hae berjalan menyusuri keelokkannya tanpa melepas tangan Hanna. Di sana, ada toko, kafe maupun bangunan lain bernuansa kolonial, serta pelukis jalanan dengan berbagai lukisannya terpampang di sepanjang trotoar. Lalu lalang manusia pun turut melengkapi keindahan jalan Braga, dari mulai turis lokal hingga turis dari berbagai mancanegara.

"Lo suka?" tanya Hae.

Hanna berdeham pelan sebagai jawaban.

"Ini kali pertamaku." ucap Hanna.

Hae menatap tak percaya, "Sumpah?"

Hanna mengangguk.

"Masa sih selama 17 tahun lo hidup di Bandung gak pernah ke sini?" tanya Hae.

Entah kenapa, suasana di antara keduanya menjadi hening diikuti mimik muka Hanna yang berubah sendu.

"Maksudku, pertama kali datang dengan orang selain keluargaku." jelas Hanna.

"Aku bukan tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain, seorang anti-sosial. Dari kecil sampai sekarang aku tidak pernah benar-benar punya teman. Orang yang selalu sibuk dengan buku mungkin membuat mereka ragu mendekat. Aku lebih banyak mendengar ketimbang bicara, menunggu untuk disapa, dan takut untuk memulai." lanjutnya.

Hae menghentikan langkahnya, kemudian berdiri di depan Hanna.

"Kalau gitu, boleh gue jadi teman lo?" ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Hanna terpaku di tempatnya, menatap Hae yang tengah tersenyum. Waktu terasa melambat, lalu lalang di sekitar keduanya menjadi tak berarti. Hati Hanna menghangat, dengan kupu-kupu berterbangan di perutnya.

"Boleh." balas Hanna sambil menjabat tangan Hae.

Hae tersenyum, "Sekarang kita teman!"

Keduanya saling menatap dengan garis lengkung indah bak bulan sabit di wajah mereka.

Tanpa diduga, warna pada gelang yang dipakai Hanna memudar menjadi putih di sepertiga bagiannya. Hanna dan Hae terkejut menyaksikan hal itu.

"Gelang lo!" pekik Hae.

Hanna menatap gelangnya.

"Hai!" sapa seseorang berjubah marun, topi jerami, dan riasan badut di wajahnya yang tiba-tiba sudah berada di samping keduanya.

Sontak, Hae menarik lengan Hanna agar bersembunyi di belakang punggungnya.

"Sanha?" Hae menatap waswas.

"Hei, tidak sopan berbicara sambil menyembunyikan seseorang di belakangmu." balas Sanha.

"Gak perlu basa-basi, lo mau apa?" tanya Hae.

Sanha melangkah mendekat, "Tidak suka basa-basi ya?"

Hae tersenyum remeh, "Lo gak malu muncul pake baju aneh gitu? Malu nanti dilihat orang."

"Perhatikan sekelilingmu!" ucap Sanha percaya diri.

Hae menatap sekelilingnya, orang-orang dan benda di sekitarnya tak ada yang bergerak, air tumpah melayang, anak kecil yang hampir terjatuh membeku di tempatnya.

"Waktunya terhenti." bisik Hanna.

"Apa?!" Hae menatap tak percaya.

Hae terperangah, ini sama sekali tak masuk akal baginya. Selama ini Hae mengira hal-hal seperti ini hanya ada dalam film, tetapi kini, Ia melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri.

"Aku hanya ingin memberi selamat." ucap Sanha.

"Maksud lo?"

Sanha melangkah mendekat, "Aku berbicara pada orang di belakangmu."

Hanna keluar dari balik punggung Hae, memandang genggaman Hae pada tangannya kemudian beralih pada wajahnya. Hae menggeleng dengan tatapan khawatir, Hanna tersenyum seolah berkata tidak apa-apa. Pada akhirnya, Hae melepaskan genggamannya dari tangan Hanna.

"Selamat!" Sanha mengulurkan tangannya.

Hanna hanya terdiam tak berniat berjabat tangan dengannya.

"Baiklah, tidak apa-apa jika kamu tak mau." ucap Sanha sembari menarik tangannya kembali.

"Ada pertanyaan sebelum aku pergi?" pungkas Sanha.

"Kenapa lo-" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Sanha membungkam mulut Hae dengan sihirnya hingga tak bisa membukanya sedikitpun bak diberi perekat.

"Aku akan memberikan kesempatanku padanya." ucap Hanna mantap.

"Kamu yakin?" Sanha menyeringai.

"Iya."

Sanha pun membebaskan sihirnya agar Hae bisa bicara.

"Kenapa lo bawa gue ke sini?" tanya Hae.

Sanha tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya, Ia menatap Hae beberapa detik kemudian kembali tertawa, "Mana aku tahu? Kamu sendiri yang datang, bukan aku yang bawa."

"Maksud lo?" Hae mengernyitkan dahi.

"Kamu sendiri yang tahu jawabannya." balas Sanha.

Hae berpikir keras dalam memahami perkataan Sanha tentang kedatangannya di Swatantra.

"Sudahkan? Aku pergi~" pamit Sanha kemudian menghilang.

Waktu yang semula berhenti berjalan kembali, itu ditandai dengan keadaan di sekitar menjadi normal. Lalu lalang manusia kembali beraktivitas seperti biasa, air yang sebelumnya melayang tumpah ke jalan, anak yang tadi mereka lihat juga terjatuh.

Hanna menepuk pundak Hae, "Sudah, biarkan saja."

"Kenapa lo kasih kesempatan itu ke gue?" tanya Hae.

Hanna menggaruk tengkuknya, "Sebagai tanda terimakasih karena mau jadi temanku." ucapnya kemudian pergi.

"Dia tuh hobi ya main tinggal orang gitu aja?" keluh Hae.

• • •

Minggu, 17.00 pm

Rintik air turun membasahi bumi, anugerah dari Tuhan yang ditunggu manusia. Matahari bersembunyi dibalik awan, mempersilahkan awan menumpahkan segala kekesalan dan kesedihannya sore ini.

Hae dan Hanna berjalan beriringan di bawah naungan satu payung, dan lebih banyak diam. Setidaknya tak terlalu hening karena suara hujan yang cukup deras. Hanna menoleh ke sampingnya, memperhatikan perbedaan tinggi tubuh mereka yang jauh.

Setelah beberapa menit mereka berjalan, hujan tak kunjung reda. Hanna mengusap-usap bahu dengan tangannya.

"Lo kedinginan?" tanya Hae yang peka terhadap gerak-gerik Hanna.

Hanna menggeleng, "Tidak."

Hae menarik lengan Hanna untuk mengikis jarak di antara mereka, kemudian merangkulnya, "Nah, kan kalau gini dinginnya berkurang."

"Kita sampai." ucap Hanna ketika kedua insan itu berhenti di luar rumah dua lantai dengan pagar putih di depannya.

"Akhirnya ..." Hae menghela nafas lega.

"Hae, makasih, karena sudah mengantarku pulang."

Hae tersenyum lalu menjepit hidung mungil nan pesek itu dengan telunjuk dan jari tengahnya. Gadis itu meringis kesakitan dengan bekas jepitan yang kini berdenyut, Ia menatap sebal sambil memegangi hidungnya.

"Apa-apaan, sakit tahu?!"

Hae bukan minta maaf karena ulahnya, Ia malah tertawa puas melihat Hidung Hanna yang merah.

"Biar mancung, yaudah lo masuk gih."

Hae tersenyum, sedangkan Hanna merasa aneh pada dirinya. Jantungnya berdetak tak karuan, kupu-kupu berterbangan di perutnya, apa pipinya merah sekarang?

"I-ini juga mau masuk." Hanna memalingkan wajahnya ke arah lain asalkan tak menatap mata Hae.

"Oh iya gue lupa, nih!" Hae menyerahkan payung biru yang sebelumnya mereka pakai, "Makasih ya payungnya."

"Untukmu." balas Hanna.

"Nggak, payung ini kan punya lo."

"Terima saja, kalau kamu sakit karena kehujanan, itu akan memperlambat proses pencarian kita."

Hae tersenyum, "Lo khawatir sama gue?"

Hanna mendelik, "Sia-sia aku begitu padamu, sudahlah, aku masuk." ucapnya langsung berlari masuk ke rumah.

Sudut bibir Hae terangkat tinggi menatap Hanna yang masuk ke rumah terburu-buru, kemudian Ia melangkah pergi kala Hanna sudah lenyap dari pandangannya.

Krieet...

"Siapa dia, temenmu?" tanya seseorang begitu Hanna membuka pintu.

Hanna menoleh, dilihatnya seorang wanita tengah berdiri sembari mengintip keluar melalui jendela.

"Bunda selalu saja mengagetkanku." Hanna merebahkan tubuhnya di sofa.

"Iya, dia temanku." ucap Hanna.

"Kenapa gak suruh dia masuk? Kasihan pulang di tengah hujan." ucap Bunda dengan tatapan khawatir.

"Hae!"

Hae mendengar suara samar-samar memanggil namanya, tetapi Ia memutuskan tak menghiraukannya.

"Hae!"

Mendengar suara itu kedua kalinya membuat Hae berhenti lalu menoleh. Hanna melambai dari kejauhan di bawah payung berwarna kuning, Hae pun menghampirinya.

"Han, kenapa lagi?" tanya Hae.

"Berteduhlah di rumahku." pinta Hanna.

Hae tertawa, "Kirain apa, gak usah Han gue gak mau ngerepotin."

Hanna meraih tangan Hae, "Bisakah kamu turuti saja?"

Hae akhirnya menerima tawaran Hanna untuk masuk ke rumahnya, menunggu hujan deras mereda. Lelaki itu dipersilahkan menunggu di ruang tamu, sedangkan Hanna pergi ke kamarnya.

"Terimakasih ya sudah mengantar Hanna pulang." ucap Bunda Hanna.

"Bukan apa-apa kok tante." balas Hae nyengir.

"Nama kamu siapa?"

"Saya Haikal, bisa dipanggil Hae."

"Terimakasih ya nak Hae." ucap Bunda Hanna sekali lagi.

"Yaudah, tante ke belakang dulu ya." Pamit Bunda Hanna dan pergi.

Setelah Hanna selesai berganti baju, Ia pergi ke dapur menyiapkan sesuatu. Beda hal dengan Hae yang merebahkan diri di sofa, melepas penat.

Hanna pergi menuju ruang tamu dengan biskuit dan segelas susu cokelat hangat buatannya, "Silakan."

"Makasih Han."

"Maaf aku hanya bisa memberimu ini sebagai terimakasih."

"Nggak apa-apa, bagi gue ini udah cukup kok."

Atmosfer di antara mereka terasa canggung, ditambah hawa dingin dari hujan yang menyeruak dari lubang ventilasi, membuatnya terasa beku.

"Hanna, ayo makan, ajak juga temanmu sini!"

Beruntung, suasana bisa mencair berkat panggilan Bunda Hanna.

"Nak Hae belum makan kan? Hari ini tante masak sup ayam loh, ayo cobain mumpung masih hangat!" ucap Bunda Hanna mempersilahkan Hae.

"Ah, iya tante." Hae menyiuk ayam beserta kuah ke piring dan mencicipinya.

"Enak tante!" puji Hae.

"Tante senang kalau kamu suka sama masakannya." ucap Bunda Hanna lega.

Hanna diam-diam mencuri pandang pada Hae, senyumnya mengembang melihat lelaki itu makan dengan lahap.

Tak lama kemudian terdengar suara klakson mobil dari depan rumah, Bunda Hanna beranjak untuk melihatnya.

Kemudian, Bunda Hanna datang ke ruang makan dengan pria yang membawa tas laptop di sampingnya.

"Ayah!" sambut Hanna.

Lelaki yang dipanggil Ayah itu memeluk Hanna dan mengelus puncak kepalanya gemas, "Anak Ayah yang paling cantik!"

Ayah melihat lauk pauk di meja, "Wah, menunya sop ayam nih! Pasti enak."

Bunda tersenyum malu-malu mendengar pujian Ayah.

"Kamu siapa?" Ayah Hanna menatap Hae waswas.

"Saya Hae om."

"Jangan duduk dekat-dekat dengan anak saya!"

Hae terkejut dengan ucapan Ayah Hanna, tetapi kemudian beliau tersenyum, "Om bercanda kok."

Meja makan diisi dengan canda dan cerita disela-sela suapan, begitu hangat untuk sore yang dingin. Hae juga perlahan membaur dengan mereka, ikut bercanda dan tertawa bersama. Hatinya menghangat melihat pemandangan ini, waktu terasa berjalan lebih lambat. Hae tak pernah berkumpul dengan lengkap sebelumnya, terlebih sambutan mereka terhadap Hae yang begitu ramah, seolah diakui sebagai anggota keluarga.

Selesai makan, hujan belum juga berhenti, malah bertambah deras. Jadi Hae belum bisa pulang dan memutuskan menuggu di ruang tengah dengan Hanna.

"Kamu disuruh pulang?" tanya Hanna yang melihat Hae terus mengecek ponselnya.

"Ah, nggak kok Han, gue cuma cek takutnya ada chat dari temen." jawab Hae.

Hanna manggut-manggut mengerti dan kembali menoton televisi.

Hae tersenyum pahit menyadari bahwa sekarang tak ada yang mencarinya atau menyuruhnya pulang.

Kenapa Ia tidak merasa senang?

Bukankah itu yang selama ini Ia inginkan?

• • •

Minggu, 21.00 pm

Langit sudah gelap, jarum jam pun sudah menunjukkan pukul 9 malam. Hae masih anteng duduk di bangku halaman rumah Hanna, melihat bintang-bintang dengan Hanna yang duduk di sampingnya.

"Kenapa kamu tak pulang?" tanya Hanna.

"Lo ngusir gue?" tanya Hae.

"Maaf aku tak bermaksud."

Hae mencubit hidung Hanna gemas, "Bercanda Hanna!"

Hanna mengusap hidungnya yang berkedut nyeri, "Nanti orangtuamu mencarimu."

Hae tertawa sumbang, "Cari gue ya? Gak mungkin."

"Gue nggak punya siapapun di sini, gak ada yang bakal cari gue ataupun nyuruh cepet-cepet pulang, jadi gue bebas ngelakuin apapun dan pulang jam berapapun yang gue mau. Gue seneng, gak perlu dengerin ceramah ibu karena pulang malam." lanjut Hae.

"Bersyukurlah, itu berarti masih ada orang yang peduli padamu."

Hae menatap Hanna yang sedang memandang langit.

"Aku tidak punya siapapun di sana." lanjutnya.

Hae memandang nanar.

"Orangtuaku meninggal karena kecelakaan 2 tahun yang lalu, dan aku anak tunggal. Soal teman-temanku? Mereka tidak suka padaku. Tak ada yang bisa kupercaya, untung saja ada nenek yang mengerti." jelas Hanna.

"Hingga suatu ketika, aku sampai pada titik terendah dalam hidupku saat itu." lanjutnya.

Pikiran Hanna kembali melayang, pada sore itu. Sepulang sekolah, nenek memintanya untuk pulang cepat hari itu, Ia bilang ingin Hanna membawanya pergi jalan-jalan keliling kota. Namun Hanna menolak permintaan nenek, mengingat kondisi tubuhnya yang rapuh lambat laun dimakan usia. Selain itu, Ia juga ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.

Malang tak bisa dihindari, Hanna menerima telepon dari seseorang. Ia pun segera pulang ke rumah, tak peduli dengan senior yang menegurnya.

Betapa mengejutkan begitu Hanna sampai di rumah. Bendera kuning tergantung di pagar hitam rumahnya, lalu lalang para tetangga dengan pakaian hitam mereka, juga beberapa kendaraan yang terparkir di bahu jalan dekat rumah.

Hanna langsung berlari ke dalam, dilihatnya nenek sudah terbujur kaku dengan kain putih di atasnya. Jantung Hanna mencelos, serasa copot dari tempatnya. Ia mendekati jenazah neneknya dengan langkah pelan, lalu duduk di sampingnya. Wajah nenek nampak cerah, dengan senyum tercetak di wajahnya.

Bahkan sampai saat terakhirnya, nenek tetap tersenyum.

"Begitulah, makanya aku merasa nyaman di sini. Aku tidak sadar, keadaan ini jauh lebih baik dari rumahku. Hingga kemudian kamu datang dan menanyaiku hari itu."

Hae menatap dengan tanda tanya di benaknya.

"Terus kenapa lo kumpulin data Swatantra dan baca banyak buku kalau ogah pulang?"

Hanna menggeleng, "Kamu menyadarkanku hari itu, bahwa dunia yang kutempati sekarang tak lebih dari kenyamanan yang semu."

Hae benar-benar tak mengerti, apa yang Ia lakukan sampai menyadarkan seorang Hanna? Ia yakin tidak melakukan apa-apa.

"Mungkin kamu bingung, tapi, keberadaanmu saja sudah membuatku sadar." Hanna menatap Hae lembut.

"Makasih ya, Hae."

Hae tertegun, bagaimana seseorang masih bisa tersenyum menghadapi ketidakadilan semesta padahal sudah merenggut orang-orang yang disayanginya?

Tanpa Hae sadari air mata mengalir mulus di pipinya, "Hanna." lirihnya.

"Hem?"

Hae memeluk Hanna sambil terisak, membuat gadis itu terkejut.

"Menangislah." Hanna berujar lembut sembari mengelus punggung Hae, "Jika kamu merasa sendirian, tenanglah, ada aku di sini." ucapnya berusaha menenangkan Hae.

"Kamu punya aku." lanjutnya.

Hae melepas pelukannya lalu menatap Hanna, "Jangan lupa, lo juga punya gue." ucapnya sambil mengusap pipi Hanna lembut.

"Berhenti menangis, wajahmu jelek." canda Hanna.

Hae tertawa kecil, "Gak peduli!"

Hanna tertawa.

"Makasih ya Han."

"Tak masalah, datanglah kapanpun kamu mau, pundakku tersedia untukmu."

• • •

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 480K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
54.5M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
3.2M 312K 87
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.