Senandika - [nomin]

Par dazzlingyu

13.6K 1.7K 276

Tentang asa akan perasaan, soal penyesalan yang datang belakangan, dan penantian yang tak pernah terlupakan... Plus

;prolog
1. taruhan dan balas dendam
2. senandika
3. saujeno
4. mari mulai
5. sebaris pesan
6. menjelang tengah malam
7. jumat barokah
8. kencan di hari sabtu
9. kemelut pikiran
10. hujan di jumat sore
11. siksaan keputusasaan
12. dimana, ketika saya butuh?
13. kekeliruan tak berujung
14. merelakan untuk sebuah kegagalan
15. sanggup atas kemenangan (atau kekalahan?)
16. hal fatal
17. rentetan kejujuran
18. kilas balik
19. keinginan kecil
20. sebuah saksi bisu; cermin di kamarku
21. terima kasih, haedar
22. pahitnya kenyataan
24. keputusan terbesar, titik balik kehidupan
25. harapan dan perjuangan
26. pengakuan terdalam
27. pernyataan sulit

23. senyum pilu yang menyakitiku

340 39 5
Par dazzlingyu

Malam itu, Saujeno pulang dengan langkah gontai memasuki rumahnya.

Namun, kakinya tidak lantas membawa dirinya memasuki kamarnya untuk mengemas baju, lebih memilih untuk berbelok ke pekarangan samping dimana ada kolam ikan besar dan jembatan penghubung antara rumahnya dan rumah sepupunya.

Rumah besar itu nampak sudah gelap lantai bawahnya. Namun lampu kamar Haedar masih menyala terang, tertanda sang empu belum tertidur di dalam kamarnya.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Saujeno menyelonong masuk dan menemukan Haedar yang sedang mengerjakan tugas di meja belajar. Mata bulat itu memandangnya sejenak sebelum perhatiannya kembali teralih ke tugasnya.

"Lo gak diterima disini, brengsek." Haedar berucap benci, nada bicaranya penuh sesak—hampir terbata.

Saujeno akhirnya mengerti mengapa selama hampir empat hari belakangan sepupunya itu selalu berlaku sinis padanya. Nampaknya Haedar sudah mengetahuinya duluan sejak hari pertama ia mencueki Saujeno.

"Dika hamil, Dar." Saujeno menggumam pelan. "Karena gue."

Gerakan tangannya yang tengah menulis seketika terhenti. Tubuhnya berbalik menghadap Saujeno sebelum sebuah gelas kaca melayang begitu saja ke arahnya.

JDUGG!!

PRANGG!!

"Itu semua gara-gara lo, bangsat!"

BRAK!!

Kali ini buku paket biologi, lalu kaleng pensil besi.

BRUK!!

PRAKK!!

"Saujeno brengsek! Otak udang! Punya otak bukannya dipake!"

Lalu botol parfum dan segala pernak-pernik perawatan wajah yang ada di meja belajar Haedar.

Rautnya nampak melunak ketika melihat darah mengalir dari atas alis kanan Saujeno, sadar tadi gelas yang dilemparnya mendarat disana.

"Jen..."

"Gue pantes dapetin ini semua, Dar. Gue udah nyakitin banyak orang." Lirihnya. "Gue bakal tanggung jawab soal Senandika, Dar."

"Dengan apa? Lo bakal ngomong ke ayah lo yang diktator itu atau ibu lo yang egonya setinggi langit?"

"Dar..." wajah Saujeno berubah pias, menyadari betapa beratnya perjuangannya untuk bertanggung jawab atas Senandika dan calon anak mereka. "Gue mohon... kali ini gue gak minta bantuan lo untuk bicara ke orang tua gue... tapi gue mohon... gue mohon banget... bisa lo tolong jaga Senandika untuk gue, Dar? Setidaknya, sampai gue mampu tanggung jawab sepenuhnya ke Senandika dan calon anak kita."

Air mata Haedar udah di ujung pelupuk begitu melihat wajah Saujeno yang begitu berantakan. Tangannya terulur untuk merengkuh tubuh sepupunya yang nampak begitu rapuh itu sebelum ia sadari ada beberapa lebam di wajahnya.

"Kenapa muka lo? Dibogem ibunya?"

"Dibogem Bang Raka," ringisnya ketika Haedar menyentuh sudut bibirnya yang terluka. "Senandika sekarang lagi di rumah sakit. Ditemuin Nara waktu hampir bunuh diri di kamarnya." 

Mata Haedar sontak melebar, ia meremat bahu Saujeno khawatir.

"Rumah sakit?!"

Saujeno mengangguk lemas. "Dia nyayat lengannya dan pingsan karena kehilangan banyak darah. Beruntung golongan darahnya AB, jadi gue bisa ngedonorin darah untuk dia."

"Te-terus gimana keadaannya? Dia baik-baik aja 'kan?!"

"Udah ditangani. Gue balik untuk ambil baju. Habis ini mau balik ke sana lagi, jagain Senandika gantian sama Bang Raka."

"Ke-kenapa awalnya Dika—"

"Ibunya tau, Dar. Dan dia diusir dari rumah. Emang dasarnya gue bodoh, padahal Bang Raka udah memperingati gue dari awal, tapi dengan bodohnya gue anggap istimewa yang dibilang Bang Raka itu soal wajah cantiknya Senandika. Gue bego, Dar. Gue sebego itu."

"Emang," Haedar mendecih sembari mendorong dahi Saujeno dengan telunjuknya. "Sekarang gimana? Kita harus apa?"

"Gue mau balik ke rumah sakit nunggu Senandika sadar. Kalo keadaan udah membaik, gue bakal langsung bicara ke bokap nyokap."

"Oke, Jen," Haedar mengangguk sembari melepaskan pelukannya. "Lo yang semangat ya. Ini teguran buat lo yang sering main-main. Udah saatnya lo serius, karena lo bener-bener gak bisa mundur. Lo udah berbuat terlalu jauh, Jen."

"Iya, Dar. Gue ngerti. Makasih ya. Gue siap-siap dulu."

"Bersihin dulu luka lo."

"Iya, nanti di kamar."

"Mau gue bantu?"

"Gak usah, ada kotak P3K kok di kamar."

"Oke. Telepon gue kalo ada apa-apa."

"Iya, Dar. Pergi dulu gue."

"Oke. Baik-baik disana. Gue nyusul nanti."

Melihat bahu Saujeno yang merosot turun tak pelak buat Haedar mendengus iba juga karenanya. Bagaimanapun, meskipun sering ribut, keduanya telah tinggal bersama selama tujuh belas tahun, membuat ikatan persaudaraan terjalin erat di antara keduanya.

"Good luck, Saujeno."

"Wajar Senandika stress. Pacar yang paling dia percayai dan paling dia sayangi ngehianatin dia setelah dia dilecehin dan diambil kehormatannya begitu aja dengan bejatnya. Sebetulnya, salah gue juga. Kenapa waktu itu gue dengan mudahnya percaya kalo lo bisa jaga dia, padahal gue tau betul cewek lo dimana-mana. Wajar juga Senandika merasa kecil, karena dia gak punya siapa-siapa selain adiknya yang belum ngerti gimana kerasnya dunia. Wajar Senandika punya suicidal thoughts karena ngerasa dirinya ngerepotin banyak orang dan ngerasa dirinya gak berharga setelah lo tinggalin begitu aja. Gue ngomong gini supaya lo sadar, Jen. Bahwa lo gak bisa mempermainkan perasaan manusia seenaknya. Lo baru nyesel sekarang 'kan? Waktu dia ada, lo kemana aja? Sekarang, lo kena karmanya 'kan? Udah ngerasain gimana sakitnya 'kan?"

"Iya, Bang." Saujeno menyahut dengan suara pelan, kepalanya terus tertunduk sejak satu jam yang lalu ia datang untuk menjaga Senandika hingga sadar.

"Itu jidat kenapa diperban?"

"Abis dilempar gelas, Bang."

"Sama?"

"Haedar."

Raka diam-diam bertepuk tangan bangga dalam hati.

"Sekarang solusi lo gimana?"

"Gue akan nunggu dulu sampe Senandika sadar, Bang. Setelah keadaan membaik, gue bakal tanggung jawab. Makasih udah mau percaya sekali lagi ke gue. Lo bisa pegang omongan gue."

Raka mengangguk kecil begitu melihat kesungguhan yang terpancar di netra kelam milik Saujeno. Jam di dinding telah menunjuk ke angka dua belas, sudah lewat tengah malam tapi Senandika belum juga siuman sejak transfusi darah dua jam yang lalu.

"Beneran gue pegang omongan lo ya," Raka mewanti-wanti ucapan adik kelasnya itu sebelum bangkit dari sofa dan meregangkan tubuhnya. "Gue kudu balik, besok Sabtu ada acara. Bisa lo nunggu disini sampai pagi?"

"Bisa, Bang. Serahin aja ke gue."

"Oke, gue pamit ya, Jen."

Setelah Raka pergi meninggalkan ruang rawat, Saujeno segera menarik kursi dan diletakannya di sisi ranjang Senandika. Tangannya menggenggam tangan Senandika yang tidak terluka sembari dikecupi punggung tangannya pelan.

"Saya minta maaf karena udah bikin kamu menderita," Saujeno memulai, meringis melihat wajah pucat milik Senandika yang masih tak kunjung membuka mata. "Saya minta maaf karena udah menoreh luka, menyakiti hati, dan banyak perbuatan mengecewakan saya yang lainnya. Saya minta maaf udah buat kamu harus nanggung beban seberat ini di usia kamu yang semuda ini."

Tangannya kemudian mengusap perut Senandika, yang ia ingat dua bulan lalu juga ia usap lembut ketika pemuda itu mual-mual di UKS.

"Sehat-sehat ya, Nak. Ayahmu kuat, kamu juga harus kuat demi Ayah."

Setelahnya ia bangkit berdiri dan mengecup kening Senandika, diusapnya pipi yang tak lagi merona itu sebelum menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan, bermaksud tidur menemani Senandika, juga agar nanti ia bisa mendengarnya jika Senandika memanggil.

Perlahan, kantuk mulai menghampiri ditambah batinnya yang lelah pun menambah rasa berat pada mata sipitnya.

Saujeno tertidur dengan tangan Senandika dalam genggamannya, berharap pemuda itu membuka mata keesokan harinya.

Pukul tiga pagi, Senandika membuka matanya.

Pandangan buramnya perlahan berubah fokus dan menyadari bahwa ia kini tidak berada di kamarnya.

Aroma obat yang kuat merangsek merasuki penghidunya. Oh, ternyata Senandika masih berada di dunia, belum sampai di padang penghakiman.

Mengerjap perlahan menyesuaikan cahaya lampu, Senandika mengerang pelan sembari menatap sekeliling, tak menemukan siapapun di kamar rawatnya selain pemuda yang tengah tertidur pulas menghadapnya dengan wajah lebam yang menyiratkan rasa lelah.

"Je...no?" Senandika berujar lirih sembari menggerakkan tangannya yang berada dalam genggaman tangan Saujeno.

Kenapa Saujeno ada disini? Apakah ia yang menyelamatkannya dan membawanya ke rumah sakit? Apakah ia yang mencegahnya pergi ke akhirat?

Setelah genggaman tangannya terlepas, Saujeno otomatis terbangun dan mengerjapkan mata merasa genggamannya mendadak terasa kosong dan dingin.

Mata mereka kemudian bertemu setelah Saujeno mengucek mata. Netra kelam di balik kelopak sipit itu mendadak berbinar cerah, seolah kantuk telah terbang entah kemana dan ia baru saja memenangkan undian mobil mewah.

"Dika? Kamu bisa dengar saya?" Saujeno bertanya dengan wajah berbinar, wajah lelahnya seketika pergi menghilang. 

Senandika hanya diam sambil menatapnya datar sebelum memutus pandang dan membuang muka.

Hati Saujeno seketika mencelos. Tangannya kembali meraih tangan Senandika untuk ia genggam lagi.

"Lepas..." lirih Senandika.

"Saya lega akhirnya kamu sadar dan baik-baik aja." Ia menghela napas sembari menempelkan tangan Senandika di dahinya, mengucap banyak kata syukur yang sejenak buat Senandika terenyuh.

Senandika menarik lepas tangannya dari genggaman Saujeno, sesaat buat pemuda itu pundung sebelum menaikkan alis heran ketika Senandika mengusap rahang dan tulang pipinya lalu naik ke plester di atas alisnya.

"Ini... kenapa?"

"Saya berhak dapetin semua ini, Dik." kata Saujeno sembari tersenyum tipis padanya. Tangannya kembali berada dalam genggaman pemuda itu.

"Siapa... yang mukul kamu...?"

"Ini dari Bang Raka," ia menunjuk rahang, tulang pipi, dan sudut bibirnya dengan bangga pada Senandika seolah ia baru saja mendapatkan trofi penghargaan. "Kalo yang ini dari Haedar." Tunjuknya terakhir ke kain kasa yang membalut luka di dahinya.

"Hmm..." Senandika cuma menggumam pelan sebagai jawaban.

"Dika... saya minta maaf ya..." katanya kemudian. "Untuk semuanya. Saya gak berharap atas kepercayaanmu. Saya disini bukan untuk meminta, tapi untuk memberi. Saya bakal tanggung jawab. Kamu tenang aja, semuanya bakal baik-baik aja."

Senandika menghela napas sembari memutar kepalanya menghadap Saujeno, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Kenapa, Saujeno?"

"Hm?"

"Kenapa kamu masih mau melakukan semua ini? Kamu gak lelah?"

"Saya gak akan pernah berhenti mencoba. Kamu boleh ragu sama saya, kamu boleh tidak membenarkan tindakan saya. Tapi satu yang tidak boleh kamu lakukan, adalah pergi dari saya."

Mendengar Saujeno berkata demikian ditambah dengan nada serius pun akhirnya sukses membuat hati Senandika berdenyut sakit.

Bisakah ia kembali memercayai pemuda yang telah mengkhianatinya ini?

Bisakah?

"Kamu gak jijik sama saya?"

Pertanyaan Senandika membuat Saujeno mengangkat alis serta dagu, "Jijik? Kenapa harus jijik?"

"Saya lelaki yang gak normal, Jeno. Saya punya rahim. Saya bisa mengandung, dan kini saya sedang mengandung—"

"Anak saya—anak kita, 'kan?" Senyum Saujeno yang terulas perlahan menghantarkan rasa hangat dalam hati Senandika. "Untuk apa saya jijik sama kamu? Dika, kamu itu orang paling keren dan paling hebat yang pernah saya kenal. Kamu itu manusia kuat dan saya gak mau kalah kuatnya sama kamu. Saya mau berjuang bersama kamu. Kamu gak perlu takut, saya gak ada sedikitpun rasa itu untukmu."

Matanya sedikit menyayu sebelum berkedip pelan, lalu menarik napasnya dalam.

"Seandainya sejak awal saya beritahu kamu, mungkin ini gak akan terjadi, ya..."

"Gak ada yang perlu disesali. Saya salah dan—"

"Saya juga salah. Kita berdua sama-sama salah."

Saujeno terdiam menatapi Senandika.

"Saya takut kamu pergi semisal kamu tau soal kekurangan saya, persis kayak ayah yang pergi ninggalin saya dan anggap saya aib keluarga karena saya lelaki gak normal. Makanya, waktu tau Kak Raka membeberkan semuanya dengan begitu gamblangnya ke kamu, saya sempet takut. Tapi beruntungnya kamu gagal paham, tapi ternyata itu merupakan sebuah kesialan. Saya pikir setelahnya kamu udah paham dan sungguhan nerima kekurangan saya. Tapi ternyata... ah, sudahlah, Saujeno. Semua udah terjadi. Kita gak bisa berbuat apapun lagi selain menghadapi."

"Saya bakal tanggung jawab, Dik. Saya gak akan biarin kalian pergi dari hidup saya. Sekarang, saya mau kamu sehat dulu. Setelahnya saya akan mulai bertanggung jawab. Kamu mau 'kan, nunggu saya yang bodoh ini? Mungkin kedengarannya lancang, tapi saya serius sama omongan saya."

Senandika menatap Saujeno tepat di netranya sebelum mengangguk pelan, buat senyum itu terkembang makin lebar di wajah Saujeno.

"Terima kasih, Dika. Terima kasih."

Dan Senandika tak membalas apapun selain membiarkan Saujeno mengecupi punggung tangannya,

Semoga, ya... Senandika membatin dalam hati. Semoga pilihanku sudah yang paling benar.

Pagi ini Saujeno mendapati Senandika sedang termenung sendirian sembari menatapi luar jendela.

Pemuda itu lantas meletakkan nampan berisi sarapan milik kekasihnya sebelum melangkah menghampiri, berdiri tepat beberapa centi di belakangnya.

Tangannya kemudian terulur melingkari pinggang Senandika, memeluknya sembari mengusap perutnya beberapa kali.

"Ada apa? Mau keluar?"

Senandika menggeleng pelan, menghela napas.

"Jangan buat saya kecewa lagi, ya?"

Saujeno termenung sejenak, meresapi betapa dalamnya rasa kecewa Senandika lewat nada bicaranya. Namun, usapan tangan Senandika pada sisi wajahnya buat Saujeno tersadar akan betapa besarnya harapan Senandika soal menggantungkan hidupnya dan anak mereka padanya. Tanggung jawab Saujeno bahkan lebih besar dari dugaannya.

"Kamu bisa pegang kata-kata saya."

Helaan napas lega kemudian terdengar dari sela bibir Senandika. Ia berbalik menghadap Saujeno yang mengernyit bingung menatapnya, lantas kedua lengan kurusnya mendorong bahunya pelan supaya Saujeno melepaskan pelukannya pada pinggangnya.

"Mau kemana—oh..."

Saujeno hanya mengangguk-angguk maklum kala Senandika kini menduduki sofa yang ada di ruang rawat sembari membuka plastic wrap yang menyegel rapat mangkuk berisi menu sarapannya.

"Hambar." Senandika mencibir ketika suapan pertama memasuki mulutnya.

Saujeno tersenyum kecil sembari berjalan menghampiri, "Mau saya suapi? Gak susah makan pakai satu tangan?"

"Gak, saya bisa sendiri." Senandika menggeleng dan kembali memenuhi mulutnya dengan bubur, sebelah tangannya memegangi tiang infus yang masih tertancap di punggung tangannya.

Saujeno kemudian mengambil tempat di samping Senandika, menatapinya makan dengan perlahan.

"Kamu udah makan?" Senandika bertanya disela kunyahan rotinya.

"Udah tadi, beli roti di kantin rumah sakit."

Ia tersenyum tipis melihat Senandika yang nampak muak karena harus memakan makanan hambar tersebut namun di sisi lain ia merasa harus makan demi bayi yang dikandungnya.

"Yang terpenting, kamu sehat dulu ya. Sisanya nanti kita bicarakan sama-sama. Kamu gak perlu takut, semuanya bakal baik-baik aja. Saya bakal berusaha untuk kamu. Untuk kalian."

Senandika perlahan beralih menatapnya setelah menelan habis semua sarapannya.

"Kamu seolah takut banget saya bakal pergi, Saujeno."

"Kenyataannya memang demikian," matanya menatap Senandika dengan serius. Ia beranjak bangun untuk berlutut di hadapan pemuda manis itu. "Jangan pergi, ya? Karena pada akhirnya saya yang butuh kamu, saya yang selalu ingin berada di samping kamu, dan saya yang selalu mencari keberadaanmu. Jadi saya mohon, jangan pergi."

Senandika mendadak tercekat. Matanya langsung berkaca-kaca melihat Saujeno yang tengah menatapnya begitu dalam di hadapannya itu. Ia menghela napas berat, tangannya terulur mengusap pipi orang terkasihnya itu, membiarkannya duduk bersimpuh di atas lantai dan masuk di antara kakinya, menyandarkan pipi lebamnya di paha dalamnya. Tangannya terulur memeluk pinggangnya sedangkan tangan satunya mengusap perutnya penuh kasih sayang.

"Saujeno."

"Hm?"

"Jangan nangis."

"Ah...?"

Entah sejak kapan dirinya mulai menangis, namun melihat Senandika kini tengah mengusapi pelupuk matanya dengan jemari lentiknya membuat perasaan senang membuncah dalam hatinya. Ia tersenyum tipis dan terus membiarkan Senandika mengusap matanya, sesekali turun ke pipi sebelum membelai rambut hitamnya.

"Jangan nangis..."

Tapi air mata Saujeno nampak sama sekali tak ada niatan untuk berhenti mengalir. Seulas senyum memang terpampang di wajah tampannya, tapi melihat sungai kecil di kedua pipi Saujeno tak pelak buat Senandika menangis juga.

"Ayah... jangan nangis..." gumamnya. Tangannya masih setia membelai rambut legam milik Saujeno. "Ayah, nanti adik bayi juga nangis liat ayahnya nangis..."

Ucapan Senandika sukses buat tangis Saujeno berubah menjadi isakan kecil. Ia memeluk pinggang Senandika erat, mengucapkan beribu kata maaf pada pemuda manis yang ikut menangis juga pada akhirnya.

"Saya minta maaf, Dik. Untuk semuanya. Untuk segala beban yang terpaksa harus kamu tanggung dan segala perbuatan saya yang telah mengecewakanmu." Katanya sebelum mengusapi lagi perut Senandika dengan sayang. "Ayah minta maaf ya, Nak. Ayah janji bakal jaga kalian berdua. Baik-baik disana."

Tak ada yang bisa keduanya lakukan selain saling berpelukan dan mengucapkan kata maaf. Keheningan kamar pagi itu hanya diisi isak tangis dan gumaman Saujeno yang penuh dengan rasa penyesalan. Hingga Haedar tiba setengah jam kemudian, menemukan Saujeno tengah tertidur pulas dengan kepala disenderkan di paha dalam Senandika yang masih setia membelai lembut surai kelamnya.

"Adik bayi, tau gak?" Senandika bergumam sendiri di tengah kegiatannya menatapi wajah tidur Saujeno yang nampak damai, belum sadar akan kehadiran Haedar di kamar rawatnya. "Kamu punya ayah paling keren sedunia."

Dan Haedar tak mampu tersenyum lebih lebar lagi dari senyumnya pagi ini.

Hati-hati, Dar. Nanti matahari minder sama kamu.

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

91.1K 10.3K 26
Na Jaemin, Lee Jeno keduanya sudah mengenal sejak lama. Di mulai dari kedatangan Jaemin di kehidupan Lee Jeno, yang membuat Jeno menaruh rasa kepada...
Daisy Par Hyenna

Aléatoire

6.9K 673 9
Na Jaemin, mengalami trauma masalalu yang disebabkan oleh ayahnya sendiri. Membuatnya merasa menjadi manusia paling tidak berharga didunia. Hingga pe...
98.7K 9.7K 34
Hanya sepenggal cerita tentang sosok anak lelaki yang menjadi saksi bisu atas kehancuran keluarga nya. Bxb| gay| boy's love| homo| yaoi So? Still co...
33.9K 2K 52
semua semakin runyam setelah Jaemin bertemu dengan anak konglomerat seperti Jeno. pemuda dengan sikap posesifnya, yang memberikan cinta juga luka pad...