FAR

By SyifaZali

119K 18.8K 1.6K

Mungkin beginilah rasanya menjadi istri yang tak diinginkan. Menjadi pasangan yang tidak pernah didamba. Aku... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Epilog
Free Chapter 🙊
INFOO

Chapter 2

3.3K 410 16
By SyifaZali

Kebingungan
.
.
.
🍁🍁🍁

"Umi," aku menyapa umi dengan ceria. Bibirku tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Bagaimana bisa, mas Azam pria yang kucintai selama 6 tahun kini menyatakan perasaannya padaku.

"Ada apa, sih? Kok seneng banget?" Tanya umi sambil mengelus rambutku pelan. Aku tersenyum ceria. Aku tidak ingin memberitahu umi dulu, kata mas Azam, dia akan melamarku saat umi sedang tidak sibuk.

Aku mengatakan saat weekend, dan katanya untuk surprise umi.

"Doakan aja, mi," aku memeluk umi dengan perasaan bahagia. Aku berjala menuju kamar.

"Eh, da," suara umi membuatku berhenti melangkah.

"Ada apa, mi?" Tanyaku menoleh. Umi tersenyum.

"Umi mau bicara sebentar deh," katanya membuatku mengerutkan kening. Aku mengurungkan diri untu merebahkan badanku.

"Iya, mi?" Aku pun duduk di hadapan umi. Umi memegang tanganku. Wajah umi sudah tidak seceria dulu saat masih bersama ayah. Mengapa aku jadi ingin menangis.

"Kalau misal, ini misal ya.. Abi ngasih suatu wasiat yang harus kamu lakuin, kamu mau gak?" Tanya umi membuatku bingung.

"Iya, gak papa, mi.. pokoknya Maida mau ngelakuin apapun untuk membuat umi sama abi seneng," kataku membuat umi tersenyum. Umi lalu mengangguk-angguk.

"Makasih, ya nak," kata umi lalu mengelus kepalaku. Aku mengangguk tersenyum. Walaupun, dalam hati, aku bertanya-tanya. Apakah ada wasiat Abi yang akan memberatkan ku? Aku tidak ingin mengambil pusing lalu segera kembali ke kamar ku.

🍁🍁🍁

Aku memarkirkan sepeda motorku di depan warung. Seperti biasa setiap jam 8 pagi, aku menjaga warung karena umi masih bekerja di pasar. Aku membuka warung kecil ini. Warung makan yang di bangun oleh Abi sejak sepuluh tahun lalu ini masih berdiri kokoh.

"Perlu bantuan?" Suara berat itu mengagetkanku. Aku tersenyum ketika tau bahwa itu mas Azam.

"Loh, mas Azam gak kuliah?" Tanyaku sambil merapikan kursi-kursi di meja warung. Mas Azam memang masih menjabat sebagai mahasiswa, bisa di bilang ia mahasiswa tingkat akhir. Kelulusannya seharusnya sudah terjadi satu tahun lalu.

"Enggak, nanti siang," jawabnya singkat lalu membantuku merapikan kursi-kursi itu.

"Jadi besok malem umi sibuk gak?" Tanya mas Azam setelah kami selesai merapikan kursi. Aku menggeleng cepat. Memang aku belum bertanya perihal sibuk atau tidaknya umi, namun aku yakin bahwa hari Sabtu umi tidak memiliki kesibukan apa-apa.

"Kayaknya enggak, mas. Dateng aja," kataku tersenyum. Bagaimana hatiku tidak bahagia, seorang yang kucintai diam-diam itu akan melamarku.

Mas Azam mengangguk lalu tersenyum juga.

DRRTTDRRT

Aku yakin itu bukan bunyi Ponselku. Benar itu bunyi ponsel mas Azam. Beberapa detik kemudian mas Azam mengangkat telepon nya.

"Hah? Sekarang lokasi mu dimana?" Pekik mas Azam setelah berbasa-basi di telepon. Aku hanya duduk sambil merapikan barang dagangan.

"Oke aku segera kesana," katanya dengan nada lantang. Aku tidak tahu siapa lawan bicaranya, sepertinya dia teman dekat mas Azam, karena mas Azam terlihat panik setelah menerima telepon darinya.

"Da, aku pergi dulu ya, ada hal mendesak banget," katanya padaku. Tanpa berfikir panjang aku langsung mengangguk. Aku tidak bertanya siapa dan ada urusan apa. Aku yakin mas Azam benar-benar ada urusan penting.

🍁🍁🍁


Malam Minggu, waktu yang di janjikan mas Azam untuk melamarku di depan umi akan menjadi malam bersejarah sepanjang hidupku. Aku memakai baju terbaikku untuk bertemu keluarga mas Azam.

TOK TOK TOK

Suara dari pintu depan terdengar keras dari kamarku. Aku segera keluar kamar berniat membuka nya.

"Eh, Om Radit?" Aku terkejut saat mendapati om Radit dan anaknya yang berdiri di depan pintu rumahku. Om radit tersenyum ramah.

"Assalamualaikum," sapa om Radit mengayun-ayunkan tangannya di depan wajahku. Aku tersenyum tipis. Dimana mas Azam? Aku melirik jam dinding, seharusnya mas Azam sudah mengabari ku.

"Oh, oh iya om, masuk dulu, om," kataku lalu mempersilahkan om Radit dan anaknya—Aufar masuk ke dalam. Tak lama kemudian umi pun keluar kamar berniat menemui om Radit. Aneh, sepertinya umi sudah tau bahwa om Radit akan datang, pasalnya beliau sudah berdandan rapi dengan gamisnya.

Aku berjalan ke dapur untuk membuatkan minuman. Teh manis yang kerap di hidangkan untuk tamu di rumahku itu seolah sudah menjadi tradisi di keluargaku. Aku membagikan teh manis itu setelah selesai membuatnya.

"Silahkan di minum om," kataku ramah kepada om Radit. Berkali-kali aku mengecek ponselku, mengapa tidak ada kabar dari mas Azam.

"Niat saya datang kesini, adalah untuk melamarkan anak saya, Aufar, untuk putri ibu," kata om Radit membuatku hampir memuntahkan isi mulutku yang penuh dengan air teh itu.

Melamar putri umi? Putri umi cuman dua, tidak mungkin Fatima yang akan dinikahinya, dia bahkan belum lulus sekolah dasar. Tangan ku bergetar hebat.

"Maida," lanjut om Radit yang membuatku hampir menjatuhkan gelas yang ada di tanganku. Umi menatapku intens. Seharusnya aku berkata kepada umi bahwa mas Azam akan melamarku.

Tok tok tok

Aku menoleh ke arah pintu, terlihat mas Azam bersama orang tua nya berdiri disana. Ya Allah, rasanya aku ingin menghilang di tempat segera. Bagaimana bisa proses lamaranku bukan menjadi hal yang terkesan dalam hidupku.

"Wah, ada tamu lagi rupanya, masuk, nak Azam," sapa umi ramah sambil berdiri. Aku hanya mematung di tempat.

"Saya buatkan teh lagi," kataku lalu berdiri berjalan menuju dapur. Apa yang harus aku lakukan jika sudah seperti ini? Aku segera memanaskan air, tanganku sudah tidak bisa diajak bekerja sama.

"Gak usah grogi kali," suara berat seseorang mengagetkanku, aku menoleh. Dia—Aufar sedang menatapku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan.

"Kalo cowok itu ngelamar Lo, Lo harus tetep milih gue," katanya seenak jidat. Pikirnya dia siapa? Seenaknya menyuruhku menerimanya. Aku mengerutkan kening.

"Jawab gue," suaranya mulai meninggi. Dia seperti cowok pemaksa.

"Kenapa saya harus—"

"Oke, deal, Lo terima gue!" Katanya. Bukankan sebuah keputusan harus di setujui kedua belah pihak? Namun dia dengan seenaknya memutuskan sesuatu tanpa persetujuan ku.

"Hey—" aku menggantung kalimatku karena dia sudah berjalan menjauh dariku. Sungguh pria menyebalkan, seharusnya aku tidak mempercayai penampilannya sejak awal. Aku kembali fokus mengaduk teh hangat yang ku buat.

Ting.

Aku segera mengambil ponselku.

Mas Azzam
Mereka siapa, da?

Aku membelalakkan mata, bukannya bertanya keadaanku, mas Azam malah bertanya tentang siapa Aufar dan ayahnya itu. Aku segera mengantar teh hangat itu tanpa membalas pesan mas Azam.

"Silahkan diminum, pak, Bu," kataku ramah. Sudah lama aku memanggilnya seperti keluarga, karena keluarga mas Azam sendiri memang sudah menganggap ku sebagai keluarganya.

"Wah, makin hari makin cantik aja ya, Maida," aku tersenyum mendengar pujian itu. Pujian dari ibu mas Azam. Aku tersenyum lalu tidak sengaja melihat wajah Aufar yang terlihat tidak suka setelah mendengar ibu mas Azam memujiku.

"Azam udah ngasih tau kan, da? Azam mau melamar Maida," kata ibu mas Azam—bu Yuni dengan spontan. Ibu menatapku kaget. Mengapa semuanya terjadi secara tiba-tiba?

Aku melirik Aufar yang tersenyum sinis menatapku. Aneh sekali dengan perilakunya. Om Radit juga tampak terkejut mendengar pernyataan Bu Yuni.

"Ma-ma-maaf, mi Maida gak bilang dulu, mas Azam emang mau melamar Maida," aku berbicara terbata-bata ketika melihat sorot mata umi yang menunjukkan bahwa ia meminta penjelasan dariku.

"Wah kebetulan sekali, saya juga melamar Maida," aku mendongak ketika mendengar Aufar berbicara seperti itu, seolah melamar bukan hal yang penting baginya.

"Da?" Mas Azam memanggilku. Aku sangat ingin menolak Aufar, namun tidak enak dengan om Radit. Apalagi jika aku menerima mas Azam di depan om Radit, aku tidak ingin om Radit terluka.

"Maaf, Maida butuh waktu," kataku menunduk. Seharusnya, malam ini aku sudah resmi menjadi calon istri mas Azam, namun, ternyata takdir mengatakan hal lain, sehingga malam ini justru menjadi malam yang membingungkan bagiku.

🍁🍁🍁

"Kok gak bilang sama umi dulu kalau Azam mau ngelamar?" Tanya umi setelah kejadian menegangkan itu selesai. Aku menunduk seperti disidang olehnya. Padahal nada umi sama sekali tidak seperti orang marah.

"Rencananya, akan jadi surprise buat umi, tapi Maida gak tau kalau ternyata om Radit," aku menggantung kalimatku. Tanpa ku lanjutkan umi juga paham.

"Om Radit memang sudah berencana melamarkan kamu. Bahkan jauh sebelum hari ini, dia sudah memintamu kepada Abi," kata umi membuat jantungku berdebar. Apa maksudnya?

"Om Radit ingin kamu jadi menantunya," lanjut umi.

"Dan Abi juga ingin memiliki besan seperti om Radit, mereka sudah sepakat menjodohkan kalian sudah sejak lama, da," kata umi menjelaskan. Aku memijat-mijat kepalaku.

"Jadi, Maida?"

"Tapi itu kesepakatan mereka dulu, itu hanya keinginan Abi, tetap keputusan semua ada di tanganmu, kamu yang bisa menentukan mana yang baik buat kamu, da.. umi harap, kamu gak salah pilih," kata umi membuatku semakin bingung.

Salah pilih ? Jelas pilihanku pasti benar, mas Azam sudah jelas orang baik. Aku mengenalnya seperti kakak kandungku sendiri. Sedangkan Aufar? Siapa dia? Bahkan tadi dia sudah berani memerintahku.

"Iya, mi. Maida ke kamar dulu, ya," umi mengangguk. Aku segera kembali ke kamarku, ingin cepat-cepat melupakan kejadian malam ini. Aku mengecek ponselku, aku sangat takut jika mas Azam marah kepadaku.

DRRRTDD

teleponku berdering. Nomor tidak di kenal. Aku menghela nafas. memikirkan tentang Aufar yang tiba-tiba melamarku berbarengan dengan mas Azam sudah cukup membuat kepalaku serasa akan pecah.

Aku memencet panel merah yang berarti aku menolak panggilan dari nomor tidak di kenal itu. Aku termasuk orang yang tidak ingin mengambil pusing. Mungkin saja itu salah sambung, atau gaya orang iseng.

DRRTDDTT

Sepertinya orang di seberang sana tidak menyerah untuk menelpon ku. Baik, kita lihat siapa dia. Aku menekan panel hijau untuk mengangkat telepon darinya.

"Assalamualaikum?" Sapaku duluan.

"Inget ya, lu harus terima gue, gak peduli,-"

"Maaf siapa ya?" Tanyaku sambil mengingat-ingat suara orang di seberang sana.

"Gue Aufar." Aku membelalakkan mata ketika dia menyebut namanya. Bagaimana dia bisa mendapatkan nomor ku?

"K-kok-"

"Gausah banyak tanya, pokoknya lu harus terima gue," perintahnya seakan dia adalah atasanku yang harus ku patuhi.

"Wah, sepertinya saya harus melanggar perintah anda, bos Aufar," kataku sedikit berani. Bagaimana mungkin aku menerima Aufar menjadi suamiku—mana ada laki-laki yang memaksa perempuan untuk menerimanya.

"Lu tau gak, gue bakal di nobatkan jadi bos di perusahaan bokap gue," aku menyimak kalimatnya, sepertinya dia akan mengatakan hal yang tidak penting.

"Apa hubungan nya sama saya bos?" Tanyaku mengerutkan kening.

"Gue bakal dijadiin bos kalo lu mau jadi istri gue," kalimat selanjutnya membuatku hampir menjatuhkan ponselku. Aku? Kenapa harus aku?

"Dan kalo lu ga Nerima gue, semua fasilitas gue bakal di cabut," katanya. Wah, jadi dia melamarku hanya untuk sebuah jabatan dan fasilitas. Sungguh menakjubkan.

"Jadi anda melamar saya hanya—"

"Lu pikir gue cinta sama lu?" Pertanyaan nya cukup membuatku yakin harus menolaknya. Biar saja dia jatuh miskin karna semua fasilitasnya di cabut. Toh, aku tidak peduli.

"Saya mencintai orang lain. Dan orang lain itu mencintai saya bukan karena fasilitas ataupun jabatan," kataku tegas. Jelas mas Azam jauh lebih baik darinya. Sepersekian detik kemudian laki-laki bernama Aufar itu tertawa.

"Seyakin itu?" Tanya nya meremehkan. Bahkan jika di hitung dengan persenan, keyakinan ku mencapai 1000 persen tentang mas Azam.

"Yaudah, lu nikahnya sama gue, pacarannya sama orang lain, gampang kan," katanya. Apa? Entengkah bagi dia? Sebuah pernikahan itu sakral dan suci. Bagaimana dia bisa mempertaruhkan pernikahannya hanya untuk sebuah fasilitas dan jabatan.

"Maaf, saya tidak bisa,"

"Gue gak kasih pilihan,"

"Saya gak peduli,"

"Yakin mau nolak gue?"

Pertanyaannya membuatku ingin tertawa keras. Jelas aku wanita normal. Mana mungkin memilih lelaki yang tidak mencintai ku untuk kujadikan pendamping.

"Gue bisa biayain sekola adek lu, lu gausah repot-repot jaga toko, dan Ibu lu ga perlu jualan di pasar lagi," katanya membuatku terdiam. Darimana dia tahu semua kegiatan keluargaku? Aku teringat perkataan yang sering umi katakan, bahwa mencari laki-laki yang bisa mengubah keadaan kita. Namun, bukan laki-laki seperti Aufar yang aku mau.

"Kenapa diem? Lu butuh kan cowo kayak gue?" Tanya nya. Aku memang akan merubah keadaan keluargaku, tapi bukan dengan cara memiliki suami seperti Aufar!

"Maaf, sudah malam, assalamualaikum," salamku lalu menutup telepon dari pria bernama Aufar itu. Aku tidak habis pikir, dia melamarku hanya karena fasilitas dan jabatan yang tidak mungkin dibawa sampai mati.

Aku merebahkan tubuhku di kasur kecil kamarku.

Ting..

Aku mengambil ponselku lalu melihat what's app. Tertulis nama mas Azam. Aku segera membukanya.

Mas Azam
Jadi ada yang mau dijelasin gak?

Aku menghela nafas membaca pesan dari mas Azam. Apa yang harus aku jelaskan? Aku bahkan tidak menyangka kehadiran om Radit adalah untuk melamar ku. Aku meletakkan ponsel di atas meja kecil dekat kasur lalu memejamkan mata. Pesan dari mas Azam kubiarkan saja.

🍁🍁🍁

Alhamdulillah bisa update hari ini

Makasih gais buat yang udah bacaaa.

Semoga sukaa🙆

Author update nya gak pasti, yaa.
Oiya, mungkin buat bunga Syurgaku dan Far akan slow up dulu, karena author mau fokus revisi DBHU. Alhamdulillah ada penerbit yang ngelamar guys. 🥰

Jazakumullahu Khairan Katsiran 💜

Jangan lupa bersyukur hari ini ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 237K 38
Tidak ada yang bisa menebak sifat Drystan sebenarnya. Cowok itu ... terlalu hebat berkamuflase. Drystan bisa bijaksana, galak, manja dalam satu waktu...
126K 13.8K 18
Bukan BL Arkanna dan Arkansa itu kembar. Tapi mereka sudah terpisah semenjak masih bayi. Dulu, orangtua mereka menyerahkan Arkanna kepada saudara yan...
510K 38.5K 45
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
2.1M 98.7K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...