Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

49.8K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

1.9K 350 388
By Mizuraaaa

(Y/n) mengepalkan tangannya kuat, matanya kembali memanas, ingin segera menumpahkan segalanya.

Melirik ke samping, ia menyadari ada seseorang yang lain di sana. "Ah! Shimizu-san, kau disini juga? Ngomong ngomong ada apa denganmu saat di kelas? Sepertinya kau terlihat tidak sehat." Chitanda bertanya dengan raut khawatir di wajahnya.

"Bukan urusanmu," desis (Y/n), menahan emosi nya sedemikian rupa.

Oreki menatap Chitanda dan (Y/n) bergantian, merasa bingung akan apa yang terjadi. Ia sedikit terkejut disaat mengetahui kondisi (Y/n) sudah seperti ini sejak di kelas, mungkinkah gadis itu sakit? Pikirnya.

Pria itu memegang pundak kanan si gadis, bertanya dengan nada khawatir, "Shimizu-san kau baik baik saja?"

Lagi, (Y/n) melepas pegangan Oreki dengan kasar. Kepalanya masih tertunduk, menyembunyikan rasa sakit yang tersirat pada raut wajahnya.

"Shimizu-san ada apa denganmu?" tak menyerah, Oreki kembali bertanya sembari meraih kedua pundak (Y/n).

Gadis berponi itu kembali melepas pegangan Oreki. "Lepas!" bentaknya keras. Ia ingin pergi, tapi kakinya terasa berat, rasanya sulit untuk pergi dari sini.

Chitanda mendekat, membungkuk mencoba melihat wajah (Y/n) yang tertutup oleh surai coklat. "Shimizu-san, sebenarnya ala yang-"

"Apa peduli kalian, hah?" (Y/n) berbisik penuh amarah. Setidaknya itu yang dirasakan Oreki dan Chitanda saat mendengarnya.

Chitanda mundur beberapa langkah, terkesiap kecil mendengar ucapan (Y/n).

"Apa peduli kalian?!" bentak (Y/n) sekali lagi. Tangannya mengepal kuat, melampiaskan emosi dengan menusuk kulit menggunakan kuku kuku nya sendiri.

"Tidak bisakah kalian berhenti?! Tolong hentikan semua ini!! Berhenti menyakitiku dan memasang wajah seolah tidak melakukan apa apa!!" gadis itu berteriak, menyampaikan rasa sakit yang dirasa.

Oreki dan Chitanda berpandangan satu sama lain, sama sama bingung dengan kalimat yang dilontarkan (Y/n). Chitanda mendekat, mencoba bertanya, "Shimizu-san, apa yang-"

Sretttt

"S-Shimizu-san!" Chitanda berseru dengan reflek saat tiba tiba kerah bajunya ditarik.

(Y/n) mengangkat wajahnya, menunjukkan mata yang memerah karena menahan tangis. "Dan kau! Kenapa selalu kau?! Kenapa kau harus ada di dunia ini, hah?! Berhenti mengganggu segala urusanku!!"

Chitanda tersentak mendengar ucapan (Y/n), masih dengan raut bingungnya ia menggeleng cepat. "Apa maksudmu, Shimizu-san? Aku benar benar tidak mengerti. Apa yang sudah aku lakukan padamu??"

Alih alih menjawab, (Y/n) mengeratkan pegangannya pada kerah Chitanda sehingga gadis itu nyaris tercekik.

"Shimizu-san!" Oreki berseru mendekat, mencoba melepas cengkraman tangan (Y/n) meskipun sulit. "Shimizu-san, Chitanda tercekik!"

(Y/n) melirik ke samping, menatap tajam pada Oreki. "Apa?! Kau membelanya?! Oh, haha, maaf maaf. Aku tau, disini aku yang salah. Lagipula, Chitanda adalah orang yang terpenting bagimu kan?"

"Asal kau tau, tuan. Kau adalah sumber dari segala rasa sakit ku!! Berhenti melukai perasaanku dengan wajah tanpa dosa mu itu!! Berhenti membuatku mengeluarkan air mata demi pria tak berguna sepertimu!!"

(Y/n) mengeluarkan segala penyebab amarahnya. Tanpa sadar, ia semakin mengeratkan cengkraman tangannya.

"Shimizu-san! Chitanda bisa mati!"

Gadis bersurai sepaha itu tersentak, segera menoleh lalu mendapati Chitanda yang sudah hampir kehabisan nafasnya.

Cengkraman dilepas cepat, gadis itu mundur beberapa langkah lalu mematung di tempat dengan mata menyiratkan ketidakpercayaan.

Tangannya terangkat, ia menatap sepasang tangan yang hampir mengambil nyawa seseorang. Tatapannya terlihat sangat ketakutan, bibirnya bergetar diiringi air mata yang mulai menetes.

Chitanda terbatuk batuk setelah genggaman terlepas, alih alih marah, gadis itu menatap khawatir pada gadis dihadapannya. "Shimizu-san, kau baik baik saja? Ini bukan seperti dirimu, aku tau itu. Ada yang salah denganmu, tolong beritahu aku apa yang terja- Shimizu-san!"

(Y/n) berlari secepatnya, meninggalkan kedua manusia yang tengah kebingungan dengan perubahan sikapnya.

Netra hijau itu menyiratkan rasa khawatir yang teramat sangat, sementara batinnya mempertanyakan hal yang berbeda.

Kali ini Oreki merasa menjadi orang paling jahat dengan menyakiti seorang perempuan, namun ia tidak mengerti sama sekali apa kesalahannya.

Meskipun begitu, sejak pertama kali bertemu dengan (Y/n), Oreki masih memiliki pertanyaan yang sama setiap detiknya.

'Kenapa aku harus peduli padanya?'

.
.
.

(Y/n) menjatuhkan dirinya pada benda empuk berbentuk persegi panjang itu. Tangisnya pecah, suara pilu mengisi setiap sudut ruangan. Wajahnya dibenamkan pada bantal, mencoba menekan isak tangis yang makin lama makin keras.

"(Y/n)-chan! Sayang! Ada apa denganmu? Buka pintunya sayang."

Dari luar Akita mengetuk pintu anaknya berkali kali. Pertanyaan memenuhi benaknya dikala melihat (Y/n) memasuki rumah dengan terburu buru dan membanting pintu kamar.

"Sayang! Bukan pintunya!" ibunya berseru lembut, tapi tak didengar oleh sang anak barang sedikitpun.

"Bibi!! Bibi!! Dimana (Y/n)-chan?!"

Fukube tiba dengan wajah cemasnya. Melupakan sopan santun dengan memasuki rumah orang seenaknya. Tapi Akita memaklumi itu, lagipula Fukube sudah seperti anaknya sendiri.

"Fukube-kun, apa yang terjadi pada (Y/n)-chan? Dia menangis di kamarnya." Akita bertanya sama khawatirnya.

"Bibi, biar aku yang membujuk (Y/n)-chan. Bibi tunggu dibawah saja." Fukube mencoba menenangkan Akita, ibu dari (Y/n) itu mengangguk dan menyerahkan segalanya pada Fukube.

Perlahan Fukube mendekati pintu kamar (Y/n), diketuknya pelan lalu berkata lirih, "(Y/n)-chan, kau baik baik saja?"

Tak ada jawaban yang ia dengar selain isak tangis yang semakin kuat.

Fukube mengetuk pintu untuk yang ke sekian kalinya. "(Y/n), tolong buka pintunya. Jika aku memiliki kesalahan, aku mohon, maafkan aku."

Tangis (Y/n) perlahan mereda, tapi tak bisa Fukube pastikan apa yang terjadi di dalam kamar. Ia hanya terus mengetuk dan mengucapkan kata maaf, meski ia sendiri tak mengerti apa kesalahannya.

"Fukube-kun."

Fukube merasa senang, kali ini (Y/n) menyahut dari dalam. Ia diam, menunggu kelanjutan ucapan gadis itu.

"Bisa kau pergi?"

Deg

Fukube merasa dadanya sesak. Gadis itu tak pernah sekalipun menyuruhnya pergi. Bahkan gadis itu selalu melekat padanya.

"Aku, ingin sendiri."

Entah dorongan dari mana, Fukube mundur beberapa langkah. Ia mengerti dengan perasaan (Y/n), meski ia pun tak tau apa yang baru saja gadis itu lalui.

Namun, seberapa keras ia mencoba untuk mengerti, pemikirannya mengarah ke arah yang lain. Ia ingin berusaha berfikir positif, ia tidak ingin memikirkan hal yang aneh aneh.

'Apa aku, sudah tidak penting bagimu?'

.
.

Dering bel memenuhi indra pendengaran. Tidak seperti murid lain yang bersorak riang, suara itu tak mempu membuat suasana hati seseorang membaik.

Sejak pagi ia belum bertemu dengan 'musuh bebuyutan'nya, meski kelas mereka berdua tidak begitu jauh jaraknya. Rasa cemas masih dirasa pada dada. Ia begitu khawatir pada gadis itu.

Tak ingin kelaparan dan memperburuk keadaan. Ia melangkah kan kaki menuju pintu kelas. Kala seluruh tubuhnya telah bebas dari area kelas...

Grebb

Fukube membelalakkan matanya lebar, mematung di pintu masuk. Perlahan tatapannya turun kebawah, mendapati temannya tengah memeluk dirinya.

"(Y-Y/n)-chan?"

(Y/n) segera melepas pelukannya, raut menyesal terlihat kental di wajahnya. Gadis itu menatap tepat pada iris coklat, mencoba mentelepati segala yang ada dipikirannya meski tau hal itu sangat mustahil.

"Fukube-kun, aku mohon maafkan aku. A-aku merasa sangat bersalah. Aku membentak mu, aku berlaku kasar padamu, aku minta maaf aku benar benar, tolong... aku mohon..." (Y/n) terus mengucapkan kata kata yang terdengar tidak penting bagi Fukube.

Puk

Tangan itu disimpan pada ujung kepala sang gadis, turun kebawah menghasilkan usapan lembut pada surai coklat. "Jangan pikirkan apapun tentang kemarin. Aku sudah cukup senang kau baik baik saja."

Matanya berkaca kaca mendengar ucapan lembut dari Fukube. "Sungguh, kau benar benar sahabat terbaikku." ia tersenyum menahan tangis, begitu beruntung memiliki sahabat seperti Fukube.

Namun di sisi lain, Fukube tersenyum miris, lagi lagi mendengar kata itu. Pria itu kembali merengkuh gadis bermanik (e/c), mencoba menenangkan.

'Sahabat? Ck, aku muak dengan kata itu'

.
.

"Aku benar benar meminta maaf, Oreki-san!" gadis itu berseru, lantas membungkukkan badan hingga 90°

Oreki yang melihatnya merasa tidak enak, ia meraih kedua pundak (Y/n) dan mengisyaratkan nya untuk segera bangkit. Pria itu menggeleng pelan, senyum tipis terpasang di bibir.

"Aku mengerti. Tapi, apa aku benar benar menyakitimu? A-aku tidak mengerti, jika memang ada kesalahan yang aku perbuat tolong katakan," jawab Oreki, menanyakan perihal ucapan (Y/n) yang terdengar aneh di telinganya kemarin.

Dengan sangat yakin, (Y/n) menggeleng cepat. "Tidak, sungguh. Kau tidak bersalah. Hanya saja, emosiku sedang tidak stabil." ia menjawab agak ragu, takut Oreki tidak mempercayainya.

"Ah, begitu ya. Aku pikir kau kenapa kenapa. Kalau ada masalah, cerita saja, aku akan membantumu." Oreki membalas, tak melunturkan senyum tipisnya.

Dalam hati tiba tiba timbul pertanyaan. Oreki benar benar kebingungan akan sikap nya akhir akhir ini. Sering tersenyum dan berbicara panjang-menurutnya.

Pria itu menghela nafas pelan, tidak ingin orang dihadapan nya mendengar. Bagaimanapun juga, ia bersikap malas dan cuek seperti ini karena 'orang itu'.

'Lupakan, sialan.'

"Oreki!"

Entah yang ke berapa kalinya, Chitanda datang menginterupsi percakapan Oreki dan (Y/n). Keduanya lantas menoleh, sementara Chitanda tersenyum lebar sembari menghampiri.

"Shimizu-san? Kau baik baik saja, kan, kemarin? Aku sangat khawatir."

Lagi lagi (Y/n) membungkuk 90°, membuat Chitanda mundur beberapa langkah karena kaget. Manik ungu itu memperhatikan teman satu kelasnya, merasa aneh juga bingung.

"Chitanda-san, aku benar benar benar benar minta maaf padamu. Aku sangat keterlaluan, aku telah membahayakan nyawamu." (Y/n) menegakkan kembali tubuhnya, menatap Chitanda dengan tatapan memohon.

"Tolong, jika ada yang bisa ku lakukan untuk menebus kesalahanku, aku akan melakukannya, aku benar benar ceroboh." (Y/n) menunduk, merasakan penyesalan yang teramat sangat.

Chitanda menepuk pundak (Y/n) pelan, tersenyum senang. "Tidak apa apa, kau pasti memiliki alasan untuk melakukan hal itu, kan? Jadi, apa alasannya? Aku harap bisa membantu." gadis itu menarik tangannya ke belakang, menautkan nya.

(Y/n) menatap Chitanda sejenak, lalu bergulir pada Oreki. Ia menghela nafas kasar, memberi alasan yang sama seperti pada Fukube beberapa menit yang lalu.

"Aku stress karena tidak bisa bermain seperti orang biasanya. Kau mengerti, bukan? Kondisi ku membuat ku mudah lelah, aku ingin seperti orang lain," jawab (Y/n) panjang lebar.

"Lalu, apa hubungannya dengan kami? Kau mengatakan seolah kami yang paling bersalah." Oreki maju, berdiri di samping Chitanda. Chitanda mengangguk, menyetujui pertanyaan Oreki.

(Y/n) menggigit bibir bawahnya, ia memutar otak untuk mencari alasan. "Karena kalian satu satunya yang aku kenal. Dan jika ku lihat, kalian terlihat bahagia dengan kebebasan kalian, bisa dibilang aku iri. Tapi aku sudah lebih baik, terimakasih."

Sejenak Oreki dan Chitanda bertatapan, lalu nampak puas dengan jawaban yang diberikan oleh (Y/n), anggukan yakin didapat dari keduanya.

"Begitu ya? Baguslah, aku pikir ada apa. Shimizu-san, jika ada masalah, cerita saja, aku akan membantu semampuku!" Chitanda berseru semangat, Oreki mengangguk membenarkan.

Sebelah kakinya melangkah mundur, merasakan sesuatu yang aneh. Gadis itu meremas dadanya, mencoba menekan rasa sakit yang dirasa.

(Y/n) menatap Oreki dan Chitanda bergantian, lantas tersenyum hingga kedua mata menyipit, mencoba menyembunyikan air asin yang telah membanjiri pelupuk mata.

"Kalian terlihat selalu bersama, ya?"

Chitanda menoleh, menatap (Y/n) dengan semangat. "Tentu saja! Kami menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan banyak hal!"

Saat itu, hati (Y/n) semakin hancur berkeping-keping keping. Ia mundur, menghindari keduanya, tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya.

"Sepertinya kalian ada urusan, ya? Kalau begitu, aku hanya pengganggu disini. Aku pamit, ya."

(Y/n) langsung berlari setelah meminta izin, tanpa melunturkan senyumannya. Oreki menatap kepergiannya yang menghilang di belokan lorong. Pria itu bergumam dalam hati,

'Kenapa kau berbohong?'

.
.
.
.

Hari hari berlalu dengan normal. Setidaknya bagi sebagian orang. Namun, tidak bagi gadis yang pikirannya telah penuh oleh kegelisahan.

Selama ini ia terus menghindar dari Oreki, tapi apapun yang terjadi, hubungan mereka malah semakin dekat. Dan yang menyakitkan adalah, Chitanda selalu ada diantara mereka berdua.

Gadis itu mengacak rambut frustasi. Setiap malam ia lalui dengan isakan tertahan, menyadari heningnya dunia dikala malam menjemput.

Sejak saling mengenal dengan Oreki, entah mengapa kehidupannya malah semakin buruk. Hingga saat ini ia hanya bisa bersyukur karena memiliki Fukube disampingnya.

Disisi lain ia juga merasa menjadikan Fukube pelampiasan atas rasanya yang tak tersampaikan. Yang tak gadis itu tau selama ini adalah, perlakuannya yang seperti ini akan benar benar menyakiti Fukube suatu saat.

Tapi mau bagaimana lagi? Sebut saja (Y/n) egois.

Getaran terasa di saku, dengan segera ia meraih ponsel dan menekan beberapa tombol. Setelah membaca sederet tulisan, seketika wajahnya berubah menjadi masam.

"Shimizu-san? Kau baik baik saja?"

(Y/n) menoleh, menatap senpainya yang tengah menunjukkan ekspresi bingung. "Ah, tidak apa apa. Hanya pesan dari ibu."

Kazumi mengangguk angguk tanda mengerti. Ia melambaikan tangan saat beberapa teman dan kouhainya berpamitan. Mereka baru saja selesai mengikuti kegiatan ekskul.

"Memangnya ada apa?" Kazumi menatap (Y/n), meminta penjelasan.

Keduanya mulai berjalan beriringan, hendak keluar dari lingkungan sekolah. "Ibuku pergi ke rumah ku yang dulu, dan itu ada di luar kota. Dia menyuruhku untuk menginap di rumah Fukube-kun," jawab (Y/n) santai.

"Menginap? Kalian benar benar dekat ya?" Kazumi tersenyum, sedikit lega karena (Y/n) memiliki kenalan baik seperti Fukube.

(Y/n) mengangkat bahu santai. "Yah begitulah. Tapi aku malas kerumahnya, 'dia' selalu mencubiti pipiku hingga memerah." sejenak ia memegang kedua pipinya, bergidik ngeri mengingat perlakuan kejam salah satu anggota keluarga Fukube.

Kazumi terkekeh, gemas dengan sikap (Y/n). "Aku minta maaf atas nama nya. Ngomong ngomong, rumahmu yang dulu? Kau tidak lahir di kota ini?" ia bertanya, meski sudah cukup dekat, masih banyak hal yang belum ia ketahui tentang adik kelasnya ini.

(Y/n) mengangguk membenarkan. "Iya, aku pindah saat umur 8 tahun, kurasa," ucapnya agak ragu, sedikit lupa kejadian di masa lalu.

Ketua ekskul musik itu mengangguk, membenarkan kacamatanya. "Ah, kalau begitu, mau ku antar mencari Satoshi?"

Menggeleng pelan, (Y/n) menolak dengan halus. "Tidak perlu, terimakasih. Aku tau dia berada di mana."

"Ah baiklah. Kalau begitu, aku duluan." Kazumi melenggang pergi diiringi lambaian tangan setelah mendapat izin.

Gadis dengan surai sepaha itu mengangkat lengannya, menatap jarum jam yang mengarah pada angka 4. Ia menghela nafas lelah, kegiatan ekskul kali ini lumayan lama.

Gadis itu melangkahkan kakinya, dengan hati berharap temannya masih ada di lingkungan sekolah. Derap langkah mengiringi sunyi nya gedung sekolah karena hari sudah petang, kebanyakan murid telah meninggalkan tempat ini, kecuali beberapa orang yang memiliki urusan lebih seperti dirinya kali ini.

Setelah melewati belasan anak tangga, ia menghampiri pintu ruang ekskul. Ekskul yang begitu membingungkan baginya.

Tangannya mengetuk pintu pelan, berharap orang didalam mendengar dan membukakan pintu untuknya.

Pintu tergeser, menampakkan wajah malas dari seseorang dengan surai hitam. Hal itu membuat (Y/n) mundur beberapa langkah, terkesiap kecil.

"Ah, Shimizu-san, ada apa?" tanya Oreki. Tak lama kemudian Fukube menyusul, merasa penasaran dengan siapa yang datang.

"Eh? (Y/n)-chan!"

(Y/n) tersenyum canggung, melambaikan tangan untuk menyapa. "Hai," ucapnya singkat.

Iris mata (e/c) dan hitam bertubrukan, membuat degup jantung berpacu lebih cepat untuk sesaat. Tak ingin berlama lama, maniknya digulirkan pada orang yang lain. "Fukube-kun, apa pulangnya masih lama?"

Fukube mengangkat sebelah alisnya, merasa bingung tapi tetap menjawabnya. "Sudah beres beres kok, baru mau pulang. Memangnya kenapa?"

Sejenak (Y/n) menghela nafas, melipat kedua tangan di depan dengan punggung bersandar pada dinding. "Ibuku pergi ke luar kota, jadi mau tak mau aku harus menginap di rumahmu."

Oreki melirik Fukube yang tengah tertawa puas melihat penderitaan (Y/n). Entah kenapa, ia merasa, tidak rela?

"Kalian sering saling menginap?" tiba tiba pertanyaan keluar dari mulut Oreki.

(Y/n) menatap Oreki, mencoba bersikap senormal mungkin. Ia tersenyum, lebih ke menenangkan dirinya sendiri saat berhadapan dengan Oreki. "Iya, habisnya keluarga kami sangat dekat, jadi bukan masalah untuk sekedar menginap."

Raut wajah Oreki terlihat masam untuk beberapa saat. Entah bagaimana tapi rasanya ia membenci kata 'sekedar menginap' itu.

Fukube melirik temannya, seketika berekspresi kaget. "Oi kawan! Kau tidak berpikir aneh aneh kan?! Tenang saja, kami tidur di kamar terpisah kok!" Fukube menjelaskan yang bahkan Oreki pun tidak peduli.

Oreki melangkahkan kakinya pergi, meninggalkan sepasang sahabat yang sering 'menginap'. Oh astaga, kenapa Oreki sangat membencinya?

Fukube mengikuti langkah Oreki, dan menginstruksikan (Y/n) untuk mengikutinya. "(Y/n)-chan maaf, tapi aku ada urusan dulu di rumah Oreki, apa tidak apa apa ke sana dulu?"

"Eh? Rumah Oreki-san?" seketika wajahnya memerah, walau benar benar tipis. Mengunjungi rumah teman memang hal yang sangat biasa, tapi berbeda dengan (Y/n) yang sebelumnya hanya memiliki Fukube sebagai temannya, hal ini membuatnya sedikit ragu(?)

Sahabatnya mengangguk. "Jadi, bagaimana? Atau mau ke rumahku sendirian?"

Dengan yakin (Y/n) menggeleng. "Tidak, terimakasih. Aku butuh perlindunganmu dari kakakmu yang sangat menyebalkan itu." ia menggembungkan pipi kesal.

Fukube terkekeh, ia meraih kepala (Y/n) dan mengacak nya lembut. "Tenang saja, aku dengar kakak sedang sibuk dengan kuliahnya, dia jarang di rumah, pulang pun selalu malam."

Seketika wajah (Y/n) berbinar, merasa senang dan bahagia, terlepas dari malam mencekam yang ia pikir akan menghantuinya.

Sementara itu, Oreki yang berjalan lebih dulu hanya mendengarkan. Tidak. Sebenarnya ia tidak ingin mendengar semua itu. Sesekali ia melirik kebelakang, melihat interaksi keduanya yang begitu akrab.

"Cih"

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Continue Reading

You'll Also Like

35.7K 4.4K 45
Rival? Direbutin sama 4 orang secara diam diam, hmm menarik, berawal dari suka dengan diam diam kepadanya, saat menyukainya tiba tiba satu persatu ri...
45.6K 7.2K 15
Ketika kamu mendapatkan sebuah paket misterius dan ternyata isinya adalah sekumpulan para cowok ganteng versi chibi. ⚠︎ Warning! ➪ Cerita asli dan ka...
170K 26.9K 45
Seorang gadis kecil yang selama 7 tahun hidup dalam sangkar emas dilepas begitu saja pada dunia bebas oleh orang tuanya yang khawatir ia akan membawa...
9.9K 760 18
Suatu hari terjadi penyebaran virus yang dimana banyak yang mati secara mendadak sehingga hanya tersisa anak-anak kecil. seorang gadis Yang berawal h...