Titik Terang

By Faizaisna

327 151 33

[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Kisah ini mengangkat bahasan utama tentang keluarga. Afrin Dalilah Karima, seor... More

• Prolog •
Titik 1 • Tentang Bapak
Titik 2 • Tentang Ibuk
Titik 3 • Tentang Mas Dayyan
Titik 4 • Tentang Durah
Titik 5 • Sederhana
Titik 6 • Kejutan
Titik 7 • Tanpa Sebab
Titik 8 • Di Bawah Telapak Kaki
Titik 9 • Sebuah Kabar
Titik 10 • Di Antara Pilihan Sulit
Titik 11 • Menanti Bapak
Titik 12 • Firasat
Titik 13 • Keputusan
Titik 14 • Yang Dinanti [1]
Titik 15 • Yang Dinanti [2]
Titik 16 • Hati Seorang Ibu
Titik 17 • Apa Aku Bisa?
Titik 19 • Sebuah Kebohongan
Titik 20 • Sang Penolong
Titik 21 • Murka Seorang Ibu
Titik 22 • Bapak Kembali?
Titik 23 • Wanita Kuat
Titik 24 • Kambuh?
Titik 25 • Kemelut dalam Benak

Titik 18 • Berharap Keputusan Terbaik

12 4 0
By Faizaisna

~Titik Terang~
Oleh: Faiza Isna

SELAMAT MEMBACA
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar, dan cek typo, ya ✨

🌀🌀🌀

Sampailah Dalilah dan Shaima di pekarangan rumah keluarga Dalilah. Setelah berdebat panjang dan penolakan, akhrinya Dalilah mau diantar pulang oleh sang sahabat asalkan dirinya yang membonceng. Itulah Dalilah, di sisi lain ia akan berusaha menolak jika seseorang memberinya bantuan. Jika dirasa dirinya melakukan dan menjalani sesuatu itu sendiri maka ia akan berusaha menutup diri dari uluran pertolongan orang lain. Meskipun itu orang terdekatnya.

"Makasih, ya, Im, udah mau ngasih tumpangan," ucapnya sambil menampakkan deretan giginya.

"Hmm, sama-sama."

"Ih, Ima! Kok mukanya datar gitu." Dalilah merasa heran dengan sang sahabat.

Shaima mengedikkan bahu sebagai jawaban.

"Tuh, kan! Ngomong bisa, kan, Im? Kamu kenapa tho? Aku ada salah, ya? Padahal kita habis maaf-maafan loh tadi." Tangannya menggosok-gosok bahu Shaima dengan bibirnya yang melengkung ke bawah.

Shaima mengembuskan napasnya perlahan. "Aku cuma rada kesel aja sama kamu, La. Kenapa, sih kamu selalu mau ngalah bahkan hal sekecil ini doang?"

Guratan di dahi Dalilah muncul seolah menanyakan hal yang dimaksud.

Shaima memutar bola mata malas. "Maksudnya tuh gini. Kamu itu lho, ngapaian maksa buat bonceng aku. Padahal 'kan ini motorku dan aku tadi udah bilang kalau aku yang nganterin kamu sampe ke rumah. Tapi, kamunya malah ngeyel mau mbonceng. Aku tuh jadi ngerasa gak enak, malah ngerepotin kamu. Apalagi kamu 'kan berangkat ke taman jalan kaki terus ditambah lagi pulangnya mboncengin aku. Capek banget pasti."

"Udah?"

"Sak karepmu La!"

Dalilah meledakkan tawanya tentu dengan suara yang cukup nyaring alias cempreng hingga sang sahabat menutup kedua telinganya.

Lalu hening beberapa saat.

"Im, mampir dulu, yuk! Ada yang mau aku omongin lagi. Tadi pas di taman kelupaan."

Shaima mengangguk saja, mengiyakan ajakan gadis berkaca mata itu.

🌀🌀🌀

Dalilah mempersilakan sahabatnya untuk duduk terlebih dulu sementara ia berlalu ke dapur untuk mengambilkan minum. Eh, tapi bukan Dalilah, ya, yang menawarkan tapi Shaima sendiri yang meminta. Katanya haus.

Sejurus kemudian gadis berkaca mata itu datang membawa dua gelas minuman nutrisari rasa jeruk maroko.
"Nih, Im, diminum dulu, katanya haus 'kan, tadi?"

Shaima menerimanya dan berkata, "Hehehe iya, La. Makasih ya." Dalilah membalasnya dengan senyum simpul.

"Eh, tadi katanya mau ngomongin sesuatu. Apa?" tanya Shaima setelah meneguk minuman itu hingga bersisa setengah.

"Semoga apa yang bakal aku omongin nggak menjadi beban pikiranmu, ya. Please! Pokoknya setelah aku cerita hal ini, kamu nggak boleh marah ataupun sedih. Oke?"

"Ih, Ila! Apaan? Jangan aneh-aneh kamu, ya!"

"Oke?" Dalilah menyodorkan jari kelingkingnya.

Shaima membalas hal itu. "Iya, oke."

"La ...."

Baru saja mau berbicara, namun panggilan sang ibu yang dibarengi kemunculannya ke ruang tamu mengehentikan pergerakan bibir Dalilah.

Sontak kedua gadis itu menoleh pada wanita paruh baya dengan setelan daster batik yang melekat pada tubuhnya.

"Eh, ada Nduk Ima. Dari tadi, Nduk?" tanyanya pada Shaima yang sudah ia anggap sebagai putri sendiri.

"Masih sebentar kok, Bu," jawabnya sembari tersenyum.

Bu Maida mendudukkan dirinya di samping Dalilah. Berniat nimbrung. Ia menatap dua gadis di sampingnya secara bergantian.

"Ekhem. Kok malah pada diem-dieman? Ada apa, hm?"

Shaima menyahut, "Itu Bu, tadi Ila katanya mau ngomong sesuatu sama aku."

"La?"

"Hehe, iya, Buk."

"Atau Ibuk ngganggu, ya? Kalau gitu Ibuk ke dalem lagi aja, ya?"

Segera Dalilah menanggapi sebelum sang ibu beranjak. "Nggak usah Buk, di sini aja nggak papa kok. Lagian ini juga menyangkut hal yang kita obrolin kemarin itu lho."  Gadis itu tersenyum. Sementara sang ibu tampak berpikir sejenak.

"Mungkin langsung aja kali, ya. Aku berencana mundur dari kampus, Im."

Sebentar, sebentar. Shaima belum bisa mencerna dengan jelas.

"Maksudmu?"

"Aku berniat untuk nggak nerusin kuliahku, Im."

"La? Kenapa?" Raut muka Shaima berubah khawatir. Ia bukan terkejut justru khawatir.

Dalilah menggenggam tangan kiri sang ibu dengan tangan kanannya. "Aku mau bantu Ibuk kerja aja. Iya 'kan, Buk?"

Bu Maida tersenyum tipis. "Kamu beneran tho, La?" Dalilah mengangguk.

Setelah melihat interaksi ibu dan anak itu, Shaima bertanya pada sang sahabat, "Sekarang aku yang tanya, kamu beneran yakin, La? Terus impian kamu buat jadi Psikolog gimana? Kamu masuk ke universitas itu udah berjuang keras banget loh. Kamu beneran rela?" Tatapan Shaima sendu.

Sekali lagi, Dalilah mengangguk.

"Im, bener apa yang kamu omongin. Dari lubuk hati yang terdalam. Aseek." Shaima mendengus sebal. Masih sempat-sempatnya Dalilah melucu.

"Eh, maaf, Buk, Im. Biar nggak terlalu tegang, hehe."

Keduanya kompak menjawab 'hm'.

"Bismillah, aku serius, ya, Im. Keputusan buat mundur dari perkuliahan terlebih dari jurusan psikolog yang sedari dulu udah jadi impianku emang berat. Tapi, kalau aku tetap maksa diri buat terus kuliah, sama aja aku egois. Kamu tau kenapa?" Shaima menggeleng.

"Karena untuk saat ini cuma aku yang harus berusaha kerja keras buat menuhin kebutuhan sehari-hari. Dan, Ibuk beberapa hari yang lalu udah diberhentiin dari pekerjaannya."

Mendengar Bu Maida yang diberhentikan dari pekerjaannya tentu membuat Shaima terenyuh. Pasalnya pekerjaan yang digeluti Bu Maida tersebut berhubungan dengan usaha yang dimiliki keluarganya, yaitu milik sang Tante. Pengrajin batik. Ia sangat merasa tidak enak.

"M-maaf, Bu, La." Shaima menunduk.

"Eh-eh, Nduk, kamu nggak salah kok. Nggak usah minta maaf, ya." Bu Maida tersenyum tulus.

"Ima, aku harap kamu nggak iku kepikiran tentang keputusan ini, ya. Kamu nggak usah cari cara buat bantu aku tetep kuliah. Please, jangan merasa kasihan sama aku, ya. Kamu pasti tau, 'kan, setinggi apapun sebesar apapun mimpi juga cita-cita kita, semua nggak akan bisa berjalan mulus bahkan sulit terwujud kalau bakti kita pada Ibu itu kita letakkan di nomor sekian.

Dan, aku nggak mau hanya karena keegoisanku pengen tetep lanjut kuliah, tapi hal itu malah membuat Allah nggak ridha. Meskipun sebenarnya Ibuk mengiyakan aja, tapi aku takut, Im. Cukup sampai detik ini  aku jadi beban orang tua. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk aku berusaha memperbaiki baktiku pada Ibuk. Aku berharap ini memang keputusan yang terbaik"

Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Dalilah langsung menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya naik turun, ia menangis. Lagi. Lantas Bu Maida dan Shaima memeluk Dalilah dari samping sembari mengelus bahu gadis itu. Keduanya ikut menitikkan air mata.

Di tengah suasana haru itu, terdengar suara getar ponsel yang merupakan milik Shaima. Ia merogoh benda persegi itu di saku celana kulotnya.

Setelah membaca nama yang tertera di layar, ia pamit keluar. "Maaf, Bu, La, aku keluar sebentar, ya." Keduanya mempersilakan.

🌀🌀🌀

Shaima keluar dan memilih mengangkat panggilan itu di bawah pohon mangga.

"Assalamu'alaikum, halo?"

"...."

"Harus sekarang, ya?"

"...."

"Oh gitu. Lokasi di mana?"

"...."

"Oke, mungkin sekitar lima belas menit lagi bakal sampe. Nggak papa, ya?"

"...."

"Iya, wa'alaikumussalam."

Panggilan itu usai. Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 17.10 waktu setempat. Ia kembali masuk ke rumah sahabatnya.

Dari depan teras, terlihat Bu Maida dan Dalilah yang tengah berbincang. Namun, kini Shaima tak lagi melihat raut sedih dari keduanya. Ia pun meyakinkan pada diri untuk tak berlarut sedih. Ia berusaha percaya dan mendukung keputusan yang diambil sang sahabat. Meski ada rasa iba dalam hatinya dan tergerak untuk membantu, namun ia urungkan hal itu. Jika ia bersikap memaksa, tentu tak baik untuk ke depannya. Ia tahu, Dalilah adalah seseorang yang pekerja keras, tak mudah menerima uluran bantuan, dan serius dengan apa yang ia putuskan.

"Ibu, Ila, aku pamit, ya. Ternyata ada urusan mendadak. Maaf nggak bisa lama-lama di sininya."

Shaima mendekat pada Bu Maida dan mencium tangan wanita itu.

"Sering-sering main kesini lagi, ya. Rumah Ibuk selalu terbuka buat kamu," tutur Bu Maida. Shaima mengangguk seraya tersenyum.

Beralih pada Dalilah. "La, kalau kamu perlu apa-apa tolong hubungi aku, ya. Jangan sampai aku nggak tau apapun tentang kondisi sahabatku ini. Apalagi habis ini kamu nggak kuliah, pasti bakal jarang ketemu."

"Iya, Imaku sayang. Insyaallah. Kamu juga sering dong main ke sini. Oh ya, kamu masuk kuliahnya kurang berapa Minggu, sih?"

"Sekitar seminggu lagi. Nggak kerasa, ih. Padahal liburan semester genap tuh sekitar tiga bulan loh. Sekarang udah mau masuk aja." Shaima bergaya menampakkan muka sedihnya.

"Halah, nggak usah sok-sokan sedih." Dalilah tertawa. Begitupun sang sahabat.
Bu Maida yang melihat keduanya ikut tersenyum.

"Yaudah kalau gitu, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," balas ibu dan anak itu bersamaan.

🌀🌀🌀

Gimana menurut kalian bab ini?
Semoga bisa ngikutin alurnya, ya. 😇

Syukron wa Jazakumullah Khairan sudah berkenan mampir dan membaca kisah ini 🙏

Selalu jaga kesehatan.

Jangan lupa membaca atau mendengar bacaan Al-Qur'an hari ini 💚

Luv yu All ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

BROTHERS. By sillytalkie

General Fiction

526K 35.8K 39
Ini cerita bxb jika tidak suka, just leave it and don't waste ur time to hate or curse me. "Gua masukin." - Ren "ENGGAK MAU. SAKIT." - Lucas Daren da...
69.3K 11.9K 48
Ketika hidup seorang SHANILA ADIRA yang hancur semenjak Ibu dan Adik tersayang nya harus meninggalkan nya karena kecelakaan mobil beruntun, Tiba-tiba...
771K 24.1K 72
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
260K 499 16
hai gays cerita ini khusus menceritakan sex ya, jadi mohon yang pembaca belom cukup umur skip saja☺️🗿, sekumpulan cerita dewasa 18++