Sourire

By welldonewella

9.8K 1.2K 310

Sebuah kisah tentangnya, yang ingin berjuang bersama dirinya sendiri. "Aku sudah terbiasa dengan rasa rindu y... More

One Smile for You
00 : Prolog
01 : Pertemuan
02 : Berteman
03 : Perdebatan
04 : Makan Malam
05 : Menghindar
06 : Baik-baik Saja
07 : Bersikeras
08 : Kesal
09 : Nama Itu
10 : Penolakan
11 : Runtuh
12 : Pengakuan
14 : Panik
15 : Ampunan
16 : Latihan
17 : Medali
18 : Tidak Normal
19 : Berubah
20 : Keputusan

13 : Pernikahan

387 64 28
By welldonewella

Ada penggabungan di sini, jadi chap ini terasa lebih panjang.

Siapa yang kangen Ryo dan Yuan?
Siapa yang berharap bisa jadi Yuan?

Atau ada yang mau jadi Neida aja biar bisa nikah ama papa Aria?

Enjoy ya

----------

[Sourire]

Hari pernikahan yang dinantikan tiba. Pernikahan yang hanya disambut bahagia oleh Neida dan Aria. Tidak untuk Arash. Remaja itu berdiri mematung di depan cermin di toilet. Berharap hari ini cepat berlalu. Bahkan berharap hari ini tidak terjadi. Tampilannya tidak begitu rapi karena tidak ada yang membantunya. Sang ibu sibuk berdandan di ruang pengantin, membuatnya tidak bisa menghampiri sang ibu.

Beruntung setelah sang ibu selesai dengan riasannya, Arash bisa bertemu dengan sang ibu. Ia akan menjadi pendamping Neida menuju altar, menemui calon suaminya. Arash menyerahkan lengan kanan agar sang ibu bisa menggandengnya. Sebelum melangkah, Neida memperhatikan Arash dari ujung kepala sampai kaki. "Kamu tidak pakai dasimu, Ar?" tanya sang ibu.

Arash menggeleng sambil tersenyum tipis. "Tidak usah, Bu. Begini saja sudah cukup. Sudah tampan kan?" canda Arash seadanya. Ia hanya berusaha untuk menutupi rasa tidak sukanya di hari bahagia sang ibu.

"Bu, apakah Ibu benar-benar mencintai Paman Aria?" Pertanyaan Arash di tengah langkah mereka membuat Neida terhenyak dan langsung menoleh pada Arash yang berekspresi datar dengan tatapan lurus ke depan.

"Ibu tidak akan menikahinya kalau Ibu tidak mencintainya, Ar." Jawab Neida pelan.

"Ibu tidak mencintai ayah lagi?" Sekali lagi, Neida tertohok. Kali ini langkahnya terhenti, membuat Arash memandang sang ibu. "Sudah tidak ada lagi ruang untuk ayah di hati Ibu?" Arash memperjelas pertanyaannya.

Neida menggeleng sambil tersenyum kikuk. "Kita tidak perlu membicarakan ini, Arash. Ini hari penting, kau tahu kan?"

Arash tersenyum miris sambil mengangguk dan mereka melanjutkan langkah. "Ya, aku tahu. Ini adalah hari penting untuk Ibu, tapi tidak untukku." Sambung Arash samar. Neida terganggu dengan jawaban Arash tapi ia berusaha menyimpan perasaan apa pun yang harusnya meluap untuk menjaga kelancaran acara.

Saat tangan sang ibu sudah berpindah ke tangan pengantin pria, Arash mengambil posisi untuk duduk di kursi paling depan. Menjadi salah satu saksi pengucapan ikrar setia sang ibu dengan pria lain yang selama ini selalu menjadi asing baginya.

Semua tamu undangan berdiri saat melihat Neida yang digandeng oleh Arash di depan gerbang dedaunan yang menambah cantik pesta pernikahan sederhana itu. Arash tidak tersenyum sumringah seperti sang ibu, tapi ia berusaha untuk tidak terlihat murung.

Yang pemimpin acara mengatakan beberapa hal, dilanjutkan dengan ucapan janji oleh Aria. Kemudian, saat giliran Neida tiba, Arash berdiri sambil berseru, "Berhenti!"

Semua mata tertuju padanya dengan tatapan bingung. Neida dan Aria tidak kalah terkejutnya. Sambil mengatur napasnya, Arash menegakkan punggung, mengangkat kepalanya dengan berani dan berkata, "Aku tidak menyetujui pernikahan ini."

Tamu undangan menampilkan reaksi yang sama. Terkejut. Neida mendelik kesal pada Arash yang menatap sendu pada sang ibu.

"Ibu ... maaf." Gumam Arash sangat pelan, hanya terlihat gerakan bibirnya saja. Lalu, dengan langkah cepat ia berjalan keluar dari venue pernikahan. Tidak memedulikan panggilan Neida untuknya, Arash terus melangkah, karena ia yakin sekali bahwa ia tidak seharusnya berada di tempat ini. Berada dalam situasi ini.

***

Jun berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Ryo. Kemoterapi harus dilakukan sejak seminggu yang lalu. Beberapa hari tampak lancar-lancar saja, tapi hari ini terasa sedikit berbeda. Efek dari kemoterapi membuat Jun sakit kepala. Hari ini, Ryo muntah tepat setelah menyelesaikan kemoterapinya. Saat beristirahat di kamar rawat, tubuh Ryo panas dan ia mulai kejang. Tidak boleh ada yang masuk ke dalam kamar rawat sampai tindakan medis selesai dilakukan.

"Jio, bagaimana?" serang Jun saat Jio keluar dari ruangan Ryo. Jio hanya menjawab dengan senyum dan isyarat mata yang mengajak Jun untuk mengikutinya ke ruang dokter.

Sementara Maria langsung masuk ke ruang rawat saat Jio sudah memperbolehkan. Didekatinya Ryo yang masih dalam keadaan lemah, dengan wajah pucat dan peluh yang masih mengalir. Maria menyeka air yang membasahi sudut matanya. Ia mengusap pelan dahi Ryo sambil meniti wajah indah sang cucu.

"Cucu kesayangan Nenek. Kenapa Ryo harus kesakitan seperti ini? Bolehkah sakitnya Nenek saja yang ambil?" lirih Maria sambil mengecup puncak kepala Ryo. Bukannya Ryo tidak mendengar, hanya saja remaja itu terlalu lemas hingga untuk mengeluarkan rintihan saja tidak sanggup. Ia bahkan tidak bisa membuka mata, meski ia tak ingin terlelap. Ryo hanya bisa merasakan sentuhan sang nenek yang terus menenangkan.

"Ryo harus kuat ya. Untuk ayah, untuk Nenek, dan juga Yuan. Semua sayang Ryo. Jadi, Ryo harus terus semangat ya." Bisik Maria dengan mata berkaca-kaca. Ryo mengernyitkan dahi. Ingin sekali ia berteriak, mengiyakan perkataan sang nenek. Namun apa daya, kelopak matanya terasa berat. Belaian Maria membuat Ryo merasa semakin lama semakin tenang, hingga kerutan di dahinya semakin menghilang dan Ryo bisa terlelap.

Beberapa jam kemudian, Ryo bangun dengan kepala yang terasa berputar. Yuan yang tadinya membaca buku, buru-buru menutup bukunya dan mendekati ranjang Ryo. "Akhirnya bangun juga. Mau makan? Aku pesan ya." Tukas Yuan sambil mengambil ponsel di atas meja.

"Tidak lapar, Yuan." Sahutnya dengan suara serak. Yuan mengangguk, tapi jarinya tetap bergerak, memesan makanan lewat aplikasi. Ia harus tetap menyiapkan makanan dan memaksa Ryo makan tanpa perlu persetujuan.

"Yuan, tadi aku kenapa ya?" tanya Ryo dengan mata menerawang ke langit-langit ruangan.

Yuan menghela napas panjang sambil memijat pelan lengan sang kekasih. "Demam, lalu kejang. Kau sempat bangun, tapi muntah-muntah. Ingat tidak?"

Ryo mengangguk samar sambil menelan ludah dengan susah payah. "Aku ingat tadi ada nenek juga di sini. Aku mendengar suaranya. Ke mana nenek sekarang?"

"Pulang ke rumah. Dia harus ganti baju dan beristirahat. Kurasa nenekmu sedikit kelelahan. Tadi hampir pingsan saat aku datang, sepertinya kurang tidur."

"Oh ..." Ryo mengangguk samar, lalu menghela napas panjang. "Aku ini memang menyusahkan ya, Yuan."

"Jangan bilang begitu, Ryo." Sahut Yuan santai sambil mengambil air dari dispenser dan menyiapkan hal lain untuk memberikan Ryo makan nanti.

"Kalau tidak begitu, lalu apa?"

Yuan meletakkan gelas berisi air di atas nakas, lalu melemparkan tatapan tajam pada Ryo.

"Ryo, tidak ada yang mau menjadi sakit. Tidak ada yang bisa mengatur keadaan seperti ini. Kita hanya bisa berusaha untuk mengendalikan emosi. Tidak terlalu sedih, tidak pula mengabaikan. Kuharap, kau bisa melakukan pengendalian itu. Kau tidak boleh merasa paling menyusahkan karena pada kenyataannya semua orang rela mengurusmu." Omel Yuan dengan suara yang tidak meninggi. Ia tetap mengatur nada bicaranya agar tidak terdengar menyentak Ryo.

"Semua orang mengurusku, itu yang menyulitkanku, Yuan. Aku menjadi rasa bersalah. Kau tahu rasanya?"

"Iya, aku tahu rasanya, tapi apa yang akan kau lakukan untuk menghilangkan rasa bersalah itu?"

Ryo memalingkan wajah dan menghela napas panjang. "Dengan menghilang ..." Ryo kembali menatap Yuan. " ... mungkin?"

Yuan berdecih sambil tersenyum miris. "Sudah kuduga. Kau akan berpikiran seperti itu. Coba kau pikir lagi. Apa kau tidak malu menjadi seorang atlet terbaik yang ternyata hanya memiliki pemikiran sependek itu? Untuk apa pencapaian tinggimu kalau hanya dinodai dengan pemikiran rendahan seperti itu?"

Ryo bungkam dengan pertanyaan pedas sang kekasih. Yuan-nya ini memang manis, tapi mulutnya bisa menjadi sarkas tiada ampun, jika memang diperlukan.

"Reaksi tubuh mengikuti pikiran, Ryo. Kau harus berpikir bahwa kau akan sembuh, maka tubuh dan hatimu akan mengikuti rencana yang kau ucapkan dalam hatimu itu. Untuk menjadi kuat, untuk sembuh, untuk terus menjalani hidup. Kau sayang pada ayahmu kan? Kau mau meninggalkan ayahmu dalam kesedihan? Tidak kan? Kalau memang tidak bisa menjadikan dirimu sendiri sebagai motivasi, maka ingatlah ayahmu yang selama ini menjunjung tinggi kamu."

Yuan duduk di samping Ryo, lalu meraih tangan remaja itu. Ia tempelkan punggung tangan Ryo pada pipinya. "Kalau kau berusaha, setidaknya rasa bersalahmu akan berkurang sedikit. Percayalah padaku."

Ucapan lembut itu menenangkan hati dan pikiran Ryo yang seperti benang kusut. Melilit tak menentu satu sama lain, seperti tak ada ujung penyelesaiannya. Ryo adalah seorang remaja yang aktif dan tiba-tiba harus mengurangi aktivitas membuatnya stres.

"Yuan ..."

"Eum?"

"Kira-kira, kau tahu alasannya ibuku meninggalkan kami?"

Yuan menggeleng sambil menjawab santai, "Tidak."

"Kalau dikira-kira?"

Yuan mengernyit, pura-pura berpikir. "Eum ... Tetap tidak tahu." Sahutnya sambil mengangkat bahu.

Ryo mendengus sebal karena ia tahu Yuan tidak sungguh-sungguh berpikir. Percakapan mereka terjeda karena Yuan harus mengambil pesanan makanannya di lobi. Gadis itu bergerak cepat agar tidak meninggalkan Ryo terlalu lama.

"Kenapa beli makanan, Yuan? Aku kan tadi sudah bilang tidak mau makan." Protes Ryo saat Yuan sibuk mengeluarkan mangkuk-mangkuk dari plastik.

"Itu kan tadi. Memang sekarang kau masih tidak mau makan? Pasti sebenarnya kau sudah lapar kan?" desak Yuan yang membawa mangkuk berisi bubur ke hadapan Ryo. Gadis itu membantu Ryo untuk duduk. Dengan wajah merengut, Ryo memandangi Yuan.

"Tidak usah menatapku begitu. Ayo makan. Kalau tidak mau, ya nanti aku saja yang makan, tapi itu berarti kau harus makan sendiri tanpa aku. Aku juga tidak mau datang lagi ke sini kalau kau tidak makan sekarang. Aku malas mengurus orang yang keras kepala."

Ryo mendelik sambil berdecak kesal pada Yuan. Membuat si gadis terkekeh, lalu mulai menyuapi kekasihnya sedikit demi sedikit. Di suapan terakhir, Ryo menggeleng. Perutnya sudah penuh sekali. Bahkan ia ingin muntah, tapi berusaha ditahannya.

"Mau muntah, Ryo?" tanya Yuan sambil membersihkan mulut Ryo dengan tisu basah. Ryo menggeleng. Ia tidak ingin merepotkan Yuan lagi dengan kekacauan yang akan ia buat. Jadi sebisa mungkin Ryo menahan rasa mualnya.

"Yuan ..." Ryo lagi-lagi mencoba menarik perhatian sang kekasih yang " ... salahkah aku kalau membenci ibuku sendiri?" tanyanya.

"Apa alasanmu membencinya?"

"Karena dia meninggalkanku dan ayah. Karena dia menampar ayah. Karena dia membuat aku berpikir bahwa aku sudah tidak bisa bertemu ibu dan adikku lagi."

"Hanya tiga hal itu sudah membuatmu benci ibumu, Ryo?" tanya Yuan. Ryo mengernyit. Ia merasa rasa bencinya tumbuh karena alasan segunung, tapi ia sadar bahwa ia hanya bisa menyebutkan tiga alasan itu.

"Dari mana kau yakin kalau rasa yang kau miliki adalah rasa benci, Ryo?" Pertanyaan Yuan membuat Ryo merenung. Ia juga tidak begitu yakin dengan perasaannya sendiri. Apakah yang ia rasakan patut disebut dengan kebencian?

"Mungkin saja yang kau rasakan bukan rasa benci. Yang sangat besar memenuhi hatimu saat ini adalah kekecewaan, iya kan?"

Ryo menyahuti, dalam hati. Terlalu gengsi di depan Yuan untuk mengakui bahwa ia sungguh kecewa dengan kebohongan sang ayah dan tindakan sang ibu meninggalkan dirinya.

"Ryo benci dengan Arash juga?" tanya Yuan.

Ryo mengeraskan rahang. "Dia ikut dengan ibu, jadi dia sama saja seperti ibu." Jawabnya. Yuan berdecih lalu tertawa remeh.

"Alasanmu itu kurang bisa dipahami akal, Ryo. Arash kan tidak tahu apa-apa. Dia juga dibohongi oleh keadaan, tapi apakah dia membencimu? Tidak kan? Dia bahkan selalu datang, berusaha untuk berada di sampingmu meski kau menolaknya."

Ryo tertegun. Ia memikirkan ucapan Yuan yang tidak salah. Ryo benar-benar egois. Menempelkan keyakinan pada keegoisannya yang tidak ingin menerima kehadiran Arash. Ia kecewa, pada siapa saja yang berhubungan dengan kebohongan yang selama ini disajikan padanya.

Yuan membiarkan Ryo yang terdiam dan membersihkan ruang rawat yang terlihat sedikit berantakan karena sampah makanan. Gadis itu dengan giat mengatur barang-barang di kamar Ryo agar terlihat rapi dan menciptakan suasana nyaman. Ia bahkan meneteskan cairan aroma therapy pada alat pelembab udara agar Ryo merasa tenang.

Setelah selesai dengan segala kegiatannya, Yuan bersiap untuk pulang. Ia menyandang sling-bag dan mendekati Ryo. Hendak memberikan usapan lembut di lengan sang kekasih sebagai salam perpisahan. Saat Yuan selesai mengusap dahi Ryo, tatapannya terpaku pada mata Ryo yang berkaca-kaca.

"Ada apa, pemuda kuatku?" tanya Yuan dengan sangat lembut dan diusapnya sudut mata Ryo yang basah.

"Yuan ... Apakah aku masih boleh ..." suara Ryo tercekat. " ... merindukan ibu?"

Hati Yuan tergores mendengar suara sang kekasih yang bergetar. Tanpa diminta, Yuan memeluk Ryo yang sudah menangis tersedu. "Boleh, Sayangku. Tentu saja boleh. Kau berhak untuk mengharapkan ibumu agar kembali ke sisimu." Tutur Yuan sambil mendesis menenangkan sang kekasih.

Yuan mengeratkan dekapan, membiarkan kekasihnya mengeluarkan rasa rindu itu dalam tangisan.

To be continued

[Sourire]

Mamanya Anka ini kebanyakan istirahat, makanya kakak Ryo jadi terbengkalai.

Jadi, maaf ya kalau lama sekali update si kakak atlet satu ini.

Love You

Wella

14 Maret 2020

Repost

26 Agustus 2021

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 5.3K 10
Kocok terus sampe muncrat!!..
274K 713 55
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...
1.3M 78.4K 53
"Pernikahan itu terjadi atas dasar kontrak bukan cinta, dan aku hanya pengganti bukan pemilik." - Gracellina Edellyn Tak terlintas barang secuil pu...
150K 718 15
Yang orang tau Kiara Falisha adalah gadis lugu, imut, lucu, menggemaskan juga lemot. Tapi di depan seorang Faidhan Doni Advik tidak seperti itu. Pun...