ATLANTAS || END

By badgrik

276K 21.9K 2K

[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam m... More

Prolog
01. Permulaan
02. SMA Delton
03. Insiden
04. Tawuran dan Pencarian
05. Jaket
06. Jalan-Jalan Ke Mall
07. Abel Hilang
Cast + Nama + karakter Pemain
08. Markas Vagos
09. Berlalu
10. Bertemu Kembali
11. Apartemen
12. Berangkat Bersama
13. Penasaran
14. Turnamen Futsal
15. Atlantas Dan Alex
16. Bimbang
17. Gosip Sekolah
18. Simpang Siur
19. Gudang Sekolah
20. Fakta Yang Sebenernya
21. Syndrome Sandi
22. Senja Di Rumah Sakit
23. Antara Abel, Atlantas & Alex
24. Orang Tua Abel
25. Hal Indah Di Rumah Atlantas
26. Penyerangan
27. Antara Bandung Dan Jakarta
28. Cerita Di Dufan
29. Malam Minggu
30. Setan
31. Kotak Bekal
33. Mimpi Abel
34. Meniti Ke Akhir Cerita
35. (Bukan) Akhir Segalanya
Ucapan Terima kasih
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3 • Special POV Atlantas
Cerita Baru
Grub Atlantas
Info Bahagia?
Atlantas Versi Baru?

32. Tentang Atlantas

4.1K 386 33
By badgrik

“Yang sering tidak kita pahami adalah bahwa setiap luka yang kita alami, penyembuh utamanya adalah diri sendiri. Berharap pada orang lain untuk satu-satunya penyembuh adalah cara membuat luka itu lebih parah lagi,” —Abel.

🏍️🏍️🏍️

Hari ini banyak guru-guru yang tidak berada di sekolah karena ikut menonton acara Lomba Nasional yang salah satu pesertanya adalah dari siswa-siswa Delton sendiri.

Abel berlari dengan cepat menyusul Atlantas yang diliputi rasa marah.

Di depannya—hanya berjarak beberapa meter, tampak Atlantas tengah memukuli seseorang di koridor dengan brutal.

“SIALAN! LO APAIN CEWEK GUE, HAH?!”

Abel meringis pelan. Membelah sedikit kerumunan yang menghalangi langkahnya. Dia ingin bergerak maju, namun ditahan oleh seseorang.

“Kak Sean?”

“Jangan nekat. Lo diam aja di sini.”

“Tapi, itu Kak Atlas—”

“Biarkan dia.”

Abel mengepalkan kedua tangannya. Rasanya dia ingin cepat-cepat menarik Atlantas dari pertengkaran saat ini. Sebab, semakin lama kerumunan di koridor semakin banyak. Sorak-sorai terdengar bergemuruh karena merasa semangat.

“Kak Atlantas kenapa bisa marah gitu, ya?”

“Kayaknya ada masalah deh sama pacarnya itu. Tadi dia sempat ngomong 'lo apain cewek gue', kan?”

“Gue yang ngeri, anjay.”

“Heh, bisa masuk penjara lo ngomong anjay.”

Abel sudah tidak tahan lagi. Dia langsung masuk ke area Atlantas dan menarik pergelangan tangan cowok tersebut—menggenggamnya kuat.

“LO?!”

“Kak Atlas, stop.” Kedua mata Abel berkaca-kaca. “Ki—kita pergi dari sini, ya.”

“Lepas!”

Abel menggeleng kuat. Keadaan di sekitar mereka seketika hening 

“Enggak!” tolak Abel. “Kita ke UKS, ya. Abel obatin lukanya.” Abel mengusap pelan punggung tangan cowok tersebut. “Mau, kan?”

“Abel janji, Abel bakalan cerita semuanya. Tapi, kita ke UKS sekarang, ya.”

“Kalau mau, Abel mau kabulin satu permintaan Kak Atlas. Tapi, please, kita ke UKS sekarang, ya. Tangan Kak Atlas pasti sakit, kan?”

Abel menunduk. Menatap buku-buku jari Atlantas yang lecet. Tanpa sadar Abel terisak pelan.

“Pasti sakit, kan?”

Abel  menatap wajah Atlantas yang sedikit lebam. Dia melangkah lebih dekat. Menyentuh pipi kiri cowok tersebut.

Tatapan Atlantas tidak berlatih sama sekali dari wajah Abel. Dari sedekat ini, aroma shampo Abel mampu menenangkannya.

Tanpa memperdulikan banyak orang di sana, Atlantas meletakkan dahinya di  pundak kanan Abel. Dan perlahan-lahan raut tegang di wajahnya menghilang. Namun, wajahnya tetap datar seperti biasanya.

“Satu permintaan. Kita ke Apartemen gue sekarang,” bisik Atlantas pelan.

Lalu, tanpa banyak bicara lagi, Atlantas langsung menarik tangan Abel. Membawanya keluar sekolah. Langkah besar cowok tersebut membuat langkah kaki Abel terseok-seok.

“Astaga, Kak Atlas. Pelan-pelan.”

Banu meneguk saliva pelan. “Tadi, adek gue, kan? Dia berhasil tenangin amarah Atlantas? Hanya dengan ucapan?” Banu merasa linglung. “YANG BENAR SAJA?!” tanyanya tidak percaya.

Sean mengikuti langkah Atlantas dan Abel. 

“Ini benar. Adek lo berhasil, Nu. Sama kayak dulu.”

Banu kaget. “Lo tau?”

Sean tersenyum miring. “Lo lupa? Gue kenal Atlantas dari dia masih kecil.”

“Jadi, sejak kapan lo tau?”

“Setelah Abel di suruh datang ke rumah putih. Dari situ gue sadar kalau Abel adalah cewek yang sama dengan belasan tahun.”

“Ternyata lo juga udah tau, ya. Sia-sia usaha gue buat nahan Abel biar nggak terlibat sama Atlantas. Eh, tau-taunya gagal karena Abel sendiri yang datang ke Markas Bandidos.”

“Takdir,” sahut Sean. “Hanya waktu yang berubah. Tapi, mereka tidak. Abel tetap bisa menenangkan Atlantas kayak dulu.”

Banu menghembus napas. “Apa iya? Atlantas itu sakit. Gue takut Abel kenapa-kenapa.”

“Abel itu obatnya. Lo tenang aja.”

“Lo juga!” Banu mendelik. “Lo sakit jiwa.”

“Gue tau,” ucap Sean lalu berlalu begitu saja.

“Lama-lama temenan sama orang sakit jiwa gue jadi takut ketularan anjir.”

Banu menatap langit yang biru. “Kalau begini ceritanya ... apa yang akan terjadi ke depannya? Abel dan Atlantas?”

“Mereka bisa tidak ya sama-sama?”

🏍️🏍️🏍️

Abel memberikan obat merah ke buku-buku tangan Atlantas yang lecet lalu melilitnya menggunakan kain kasa.

“Nah, sudah selesai.” Abel tersenyum lebar. Dan bergegas merapihkan perkakas P3K yang berada di atas meja kaca.

Saat ini mereka tengah duduk di ruang tengah Apartemen Atlantas setelah hampir lima belas menit berjalan dari sekolah. Bukankah sudah pernah Abel katakan kalau letak Apartemen Atlantas ini sangat strategis.

“Kak Atlas mau minum? Biar Abel ambilin air putih.”

“Nggak.”

“Atau mau makan? Eh, itu tadi bekal yang Abel kasih udah di makan belum?”

“Sudah.”

“Enak nggak?”

“Iya.”

Abel merasa senang. “Nanti besok Abel buatin lagi, ya.”

“Terserah.”

Abel menghembus napas. Kenapa sekarang Atlantas terasa semakin cuek.

“Kak Atlas marah sama Abel?”

“Nggak.”

“Terus kenapa?” tanya Abel sungguh-sungguh. “Jangaj bikin Abel khawatir. Kakak kenapa? Kok, diem aja.”

Atlantas tetap diam.

“Kak ...,” panggil Abel setengah geregetan.

“Yaudah, deh, kita diam-diaman aja kayak gini.”

Abel bersandar di sofa seraya melipat kedua tangannya di atas dada. Mengikuti Atlantas yang benar-benar diam membisu.

Sepuluh menit berlalu.

Atlantas masih setia pada kebisuannya, sedangkan Abel sudah merasa geram.

Diliriknya cowok tersebut. Apa sebaiknya dia pura-pura marah saja seperti di novel-novel? Biasanya, sih, manjur. Iya kan?

Abel langsung berdiri.

“Terserah, deh. Mendingan Abel balik aja ke sekolah! Abel nggak mau bolos.”

Abel berjalan menuju rak sepatu dekat pintu. Diambil sepatu dengan ragu dan mulai memasangnya dengan pelan.

Kok, nggak ditahan, sih? batin Abel meringis.

“Kak Atlas, Abel duluan ya ke sekolah.”

Atlantas tetap tidak bergeming. Abel jadi merasa kecewa. Lagipula apa yang bisa dia harapkan? Atlantas bukanlah tipikal cowok seperti yang dia baca di kebanyakan novel.

“Abel permisi.”

Dan setelah itu Abel berjalan gontai di sepanjang lorong Apartemen. Dia membalikkan badan sebentar—memastikan jika Atlantas benar-benar tidak mengejarnya sama sekali.

“Apa Abel jangan kayak gini ya tadi? Seharusnya Abel nemenin Kak Atlas, kan, di sana. Pasti Kak Atlas lagi sedih.”

Abel menatap langkahnya sendiri. Mengutuk sifat kekanak-kanakan yang tidak pernah hilang dari dirinya.

“Pasti Kak Atlas marah sama Abel.”

Abel masuk ke dalam lift, dan bersandar di paling pojok setelah menekan angka 1. Dia hanya memejamkan kedua matanya selagi menunggu lift tersebut tertutup.

“Apa yang harus Abel lakukan?” tanya pada entah pada siapa.

Tap tap tap

Terdengar derap langkah seseorang, membuat Abel membuka kedua matanya. Akan sangat memalukan jika ada orang lain yang melihat dia memejamkan mata seperti tadi.

Namun, betapa terkejutnya Abel saat tau orang yang berada di depan lift adalah Atlantas.

Abel langsung menegakkan punggungnya. Dalam hitungan detik tubuhnya sudah ditarik ke dalam dekapan Atlantas bertepatan dengan pintu lift yang tertutup.

Deru napas Atlantas tampak tidak beraturan.

“Jangan pergi ... lagi.”

Abel malu. Dia tidak tau harus berlaku seperti apa.

“Jangan pergi. Jangan pergi. Jangan pergi, jangan lagi. Jangan tinggalin gue.”

Selama beberapa saat Atlantas hanya merapalkan kalian yang sama. Perlahan-lahan Abel mengangkat tangannya, mengusap pelan rambut belakang cowok tersebut.

“Kak Atlas, Abel nggak ke mana-mana. Tenanglah.”

Atlantas mengeratkan pelukannya. Menyembunyikan wajahnya dicerucuk leher putih Abel seraya bergumam pelan membuat sang empu merasa geli, namun masih dapat dia tahan.

“Lo pergi dari Apartemen gue. Itu tandanya lo mau pergi dari kehidupan gue juga. Iya, kan?”

Abel sedikit berjinjit akibat pelukan Atlantas yang benar-benar erat. Hembusan napas cowok tersebut menebus kulitnya.

“Enggak gitu konsepnya, Kak Atlas.”

“Iya, gitu.”

Apa cuman Abel yang merasakan kalau Atlantas saat ini terasa sangat lunak.

“Sekarang lepas dulu. Abel takut ada yang masuk nanti.”

“Jangan pergi.”

“Iya-iya, enggak kok. Jadi, sekarang lepasin dulu ya. Rasanya napas Abel jadi sesak, nih.”

Atlantas menurut. Melepaskan pelukannya namun tidak beralih sedikit pun.

Merak berhadapan dengan jarak yang sangat minim.

Abel merasa berkali-kali lebih gugup dari pada biasanya.

Aroma mint yang sudah menjadi ciri khas Atlantas mampu membuat Abel merasa nyaman di tengah-tengah debaran jantungnya yang benar-benar menggila di dalam sana.

“Kita balik ke Apartemen gue.”

Bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Atlantas memang selalu mendominani Abel.

“Iya.”

Atlantas memiringkan kepalanya. Kedua tangannya sudah bertumpu pada dinding—mengukung Abel.

“Dari dulu ... dari dulu cuman lo yang berhasil mengacaukan pikiran gue.”

Abel meneguk saliva pelan. Tidak paham dengan ucapan cowok tersebut.

“Lo beneran pengacau, Bella.”

Atlantas memegang ujung dagu Abel, membantu cewek tersebut untuk menatap wajahnya. “Tatap gue kalau lagi bicara.”

“Nggak mau.” Abel membuang muka ke samping. “Malu,” cicitnya pelan.

Hening.

Atlantas menghembuskan napas pelan, lalu menarik tangan Abel menuju Apartemennya.

“Lo berhutang cerita sama gue.”

“Kak Atlas juga.”

🏍️🏍️🏍️

“Tadi kelas Abel jamkos, Kak Atlas. Jadi Abel sama teman-teman keliling lapangan. Abel kira cuman kelas Abel yang jamkos, tapi ternyata kelas lain juga.”

“Nah, karena lihat lapangan kosong. Abel, Cassia sama Naida mau main basket. Kebetulan kan waktu itu ada kelas lain yang main juga. Jadi, si Cassia yang minjam bolanya. Kita main-main aja, tuh. Karena Abel capek, Abel duduk dipinggir lapangan. Eh, tiba-tiba aja ada bola yang jatuh ke kepala Abel. Terus Abel kejungkal. Hampir satu lapangan kaget, dan berakhir Abel di UKS.”

“Nggak lama setelah itu Kak Atlas datang.”

Atlantas mengangguk.

“Sekarang gantian!” Abel duduk bersila di depan Atlantas dengan sebuah bantal yang berada di atas pahanya. “Gimana bisa Kak Atlas mukulin orang di koridor sekolah tadi?”

Atlantas memijit pangkal hidungnya. “Lo nggak perlu tau.”

“Harus tau!”

“Nggak.”

“Kak Atlas, curang! Tadi Abel udah cerita masa Kak Atlas enggak, sih. Nggak adil banget. Tau gini mendingan tadi Abel diam aja.”

Atlantas hanya mengangguk. Dia tidak perduli dengan ocehan Abel, itu pikirnya pada pertama. Namun, ternyata tidak bisa. Abel terlalu cerewet.

“Diamlah.”

“Nggak mau! Kak Atlas belum cerita.”

“Hm.”

Atlantas memejamkan kedua matanya dengan posisi bersandar di kepala ranjang. Iya, saat ini mereka tengah berada di dalam kamar Atlantas.

“Ih, jangan tidur dulu.”

“Ngantuk.”

“Tapi, Kak Atlas—kyaaaaa.”

Abel membatu.

Atlantas menarik lengan Abel hingga membuat dirinya jatuh ke dekapan cowok tersebut, lagi.

Abel tidak tau harus apa. Usapan lembut di rambutnya membuat Abel terbuai.

“Tidur, Bella.”

“Nama Abel itu Abel, Kak Atlas. Bukan Bella.”

“Arabella. Wajar kalau gue panggil Bella.”

“Aneh.”

“Hm.”

“Kayaknya nama Bella nggak asing bagi Abel. Kayak pernah dengar sebelumnya.”

“Nama lo kan Arabella, mungkin ada yang pernah manggil Bella juga.”

Abel menggelang pelan. “Belum pernah. Kak Atlas orang pertama yang panggil Abel dengan nama Bella.”

“Lo suka gue panggil gitu?”

“Suka.”

“Hm, sekarang tidurlah.”

Atlantas membiarkan kepala Abel yang bersandar di dadanya. Dan dalam hitungan detik cewek tersebut sudah terlelap pulas.

Atlantas mengambil ponsel yang berada di sakit celananya.

“Bawa semua barang-barang Abel ke Apartemen gue, termasuk jaket dia yang berada di UKS,” ucap Atlantas setelah telpon tersambung kepada Sean.

“Gue nggak di sekolah. Gue udah di bandara.”

“Lo berangkat sekarang?”

“Iya.”

Atlantas menghembuskan napas. Entah kenapa kepalanya terasa sakit sekarang. Setelah memutuskan sambungan dengan Sean, dia langsung menghubungi nomor Banu.

“Bawa semua barang Abel ke Apartemen gue dan jangan lupa jeket dia yang ada di UKS.”

“HEH, OPET! LO NGAPAIN BAWA ADEK GUE KE APARTEMEN, HAH?!”

Atlantas menjauhkan sedikit telponnya.

“Berisik!”

Atlantas langsung mematikan telpon tersebut dan membaringkan tubuh Abel ke kasur biar lebih nyaman, lalu ukut berbaring di samping cewek tersebut.

Dimainkannya rambut Abel yang terasa sangat lembut dan wangi tersebut.

“Gue nggak bakal pernah berani ngomong ini ke lo secara langsung. Gue beda.”

Atlantas mendekat. Mendekat tubuh mungil tersebut dengan erat. Mencoba untuk tenang karena tiba-tiba saja kepalanya semakin sakit.

Atlantas memejamkan kedua matanya. Mengingat semua memori belasan tahun saat di mana untuk pertama kalinya dia bisa tersenyum akibat ulah seseorang.

“Untuk saat ini mungkin hanya gue yang bisa mengingatnya, tapi tidak untuk nanti. Gue pastiin lo bisa mengingatnya juga.”

🏍️🏍️🏍️

Atlantas Mahavir Alister. Walaupun diusianya yang baru menginjak tujuh tahun, tapi dia sudah cukup populer di Indonesia.

Memiliki wajah yang sangat rupawan, kepintaran di atas rata-rata, serta kemahirannya dalam memainkan pistol softgun.

Terlebih lagi Atlantas terlahir ditengah-tengah keluarga yang menjadi peringkat pertama dalam dunia perbisnis-an.

Mahavir crop, semua orang tau. Nama perusahaan yang sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Namun, itu semua tidak ada untungnya bagi Atlantas kecil.

Setelah tulang kakinya mengalami keretakkan akibat jatuh dari kuda, dia dirawat di sebuah Rumah Sakit ternama di Jakarta.

Kepribadian yang memang pendiam membuatnya sulit untuk mendapatkan teman. Tapi, Atlantas juga tidak membutuhkan itu.

“KAMU! BERHENTILAH UNTUK MENGGANGGUNYA!”

Atlantas mengangkat wajahnya. Sedikit tertarik dengan teriakan barusan. Setelah berhari-hari dia duduk di taman Rumah Sakit sendirian, akhirnya dia bisa menemukan manusia selain dirinya di sini.

“Ini urusanku. Urusan anak cowok. Jangan menggangguku!”

“KYAA!!”

Bruk

“Hahaha, astaga. Lihatlah dirimu, sangat payah!”

“Jangan ketawa!”

Atlantas kecil menatap datar ke arah beberapa anak kecil yang mungkin seusianya dengannya. Ada seorang cewek di tengah-tengah dua cowok.

Cewek tersebut jatuh setelah berupaya untuk memukul salah seorang dari dua cowok di sana.

Dari jarak yang cukup jauh, Atlantas masih bisa mendengar jelas tawa gelak mereka.

“SUDAH ABEL BIlANG, BUKAN! JANGAN KETAWA! KETAWA ATAU GIGI KALIAN AKAN OMPONG SELAMANYA!”

Atlantas terus memperhatikan cewek tersebut—yang terlihat tidak ingin terus diejek-ejek.

Diam-diam Atlantas terpaku.

“Abel bakal aduin ini sama Oma!”

Anak cewek kecil tersebut langsung berbalik, dan tanpa sengaja pandangan mereka bertemu selama beberapa detik.

Tanpa merasa sungkan Abel kecil yang tengah memakai dress pesta berwarna pink itu tersenyum ke arahnya, lalu menyapanya dengan hangat lembut

“Hai!”

Itulah pertemuan pertama mereka. Awal yang mengubah segala sudut pandang seorang Atlantas.

🏍️🏍️🏍️

Sedikit demi sedikit bakal terungkap, nih, alur ceritanya.

Oh iya, masalah Sean sengaja nggak aku
perjelas di sini, because ini lapak Atlantas dan Abel.

Jadi, ada kemungkinan—jika aku mau, aku akan membuat spin off. Tentu saja Sean sebagai pemeran utamanya, tapi setelah cerita Atlantas tamat.

Jadi, tunggu aja kabar baiknya, ya.

Oh iya aku juga habis buat cover baru Atlantas. Nggak terlalu bagus memang, tapi aku suka.

Oke, see u next part

Aku sayang kalian 💗

Continue Reading

You'll Also Like

8.6M 547K 67
Aksa Baskara, seorang cowo yang bersekolah di Sma Kartika sekaligus ketua geng motor bernama Harlex. Cowo yang tak pernah mengenal ampun, sekali menc...
1.8M 194K 52
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
670K 14.5K 56
Allea kembali ke Indonesia setelah 8 tahun untuk menemui calon tunangannya, Leonando. Namun Allea tidak tahu telah banyak hal yang berubah, termasuk...
1M 68.8K 73
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Aksara Gunadhya, manusia berparas malaikat. Rupa wajahnya tak seindah perjalanan hidup cowok tersebut. Terlahir untuk...