ATLANTAS || END

By badgrik

266K 21.6K 2K

[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam m... More

Prolog
01. Permulaan
02. SMA Delton
03. Insiden
04. Tawuran dan Pencarian
05. Jaket
06. Jalan-Jalan Ke Mall
07. Abel Hilang
Cast + Nama + karakter Pemain
08. Markas Vagos
09. Berlalu
10. Bertemu Kembali
11. Apartemen
12. Berangkat Bersama
13. Penasaran
14. Turnamen Futsal
15. Atlantas Dan Alex
16. Bimbang
17. Gosip Sekolah
18. Simpang Siur
19. Gudang Sekolah
20. Fakta Yang Sebenernya
21. Syndrome Sandi
22. Senja Di Rumah Sakit
23. Antara Abel, Atlantas & Alex
24. Orang Tua Abel
25. Hal Indah Di Rumah Atlantas
26. Penyerangan
27. Antara Bandung Dan Jakarta
28. Cerita Di Dufan
29. Malam Minggu
30. Setan
31. Kotak Bekal
32. Tentang Atlantas
34. Meniti Ke Akhir Cerita
35. (Bukan) Akhir Segalanya
Ucapan Terima kasih
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3 • Special POV Atlantas
Cerita Baru
Grub Atlantas
Info Bahagia?
Atlantas Versi Baru?

33. Mimpi Abel

4.1K 374 15
By badgrik

“Mungkin diam dalam kagum, kemudian berubah menjadi rasa. Adalah maju dengan mundur. Teriakan malam dahulu kala, kemudian mereda di pagi buta. Adalah mimpi dengan nyata,” —Abel.

🏍️🏍️🏍️

Rumah Sakit Mahavir, 10 tahun silam.

Namanya Arabella Egda. Gadis bungsu dari 3 bersaudara. Keturunan Kalimantan yang dilahirkan di Kota Jakarta.

“Abel! Panggil aku Abel!”

Seperti pada anak-anak gadis lainnya. Abel kecil hanya bisa bersenang-senang bersama banyak orang.

“Bukankah anak kecil memang seperti itu? Mencari teman untuk bersenang-senang.”

Dan hari ini adalah hari kedelapan Abel di Rumah Sakit setelah Oma-nya dinyatakan sakit parah oleh pihak medis.

Abel berjalan sendirian menuju taman Rumah Sakit yang terlihat sangat sepi.

“Apa Abel kecepatan ke sini?” monolognya dalam hati. “Dia datang, kan?”

Sebenarnya akhir-akhir ini Abel merasa tertarik dengan seorang anak laki-laki yang dua hari lalu selalu duduk sendirian di kursi taman. Abel mengambil inisiatif untuk mendekati anak laki-laki tersebut dan mengajaknya berteman.

“Kalau dia nggak datang hari ini mungkin besok bisa Abel tunggu lagi.”

Hampir belasan menit dia menunggu, hingga akhirnya orang yang ia nantikan kedatangannya menunjukkan diri.

Anak laki-laki tersebut berjalan dengan tegak tanpa ekspresi. Namun, anak dia memiliki bola mata yang biru. Sebiru air di laut. Sangat menenangkan. Abel menyukainya.

“Hai,” sapa Abel berdiri dari duduknya.

Meraka berhadapan.

Dengan jarak hampir satu meter, Abel memasang senyuman lebar. “Abel udah nunggu kamu dari tadi.”

Anak laki-laki tersebut mengernyitkan dahinya.

“Itu bukan urusanku,” ketusnya membuat Abel terdiam. “Menjauhlah dari sini! Itu tempat wewenangku.”

“Ini tempat umum,” sahut Bella. “Abel bebas duduk di mana saja, bukan?”

Anak laki-laki tersebut mengacuhkan Abel. Segara duduk di kursi tersebut dan membuka buku Ensiklopedia setelah meletakkan dua tongkat penyangga tubuhnya ke samping.

Kedua mata Abel membuka besar. “KAKI KAMU KENAPA?” tanyanya histeris. “A—Abel baru sadar kamu menggunakan tongkat, maaf.”

Anak laki-laki itu tetap diam. Tampak asyik dengan bukunya.

Penasaran, Abel pun mendekat. Duduk di samping anak laki-laki tersebut dan ikut membaca.

“Dinosaurus? Apa di zaman sekarang hewan seperti mereka masih ada?” tanya Abel lugu.

“Tidak,” jawab anak laki-laki tersebut.

“Benarkah?”

“Hm.”

“Abel ma—”

“Diamlah, kau sangat berisik sungguh!”

Anak laki-laki tersebut mengambil tongkat miliknya dan meninggalkan buku ensiklopedia begitu saja.

“Hei, bukumu!”

Abel berniat untuk menyusul anak laki-laki tersebut, namun tiba-tiba saja panggilan dari seseorang membuat langkahnya terhenti.

“ABEL, KAMU DI CARI OMA!”

“Tunggu sebentar.”

Abel memeluk buku ensiklopedia tersebut erat. “Akan Abel kembalikan jika kita bertemu lagi.”

“ABEL!”

“ABEL!”

“ARABELLA!”

Tubuh Abel tersentak kaget. Kedua matanya terbuka seketika. Deru napas terdengar memburu di tengah-tengah kesadarannya yang masih belum terkumpul sepenuhnya.

Abel memegang dadanya yang berdenyut sakit. Dia mimpi?

“Lo kenapa?”

Suara ini. Terdengar sangat familiar.

“Mimpi buruk, hm?

Abel menoleh dan mendapati wajah Atlantas yang terlihat cemas saat ini.

Tapi, benarkah seperti itu?

“Arabella, lo dengar ucapan gue?”

Tanpa sadar Abel terus mengamati wajah cowok tersebut yang terlihat sangat tampan pagi ini. Lidahnya terasa kaku akibat mimpi barusan.

Dan tatapan Abel terhenti tepat di kedua bola mata Atlantas yang berwarna biru.

Abel ingin terus melihatnya. Namun, ini semua terasa aneh.

“Sebenarnya Kak Atlas ini siapa? Kita ini siapa?” tanya Abel lirih. “Abel yakin kalau kita pernah bertemu sebelumnya,” sambungnya dalam hati.

“Lo kenapa?”

Abel tampak linglung. Dengan pelan Atlantas menarik tekuk Abel, menyatukan dahi mereka. Kedua bola mata biru itu menyorotnya dalam. “Jangan dipikirkan, Bella. Siapapun gue, lo tetap milik gue. Selamanya.”

“Bukan itu.”

“Kak Atlas terlalu misterius,” bisik Abel lirih. “Abel ingin tau semua tentang Kak Atlas.”

“Belum saatnya.”

Kedua mata meraka beradu pandang. Lantas, Atlantas menakup kedua pipi cewek tersebut dengan lembut.

“Sebentar lagi, ya. Percaya sama gue.”

Abel hanya bisa mengangguk pelan walaupun dia tidak mengerti sama sekali.

Dan pembicaraan tersebut ditutup dengan kecupan hangat Atlantas di dahi Abel.

Tuhan, ada apa ini?

Perasaan Abel mulai tidak karuan.

🏍️🏍️🏍️

Tak terasa sekarang sudah hampir memasuki waktu ulangan semester pertama.

Waktu terus berjalan tanpa mau berhenti membuat semuanya terasa sangat cepat.

Abel, Naida, dan Cassia sama-sama berjuang di semester kali ini. Meraka tidak ingin mendapatkan nilai buruk.

Maka dari itu, di sinilah mereka—halaman belakang sekolah.

“Nggak nyangka kita bisa temanan udah selama ini.” Naida tersenyum. “Gue harap kita bisa gini terus.”

“Iya, gue juga berharapnya kayak gitu,” imbuh Cassia.

“Abel pun.”

Mereka sama-sama tertawa.

“Gue tiba-tiba jadi iri sama kalian,” ucap Naida seraya menutup buku paketnya. “Sekarang Abel lagi pacaran sama Atlantas, Cassia juga lagi gencar-gencarnya deketin Banu. Lah gue? Gue cuman nonton drakor doang anjer di kamar sampai lumutan.”

Abel merapihkan buku-buku, lalu menumpuknya jadi satu. “Ya, cari pacar aja, Nai.”

“Tau, nih. Lagian lo juga cakep, kan. Ngapain ribet coba. Lo bisa pacarin cowok Delton sambil merem.”

“Gue nggak mau asal pacaran, Cas. Gue punya selera tinggi perihal cowok.”

“Halah, hoax,” sanggah Cassia. “Asal lo tau aja ya, Nai. Sebelum kita pacaran, kita memang punya kriteria macam-macam. Tapi, kalau udah pacaran kadang kriteria itu nggak berguna lagi. Percaya deh sama gue.”

“Ah, masa?” Goda Naida seraya menaik-turunkan kedua alisnya.

“Emangnya kriteria cowoknya Naida gimana, sih?”

Nadia tampan berpikir sejenak. “Random. Sesuai genre apa yang gue baca di wattpad pokoknya. Kalau lagi baca mafia, yaudah gue pengen punya pacar mafia juga.”

“Anjer, gue juga gitu kadang,” sahur Cassia heboh.

“Cowok yang cool, nggak banyak ngomong tapi banyak aksi. Kurang lebih keringkasan kriteria cowok gue kayak gitulah,” papar Naida pada akhirnya. “Kalau kalian sendiri gimana?”

“Lo lihat Banu? Itulah kriteria gue,” jawab Cassia bangga.

“Kalau Abel ... entahlah. Tapi, untuk sekarang Kak Atlas udah lebih dari cukup.”

“Aduh-aduh, manisnya.”

Abel tersipu malu.

“Oh iya, kalian ingat nggak sama tukang ojek depan sekolah yang gue bilang cakep itu?” tanya Cassia.

Abel mengangguk. “Ingat. Emangnya kenapa?”

“Dia siswa Delton juga, woi!”

“Seriusan lo?”

“Kok, Cassia bisa tau?”

Cassia mengemut permennya sebentar. “Biasa, orang ganteng. Dari awal dia masuk katanya emang udah jadi incaran teman seangkatan. Tapi, kok gue baru tau sekarang, ya? Ke mana aja gue selama ini coba.”

“Dasar maniak cogan!” ledek Naida bercanda. “Ingat Banu, Cas.”

“Iya, ingat gue ingat.”

“Abel jadi penasaran.”

Naida melototkan kedua matanya. “Heh, jangan ngada-ngada lo, ya! Lo mau liat Atlantas marah lagi, hah?!”

“Iya, pacar lo itu Bel astaga emosian banget.”

“Posesif lagi.”

Abel meringis pelan. Bahkan kedua temannya saja sudah mengetahui tabiat Atlantas.

“Ya, mau gimana lagi.” Abel merebahkan kepalanya di atas meja bundar. “Mau bagaimana pun, Abel tetap penasaran sama orangnya.”

“Cari masalah nih anak satu.”

Abel hanya tertawa pelan.

“Kalau lo penasaran. Gue bisa temenin lo, kok,” ucap Cassia kepada Abel. “Soalnya, gue denger-denger nama dia Bumi, kelas XI IPS-2.”

Deg

“Bumi?”

🏍️🏍️🏍️

Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari beberapa menit yang lalu. Abel dan Naida masih asyik berada di dalam kelas seraya merapihkan meja. Sedangkan Cassia dan Mitsuko sudah pulang sedari awal.

“Pulang bareng Atlantas lagi, Bel?”

“Iya, bareng Kak Atlas.”

“Enaknya punya pacar. Gue kapan, ya?”

“Secepatnya, ya. Abel tunggu.”

“Gimana mau cepat, Bel. Gue deket sama cowok aja kagak.”

“Ya, deketin aja kayak Cassia tuh.”

“Ogah. Bikin sakit hati aja tau. Kayak si Cassia tuh, udah tau Banu itu nggak suk sama dia tetap aja dikejar. Lagian jug Banu itu sok-sokan nolak.”

Abel memasang tas ke bahu. “Kalau kata Mama Abel, nggak ada hasil yang mengkhianati usaha, Naida.”

“Tapi, kalau usahanya kayak Cassia itu bakalan beda lagi ceritanya, Bel. Jadian kagak, sakit hati iya.”

“Ya, itu resiko Cassia, Nai. Kita sebagai sahabat cuman bisa dukung aja.”

Naida menghembuskan napas. “Kalau gue sih ogah ya punya pacar kayak Banu. Bukannya mau ngejelekin dia, tapi gue sadar diri aja. Nggak selevel sama tuh orang. Dia serbuk berlian, lah gue? Serbuk marimas!”

Abel tertawa pelan. “Awas lho, hati-hati kalau ngomong. Takut malah kejadian yang sebaliknya. Kita nggak tau, kan, tiba-tiba saja Naida malah kepincut sama badboy yang melebihi Bang Banu.”

“Nggak mungkinlah, gue it—”

Bruk

“Naida!”

Abel membantu Naida untuk berdiri kembali setelah terjengkang akibat bertabrakan dengan seseorang.

“Naida nggak papa?” tanya Abel khawatir. ”Nggak ada yang sakit, kan?”

“Nggak ada.”

Naida mengangkat wajahnya. Kedua bola mata legam itu menatap tajam ke arah seorang cowok yang membuatnya terjatuh seperti tadi.

“Lo?! Lo nggak ada mata, hah?!”

“Lo buta? Anak TK juga tau kalau gue punya mata.”

Situasi macam apa ini? batin Abel.

“Ya, setidaknya kalau lo memang punya mata. Gunain benar-benar! Lo nggak tau akibat kelalaian mata lo itu udah buat gue jatuh kayak tadi!”

“Lo aja yang jalan nggak lihat-lihat. Gue udah jalan dengan benar!”

“Halah, babi! Lo tiba-tiba aja datang dari belokan dengan cepat terus nabrak gue! Jadi, di sini itu yang salah adalah lo!”

“Emangnya gue perduli?” tanya cowok tersebut sinis. Melirik ke arah Abel yang membisu.

“Halo, Abel. Sudah lama nggak ketemu.”

Naida menyembunyikan tubuh Abel di belakang dirinya. “Nggak usah sok kenal sama teman gue!” ketusnya.

Bumi tiba-tiba tersenyum. Naida dan Abel sama-sama bisa merasakan ada yang aneh dengan cowok di depan mereka tersebut.

“Sudah, deh. Abaikan saja. Mendingan kita balik sekarang aja, Bel.”

Abel mengangguk pelan. “Ayo,” bisiknya pelan.

“Eh, tunggu.”

Bumi menahan pergelangan tangan Abel, membuat sang empu terpekik kaget.

“Gue minta nomor whatsapp lo yang bener.”

“Abel lupa nomornya.”

“Ponsel lo adakan? Bisa di cek dulu.”

“Ponselnya sudah mati.”

Naida melepaskan pegangan Bumi kepada Abel. “Jadi cowok jangan suka maksa!”

Abel membasahi bibir bawahnya. Sebenernya dia cukup takut dengan tatapan Bumi barusan. Aura cowok tersebut terasa sangat jauh dari kata positif walaupun memasang senyuman lebar nan menawan.

“Gue rasa tuh cowok nggak beres, Bel.” Naida sungguh-sungguh. “Jangan coba dekat-dekat sama dia. Feeling gue nggak enak.”

Bahkan Naida pun bisa ikut merasakannya.

“Abel juga mikirnya kayak gitu, Nai. Dia itu aneh.”

“Serem sebenernya,” aku Naida.

“Iya. Eh, jangan-jangan dia Bumi yang diceritain Cassia pagi tadi lagi?”

“Namanya Bumi, Bel?”

“Iya, Bumi. Dia sempat kenalin diri ke Abel beberapa minggu yang lalu.”

“Ih, creepy. Nggak nyangka gue ketemu dia secepat ini. Wajah sih lumayan lah, lagi auranya tadi nggak enakin banget.”

“Dari awal ketemu juga Abel ngerasa gitu.”

“Pokoknya lo ataupun gue harus jaga jarak sama dia, Bel.”

“Abel setuju.”

Dan mereka tidak sadar jika sedari tadi Bumi mengikut langkah mereka dengan pelan.

Cih, mau main-main sama gue ternyata.”

🏍️🏍️🏍️

Hubungan Abel dan Atlantas itu biasa-biasa aja. Mereka sama-sama sibuk dengan urusan pribadi akhir-akhir, namun komunikasi tetap terjaga walaupun Atlantas tidak mengirimkan pesan setiap saat.

“Kak Atlas, kita makan bakso, yuk?”

“Hm.”

Di jalan raya yang ramai, Abel duduk di jok belakang motor sport Atlantas yang berwarna hitam dengan riang. Sesekali lantunan lirik terdengar kala dia bernyanyi. Sampai akhirnya mereka sampai ke warung bakso yang selalu buka dari pagi sampai malam.

“Pak, dua porsi sama teh dinginnya,” ucap Atlantas kepada sang pedagang.

“Siap. Silahkan duduk dulu, Nak. Eh, kamu bawa cewek” tanya pedagang tersebut tersenyum. “Astaga, udah lama nggak ke sini, datang-datang malah bawa gandengan.”

Atlantas hanya tersenyum tipis lalu menarik Abel ke salah satu kursi kosong.

“Sepertinya hubungan Kak Atlas sama Bapak pedagang tadi deket, ya.”

“Seperti yang lo lihat.”

Beginilah mereka. Abel tidak bisa menyebutkan berkembang, karena hubungan mereka datar-datar saja. Tidak ada yang berubah kecuali Atlantas yang setiap malam menelponnya.

“Kak Atlas nanti kalau udah lulus SMA, mau nyambung kuliah di mana?”

“Gue nggak kuliah.”

Abel mengernyitkan dahi. “Abel tau Kak Atlas itu pintar. Jadi, kenapa nggak mau kuliah?”

“Kata siapa gue pintar?”

“Kata Bang Banu.” Abel tertawa pelan. “Sayang, kan, kalau pintar tapi nggak kuliah. Kalau Abel jadi Kak Atlas, Abel pasti akan masuk kampus ternama. Kayak yang di Inggris itu.”

Atlantas tersenyum miring. “Mau gue kuliah di Inggris? Jarak Indonesia sama Inggris jauh, lho.”

“Ya, jangan!” bantah Abel mentah-mentah. “Kejauhan itu, nggak kuat Abel.”

Atlantas mengacak-acak poni depan Abel. “Makanya, gue nggak usah kuliah aja.”

“Punten, ini pesanannya, ya. Silahkan di nikmati,” kata pedagang yang sama di pertama tadi. “Semoga kalian langgeng terus.”

Abel melirik ke arah pedagang tersebut.

“Makasih, Pak Cilo,” ucap Atlantas.

“Sama-sama Nak Atlantas. Senang Bapak lihat kamu bawa gandengan ke sini. Cantik banget lagi kayak bidadari.”

Wajah Abel sedikit memerah. Malu di puji secara terang-terangan.

“Yaudah, di makan dulu itu sebelum dingin. Saya tinggal ke belakang.”

“Iya.”

Setelah Pak Cilo pergi, Atlantas langsung menyantap makanannya.

“Kak Atlas jadi langganan setia di sini, ya?” tanya Abel penasaran.

“Iya.”

“Sejak kapan?”

“Sejak lama.”

Abel mengembuskan napasnya. Untung sayang. Untung pacar.

Sabar, Abel.

“Terus setelah lulus Kak Atlas ngapain?” tanya Abel mencari topik. Dia tidak ingin diam-diaman dengan cowok tersebut.

“Nungguin lo lulus,” jawab Atlantas datar.

Lho, buat apa?”

Abel menyeruput santai es teh miliknya.

Atlantas mengangkat wajahnya dari mangkok dan menatap Abel sekilas.

“Ya, nikahin lo lah.”

Byur

Minuman yang berada di mulut Abel langsung muncrat keluar.

“HEH, JANGAN BERCANDA!”

🏍️🏍️🏍️





Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 549 6
Cowok dingin?kayak kulkas?iya dinginnya tu -35°C loo,tapi bakal leleh juga karena.....,hmm apa yaa yu baca ceritanya -1 Oktober 2020
1.4M 38.4K 13
[ GENGSTER ARION GENERASI 2 ] "Boleh Ghea pergi! Boleh Ghea pergi kak!! Ghea capek sama hidup Ghea!! Ghea mau nyusul bunda sama ayah!! Percuma Ghea h...
16.6K 2.8K 47
Akalanka Alister Bramantio. Sang Monster Amazon, itu julukan yang di berikan dari seorang gadis masa kecil nya. Lelaki dengan paras sempurna ini, sud...
12.1K 2.4K 54
[VOTE DAN KOMEN BILA SUKA✔] (Gakmaksasih) CERITA INI SUDAH TAMAT! PART MASIH LENGKAP!!! ||Di larang PLAGIAT|| Dia Sagara Alterio Sebastian. Cow...