DELUSIONS

By tanindamey

5.4K 1.5K 1.5K

Bagaimana rasanya memiliki suatu cela dalam hidup? Diasingkan, diacuhkan, ditindas, serbuan kalimat pedas. Ta... More

Prolog
Chapter 1- Pembendung
Chapter 2- Lilin lebah mencekam
Chapter 3 - Diluar terkaan
Chapter 4 - Menikam dipenghujung
Chapter 5 - Bunga tidur
Chapter 6 - Teror malam
Chapter 7- Goresan Luka
Chapter 8 - Kepelikan seseorang
Chapter 9-Tuturan Menyayat Hati
Chapter 10-Tumpahan Air Mata
Chapter 11 - Terjebak dalam Gulita
Chapter 12 - Ancaman
Chapter 13 - Gamang
Chapter 14 - Dekapan
Chapter 15 - Sebuah Amaran
Chapter 16 - Tak Kuasa
Chapter 17 - Terungkap
Chapter 18 - Cela
Chapter 19 - Kelam
Chapter 20 - Sukar
Chapter 21 - Langka
Chapter 22 - Terjaga
Chapter 23 - Berbeda
Chapter 24 - Cendala
Chapter 25 - Berdebar
Chapter 26 - Jengah
Chapter 27 - Terlambat
Chapter 28 - Mulai Meragu
Chapter 29 - Terbelenggu
Chapter 30 - Bertekad
Chapter 31 - Pasrah
Chapter 32 - Kegetiran
Chapter 33 - Pengakuan
Chapter 34 - Jawaban
Chapter 35 - Telah Padu
Chapter 37 - Kembali Melukai
Chapter 38 - Memerangi
Chapter 39 - Terdesak
Chapter 40 - Suatu Cela
Chapter 41 - Telah Renggang
Chapter 42 - Delusi
Chapter 43 - Kilah
Chapter 44 - Kalut
Chapter 45 - Berlaga [Ending]
Epilog

Chapter 36 - Meradang

51 13 8
By tanindamey

Meradang

"Gue nggak nyangka bakal bisa seterikat ini sama seseorang. Dan ternyata orang itu lo, Dan." – Stevlanka.

Kesenyapan membungkus gendang telinga. Pikiran kembali terlempar pada dunia nyata. Air mata bertumpah ruah hingga berjejak pada benda empuk itu. Stevlanka menarik napas. Posisinya yang semula miring menjadi telentang. Lampu berpijar terang, tetapi Stevlanka tiba-tiba merasakan sesuatu hal yang beda. Napasnya menjadi berat. Pikirannya bercabang ke mana-mana.

Hawa aneh itu semakin meremang. Stevlanka berkeringat dingin. Entah mengapa begitu tiba-tiba. Ia mengubah posisinya menjadi duduk. Mencengkram selimut yang menutupi tubuhnya. Lampu di atasnya berkedip sekali. Matanya membulat seketika. Cengkramannya semakin kuat. Mengapa untuk berteriak saja Stevlanka tidak mampu? Seolah ada sesuatu yang membuat Stevlanka menunggu apa yang akan terjadi.

Lampu kembali berkedip-kedip. Bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali dengan lambat. Hingga benar-benar mati sepenuhnya. Bersamaan dengan lampu yang padam, Stevlanka menarik napas berat. Dadanya naik turun karena panik. Bersusah payah untuk berusaha mengendalikan tetapi rasanya begitu sulit saat ini.

Menggeser tubuhnya menepi, meraih apa pun di atas meja. Bahkan ia tidak tahu di mana letak ponselnya. Stevlanka turun dari tempat tidur. Membuka laci pada nakas. Apakah tidak ada senter atau apa pun itu yang bisa menghasilkan cahaya? Semakin lama, semakin sesak.

Deru napasnya bisa ia hitung sendiri. Tertatih menuju meja belajar Ardanu. Barang-barang di meja itu sedikit tercecer karena Stevlanka. Dan akhirnya mendapatkan apa yang ia cari. Menekan tombol di senter itu hingga ada cahaya yang muncul.

Lega. Itulah yang Stevlanka rasakan. Satu tangannya bertumpu pada meja. Tubuhnya sedikit bergetar dan berkeringat dingin. Ketika napasnya tidak seberat tadi, ia mengarahkan senternya ke depan, ia ingin keluar dari kamar ini. Apa Ardanu sudah tertidur, hingga tidak datang menemuinya?

Demi Tuhan, Stevlanka membenci situasi seperti ini. Matanya menangkap darah pekat yang mengalir ke arahnya. Sontak membuatnya mundur ke belakang hingga membentur meja belajar. Sudah tahu apa yang akan terjadi, tetapi tangan Stevlanka justru mengarahkan cahaya senter untuk mengikuti aliran darah itu berasal. Berhenti pada sudut ruangan dekat pintu. Sebuah kaki yang berlumuran darah terpojok di sana.

Tubuh Stevlanka membeku. Ia lupa cara bernapas. Meraup oksigen bukan dari hidung lagi, namun dari mulut. Tetapi masih saja tidak bisa menangkap oksigen. Ia ingin berteriak, sungguh. Air matanya mengalir sudah. Dengan sangat aneh, ia menaikkan cahaya senter itu. Dress merah maroon lagi. Lagi-lagi sosok itu yang hadir menemuinya. Dressnya tampak begitu lusuh. Tangan yang menggantung tidak bertenaga, keadaannya sama dengan kaki.

Cahaya senter telah berhenti di tubuh bagian atas sosok itu. Kepalanya menunduk, rambut kusutnya menjuntai ke depan menutupi wajahnya. Dengan sangat tiba-tiba kepalanya bergerak mengarahkan matanya pada Stevlanka. Tak lama dengan kecepatan yang tidak terduga sosok itu melayang ke arah Stevlanka. Mulutnya terbuka lebar, kepalanya miring ke samping dengan bercak-bercak darah yang mengerikan.

Senter yang ada di tangan Stevlanka ia lempar entah kemana. Suara teriakan lolos pada akhirnya. Energinya terkuras habis. Terduduk di atas lantai. Suara erangan menggema di kamar itu. Erangan yang begitu mengerikan seperti ingin berbicara, namun tidak bisa karena menahan rasa sakit. Air mata Stevlanka berjatuhan sambil berteriak.

Sementara itu, sayup-sayup Ardanu bergerak gelisah mendengar pekikan yang terjasa jauh dari pendengarannya. Semakin lama suaranya semkain jelas hingga matanya terbuka. Dengan terkejut laki-laki itu bangun dari tidurnya.

"Vla," gumam Ardanu, kemudian berlari menuju kamarnya. Ketika di depan pintu, ia mencoba memutar gagang pintu, namun tidak bisa. Masih berusaha membuka dengan tergesa.

"Vla, lo di dalam? Vla, buka pintunya, Vla!" teriak Ardanu berulang kali. Yang ia dapatkan hanya teriakan Stevlanka dari dalam. Napas Ardanu memburu, pintu itu menjadi sasaran kekesalannya. Ia tendang berulang kali, mendobraknya pun tidak berahasil membuka pintu itu.

Suara tangis Stevlanka telah berhenti. Ardanu semakin panik dibuatnya. Ardanu merasa jika ia terus melakukan hal yang sama berulang kali. Hatinya ingin mencari sesuatu untuk mengenyahkan pintu ini, namun tindakannya hanya berdiri di depan pintu seraya memutar gagang pintu.

Ardanu menggelengkan kepalanya, matanya memejam. Mengambil napas panjang. Kemudian, ia membuka pintu itu dan dengan mudahnya berhasil terbuka. Ini begitu aneh. Sedari tadi ia mendobrak tetapi tidak terbuka. Entahlah! Ia langsung saja masuk ke dalam. Lampunya menyala, ia bisa melihat Stevlanka terduduk di atas lantai dekat meja belajar.

"Vla," seru Ardanu setelah ia berjongkok di depan Stevlanka. Gadis itu tertunduk sambil memegangi dadanya. Rambutnya lembab karena keringat. Wajahnya pucat hingga tubuhnya bergetar. Tanpa banyak bertanya Ardanu menggendong Stevlanka keluar menuju ruang tengah. Meletakkan tubuh Stevlanka di salah atu sofa berwarna coklat muda.

Ardanu ikut duduk di samping Stevlanka yang masih memjamkan mata ketakutan. Merapikan anak rambut yang menghalau wajah Stevlanka. Melihat kondisi Stevlanka yang seperti itu membuat Ardanu tidak tega untuk bertanya. Ia berusaha lebih mendekatkan tubuhnya ke Stevlanka. membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Pelukannya terbalas. Stevlanka mencengkram kuat baju Ardanu.

Itu tadi apa? Apa yang baru aja terjadi? batin Ardanu kebingungan. Rasanya seperti ada yang aneh, tetapi ia tidak tahu apa itu.

***

Di ruang yang telah menguar kemurkaan. Dentuman emosi yang tidak bisa terbendung lagi. Saling memekik tidak mau terkalahkan. Ingin selalu merasa benar tidak mau disalahkan. Dinding menjadi sasaran hantaman barang-barang yang terlempar. Kobaran yang luar biasa dari seseorang yang selalu mengutamakan kasih sayang.

Sepasang suami istri itu berada di tengah ruang tamu yang didominasi cat putih, dengan sofa yang senada. Sayangnya ruangan itu sudah berantakan. Dan di balik pintu kamar, dua orang anak kecil menyaksikan dengan kedua matanya. Satu laki-laki dan perempuan. Mereka saling menggenggam tangan dengan erat. Sang gadis perempuan kecil itu menangis diam-diam.

"Nanu, aku takut." Suara serak Era membuat Nanu menoleh. Ia melihat salah satu tangan Era yang memar, lalu berpindah ke atas pada leher gadis itu. Sejak kemarin Nanu melihatnya, tetapi ia tidak berani bertanya. Lebih tepatnya ia seperti berpura-pura tidak melihatnya.

"Era, kamu ...," ucap Nanu tertahan, lalu ia menggeleng sambil tersenyum. "Ada aku, kok. Kamu cukup di samping aku aja."

"Aku denger mereka mau pisah. Itu artinya kita juga pisah? Kamu nggak akan ninggalin aku, kan?"

"Iya, aku akan minta Papa supaya kita sama-sama." Nanu tersenyum tulu.

Stevlanka membuka matanya perlahan. Kenapa anak laki-laki itu hanya diam saja setelah melihat saudaranya terluka?

Binar matahari menyelinap hadir melewati celah-celah jendela besar yang terbingkai gorden berwarna putih mengalihkan pikiran Stevlanka. Ia menggerakkan tubuhnya yang ternyata dia tengah tidur bersandar pada seseorang. Mendongakkan kepalanya perlahan, wajah tenang yang sedang tertidur bisa ia lihat. Sedikit menjauhkan tubuhnya untuk bisa menatap Ardanu dengan jelas.

Gue nggak nyangka bakal bisa seterikat ini sama seseorang. Dan ternyata orang itu lo, Dan. Seseorang yang awalnya bener-bener menganggu, tapi ternyata sekarang hidup gue bergantung sama lo. Ya, walaupun gue tahu, nggak seharusnya gue bergantung sama lo, seharusnya gue bisa atasin masalah hidup gue sendiri, batin Stevlanka sambil menatap wajah Ardanu yang tengah tertidur. Gadis itu menunduk.

Ia menghela napasnya, kemudian menatap wajah Ardanu. Matanya melebar saat itu juga. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena melihat sosok menyeramkan atau berada dalam kegelapan, tetapi karena melihat sosok laki-laki yang tersenyum tulus. Mata indahnya mengerjap beberapa kali. Wajah yang tampak lelah, mungkin ia tidak tidur semalaman.

"Pagi, Vla." Suara serak Ardanu menyapa. "Udah bangun?"

Stevlanka mengangguk.

"Lo kurang puas memandang wajah gue, ya? Gue bisa, kok, pura-pura tidur lagi."

"Lo ... jadi, tadi pura-pura tidur?" Stevlanka tergagap.

"Sejak kapan lo kaya tadi malam, Vla?" tanya Ardanu tiba-tiba. Mengabaikan pertanyaan Stevlanka.

Stevlanka terdiam sebentar. Bayangan sosok menyeramkan itu kembali hadir. Tanpa sadar ketakutannya perlahan terkikis saat bersama Ardanu. "Sejak gue masih kecil. Gue nggak tahu itu nyata atau enggak, tapi yang pasti gue bener-bener bisa lihat satu sosok yang menyeramkan itu. Dan itu adalah sosok yang sama, gue hanya bisa lihat sosok itu aja. Gue bingung, apa sosok itu cuma halusinasi yang gue buat sendiri atau emang nyata."

"Lo ... udah pernah tanya ke psikiater?" tanya Ardanu tidak enak.

Stevlanka menoleh ke arah Ardanu. Tertawa hampa. "Gue ... terlihat gila, ya?"

Ardanu menggeleng cepat. "Bukan gitu, datang ke psikiater bukan berarti gila, kan?"

Stevlanka terdiam sejenak. Ia menatap mata laki-laki itu. "Kemarin di bukit gue bilang sama lo, kalau hidup gue nggak normal. Kalau lo ragu, lo masih bisa tarik kata-kata lo, kok," ujarnya dengan nada rendah. Setelah mengucapkannya ia mengalihkan pandangannya.

"Vla ...," desis Ardanu, menghembuskan napasnya. Tidak ada respon dari Stevlanka membuat Ardanu meraih tangan gadis itu dan ia juga mendekatkan duduknya. "Lihat gue."

Stevlanka menoleh. Ia melirik tangannya yang digenggam Ardanu dan ia membiarkan itu.

"Bukan gue yang ragu, tapi lo. Kalau lo nggak ragu, lo nggak akan bilang kayak tadi. Lo masih meragukan gue, Vla."

"Gue akan jadi beban buat lo, sama kayak yang dibilang Ayah gue."

"Gue bukan Ayah lo," sambar Ardanu cepat, "gue Ardanu, dan lo bukan beban. Jadi, please, jangan minta gue pergi."

"Meskipun banyak alasan yang mungkin akan membuat lo pergi?"

"Iya, apa pun alasannya. Gue nggak peduli."

"Kenapa?"

"Karena itu lo. Karena lo Stevlanka."

Mata mereka saling tatap. Namun, Stevlanka yang lebih dulu memutuskan tatapannya. Bibirnya tersenyum tipis.

"Kalau mau senyum tuh yang banyak, Vla."

Stevlanka hanya menatap malas Ardanu. Ia melirik jam dinding yang menggantung. "Sekolah?"

"Lo nanya ke gue? Serius, nih?" Ardanu terkekeh. "Ya, kalau ditanya kayak gitu, pasti jawabannya bolos."

"Yaudah, bolos."

Ardanu melebarkan matanya, tidak percaya. Namun, ia justru tertawa setelahnya. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Stevlanka dan tangannya melingkar pada lengan Stevlanka. Gadis itu sedikit terkejut.

"Okay, kita berduaan aja di sini, ya?" Ardanu memejamkan matanya.

"Gue mau minta antar lo ke suatu tempat."

"Ke mana?" Ardanu masih belum beralih dari posisinya.

"Ke pemakaman."

"Astaga, Vla?" pekik Ardanu sambil terlonjak. "Lo mau apa ke makam?"

***

"Lo yakin mau ke sana sendiri? Atau gue temenin aja deh, ya?" Ardanu ingin keluar dari mobilnya, tetapi ditahan oleh Stevlanka.

"Enggak, lo di sini aja, gue cuma sebentar, kok." Pada akhirnya Ardanu mengangguk saja. Stevlanka keluar dari mobil, berjalan memasuki tempat peristirahatan terakhir ini. Hembusan angin di tempat ini selalu memiliki hawa yang berbeda. Stevlanka berjalan seorang diri dengan buket bunga yang dibawanya.

Tiana Rainyta

Stevlanka berdiri tepat di samping makam Tiana. Menatap sejenak makam itu. Kemudian, ia berjongkok meletakkan bunga yang ia bawa. Karena kecerobohannya, Tiana juga harus menjadi korban. Seandainya saja, Stevlanka lebih berhati-hati mengungkap kejahatan Karisma pasti tidak akan berakhir seperti ini. Seandainya saja dirinya satu langkah lebih cepat dari Karisma. Tetapi semua sudah terjadi, dan kata seandainya adalah sesuatu yang percuma.

"Tiana, entah hal buruk apa yang akan dilalui Karisma suatu saat nanti. Dan gue yakin, itu adalah suatu balasan dari perbuatannya. Gue ... telat bantu lo, maaf. Semua mimpi yang lo kirim ... gue benar-benar menyia-nyiakan semuanya."

Mata Stevlanka teralih ketika ada bayangan dari belakang tubuhnya. Ia menoleh, dan ternyata ada Karisma yang berdiri di belakangnya. Ia berpakaian hitam dengan topi yang senada. Melipat tangannya di depan dada. Stevlanka berdiri, menatap Karisma tajam.

"Makasih doanya, Stevlanka. Gue seneng lo masih bisa mendoakan gue," kata Karisma terlihat angkuh. Sama sekali tidak ada rasa bersalah. Ia melirik ke bawah, ke arah makam Tiana. "Orang nggak guna seharusnya pergi lebih dulu. Satu per satu, baru ke tokoh utamanya." Pandangannya tertuju pada Stevlanka.

"Oh, iya, turut berduka cita, ya. Dan jangan lupa bahagia, Stevlanka. Jangan sok sibuk sama masa lalu seseorang atau ikut campur hidup orang. Benerin aja hidup lo yang berantakan itu," kata Karisma. "Tutup aja semua aib lo," ia kembali menambahkan.

Stevlanka mengepalakan tangannya di bawah sana. Menatap tajam mata Karisma. Hanya diam dan mendengarkan ucapan Karisma. Hingga Karisma berbalik meninggalkan Stevlanka yang masih diam.

Stevlanka menggertakkan rahangnya. Tidak, ia tidak bisa diam seperti orang yang lemah. Membiarkan dirinya ditindas, oleh orang yang sama? Tidak. Dengan langkah yakin, Stevlanka berjalan cepat mengejar Karisma. Saat keluar dari area pemakaman, Stevlanka mencengkram tangan Karisma membalik tubuh gadis itu dengan kasar.

"Apa yang lo mau sebenernya, Kar?" tanya Stevlanka dingin. Karisma melirik cengkraman tangan Stevalnka. Kemudian, ia hempas dengan kasar.

"Jangan sentuh gue pakai tangan kotor lo itu. Lo pengen tahu apa yang gue mau?" Karisma menaikkan satu alisnya. "Liat lo hancur sehancurnya. Sampai nggak ada satu pun orang yang peduli sama lo, bahkan ayah lo sendiri. Gue pengen semua orang menjauhi lo karena lo sendiri yang membuat mereka pergi."

"Gue pengen lo melukai semua orang pakai tangan alien lo itu! Lo nggak seharusnya hidup berkeliaran kaya gini. Seharusnya lo diasingkan, diacuhkan, atau kalau perlu lo ada di rumah sakit jiwa!" Karisma meledak-ledak.

"Lo itu nggak normal, lo gila! Mental lo terganggu! Semua hidup lo itu nggak normal. Lo ... cuma pantas berada dikumpulan orang-orang yang sejenis kaya lo. Lo nggak pantas bahagia, Stevlanka! Selamanya hidup lo adalah kepedihan yang nggak akan ada ujungnya!" Karisma hingga berkaca-kaca penuh amarah. Ia menarik napas. Kemudian, melewati Stevlanka yang masih diam mematung. Dia terperanjat. Bahkan setelah Karisma pergi meningalkannya, semua ucapan karisma tertinggal dan mencabik-cabik batin Stevlanka.

Gue seburuk itukah? 

***** 

Thanks for reading.

Jangan lupa vote, komen, dan share.  I'll do my best. 

Tanindamey
Sabtu, 13 Maret 2021

revisi: Sabtu, 25 Desember 2021

Continue Reading

You'll Also Like

543K 36.6K 44
menikah dengan duke Arviant adalah hal yang paling Selena syukuri sepanjang hidupnya, ia bahkan melakukan segala cara demi bisa di lirik oleh Duke Ar...
238K 20.6K 20
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
1M 76.8K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
1M 101K 31
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...