The lethe ✔️

By jeonnayya_

5.7K 584 1.8K

Seteguh dan sekuat apa keyakinan itu berpijak di antara kerasnya batu, suatu saat pasti juga akan jatuh, atau... More

Prologue
1 | Complicated problem
2 | After deliverance
3 | The monochrome
4 | Actual conflict
6 | Life is war
7 | As a lilac
8 | That like a sitcom
9 | Hidden purpose
10 | De una vez
11 | Sweet villain
12 | The finale
13 | The Lethe
Epilogue | Everythingoes
Afterlethe

5 | Losing the game

346 37 94
By jeonnayya_


Seakan seperti melodi yang tercipta dari alunan sebuah biola yang menggesek setiap kunci-kunci dawai yang tersusun di sana. Melantunkan senandung damai yang menyejukkan hati dan seakan candu untuk merebak pada kedua rungu. Sejenak, Ryu berpikir setelah kalimat terakhir wanita Bae teralun, ia merasa bahwa dirinya sudah keluar dari posisi awalnya sesaat. Terhempas jauh, di tempat antah-berantah hingga sukses tak dapat membuatnya berpikir. Ryu memang tak dapat sedetik saja lengah. Yunhee bukanlah lawan main yang bisa ia anggap sepele. Bahkan ketika bongkahan kenyal—semerah ceri itu mengecupnya tanpa permisi, sudah sukses membuat akal Ryu kembali hilang hingga bentangan bumantara dan melupakan semua niat awalnya, berkunjung selarut ini.

Masih di posisi yang sama, dengan wanita Bae yang duduk di antara kedua paha yang kuat menopang itu dan seakan menjadi tempat paling nyaman, keduanya hanya diam dengan tatapan yang saling tak terartikan satu sama lain. Jelas ada kecanggungan di sana. Yang membuat birai keduanya seakan kelu untuk menyusun dan melontarkan kalimat selanjutnya. Ryu hanya berdehem singkat, tanpa beranjak dari duduknya. Perlahan menatap sepasang iris amber yang tampak berkilau itu, dengan seksama. "Tolong jangan mengalihkan apa yang sedang kita bicarakan sekarang."

"Oh, jadi mau dibahas dengan serius begitu?" tanya Yunhee dengan air muka tenangnya. Sejenak mengangguk mengerti kemudian kembali mendongak untuk menatap Ryu kembali. "Tapi aku kalau sedang mode serius, jadi lebih menggoda. Mentalmu kuat kan?" tambahnya dengan alis terangkat sebelah.

Ryu diam-diam menghela napas kasarnya. Tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran wanita Bae dengan segala teka-teki yang sengaja dia sembunyikan. Sungguh di dalam bilik relungnya, ia sudah banyak menyekat apa itu ribuan tanda tanya tentang semua hal yang sialnya berhubungan dengannya. Ryu hanya mengulum senyumnya singkat sambil mengubah semua strategi yang ia susun sebelum menjejalkan kedua tungkainya di ubin dingin ini. "Aku juga kalau sedang dalam mode seperti ini, jadi meresahkan. Yakin bisa menahannya?" godanya balik sambil mencoba menusuk tatapan tenang itu dengan sepasang obsidian miliknya. Tak lama setelahnya Ryu memainkan rahang tegasnya dan memandang wanita Bae tanpa jengah.

"Mode apa?" tanya Yunhee dengan wajah polosnya. Sungguh, mendapati air muka sedemikian rupa membuat Ryu diam-diam menahan buncahan kegemasannya. Kenapa bisa seorang Yunhee memiliki duality seindah dan semenakjubkan ini. "Mode buas maksudnya?"

Tak lama setelahnya Yunhee memilih turun dari pangkuan Ryu, sebelah lengan yang sebelumnya terkalung nyaman di belakang leher Ryu, perlahan ikut turun dan kemudian beranjak—kembali duduk ke posisi awalnya. Tentu wanita Bae punya alasan di balik apa yang ia lakukan. Mendapati sesuatu yang mengganjal dan mengeras di sana, sukses membuat duduknya tak nyaman. Tapi diam-diam saat ia berjalan, dan meraih gelas winenya kembali. Ia sedikit menerbitkan senyumnya lagi. Tidak menyangka saja, ternyata efeknya sebesar itu.

"Aku tidak bisa membicarakan semua rencanaku. Aku tidak bisa percaya dengan semua orang yang akan terlibat di kasus ini. Termasuk juga kau. Dan perlu kau ingat jika kau tidak seharusnya terlalu percaya denganku, Ryu." terang Yunhee sambil menggoyang-goyangkan gelasnya dengan sisa cairan anggur yang masih tersisa di sana. "Mungkin bisa saja kita kini berada di satu kubu dengan tujuan yang sama dan jelas aku mendukungmu. Tapi tidak tahu juga kan, ke-esok harinya kita bisa jadi lawan?"

Yunhee yang sebelumnya menatap jendela kaca dari balik tirai yang terbuka, dengan binaran cahaya lampu kota yang membias perlahan berpindah dan mulai meniti tatapan Ryu kembali. "Aku juga tidak segan untuk menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalanku. Sesulit apapun rintangan yang akan menghadangku di depan sana, kali ini aku ingin jadi pemenangnya. Hanya aku."

Ryu hanya tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Perlahan ia mengerti dan memahami maksud dan tujuan dari Yunhee. "Tapi sepertinya ini sudah menyimpang sejak awal. Kita tidak pernah berada di pihak yang sama." sangkal Ryu dengan pemikiran logisnya.

Mendengar itu Yunhee hanya memberikan wajah tak percayanya. Ekspresinya seperti berbicara benarkah, kau yakin? "Calm down, Sir. Tidak akan ada yang tahu bagaimana ke depannya. Bisa saja, di suatu situasi yang menghimpitmu begitu erat. Hanya aku-lah jalanmu keluar. Kau mungkin hanya punya satu kartu as, tapi aku yakin kartu as-ku dan yang lainnya lebih banyak darimu karena aku tidak hanya bermain dalam satu tempat. Bukankah aku tidak salah memilih lawan?"

"Berhenti memanggilku dengan sebutan Sir."

Yunhee tersenyum pongah, dengan air muka innoncentnya,  tapi sorot matanya jelas menyiratkan jika ia sedang menggoda Ryu kembali. " Kenapa? tidak baik untuk kesehatan jantungmu, atau untuk kesehatan yang di bawah sana?"

"Sukses membuatmu terangsang, ya?" tanyanya lagi dengan nada kelewat bar-bar. Mendengar itu Ryu kembali menerbitkan senyumnya hingga refleks lesung pipit itu hadir. Masih dalam perangai tenangnya, ia dengan cepat menimpali sahutan wanita Bae bersamaan dengan tatapan tajamnya. "Jangan terlalu meremehkanku Hee-ya, aku bahkan bisa saja membuatmu merasa lemah di bawah kungkunganku saat ini juga." Bukan main, setelah melontarkan kalimat itu, Yunhee merasa aura dominan Ryu begitu menguar hebat. Yang membuatnya diam-diam terkejut dan juga kagum dalam satu waktu.

"Benarkah?"

Ryu tidak menjawab pertanyaan Yunhee kali ini. Baginya itu hanya akan merugikan dirinya sendiri jika ia tetap menuruti semua kalimat wanita Bae yang pada akhirnya hanya akan menggagalkan seluruh fokusnya. "Yang masih aku tidak mengerti, jika saja kau sudah tahu lawan main dan cara bermainnya. Kenapa tidak menyerangnya sendiri. Kenapa harus melibatkan banyak orang?" tanya Ryu dengan air muka yang seakan tak sabar untuk mendengar tuturan wanita Bae.

Di lain benak, Yunhee hanya menimpali dengan wajah tenangnya—setenang aliran air tanpa arus yang deras. Seolah tidak tergolak sama sekali. Bahkan tahu-tahu ranum tipis dengan lipstik maple mochanya itu malah menyunggingkan senyumnya lagi. Padahal tidak ada yang lucu di sini. " Dengar Ryu, aku memang bisa mengatasinya lebih cepat atau mungkin dengan tanganku sendiri. Tapi bukankah itu akan hambar dan sepi? bukankah lebih seru jika kita melibatkan banyak pihak?"

"Aku itu kalau ingin menghancurkan suatu hal yang tidak kusukai, maka akan kuhancurkan sampai tidak ada yang tersisa. Ibaratnya, kenapa harus setengah-setengah jika kau bisa melakukan hal itu dengan mudah dengan mempertaruhkan seluruh kemampuanmu atau bahkan sampai ambang batasmu." jelasnya dengan intonasi kelewat tenang mendayu. Namun di lain sisi membuat Ryu diam-diam meneguk salivanya kasar. Pikirnya, Yunhee kali ini benar-benar akan menghancurkan orang itu tanpa ada ampunan yang tersisa.

"Aku tidak hanya akan menghancurkannya, aku juga akan membuatnya kehilangan apa itu kepercayaan, martabat, kehormatan, dan juga akan kubuat dia merasakan hidup yang dulu aku rasakan. Bukankah terkadang kita harus bersikap adil, Jaksa Ryu?" tanyanya.

"Bagaimana bisa, Hee-ya. Bukankah itu keterlaluan?" ucap Ryu dengan nada sedikit khawatir. Entah khawatir tentang Yunhee dan seluruh resiko yang akan mengikutinya perlahan—atau tentang yang lain.

Yunhee menuangkan kembali cairan wine itu ke gelasnya yang telah kosong. Bahkan hingga penuh. Lantas meminumnya dalam sekali teguk, dan berakhir tanpa sisa. "Apanya yang keterlaluan. Aku hidup tanpa perasaan, Ryu. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan bagaimana perasaan mereka. Karena ketika kau balas dendam, kau harus melupakan seluruh perasaanmu, Ryu. Itu akan melemahkan jika kau terus menjaganya untuk tetap ada."

Tak lama setelah kalimat Yunhee teralun, tiba-tiba saja getar ponsel Ryu terdengar yang nyatanya sukses membuat atensi keduanya berpindah. Sepasang jelaga milik Ryu langsung sedikit membola—kaget bersamaan dengan tangan besarnya yang perlahan bergetar saat melihat suatu pesan di sana. Wanita Bae juga sukses terkejut saat menemui air muka Ryu yang langsung menyusut drastis. Gusar, khawatir itu terlukis jelas dari balik iris ambernya. Apalagi ketika sejemang kemudian Ryu memilih bangkit dari duduknya dan berucap untuk pamit lebih awal. Dan setelahnya Yunhee benar-benar semakin di hadang penasaran.

Bahkan ketika Ryu tak menyahuti ucapannya untuk terakhir kali sebelum menapak keluar dari huniannya, tidak tahu kenapa wanita Bae mendadak kesal dan kecewa. Apakah kini ia sedang mengharapkan hal lain? mengharapkan Ryu bersamanya, bahkan hingga fajar menyingsing dan menyapanya dari balik ranjang hangat itu, berdua? karena hubungan keduanya tidak sesederhana itu. Jelas sudah berada di level yang berbeda.

.

.

.

"Dia bukan lawan yang mudah, Daepyeonim." ucap pria dengan kulit seputih pualam itu sambil meregangkan dasi yang masih terpasang rapi di balik kemeja kerjanya. Sedangkan lawan bicaranya, hanya tersenyum simpul saat mendengar tuturan itu. "Aku tahu, oleh sebab itu aku menyuruhmu untuk mengusut semua tentangnya."

"Dia memang hanya gadis lemah dan dingin, delapan tahun yang lalu. Tapi sekarang sudah berbeda jauh. Aku hanya ingin tahu siapa orang yang mendongkraknya hingga bisa sesukses ini. Aku sudah membunuh kedua orang tua dan pamannya. Apakah dia punya orang lain?" ujarnya dengan dahi yang berkerut. Pria dengan bariton yang terdengar begitu serak itu kemudian mengambil beberapa laporan tentang suatu hal yang ia telusuri akhir-akhir ini.

"Tidak Daepyeonim, dia hidup sendirian selama kurang lebih dua tahun ini di Amsterdam. Aku sudah mengamatinya sejak lama. Jangan lupakan bahwa aku punya banyak informan."

"Ya, aku mengerti. Itu sebabnya aku memilihmu, karena kau handal dalam hal ini. Apakah dia memang benar-benar ingin menghancurkanku kali ini?" tuturnya sambil perlahan menyalakan sigaret yang ia ambil dari balik saku jasnya. Lantas ia juga memberikannya pada si pria pucat tadi. Sepersekon kemudian hanya ada kepulan asap yang mengepul pada bentangan meja bar mewah itu.

"Tentu saja Daepyeonim, aku yakin akan hal itu."

Pria dengan sepasang netra yang kilaunya bagaikan bulan sabit itu hanya tersenyum tipis dengan air muka yang terlihat ambigu. Entah dia senang atau lainnya. Tidak tahu yang pasti, seakan itu jadi teka-teki tersendiri. "Dia memang ingin menghancurkanmu, Tuan Kim. Kenapa kau belum paham juga bagaimana siasatnya?" batinnya dalam hati sambil menatap lawan bicaranya yang sebelumnya berani menodongkan pistol itu di pelipisnya.

"Aku sudah tahu kelemahan seorang Bae Yunhee, Daepyeonim. Tapi aku tidak akan memberitahumu karena aku juga memiliki tujuan lain."

"Ryu Namjoon. Itulah kelemahan dan juga kartu jokernya. Dia yang memulai dan akan mengakhiri semuanya. Dia juga yang akan menjadi kunci dari segala permainan ini."

.

.

.

Ryu langsung bergegas untuk pergi dari apartemen Yunhee saat ia mendapati kabar bahwa keadaan Seokjin semakin melemah setelah menjalani operasi panjangnya. Ia lantas pergi ke rumah sakit lagi dan menemuinya. Tapi entahlah, malam ini langkahnya begitu berat. Terseok-seok oleh segala teka-teki yang seakan terus menghentikan tungkai panjangnya berjalan.

Harapnya, ketika ia menemui wanita Bae, ia akan mendapatkan setidaknya satu hingga dua petunjuk. Tapi sialnya, ia tidak mendapatkan apa-apa selain godaan dan kalimat-kalimat yang memusingkan. Ryu tahu itu hanya untuk mengecoh fokus dan tujuannya, dan ia rasa dirinya masih perlu untuk berdiam diri dan menafsirkan semuanya kembali. Tapi, seakan kini sang waktu sudah menghimpitnya begitu begitu datar nyaris terpojokkan, hingga tak mengijinkannya berpikir barang sedikitpun.

Tepat ketika ia sudah berada di depan ruang rawat inap yang dijaga dengan intensif oleh beberapa perawat, jelas di sana ia tak menemukan kerabat atau keluarga dari Seokjin. Ryu lantas mendudukkan dirinya sejenak di kursi tunggu sembari menunggu dokter yang menangani pria Jang. Menghela napasnya kelewat kasar, bersamaan memijat pelipisnya yang tampak semakin pening. Ryu tidak mengerti lagi, saat memikirkan bagaimana sidang kedua yang akan ia lakukan dua hari lagi.

Bukti tentang kasus In Kyu, hanya Seokjin yang tahu. Ryu tidak mengerti, harus memulai darimana dan bagaimana. Semuanya datang bertubi-tubi. Apalagi ketika ia mengingat kata-kata terakhir Seokjin sebelum kesadarannya hilang, bahwa ia harus memenangkan kasusnya apapun yang terjadi. Sungguh, sadar tidak sadar itu semakin membuat beban yang menumpu kedua bahunya terlampau berat.

Di balik kegusaran yang tengah menempa dan menyelimuti diri Ryu begitu konsistensi, sadar tidak sadar tengah ada orang lain yang memperhatikannya dari kejauhan. Atau tepatnya, dari balik dinding beberapa langkah dari ruangan Seokjin. Pria dengan surai hitam klimisnya yang tampak berkilau rapi hingga dahi paripurnanya terpampang jelas. Aroma cologne itu juga tampak khas seakan berpadu sempurna dengan aura maskulinnya. Postur tubuhnya tinggi—dan tampak gagah memakai setelan turtleneck hitam senada dengan warna mantelnya.

"Haruskah kupanggil jaksa Ryu, atau Hyung saja?" gumam pria bertahi lalat di bawah bibir itu sambil menyematkan tangannya pada sebelah saku celana. Menatap Ryu dari kejauhan dengan air muka yang sulit tertebak. "Ah, masa bodoh dengan itu. Kuharap, kau membayar apa yang sudah kau perbuat. Dan menyelesaikan, apa yang kau mulai."

"You have already lost this game, ever since it started, Jaksa Ryu. Kau seharusnya tidak segegabah ini." ucapnya sebelum perlahan melenggang pergi.

Lamunan Ryu memburam dan perlahan hilang saat sedetik setelahnya beberapa orang yang Ryu yakini itu berasal dari kepolisian dan juga detektif di sana mulai berjalan ke arah dirinya. Dan benar, langkahnya berhenti tepat di depan Ryu. Setelahnya Ryu hanya bisa terkejut sampai tidak bisa berkata saat dengan tiba-tiba salah satu dari anggota kepolisian itu berucap yang menurutnya semakin tidak masuk akal. Benar-benar gila.

"Permisi, Jaksa Ryu. Kami mendapatkan laporan jika anda terlibat dalam penyerangan Jaksa Penyidik—Jang Seokjin. Jadi kami harus menangkap anda, dan membutuhkan beberapa informasi dan kejelasan dari kasus ini. Sekali lagi, kami mohon kerjasamanya." ucapnya sebelum menarik Ryu dan membawanya untuk ikut dengan mereka. Tangan Ryu tahu-tahu sudah diborgol, tanpa bisa melepaskan dirinya lagi.

Tapi sebelum langkahnya semakin menjauh dan meninggalkan ruangan Seokjin. Ryu yang masih tidak menyangka akan sebegitu peliknya drama dari balik peristiwa penembakan pria Jang hanya membuka suaranya teramat lirih. Ini adalah pertanyaan terakhir yang ia layangkan, sebelum akhirnya ia akan benar-benar bungkam. "Maaf, kalau boleh tahu. Siapa yang mengajukan laporan itu?"

Salah satu detektif itu menoleh, dan menjawab dengan intonasi kelewat tenang. " Dia, adik tiri Jang Seokjin. Pemilik arcade terbesar dan pengusaha real estate dari Seoul—Ko Jungkook."

[ ]










Continue Reading

You'll Also Like

5.3K 283 7
21+ Fantasi + adult + romantis. Delia wanita yang sudah menikah selama 3 tahun depan Sean seorang pengusaha muda dan sukses pernikahan yang pikir aka...
120K 9.6K 86
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
5.2K 830 10
[Fushiguro family] Tanggal 22 Desember di Jepang dikenal sebagai Hari Toji, yaitu hari dengan jam siang terpendek dalam setahun. Pada tanggal 22 Dese...
9.7K 1K 6
.... Tapi karena ada sebuah perasaan terpendam di hati Hoseok yang tak pernah ia ungkapkan kepada Yoongi sejak dulu. "Hob-hyung, jadilah pacarku," Ta...