ATLANTAS || END

By badgrik

276K 21.9K 2K

[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam m... More

Prolog
01. Permulaan
02. SMA Delton
03. Insiden
04. Tawuran dan Pencarian
05. Jaket
06. Jalan-Jalan Ke Mall
07. Abel Hilang
Cast + Nama + karakter Pemain
08. Markas Vagos
09. Berlalu
10. Bertemu Kembali
11. Apartemen
12. Berangkat Bersama
13. Penasaran
14. Turnamen Futsal
15. Atlantas Dan Alex
16. Bimbang
17. Gosip Sekolah
18. Simpang Siur
19. Gudang Sekolah
20. Fakta Yang Sebenernya
21. Syndrome Sandi
22. Senja Di Rumah Sakit
23. Antara Abel, Atlantas & Alex
24. Orang Tua Abel
25. Hal Indah Di Rumah Atlantas
26. Penyerangan
27. Antara Bandung Dan Jakarta
28. Cerita Di Dufan
29. Malam Minggu
30. Setan
32. Tentang Atlantas
33. Mimpi Abel
34. Meniti Ke Akhir Cerita
35. (Bukan) Akhir Segalanya
Ucapan Terima kasih
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3 • Special POV Atlantas
Cerita Baru
Grub Atlantas
Info Bahagia?
Atlantas Versi Baru?

31. Kotak Bekal

4.1K 388 32
By badgrik

“Kadang hidup itu terasa sangat lucu. Hari ini kamu bahagia, besoknya kamu merasa jatuh sejatuh-jatuhnya,” —Atlantas.


🏍️🏍️🏍️

Sesuai perkataanya sendiri, hari ini Abel akan membuatkan bekal untuk Atlantas. Hanya sekotak nasi goreng dan sebotol susu hangat. Dia tidak tau apakah susu akan cocok dengan cowok tersebut. Tapi, semoga aja cocok.

Setelah membuat kotak bekal tersebut ke dalam paper bag bermotif batik, Abel langsung berjalan menuju ruang tengah. Mengambil tas dan memasang sepatu.

Lho, sayang. Jam sekarang kamu berangkat?” tanya Killa yang kebetulan lewat mau ke dapur. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 6 lewat 40 menit.

“Mau jadi satpam sekolah kamu?” tambah Killa mendekat ke arah sang anak.

“Bukan, Ma. Tapi, Abel sengaja berangkat pagi-pagi biar nggak telat. Abel mau naik Bus sekolah hari ini.”

“Banu nggak bisa antar kamu?” kernyitan di dahi Killa semakin menjadi-jadi. “Kamu ini jangan aneh-aneh deh. Bel. Mama nggak mau ya kamu kedorong-dorong pas di dalam Bus.”

Abel tersenyum ke arah Killa. “Abel pasti baik-baik aja, kok, Ma.”

“Sok tau kamu,” sahut Killa.

Abel hanya terkikik pelan. Menyelesaikan masalah sepatunya dan langsung berdiri.

“Abel berangkat dulu, Ma. Assalamualaikum.” Abel menyalimi tangan Killa, lalu digiring wanita tersebut menuju teras. Bertepatan dengan datangnya motor kebesaran Atlantas.

Senyuman Abel semakin lebar.

Atlantas melepaskan helm-nya dan turun dari motor.

“Atlantas jemput kamu? Katanya mau naik Bus. Kamu ini gimana, sih, Bel.”

“Barengan, Ma. Kak Atlas sengaja ke sini duluan biar bisa bareng-bareng ke halte.”

“Ke halte jalan kaki?”

“Iya, Ma.”

Astagfirullah.”

“Pagi, Tante,” sapa Atlantas dengan wajah datar andalannya.

Killa tersenyum ramah. “Pagi juga, Atlantas. Kalian mau berangkat sekarang?”

Atlantas melirik ke arah Abel yang mengangguk sekali.

“Iya, Tante. Sekarang aja biar nggak ketinggalan Bus.” Atlantas kembali menatap Killa. “Kalau begitu kami berangkat dulu, Tan.”

“Yaudah. Hati-hati ya kalian di jalan.” Killa mengusap-usap pelan rambut Abel. “Sekalian ya Atlantas, Tante minta tolong buat jagain Abel di dalam Bus. Takut ke dorong. Apalagi badan Abel ini kecil. Enak banget didorongnya.”

“Iya, Tante,” sahur Atlantas mengangguk.

Sedangkan Abel merasa malu. “Ish, Mama tuh nyebelin!” Abel mengerucutkan bibirnya. “Abel nggak kecil, cuman belum tumbuh doang.”

Killa hanya tertawa pelan.

“Satu lagi, Atlantas. Anak Tante ini mudah ngambek. Kalau nggak tahan lempar aja keluar Bus.”

“Mamaaa,” rengek Abel.

Lagi dan lagi Killa tertawa.

“Sayang, dasi Mas di mana?”

Killa menoleh ke belakang. Suaranya Frams.

“Ayah manggil Mama. Kalian berangkat aja, ya. Hati-hati dijalan.”

“Sayang! Kamu dengar Mas tidak?”

“Iya, Mas. Sebentar,” sahut Killa setengah berteriak. Lalu menatap kedua remaja di depannya dengan senyuman yang masih terpatri indah di wajahnya. “Mama masuk duluan, ya. Ingat, jangan tergesa-gesa. Sekolah kalian juga nggak bakalan hanyut, kok.”

“Iya, Ma.”

Good girl.”

Lalu Killa pun masuk ke dalam rumah dengan lari kecil. Karen sang suami yang mulai berteriak-teriak.

“KILLA, JANGAN LARI-LARI! NANTI JATUH!”

Abel menarik tangan Atlantas. “Ayo, Kak.”

“Hm.”

“Nyokap lo ....”

“Kenapa?” Tanya Abel. Dia menutup pagar.

“Baik,” jawab Atlantas.

“Mama emang perempuan yang baik dan cantik. Jadi, nggak aneh kalau Ayah suka sama Mama.”

Atlantas jadi mengingat kejadian malam minggu di rumah Abel saat di meja makan.

“Ayah lo posesif,” ucap Atlantas blak-blakan.

“Semua orang bilang kayak gitu, pasti.” Abel mengeratkan pegangannya pada tali paper bag. “Tapi, kenyataannya memang seperti itu. Ayah adalah orang yang posesif terhadap keluarganya. Terlebih-lebih lagi kepada Mama. Mama bahkan kadang sampai nggak bisa ke mana-mana kalau Ayah udah marah.”

Atlantas setia mendengarkan.

“Ayah itu ... cowok yang hebat. Kata Mama, dulu Ayah itu orang yang cuek banget.” Abel melirik ke arah Atlantas. “Persis kayak Kak Atlantas. Cuek, jutek, dingin, cool.

“Waktu itu Mama masih zaman SMA dan Ayah udah kuliah. Mama orang Kalimantan, sedangkan Ayah orang Jakarta asli. Mama merantau ke Kota orang biar bisa mendapatkan pendidikan yang jauh-jauh lebih bagus.”

“Mama itu ceria, baik, ramah, dan tentu saja cantik. Mama selalu dapat tawaran jadi model di mana-mana karena wajahnya itu benar-benar kayak bidadari.”

Atlantas mengangguk. Dia akui wajah Mama Abel memanglah sangat cantik. Bahkan diusia sekarang aja masih bisa menonjolkan sisi kecantikan naturalnya.

“Sampai akhirnya waktu itu Mama terima salah satu tawaran dari temannya, kebetulan saat itu yang jadi juru fotonya adalah Ayah. Jadi, pertemuan pertama mereka itu di studio.”

“Walaupun Ayah juru foto yang hebat, tapi lihat sifat Ayah yang cuek itu kadang bikin Mama geregetan. Lambat laut ya Mama mulai gencar dekatin Ayah.”

Abel tersenyum membayangkannya. “Dan istilah 'batu keras yang terus-menerus ditetesi air akan hancur' itu pun akhirnya jadi kenyataan. Mama berhasil membuat Ayah jadi bucin. Setelah Ayah lulus kuliah dan mulai kerja, Ayah nekat lamar Mama. Eh, siapa sangka malah di iyain aja sama Kakeknya Abel.”

“Perjalanan cinta yang romantis, bukan?” sambung Abel seraya me atap lurus ke arah depan. Sedikit lagi mereka akan sampai menuju halte.

Atlantas mengambil tangan Abel yang kosong, lalu menggenggamnya erat seraya mendekat ke arah telinga cewek tersebut.

“Kalau begitu, ayo buat cerita romantis,” bisik Atlantas lembut. “Nggak perlu jadi batu dan air. Kita buat jalan sendiri yang yang jauh lebih romantis. Mau?”

Abel tersenyum malu. “Kalau bukan batu, terus Kak Atlas itu apa? Kerang?”

“Benua buat, Arabella,” jawab Atlantas dengan suara deep-nya.

Abel sedikit tertawa kecil. “Lho, kenapa Benua, sih?” tanya Abel yang diacuhkan oleh Atlantas karena Bus yang mereka akan naik sudah sampai.

🏍️🏍️🏍️

Atlantas dan Abel turun dari Bus. Di belakang mereka banyak bisik-bisik yang mempertanyakan kenapa sang Cassanova bisa menaiki Bus, bersama cewek lagi.

“Itu yang namanya Abel, ya? Manis sih anaknya. Tapi, gue nggak terima anjer.”

“Nyesel gue naik Bus ini. Jadi, lihat Kak Atlas uwu-uwuan lagi kan sama Abel. Nggak puas apa udah buat siswi-siswi Delton potek akibat adegan di lapangan dulu.”

[ eps¹³ : buat yang lupa ]

“Lah, beneran pacaran mereka? Haeladalah, berkurang dah stok cogan bersama di Delton.”

“Dilihat-lihat, sih, cocok. Gue jadi nge-ship mereka. Gas ajalah. Gue kawal sampe pelaminan.”

Setelah itu entah apa yang mereka ucapkan, Abel tidak bisa mendengarkannya lagi karena Atlantas keburu membawanya lebih cepat menuju gerbang sekolah.

Abel menahan tangan Atlantas. “Kak, lepasin,” cicit Abel pelan. Dia belum siap go publick. “Kalau satu sekolah lihat kita gandengan kayak tadi, habis riwayat Abel sama fans-nya Kak Atlas.”

Atlantas sedikit menepi. “Lo takut?”

Abel bersungut sebal. “Pakai nanya lagi. Ya, Abel takutlah.”

Atlantas merapihkan rambut Abel. Entah sejak kapan dia jadi suka memainkan rambut cewek tersebut.

“Ngapain takut?”

Abel jadi salah tingkah. Perpaduan antara suara deep Atlantas dan pergerakan tangan cowok tersebut di rambutnya membuat tubuh Abel jadi panas dingin.

“Takut kejadian Daisy terulang lagi?”

Abel mengangguk lemah.

“Itu alasan gue nyuruh lo bawa jaket Bandidos hari ini. Lo bawa, kan?”

Malam minggu Atlantas memang sempat menyuruhnya tuk membawa jaket tersebut. “Iya, Abel bawa, kok. Buat apa?”

“Pakai saat ini juga.”

“Iya. Tolong pegangin sebentar dulu paper bag-nya. Eh sekalian aja deh pegang. Itu bekal buat Kak Atlas.”

“Hm.”

Abel membuka tasnya dan langsung mengambil jaket yang sering digunakan oleh Anak Bandidos dan memakainya.

“Jangan di lepas kalau lo keluar dari kelas.”

“Kenapa gitu? Abel selalu disuruh buat makai jaket ini?”

“Nanti gue kasih tau. Nggak sekarang. Tunggu aja, Jadi, jangan dilepas. Mengerti?”

Abel mengangguk. “Iya, ngerti, kok.”

Atlantas mengacak-acak rambut Abel. Lalu menggenggam tangan cewek tersebut. “Jangan takut, ada gue. Lambat-laun juga seisi sekolah bakalan tau kalau kita pacaran. Jadi, buat apa disembunyikan.”

Blush

Wajah Abel memerah. Benar kata Atlantas, semuanya pasti akan tau hubungan mereka. Jadi, buat apa dia takut? Dia yakin Atlantas bisa menepati perkataanya sendiri.

“Abel nggak takut lagi. Kan, udah ada Kak Atlas. Abel percaya sama Kak Atlas.”

Atlantas hanya mengeratkan genggamannya. Menunjukkan kekuatan untuk dia—tidak, untuk mereka berdua.

🏍️🏍️🏍️

Beritanya menyebar luas dengan cepat. Atlantas tidak memperdulikannya. Banyak gosip yang menyebar dari satu mulut ke mulut lainnya.

Anji yang duduk tidak jauh dari Atlantas sedikit berbisik kepada Ucup.

“Cup, Atlantas bawa bekal? Seriusan? Gue nggak buta sendiri, kan?”

“Apa, sih.” Ucup mendorong pelan tubuh Anji yang lumayan dekat dengannya.

“Itu, si Atlantas kesambet apa jadi bisa bawa bekal?”

“Malak punya adik kelas kali,” opini Ucup yang ditolak mentah-mentah oleh Anji.

“Itu, sih, kelakuan Liam sama Leo. Kalau enggak ya gue atau lo.”

“Halah, babi.” Ucup tidak mood berbicang dengan Anji saat ini. Dia langsung keluar dari kelas.

“Kenapa dah tuh anak.” Anji menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kayak cewek aja.”

Di sisi lain lagi, Atlantas memakan bekal buat Abel dengan diam.

“Dari Abel?” tanya Sean tepat sasaran. Didengar dari gosip yang beredar dan kegilaan Atlantas pada cewek tersebut, tentu saja Sean bisa menebak dengan baik. Terlebih lagi hanya cewek tersebutlah yang dekat dengan Atlantas saat ini.

“Hm.”

“Sejak kapan lo sedekat ini sama Abel? Udah nggak main bawah tanah lagi?”

Bawah tanah yang di maksud Sean adalah saat Atlantas yang memantau segala kegiatan Abel hanya melalui cctv.

“Rumah putih.”

Sean mengangguk. “Rumah lo yang ditengah hutan itu, kan?”

“Iya.”

Sean bersandar di kursi. Pagi ini mereka mendapati jadwal kosong karena Pak Hardi—selaku guru olahraga tidak bisa berhadir. Dan kelas terlihat sangat ricuh, apalagi ada Anji sebagai ketuanya.

“Kenapa tiba-tiba?” tanya Sean penuh makna.

“Udah saatnya. Bukan tiba-tiba.”

Sean menatap Atlantas serius. “Kalau gue jadi lo, gue bakal bawa Abel ke pulang kosong. Hidup berdua dan menikmati sisa-sisa hari bersama. Sebab, udah terlalu banyak waktu yang gue buang-buang karena hanya pantau dia lewat cctv.”

“Ide bagus,” ucap Atlantas. “Tapi itu bukan gaya gue. Itu gaya lo.”

Sean terdiam. Meraka saling memandang dengan tatapan yang sukar dijelaskan. Terlalu banyak misteri di antara mereka berdua.

“Dia milik gue. Jelas dia hanya untuk gue,” ucap Sean tegas. “Dan gue bisa pastikan, kalau dia bahkan tidak bisa lari lima langkah dari gue.”

“Dengan cara menyembunyikannya, menekannya, dan membawanya jauh dari signal?” Atlantas terkekeh sinis sedangkan Sean menggeram pelan.

Topik ini adalah topik yang cukup sensitif untuk Sean.

“Gue bukan lo. Dan lo benar, itu gaya gue. Sembunyikan dia hanya untuk gue.”

Atlantas mengemasi kotak bekal berikan Abel dan membuatnya kembali ke dalam paper bag.

“Itu terserah lo. Kita punya cara masing-masing buat jaga milik sendiri,” ucap Atlantas cepat. “Kalau gue segila lo, mungkin gue bakalan berbuat jauh lebih dari itu.”

Sean mengangguk menyetujui.

“Hari ini gue akan ke sana,” ucap Sean mengehentikan pergerakan Atlantas.

“Hati-hati.” Hanya itu yang Atlantas ucapkan. Lalu melewati Sean—meninggalkan kelas.

Sean menatap ke luar jendela. “Cih, gue lakuin ini semua kebaikan dia dan sebagai hukuman karena dia memasuk teritorial gue,” desisnya.

🏍️🏍️🏍️

Atlantas berjalan dengan santai di koridor. Dia berniat untuk mendatangi kelas Abel saat ini. Entah kenapa dia merasa akan jauh lebih bernafsu jika makan sambil melihat cewek tersebut.

Sesampainya di depan kelas cewek tersebut, Atlantas mengetuk beberapa kali pintu—menyita seluruh perhatian siswa-siswi di dalam kelas tersebut.

“Abel mana?” tanya Atlantas tanpa basa-basi kepada salah satu siswi yang kebetulan mau lewat.

“Uks, tadi dia pingsan.”

Atlantas mengeratkan pegangannya pada tali paper bag, dan langsung berlari menuju UKS.

“Sialan! Dia kenapa?!’

Bruk

Atlantas mendorong keras pintu UKS, membuat Abel serta teman-teman terlonjak kaget.

“HEH, BABI! GUE KAGET BANGET ANJING!” teriak Cassia kesal. Dia tidak perduli jika yang dia teriaki saat ini adalah Atlantas.

“Sabar, Cas.” Abel mengusap pelan tangan Cassia. “Tenang aja. Nanti Abel ajarin Kak Atlas caranya membuka pintu dengan baik, kok.”

“Lo pikir Atlantas nggak bisa buka pintu dengan normal, Bel?” Naida tertawa geli. “Ada-ada aja lo.”

“Kita keluar dulu, yuk. Biarin mereka ngobrol.”

Abel tersenyum tipis. Naida ini sama kayak Sean. Sama-sama pintar menyiasati keadaan.

“Oke, deh. Eh, Bel, gue keluar duluan, ya. Kalau ada apa-apa teriak aja. Gue sama Naida nungguin di luar, kok.”

“Nggak usah. Kalian langsung ke kelas aja.” Atlantas meletakkan paper bag di atas nakas.

“Dih, ngatur,” ucap Cassia pelan. Dia mulai tidak suka dengan Atlantas sejak insiden Daisy beberapa saat yang lalu.

“Udahlah, Cas. Yo, kita keluar.”

Cassia menatap Atlantas tajam. “Awas aja lo macam-macam sama sahabat gue. Gue kebiri lo!”

“Eh, anjer hahaha.”

Naida tidak bisa menahan tawanya, namun tetap menyeret Cassia untuk segera keluar dari UKS.

Dan tinggallah Abel dengan Atlantas.

“Kenapa nggak bilang kalau sakit?”

Mampus.

Abel menunduk dan menggigit bibir bawahnya.

Suara dingin Atlantas mampu menembus nyali Abel. Dia bahkan tidak berani menatap cowok tersebut.

Aura Atlantas saat ini tidak bisa dikatakan baik. Dia merasa buruk. Sangat buruk.

“Kenapa bisa masuk ke sini?” tanya Atlantas dengan nada datarnya.

Abel bisa merasakannya emosinya.

“Kena bola,” cicit Abel dan setelah itu dia mendengar umpatan dari cowok tersebut.

“SIAPA? SIAPA YANG LEMPAR BOLANYA KE LO, HAH?!”

Abel tersentak kaget.

“K—kak Atlas ....”

Untuk pertama kalinya Abel melihat wajah penuh amarah Atlantas. Ini bukan hal yang baik. Dia segera turun dari brankar.

“TETAP DI SITU!”

Abel terhenti.

Atlantas menatap cewek tersebut tajam selama beberapa detik.

“Dia harus mati.”

Dan Abel melototkan kedua matanya.

🏍️🏍️🏍️

Huft, akhirnya bisa up juga setelah melawan rasa mager yang berkepanjangan.

Makasih buat kalian yang udah mau baca part ini bahkan mau kasih komentar. Aku sangat suka dan terhibur.

Mungkin beberapa part lagi akan tamat.

So, tetap pantau notif dari Atlantas, ya.

See u next part -!!💐


Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 551 6
Cowok dingin?kayak kulkas?iya dinginnya tu -35°C loo,tapi bakal leleh juga karena.....,hmm apa yaa yu baca ceritanya -1 Oktober 2020
30.3K 1.1K 59
©2022 FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!!! JANGAN LUPA VOTE DAN TINGGALIN JEJAK, HAPPY READING GENG!!! ••• Ini tentang hidup seorang Brian Aryanta, si ket...
1M 68.8K 73
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Aksara Gunadhya, manusia berparas malaikat. Rupa wajahnya tak seindah perjalanan hidup cowok tersebut. Terlahir untuk...
495K 37.2K 44
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...