Senandika - [nomin]

By dazzlingyu

13.6K 1.7K 276

Tentang asa akan perasaan, soal penyesalan yang datang belakangan, dan penantian yang tak pernah terlupakan... More

;prolog
1. taruhan dan balas dendam
2. senandika
3. saujeno
4. mari mulai
5. sebaris pesan
6. menjelang tengah malam
7. jumat barokah
9. kemelut pikiran
10. hujan di jumat sore
11. siksaan keputusasaan
12. dimana, ketika saya butuh?
13. kekeliruan tak berujung
14. merelakan untuk sebuah kegagalan
15. sanggup atas kemenangan (atau kekalahan?)
16. hal fatal
17. rentetan kejujuran
18. kilas balik
19. keinginan kecil
20. sebuah saksi bisu; cermin di kamarku
21. terima kasih, haedar
22. pahitnya kenyataan
23. senyum pilu yang menyakitiku
24. keputusan terbesar, titik balik kehidupan
25. harapan dan perjuangan
26. pengakuan terdalam
27. pernyataan sulit

8. kencan di hari sabtu

368 65 33
By dazzlingyu

Siang ini pukul sepuluh, Saujeno sudah memarkirkan motor milik kakaknya di depan pagar rumah Senandika.

Dengan senyum bulan sabitnya, ia menyambut Senandika yang baru aja melangkah keluar pagar, hari ini nampak manis sekali dengan balutan kemeja kotak-kotak hitam dan cardigan rajut berwarna putih tulang, dilengkapi sebingkai kacamata besi yang nampak apik sekali bertengger di hidung bangirnya.

"Selamat pagi." Saujeno menyapa, yang cuma dibalas senyum tipis Senandika sambil menerima helm. "Cantik banget sih. Udah ada yang memiliki belum ya?"

"Diam." Wajah Senandika langsung berubah cemberut sebelum kekehan keluar dari mulut Saujeno.

Dengan iseng ia pun melingkarkan lengannya di sekitaran pinggang belakang Senandika sebelum ditarik mendekat.

"Saujeno!"

"Rambut kamu berantakan, Dika," Saujeno tersenyum sembari merapikan rambut Senandika ke kanan kiri sebelum mendorong mundur kacamatanya yang hampir merosot menuruni hidung kecilnya dan memakaikannya helm. "Nah, pacar Saujeno udah cantik pol. Ayo naik."

"Haish, saya bilang saya gak cantik! Saya itu ganteng!" Ia menghentak-hentakkan kakinya kesal sebelum naik ke jok belakang. "Dan saya bukan pacar kamu!"

Saujeno cuma tertawa seraya mengatur kaca spion, kebetulan memantulkan wajah Senandika yang masih saja ditekuk tetapi bibirnya melengkung manis.

Lagaknya aja kesal, sebenernya mah tersipu, cibir Saujeno dalam hati. Duh tapi gemes banget, astaga!!

"Jangan lebar-lebar senyumnya, nanti matahari minder sama kamu," celetuk Saujeno sembari menyalakan motor, sontak buat Senandika menunduk menyembunyikan wajahnya di balik bahu Saujeno.

"A-apaan sih?! Siapa yang senyum?!"

"Kamu tadi—"

"Jalan, Saujeno!"

"Wah, gak sabar ya mau kencan sama—"

"Ah! Saya gak jadi deh kencan sama kamu!"

Begitu dirasa Senandika hampir aja hendak beranjak turun, Saujeno langsung menarik kedua tangannya dan ia lingkarkan di perutnya.

"Jangan ngambek," kekehnya. "Peluk saya, takutnya jatuh."

"Emangnya saya anak kecil?!"

"Maksudnya saya yang jatuh. Oleng lihat kamu sebegini cantiknya."

Tanpa bantahan lagi dari Senandika—karena sudah kepalang merona untuk sekedar merespon—motor matic milik Danar pun melaju meninggalkan halaman depan rumah Senandika, menembus sinar mentari yang untungnya masih berpendar hangat di siang hari pukul sepuluh.

Wajah Senandika masih merengut, tapi tidak sekusut tadi waktu digoda habis-habisan oleh Saujeno.

Senandika mendadak merasa tertarik melirik kaca spion yang memantulkan rahang tegas milik Saujeno yang sedang fokus mengendarai motor. Diam-diam ia tersenyum sebelum kembali bersembunyi di balik bahu Saujeno ketika pemuda itu membalas senyumannya.

Tak lama karena merasa kurang nyaman, Senandika mengendurkan pelukannya dan hampir menarik lepas tangannya jika saja Saujeno tidak menahannya, mengusap punggung tangannya sesaat setelah mereka berhenti di lampu merah.

"Jangan dilepas."

Senandika gak membalas, wajahnya udah kepalang merah melihat senyum Saujeno yang ia layangkan lewat pantulan kaca spion.

"Dika."

"Apa?!" Ia menyahut sedikit ketus, menutupi rasa malunya.

"Kita lagi kencan 'kan?"

"Apanya yang ken—"

"Tadi kamu bilang waktu mau turun dari motor saya," potong Saujeno. "Kita kencan 'kan?"

Senandika terasa mendengus di bahu Saujeno sebelum mengangguk pasrah, "Iyaaa, Saujeno. Iyaaaaa. Kita lagi kencan."

"Hehe, gitu dong, cantik," Saujeno terkekeh lagi sembari menepuk punggung tangan Senandika yang masih melingkar apik di pinggangnya. Entah mengapa ia merasa senang dan sering tertawa hari ini.

Melihat Saujeno tersenyum, kedua sudut bibir Senandika lantas mengikuti. Keduanya saling tatap lewat kaca spion dengan senyum yang kini terkembang tanpa rasa malu melingkupi. Dagu Senandika sudah bertengger manis di bahu Saujeno, lengannya memeluk pinggangnya erat.

Ah, gemas. Terlalu gemas. Sampai-sampai dua pengendara yang berada di samping kiri kanan mereka memekik melihat interaksi kelewat manis keduanya.

"Kita sebenarnya mau kemana, Saujeno?" Senandika bertanya ketika Saujeno memarkirkan motornya di lapangan parkir stasiun dekat rumah mereka.

"Saya mau ajak kamu keliling Jakarta." Saujeno menjawab sembari membantu melepaskan kaitan helm Senandika, meletakannya dengan aman di gantungan motor.

Tangan Saujeno menggenggam tangan mungil milik Senandika, menariknya menuju pintu masuk stasiun. Pemuda manis itu tengah gelagapan mengubek isi tasnya ketika Saujeno mengeluarkan sebuah kartu e-money dari saku jaketnya.

"Nih, buat kamu pakai."

"Terus kamu?" Senandika bertanya tidak enak pada Saujeno.

"Saya punya dua." Saujeno menunjukkan satu kartu lagi di tangan kirinya lantas kembali menggandeng tangan Senandika seakan tangannya bisa mati rasa jika tidak menyentuh jemari lentik tersebut.

Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju peron, menunggu kereta tiba sembari duduk di kursi besi.

"Kamu udah keliling Jakarta bagian mana aja, Dika?" Saujeno bertanya memecah keheningan, jemarinya bermain-main dengan jemari Senandika.

"Belum pernah."

Melihat gelengan kepala Senandika, Saujeno sontak memutar kepalanya menghadap lelaki manis itu, "Yang benar? Tujuh belas tahun hidup di Jakarta, kamu cuma berkeliling seputaran Jakarta Selatan aja?"

Kali ini dia mengangguk, "Iya."

"Berarti ini pertama kali?"

"Iya," mengangguk lagi, Senandika mendadak menampilkan senyumnya pada Saujeno. "Saya senang Saujeno mau ajak saya keliling kota kelahiran. Makasih ya."

Saujeno membalas, tangannya terangkat merapikan helai surai kelam Senandika sebelum menyadari kulit wajahnya yang sedikit memerah. Ah, Senandika gak bisa kena matahari lama-lama.

"Pakai ini, Dika," Saujeno mengeluarkan bucket hat yang memang sengaja ia bawa dari balik jaket denim yang dikenakannya. "Kamu gak tahan panas ya?"

"Iya, kulit saya gampang memerah," katanya seraya menundukkan kepala waktu Saujeno memakaikan topi di kepalanya. "Saya gak bawa topi karena saya pikir Saujeno gak berniat ajak saya jalan-jalan outdoor gini."

"Mau ganti tujuan aja?" Tanyanya sembari menatap Senandika khawatir.

"Gak! Jangan! Saya mau keliling Jakarta! Kapan lagi saya punya kesempatan bebas jalan-jalan begini, 'kan?"

Mendengar Senandika tertawa, Saujeno jadi ikut tertawa. Senyum manisnya itu lama-lama buat Saujeno candu. Senyum lebarnya terus terukir hingga kereta jurusan Jakarta Kota tiba di hadapan mereka.

Dengan protektif—naluri alamiah—Saujeno menarik pinggang Senandika mendekat ketika memasuki gerbong kereta, menariknya duduk di sisi pojok sebelum dirinya menjaganya di sampingnya.

Pintu gerbong pun tertutup otomatis dan kereta melaju pelan. Senandika duduk berdiam diri sembari membiarkan Saujeno bermain lagi dengan jemarinya.

"Senandika."

Si manis menengok, "Ya?"

"Udah suka sama saya?"

"Gak akan."

Saujeno mengernyit bingung, menatap Senandika tepat di mata bening yang baru ia sadari begitu indah tersebut.

"Kenapa?"

"Biarlah Saujeno yang suka sendiri sama saya. Saya gak mau suka balik sama Saujeno, nanti Saujeno repot karena saya."

"Asli, Dika. Saya serius. Saya gak keberatan direpotin kamu."

"Kamu yakin?"

Saujeno mengangguk serius. Demi Elizabeth, apapun akan Saujeno usahakan.

"Tapi saya masih ragu. Saya takut, Saujeno."

Saujeno nampak menghela napas bingung, "Kenapa takut, Dika? Apa yang kamu takutin?"

"Saya takut kamu gak bisa terima kekurangan saya."

Saujeno terdiam, Senandika nampak balas menatapnya tepat di obsidiannya. Ada secercah harapan disana sebelum meredup dan putus ketika Senandika mengalihkan pandang. Genggaman Saujeno pada tangannya terasa mengendur dan Senandika pun menarik jemarinya dari tautan, menenggelamkannya di balik lengan cardigannya yang panjang.

"Senandika, jangan takut. Gak ada yang sempurna di dunia ini. Saya pun memiliki kekurangan, tapi hal itu gak jadi patokan untuk saya berhenti suka sama kamu karena bisa aja kamu yang melengkapi kekurangan saya, 'kan? Saya serius, Dika. Saya serius suka sama kamu."

Nyatanya Saujeno belum menyerah. Nyatanya perasaan ingin memperjuangkan itu ada. Bukan. Kali ini bukan soal Elizabeth. Ini soal Senandika yang mendadak mendung setelah mengutarakan kegundahan hatinya barusan. Saujeno jadi penasaran, apa sih yang dia sembunyikan?

"Kamu boleh bagi cerita sama saya. Kapanpun kamu siap, kapanpun kamu mau. Saya bakal ada disana. Kontak saya selalu aktif buat kamu. Jangan cemberut, cantik. Wajah manis gak cocok sama lengkungan bibir yang turun ke bawah. Senyum, Dika. Kita bakal senang-senang hari ini."

Senandika perlahan mengubah arah duduknya menghadap Saujeno. Jemari lentiknya kembali berada dalam genggam hangat milik Saujeno. Bibirnya tak lagi melengkung turun. Bersamaan dengan mengembangnya senyum Saujeno, tawa pelan Senandika menguar di udara.

"Terima kasih, Saujeno."

Kamu sudah membiarkan dirimu kalah sebanyak tiga kali, Dika.

"Woah! Ini betul Jakarta Kota, Saujeno?!" Senandika nampak terkagum-kagum melihat langit-langit tinggi stasiun Jakarta Kota di atas kepala mereka.

Saujeno cuma terkekeh, menarik tangan Senandika keluar dari stasiun, berjalan beriringan di trotoar sembari terus menyahuti Senandika yang tak ada hentinya berbicara, bertanya ini-itu tentang segala hal yang ia lihat. Saujeno jadi seperti bawa adik kecil yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, alias Senandika kayak bocah banget kelakuannya.

"Wow, saya pernah lihat sekali museum ini di buku pelajaran sekolah," Jaemin mengangguk-angguk begitu kaki keduanya menapak di kawasan Kota Tua. "Saujeno, sebentar, saya mau foto dulu!"

Saujeno terus mengikuti kemanapun Senandika melangkah, mengekorinya yang melompat kesana-kemari seperti anak kelinci. Setelah sekitar tiga puluh menit berputar-putar, langkah kaki Senandika perlahan melambat, keringat sudah bercucuran di pelipisnya.

"Capek ya?" Saujeno berjalan mendekat, mengeluarkan saputangan dari saku jaket lantas menyeka wajah Senandika.

"Capek," Senandika mengangguk, namun senyum manis tetap terkembang di wajah lesunya. "Tapi saya senang! Jadi, gak masalah!"

Saujeno tersenyum senang menatapnya, "Kamu udah lapar, Dik?"

"Sedikit. Kenapa memang?"

"Makan yuk? Udah puas foto-fotonya?"

"Udah." Ia menjawab dengan anggukkan semangat.

"Mau ke Chinatown?"

"Jauh?"

"Jalan sekitar satu kilometer, kuat?"

"Ayo!"

Dan sekali lagi, jemari mereka kembali bertaut, dengan Senandika yang kini mengekori Saujeno meninggalkan wilayah Kota Tua menuju daerah Glodok.

Lima belas menit nampak berlalu cepat, diselingi canda tawa dari dua anak adam yang terus bergandengan tangan. Memasuki kawasan Chinatown, Saujeno segera mengajak Senandika memasuki gerai Starbucks yang ada disana, memesan segelas frappucino untuknya lalu iced americano dan kue keju untuk Senandika seperti biasa.

"Rasanya seperti saya mengkhianati Mas Yuta," Senandika berujar waktu Saujeno datang membawa segelas americano untuk dirinya. "Makasih, Saujeno. Berapa harganya? Biar saya ganti."

"Saya yang traktir," Saujeno menyela sebelum Senandika mengeluarkan dompetnya.

"Kamu selalu begitu, Saujeno. Jangan, saya mau bayar sendiri juga."

"Gak apa-apa, Dika. Saya senang bayarin kamu. Ayo makan, nanti kita keliling Chinatown."

Senandika tidak mengatakan apapun selain berdecak tetapi tetap memakan juga kue keju di hadapannya.

Sementara ketika sedang asyik menatapi Senandika yang tengah makan, ponsel Saujeno berdering di saku jaket. Ada satu pesan dari Bayu.

"Siapa?"

Mendengar Senandika bertanya, Saujeno segera mematikan ponselnya dan memasukannya kembali ke dalam saku jaket.

"Ada, teman saya," jawabnya singkat. "Kamu udah makannya? Mau kemana lagi?"

"Katanya Saujeno mau ajak saya keliling Chinatown?"

"Okay, then. As you wish, My Prince," Saujeno menjawab sambil tersenyum manis. "Habisin dulu kue kejumu, Dika. Disana ada kios bakso tahu enak sekali. Kamu harus coba."

"Iya kah? Saya mau!"

"Iya, cantik. Ayo habisin dulu kuenya."

"Oke!"

Setelah menghabiskan semangkok bakso tahu, membeli beraneka ragam makanan ringan, keliling area Monumen Nasional, dan berkunjung ke Taman Menteng, Senandika dan Saujeno berakhir berjalan bersisian di jembatan Pantai Lagoon untuk menikmati senja dan menunggu waktu berlalu untuk menyaksikan matahari terbenam.

"Puas jalan-jalannya?"

Senandika tertawa mendengar pertanyaan dari Saujeno. Matanya menatap tertarik pada fitur tegas yang berdiri tegap di sampingnya itu.

"Saya puas. Banget. Terima kasih, Saujeno. Ini pertama kalinya saya pergi jauh dari rumah tidak dengan Kak Raka."

"Sama-sama."

Mereka kemudian berhenti dan berdiri menghadap laut lepas ketika langit terlihat semakin menjingga, memantulkan cahaya indah pada permukaan air laut yang beriak tenang. Senandika tersenyum, wajah manisnya disinari cahaya jingga yang nampak begitu memesona. Sejenak Saujeno terpaku, terpukau menatap pendar hangat dari mata bening yang bulat seperti rusa itu.

"Dika."

"Ya?"

"Jangan lebar-lebar senyumnya, mataharinya saking mindernya sampai mau tenggelam."

"Kamu merusak suasana." Erang Senandika kemudian.

Keduanya kembali tertawa, entah sudah yang kali keberapa hari ini. Lima menit berlalu dilingkupi keheningan, terus berlanjut hingga garis langit menggelap dan laut menelan matahari sepenuhnya. Senyum Senandika perlahan meredup, wajahnya terpasang datar dan dibiarkan diterpa angin laut yang sedikit terasa dingin menyentuh kulit.

"Apa yang ada di pikiranmu, Senandika? Saya boleh tau?" Saujeno menginterupsi, jemari hangatnya terasa mengusap punggung tangannya yang bertengger di tepi pagar pembatas, mengaitkan jari kelingking mereka.

Senandika tersenyum kecil lantas menghadap Saujeno, "Momen favorit saya telah usai."

Saujeno terpaku lagi, kali ini menatapi senyum Senandika yang terlihat sendu. Namun, binar pada mata rusa itu tidak hilang, malah makin terlihat bercahaya memantulkan percik-percik kegembiraan yang terasa nyata adanya.

"Tapi setidaknya, saya berdiri disini dengan orang favorit." Lalu pemuda manis itu terkekeh menawan kemudian, buat sejenak hati Saujeno bagai tertawan olehnya. "Wajahmu gak perlu dipasang ekspresi begitu, Saujeno. Saya baik-baik aja."

Satu menit Saujeno memproses ucapan Senandika barusan sebelum tubuh kurus itu berada dalam pelukan, didekap seolah Senandika bisa saja hilang di detik ia melepaskan tautan jemari kelingking mereka.

"Kamu hangat, Saujeno," Senandika bergumam di dadanya. "Nyaman, seperti rumah."

"Saya bisa jadi rumah untukmu, Dika. Pintunya akan selalu terbuka buat kamu. Sekalipun tertutup, kamu punya kuncinya untuk masuk."

"Sekarang saya takut sama kamu."

Sebaris kalimat tadi jelas menarik perhatian Saujeno untuk dipusatkan pada Senandika.

"Kenapa?"

"Saujeno, jangan kamu pikir saya gak tau tabiatmu di sekolah," ia tersenyum miring seolah mengejek. "Banyak perempuan yang kamu pacari, lalu untuk pertama kali kamu mendekati laki-laki. Ini salah satu ketakutan saya. Saujeno, apa benar hati kamu serius berlabuh untuk saya seorang? Murni tanpa adanya imbalan apapun?"

Skakmat. Rasanya seperti baru aja kepergok minum anggur merah oleh kakaknya.

"Saya serius, Dika. Saya suka sama kamu, itu murni," kepala Saujeno terus berputar keras mencari alasan kebohongannya yang selanjutnya. "Dika, parasmu manis dan otakmu cemerlang. Itu dua poin pertama yang saya lihat waktu awal tertarik sama dirimu. Setelahnya saya kenal kamu lebih dalam. Kamu sebetulnya hangat, kamu baik dan banyak bicara. Sikapmu unik, kamu pekerja keras, dan pribadi yang mandiri. Dika, banyak hal memesona yang ada dalam dirimu dan itulah yang membuat saya jatuh makin dalam. Saya serius, saya benar-benar suka kamu dari hati."

Oke, kerja bagus, otak.

"Tapi semua itu gak menjamin sikap burukmu bakal seketika hilang hanya karena suka sama saya 'kan, Saujeno?" Senandika kembali menyangkal, menarik dirinya sedikit dari pelukan Saujeno sebelum mendongak dan tersenyum. "Maaf, kita cuma bisa sampai batas ini. Saya masih ragu dan takut. Mungkin suatu hari nanti, jika kamu sudah mengerti semuanya dan mampu menerima saya, saya akan meyakinkan diri sekali lagi. Terima kasih dan maaf."

Saujeno terdiam memperhatikan wajah Senandika yang merona merah. Senyum itu masih ada, tersungging manis di bibirnya—yang juga merona merah seperti mawar merekah di taman bunga terindah. Ia mendadak merasa tertarik untuk menatap lekat, sebelum netranya bertubrukan dengan netra Senandika dan tatapan itu kembali terarah pada bibirnya.

"Gak boleh," Senandika tertawa kecil, menaruh dua jarinya di depan bibir tebal Saujeno yang tepat berada di depan bibirnya, tersenyum menggemaskan sambil mengerutkan hidung mungilnya. "Bibir saya bukan sembarang barang yang bisa kamu coba seenaknya."

Saujeno mendengus sebelum tertawa, menarik Senandika lagi ke dalam pelukannya, membawa kepalanya menempel pada dadanya.

"Kamu mau makan dulu sebelum pulang?"

"Gak usah, nanti Saujeno bayarin saya lagi. Udah berapa banyak saya berhutang padamu?"

"Gak apa, Dik. Serius. Saya suka lihat kamu senang."

Senandika merona lagi yang lantas ia sembunyikan di balik pelukan erat Saujeno.

"Gak usah." Katanya lagi.

"Harus makan. Kamu terakhir makan siang tadi loh. Perutmu pasti udah lapar lagi."

Tebakan Saujeno memang betul adanya. Perut Senandika bahkan sempat keroncongan sedikit tadi.

"Saujeno—"

"Pacar saya gak boleh nolak."

"Saujeno," Senandika tertawa mencibir sembari melepaskan pelukannya. "Pacar apanya? Kamu bahkan gak tembak saya, tapi udah berapa kali kamu klaim saya sebagai pacar kamu? Itu cuma omong kosong semata."

"Oh, jadi kamu mau saya tembak?" Saujeno menaikkan sebelah alisnya dengan seringaian menyebalkan yang sialnya menambah ketampanannya.

"Gak bakal kamu lakukan juga 'kan?"

"Saya bahkan rela berlutut untuk kamu, Dika."

"Masa? Coba—"

Bahkan sebelum Senandika sempat menyelesaikan omongannya, Saujeno sudah berlutut di hadapannya sembari menggenggam tangannya, membuat beberapa pengunjung yang berada di sekitar mereka mulai tertarik memperhatikan dan berbisik-bisik berkomentar.

Senandika otomatis merona dan mencoba menyuruh Saujeno bangkit berdiri, namun bocah keras kepala itu tetap berlutut dengan satu kakinya di hadapannya, menatapnya lurus tepat di mata beningnya.

"S-saujeno—"

"Senandika." Ia tersenyum, terlihat begitu menyebalkan bagi Senandika, sengaja sekali mengeraskan suaranya supaya pengunjung yang mulai berkerumun di sekitar mereka mendengar ucapannya.

"Saya Saujeno Aprilio, dengan ini menyatakan cintanya kepada Senandika Aditya setulus-tulusnya dari dasar hati yang paling dalam. Hal-hal yang mengenai terbawanya perasaan dan status kejelasan hubungan ditanggung sepenuhnya oleh Saujeno Aprilio dengan cara pelan tapi pasti dan diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kalau diterima. Ancol, Jakarta, hari dua puluh satu bulan sebelas. Atas nama kemaslahatan perasaan, tertanda Saujeno Aprilio. Sekian, terima cinta dari Senandika."

Senandika wajahnya udah merah banget, bahkan sampai ke telinga. Gak sedikit pengunjung yang merekam momen manis mereka barusan, buat Senandika makin merona apalagi waktu sadar Saujeno masih berlutut di hadapan menunggu jawaban, tersenyum begitu tampan hingga mampu buat Senandika melebur dan meleleh dalam sekejap.

"Terima! Terima!"

"Terima!"

"Terima dong!"

Senandika menatap Saujeno yang masih aja tersenyum itu, menariknya bangkit sebelum ia pukul pelan dadanya.

"Jawabanmu?"

"Saya mau makan. Lapar."

Saujeno sontak melongo menatap Senandika yang kini membuang muka ke arah laut lepas.

"Sekarang kamu yang balas rusak suasana!" Cibirnya sembari menekuk bibir ke bawah. "Ah! Saya 'kan udah serius!"

"Saya juga serius!" Senandika balas berseru tak terima karena barusan Saujeno berseru setengah membentak.

"Serius terima saya?"

"Serius laparnya."

Senandika otomatis mengulum bibirnya ketika melihat Saujeno kembali cemberut dan merajuk sebal.

"Aish, udah ayo makan, saya lapar betulan," Senandika menarik tangan Saujeno untuk pergi dari area jembatan Pantai Lagoon, diiringi sorakan-sorakan dari para pengunjung yang menyaksikan acara berlutut Saujeno beberapa menit lalu.

Senyum Senandika terus terulas bahkan ketika mereka sudah berjalan bersisian di jalanan bebatuan pinggir pantai setelah memutuskan untuk makan malam di restoran seafood terdekat.

"Jadi?" Saujeno kembali mengungkit, lagi-lagi buat rona merah itu bangkit.

"Gak. Gak ada pacar-pacaran."

Saujeno tidak membalas apapun selain mengekori Senandika memasuki restoran.

Satu jam mereka habiskan dalam perjalanan dari Jakarta Kota menuju stasiun dekat rumah. Senandika terlelap di tengah perjalanan sembari kepalanya bersandar nyaman di bahu Saujeno.

Gerbong yang mereka tempati nampak sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk berjarak dari mereka—mungkin iritasi melihat kemesraan pasangan, atau mungkin sekedar mencari ketenangan. Entahlah, Saujeno tidak terlalu peduli.

Ditengoknya wajah damai Senandika seraya bergumam pelan dalam hati, Astaga, buat R25 aja gini amat, kudu bohongin dan mainin perasaan anak orang. Tapi malah gue yang merasa diaduk-aduk.

Tangan Saujeno terulur untuk menyingkirkan poni yang menutupi wajah Senandika yang dibingkai kacamata. Ia tersenyum entah dorongan darimana, mengusap pipi seputih salju itu setelah menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinganya.

Lantas kepala Saujeno terjatuh begitu saja di atas kepala Senandika, memejamkan mata dan tidur saling bertumpu kepala. Beberapa orang tua yang ada di gerbong yang sama dengan mereka tertawa gemas menyaksikan keduanya, membiarkan dua anak adam itu tertidur tenang sebelum kereta sampai di stasiun tujuan.

Belum ada sepuluh menit memejamkan mata, ponsel di saku celana berdering menyala. Sedikit mengumpat, Saujeno mengangkat telepon yang ternyata dari kakaknya.

"Lio mau pulang jam berapa? Kakak mau kunci pintu."

"Lagi otw pulang, Kak. Masih di jalan sama Senandika," jawabnya sedikit mengantuk, memastikan suaranya tetap bervolume rendah agar tidak membangunkan Senandika yang masih terlelap.

"Oh iya, Kakak lupa kamu lagi ngedate sama gebetan. Ya udah, hati-hati bawa motornya. Langsung kunci pintu begitu sampai rumah. Kakak ngantuk, mau tidur."

"Ada Bang Jeff?"

"Udah pulang tadi, Kakak usir."

"Suruh balik, Lio mau main PS sama Abang."

"Ya kamu telepon Jeffran sana. Kakak lagi malas sama dia."

"Kenapa lagi? Ribut apa lagi? Kalian ini kenapa jadi ribut gak berkesudahan sih?"

"Ya gitu deh ah. Jeffrannya ngeselin. Kakak tutup ya, ngantuk. Bye!"

"Iya, dasar galak."

"Hei—"

Piipp!!

Memutuskan panggilan sepihak, Saujeno melesakkan ponselnya kembali ke dalam saku jaket, menyamankan kepala di atas kepala Senandika.

"Siapa?"

Saujeno hampir terlonjak kaget mendengar suara Senandika yang ternyata sudah terbangun.

"Kakak saya."

"Saujeno punya kakak?"

"Iya, kakak laki-laki."

Setelahnya Senandika tak menyahut apapun, nampaknya sudah kembali tidur dan terlelap lagi.

Ting!

Kali ini pesan dari Bayu waktu Saujeno mengecek layar.

"Kamu mau pergi lagi, Saujeno?" Senandika tiba-tiba bertanya, sontak buat Saujeno menarik ponselnya menjauh dan memasukkannya ke dalam saku celana, was-was barangkali Senandika melihat isi obrolannya dengan Bayu tadi.

"Pergi apa?"

"Itu," ia menunjuk saku celana Saujeno. "Temanmu 'kan? Kamu selalu semangat mengetik kalau bertukar pesan dengan teman."

"O-oh," Saujeno berdeham canggung begitu Senandika mengangkat kepala dari bahunya. "Iya, dia ajak saya nongkrong. Kegiatan biasa kalau malam Minggu. Tapi kali ini 'kan malam Minggu saya udah sama kamu, jadi saya tolak ajakannya tadi."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Itu, kenapa kamu tolak."

Senandika kemudian menguap lebar sembari mengangkat tangan, matanya terlihat berkaca-kaca karena mengantuk.

"Masih empat stasiun lagi. Tidur lagi aja," tangan Saujeno terangkat mengusap sudut mata Senandika, menepuk kepalanya singkat dan dibawa kembali untuk bersandar di bahunya.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya."

"Ya karena saya udah malam mingguan sama kamu. Untuk apa malam mingguan lagi sama mereka?" Jawab Saujeno dengan lugas, tersenyum tipis sembari menunduk menatap Senandika.

"Oh." Senandika mengangguk, menunduk sedikit supaya Saujeno tidak melihat senyum pada wajahnya.

"Gak usah sok malu gitu, jelek."

Senandika gak protes waktu Saujeno menggesekkan pipinya ke pucuk kepalanya, buat dia tertawa pelan sebelum Saujeno meraih jemarinya.

"Malam ini istirahat yang cukup ya. Nanti saya gak telepon—"

"Kenapa?"

"Biar kamu bisa istirahat yang cukup, Dika. Kamu harus kerja lagi 'kan besok?"

Senandika mengangguk pelan, sedikit merasa sedih.

"Besok mau saya antar?"

"Gak—"

"Saya jemput jam sembilan ya."

"Aish, Saujeno—"

"Ingat, pasal satu jadi pacar Saujeno—"

"Gak boleh ada penolakan."

"Pintar." Saujeno terkekeh, tangannya tanpa sadar meremas gemas tangan Senandika. "Berarti sekarang kamu pacar saya ya? Kamu terima saya?"

"Gak! Kata siapa?!"

"Loh? Tadi—"

"Gak mau!"

"Dih, malu-malu. Kalo mau mah bilang aja, toh saya juga suka sama kamu."

"Gak! Gak!"

"Tapi kamu tadi—"

"Gak mau!"

"Harus mau! 'Kan tadi saya udah nembak kamu!"

"Tapi 'kan saya gak terima kamu! Gak boleh maksa begitu, dong!"

"Haish, sini kamu!"

"HAHAHA!! JAUH-JAUH, SAUJENO!! AAA STOP JANGAN GELITIK-GELITIK!! HAHAHA!!"
















Hai guys~
Maaf ya akhir akhir ini kinda being inactive :" soalnya aku sibuk ngurus berbagai macam hal, terutama berkas untuk daftar ulang ke universitas

Iya, aku udah jadi maba HEHE (yang baca eighteen pasti tau ya waktu itu aku nulis cerita itu sambil diselingi belajar UTBK :D)

Mumpung belum sibuk sama kegiatan kampus, aku sempetin up sekarang

Untuk yang nunggu kelanjutan cerita sebelah (jiakhh emang ada yang nunggu?) mohon bersabar ya :")

Okayy see youu

Continue Reading

You'll Also Like

33.5K 3K 19
"Bukankah itu Taeyong, untuk apa dia bersama Jaehyun?" "Lee Taeyong memang murahan, ia merebut Jaehyun dari Rose!" BXB [M]🔞 JAEYONG ROMANCE 11 Okto...
183K 29.6K 31
Jaemin cemberut, anak itu terlihat ragu memegang tangannya. "Apa yang kau takutkan aku masih ayahmu" Katanya merajuk. "Apa yang kau takutkan aku masi...
90.9K 10.3K 26
Na Jaemin, Lee Jeno keduanya sudah mengenal sejak lama. Di mulai dari kedatangan Jaemin di kehidupan Lee Jeno, yang membuat Jeno menaruh rasa kepada...
664K 41.7K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...