Senandika - [nomin]

By dazzlingyu

13.5K 1.7K 276

Tentang asa akan perasaan, soal penyesalan yang datang belakangan, dan penantian yang tak pernah terlupakan... More

;prolog
1. taruhan dan balas dendam
2. senandika
3. saujeno
4. mari mulai
5. sebaris pesan
6. menjelang tengah malam
8. kencan di hari sabtu
9. kemelut pikiran
10. hujan di jumat sore
11. siksaan keputusasaan
12. dimana, ketika saya butuh?
13. kekeliruan tak berujung
14. merelakan untuk sebuah kegagalan
15. sanggup atas kemenangan (atau kekalahan?)
16. hal fatal
17. rentetan kejujuran
18. kilas balik
19. keinginan kecil
20. sebuah saksi bisu; cermin di kamarku
21. terima kasih, haedar
22. pahitnya kenyataan
23. senyum pilu yang menyakitiku
24. keputusan terbesar, titik balik kehidupan
25. harapan dan perjuangan
26. pengakuan terdalam
27. pernyataan sulit

7. jumat barokah

357 65 22
By dazzlingyu

Jumat siang, Senandika mendapati Saujeno berdiri di depan kelasnya sambil bersedekap tangan, tersenyum padanya begitu tubuh kurusnya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata sipitnya yang tajam tapi tetap memancarkan kelembutan untuknya itu.

Beberapa teman perempuan mulai berbisik-bisik rumpi, jelas membicarakan sang pangeran sekolah yang terkenal bermulut buaya sedang menunggu Senandika Aditya—si dingin irit bicara.

"Ada keperluan apa?" Senandika bertanya dengan nada berhati-hati, melirik segerombolan anak perempuan yang kini kentara sekali sedang memperhatikan interaksi mereka.

"Mau ajak kamu makan siang."

Senandika menghela napasnya pelan, lalu menggeleng sama pelannya. "Gak."

Bahu Saujeno sontak merosot lesu, "Kenapa gak?"

"Saya lupa bawa uang saku."

"Saya yang bayarin kamu."

"Yang kemarin aja belum saya bayar. Kamu makan sendiri aja."

Begitu hendak berbalik memasuki kelas, Saujeno langsung menahan tangan Senandika dan menariknya menyusuri koridor kelas, membuat banyak pasang mata langsung menatap mereka penasaran.

"Sa-saujeno!"

"Saya gak terima penolakan, Dika," Saujeno menarik kembali tubuh Senandika hingga keduanya kini berjalan bersisian masih dengan jemari yang bertaut ringan. "Hari ini saya mau makan siang sama kamu, titik gak pakai koma."

"Harus banget sama saya?" Senandika menyergah cepat, menyadari banyak tatapan mata terpaku padanya membuatnya sedikit merasa canggung, tapi ia belum sadar kalau jemari lentiknya masih berada dalam genggam hangat milik Saujeno.

"Karena wajib hukumnya pacar saya nemenin saya makan."

"Haaahh?" Senandika berujar bingung, menyentak tangan Saujeno begitu mereka hampir sampai di gerbang kantin. "Pacar apanya?"

"Kamu 'kan pacar saya?"

"Mana ada?! Gak mau saya jadi pacar kamu!"

"Aish, saya udah lapar, Dika. Sekarang bukan saat yang tepat untuk berdebat soal status kita. Lihat, mumpung kantin sepi, kita gak perlu lama mengantri. Ayo cepat, kamu mau makan apa?"

"Saujeno—"

"Makan nasi goreng aja ya? Saya lapar, habis jam matematika. Pusing sekali, energi saya terkuras semua. Atau kamu mau bakso?"

Belum sempat Senandika menolak, Saujeno sudah mendorong punggungnya ke kios nasi goreng Bude, memesan menu yang sama seperti tempo hari waktu Senandika lupa membawa dompet.

"Aish, Saujeno. Saya bahkan belum sempat menolak."

"Menolak pun tidak akan saya terima. Senandika, jadi pacar Saujeno itu harus selalu menerima—aduh!!"

Senandika mendelik pada Saujeno yang meringis akibat kakinya diinjak Senandika dengan sepenuh hati. Beberapa anak lelaki dan perempuan yang mengantri di belakang mereka bahkan sampai menatap kedua pemuda itu bergantian dengan penasaran.

Setelah selesai, Saujeno membawakan nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas es teh manis tersebut menuju kursi yang berada tepat di tengah kantin; tempat biasa Saujeno makan siang bersama Haedar dan Bayu.

"Saujeno, bisa gak saya makannya di kursi pojok aja?" pintanya ketika menyadari banyak pasang mata kini tengah menatapinya.

"Udah ada yang nempatin," Saujeno membalas dengan menunjuk kursi yang dimaksud Senandika tadi. Disana sudah ada dua orang murid kelas sepuluh yang menempati kursi yang dimaksud. "Disini aja sama saya. Di tengah, di pojok, di pinggir, gak ada bedanya."

Senandika mendengus sebelum mengambil piring jatah makan siangnya dan mulai makan. Beberapa siswi yang lewat nampak memperhatikan mereka, buat Senandika risih dan merasa ingin pindah kursi saja.

"Jangan dilihatin, nanti suka. Dia udah milik gue."

Senandika langsung mengangkat pandang begitu mendengar Saujeno berbicara, ternyata ia tengah menegur sekelompok anak perempuan di meja sebelah yang tengah memperhatikan Senandika.

Seketika wajah para gadis itu melotot kaget, menatap Senandika dan Saujeno bergantian.

"H-hah? Jadi lo... be—"

"Iya. Kenapa?"

Gadis itu menggeleng sebelum kembali fokus pada makanannya. Saujeno mendecih, sementara Senandika terpaku menatapnya ketika pemuda itu mengalihkan pandang.

Senyum Saujeno langsung terkembang menggoda, "Wajahmu merah tuh, Dika."

Senandika langsung buru-buru menunduk dan menyuap nasi guna berusaha mengalihkan rona wajahnya. Saujeno terkekeh, mengulurkan tangan ke sudut bibir Senandika bermaksud menyingkirkan nasi yang menempel.

"Makan yang rapi, cantik. Kamu makan kayak anak kecil."

Siang itu, kantin mendadak ramai dengan sorakan murid-murid yang mendadak jadi penumpang kapal SauDika—Saujeno dan Senandika, maksudnya.

"Kamu suka ya buat saya malu?" Senandika bertanya sebal sambil mengusap bibirnya, memastikan tidak ada lagi bekas makanan yang tersisa.

"Malu bagaimana? Kamu aja yang tersipu, saya gak bermaksud. Kamu emang cantik betulan."

"Haish, cepat habisin aja makanan kamu, Saujeno. Waktu istirahat hampir habis."

"Masih setengah jam lagi, omong-omong. Itu sebentar ya?"

Senandika mendadak merasa perlu merona lagi.

"Bang Raka mana? Biasanya sama kamu?" Saujeno bertanya kemudian, membuka topik baru.

"Sakit. Demam katanya."

"Mungkin dia kebanyakan belajar, jadi sakit."

"Bisa jadi. Dia suka lupa waktu kalau sudah asyik belajar."

"Iya, memang sudah tabiat orang pintar. Sejak SMP dia selalu begitu. Sangat terkenal. Seantero sekolah gak ada yang gak kenal sama Mahesa Raka."

"Kok kamu tau?"

"Saya satu SMP dengan Bang Raka."

"Kak Raka se-kutu buku itu? Gak heran matanya minus."

"Iya, dia sepintar itu. Makanya, waktu tau dia suka ikut balapan bahkan taruhan, agak kaget juga saya."

"Kamu sejak kapan suka balapan, Saujeno?"

"Sejak kenal Bayu di SMA. Kalo kamu, kenapa suka ikut Bang Raka ke arena?"

"Buat lepas penat aja sih. Kak Raka 'kan teman saya satu-satunya. Kadang, habis jemput saya kerja, dia suka ada janji balapan dengan teman-teman tongkrongannya. Ya udah, saya ikut serta. Bosan kalau di rumah aja."

"Kamu sedekat itu sama Bang Raka?"

"Dia udah saya anggap sebagai kakak saya sendiri."

Entah mengapa, Saujeno menghela napasnya lega. Untung cuma dianggap kakak.

"Dika, soal Sabtu besok—"

"Saya harus kerja, Saujeno." Senandika dengan cepat memotong, mengerti kemana arah pembicaraan Saujeno.

"Kalau gitu saya mau nepatin janji, deh."

"Janji apa?" Senandika menaikkan sebelah alisnya menatap Saujeno.

"Tunggu aja sore nanti." Jawabnya enteng, mengabaikan tatapan bingung Senandika seraya terus menghabiskan nasi goreng di piringnya.

Hari Jumat malam Sabtu, Saujeno benar-benar datang ke cafe; katanya siang tadi sih, mau menepati janji.

Jarum pendek di jam cafe menunjuk tepat ke angka lima ketika Saujeno muncul dengan kemeja putih polos berlengan panjang dan celana bahan hitam, lengkap dengan beret dan sepatu pantofel mengkilap berwarna senada, membuat Senandika terbengong-bengong karena Saujeno berpenampilan persis seperti pelayan—seperti dirinya. Yuta bahkan sampai bingung, sejak kapan ia merekrut seorang pegawai baru?

Ternyata, seorang Saujeno Aprilio serius sama omongannya siang tadi.

"Saya udah bilang tadi siang mau bantu kamu, 'kan?"

Yuta kemudian datang menghampiri mereka berdua, menatap Saujeno dari atas hingga bawah, lantas menertawakannya.

"Saujeno, dilihat-lihat kamu cocok juga jadi pelayan disini," Yuta menepuk-nepuk bahunya geli. "Mau coba? Nanti saya kasih upah."

Mata Senandika melebar begitu mendengar omongan sang atasan barusan.

"Mas Yuta, yang benar aja—"

"Boleh? Serius?" Mata Saujeno tiba-tiba berbinar senang, memotong ucapan Senandika.

Yuta mengangguk puas, menimbang-nimbang juga karena para pelanggan cafenya yang mayoritas adalah perempuan mulai diam-diam memperhatikan Saujeno dari sudut-sudut cafe.

"Boleh banget, Saujeno. Kayaknya pelanggan perempuan mulai suka sama kamu tuh," Yuta menunjuk segerombolan pelanggan perempuan dengan dagunya.

Sementara Senandika cuma bisa menghela napas ketika Saujeno dan atasannya itu berjabat tangan, lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaannya daripada ambil pusing soal Saujeno yang malam ini berstatus sama seperti dirinya.

"Saya cuma perlu layanin aja 'kan?"

"Iya, udah ada Juan di kasir. Jadi kamu bantu-bantu Ditya aja."

"Oke siap, Mas," Saujeno pun langsung mengambil nampan yang menganggur di atas konter, menyusul Senandika yang sedang membereskan meja kotor di sudut cafe.

"Dika." Saujeno memanggil singkat.

"Sana, kamu layanin pelanggan aja, bagian saya bersih-bersih."

Saujeno cuma tersenyum mendengar Senandika berbicara dengan nada yang kentara kesal.

"Senandika," Saujeno menahan tangan Senandika yang tengah bergerak memindahkan piring ke atas nampan sembari tersenyum menghadapnya. "Saya udah janji mau nemenin kamu hari ini, 'kan? Ini sebagai bentuk saya menepati janji, lho."

"Tapi kamu 'kan gak harus sampai sebegininya, Saujeno," Senandika cemberut, namun tidak lantas menarik tangannya dari genggaman Saujeno. "Saya gak suka kamu jadi ikutan kerja begini."

Si pemuda sipit tertawa ringan mendengar pengakuan Senandika barusan, "Kenapa?"

"Nanti banyak yang suka sama kamu."

Saujeno mendadak tersipu, "Kamu cemburu kalau ada banyak yang suka saya?"

"Big no, Saujeno," kali ini Senandika menarik tangannya dari genggaman Saujeno, beralih melipatnya di depan dada. "Nanti kamu besar kepala, kayak sekarang contohnya."

"Kamu ternyata susah jujur ya, Dika?" Ia terkekeh melihat wajah manis itu tertekuk dengan bibir manyun di hadapannya.

Duh, manis.

"Mana ada? Saya ngomong sejujurnya kok."

"Tenang aja," Saujeno tersenyum kembali, mencondongkan tubuhnya sedikit mendekati Senandika. "Meskipun banyak yang suka saya, hati saya tetap punya Dika. Dika gak perlu khawatir."

Bah, pintar kali mulut kau, Saujeno.

Saujeno pergi bahkan sebelum Senandika sempat membalas omongannya, membuatnya bergeming dengan wajah super merah dan dada yang berdebar tak karuan.

Senandika tiba-tiba malu sendiri karena sadar tidak sedikit pasang telinga yang mendengar ucapan Saujeno barusan. Ia pun memutuskan untuk tidak peduli, memilih untuk melanjutkan kerjaan mengelap meja meskipun wajahnya sudah semerah semangka kesukaan Raka.

Setelah melempar satu tatapan sebal pada Saujeno yang sedang bercanda dengan salah satu pelanggan perempuan, Senandika langsung memasuki dapur, menaruh alat makan kotor di wastafel untuk dicuci oleh Alkuna dan Arsi nantinya.

"Senandika, pelayan baru itu temanmu?" Tanya Alkuna, salah satu pegawai yang bertugas di dapur.

"Sayangnya iya, Kak Kun" Senandika menjawab sembari menaruh piring di sink.

"Whoa, kerjanya bagus juga," puji Alkuna kemudian.

"Anak itu cuma cari perhatian," Senandika mendengus seraya menyahut, entah kenapa jadi merasa kesal sendiri. "Kenapa pula Mas Yuta terima-terima aja anak begajulan kayak dia untuk jadi karyawan?!"

Alkuna lalu terkikik geli begitu melihat Senandika pergi meninggalkan dapur dengan kaki yang dihentak-hentak sebal.

"Anak itu kalau sedang kesal, lucu sekali, haha."

Cafe mulai sepi pengunjung ketika waktu telah mendekati angka sembilan. Senandika menarik napas lelah sembari meletakkan piring terakhir pada kitchen sink, meninggalkan dapur dengan punggung dan bahu yang membungkuk pegal.

Begitu beranjak menuju konter kasir, Senandika melihat Saujeno melambaikan tangan padanya dari meja dua belas; meja yang paling dekat dengan konter. Ia pun melangkah mendekat, duduk di hadapan Saujeno seperti yang diminta lelaki itu.

"Kamu udah kerja keras, Dika. Istirahat dulu," Saujeno tersenyum sembari mendorong segelas iced americano dan kue keju ke hadapan Senandika. "Saya yang traktir, karena saya yang ajak kamu kencan hari ini."

"Apanya kencan?" Senandika mendumal kesal, menatap setumpuk struk di hadapan Saujeno yang Senandika yakini berisi catatan kecil berupa pesan dan nomor ponsel dari para pelanggan perempuan. "Kamu yang maksa temani saya kerja, gak saya anggap sebagai kencan."

"Oh? Jadi kamu mau ada kencan lagi dengan saya? Kencan yang sesungguhnya?"

"Bukan begitu," Senandika buru-buru menyela, wajah Saujeno menyebalkan sekali ketika menggodanya. "Gak ada kencan antara saya dan kamu. Gak akan ada, Saujeno."

"Loh? Kok begitu?"

"Memangnya kenapa sih kamu gencar sekali ajak saya kencan?" Senandika bertanya jengah, menumpu wajahnya di atas meja dengan siku, menunggu jawaban dari Saujeno.

"'Kan kamu pacar saya. Apa salahnya ajak pacar sendiri pergi kencan?"

Wajah Senandika langsung merona tipis, sewarna buah persik siap petik alias pink terang, buat Saujeno tertawa gemas dan hampir mencubit kedua pipi gembil itu.

"Mana ada, Saujeno. Memang saya udah terima kamu?"

"Kamu harus terima."

"Kenapa harus?"

"Karena 'kan seperti yang udah saya bilang sebelumnya, Saujeno gak terima penolak—"

"Yang serius, hei!"

"Ya itu, Dika. Saya yakin, kamu tau betul kalo saya serius sama kamu."

Senandika mendumal sebal, namun ia tetap meraih gelas berisi americano yang tadi sempat Saujeno sodorkan dan meminumnya perlahan. Dapat Saujeno lihat bahunya yang tegang tadi merileks dan wajahnya yang lesu jadi terasa lebih berwarna sedikit.

"Duh, americano memang yang paling enak," Senandika menghela napas lega, memejamkan matanya sebentar.

"Kak Juan bilang kamu suka americano," aku Saujeno setelah melihat Senandika menenggak isi gelasnya lagi. "'Kan pahit. Kenapa kamu suka?"

"Sepahit apapun kopi yang saya tenggak, gak akan pernah lebih pahit dari hidup saya."

"Kamu mendramatisir?"

"Sayangnya, tidak. Kenyataan."

"Saya gak ngerti kenapa kamu bisa ngomong begitu."

"Kamu tertarik sama hidup saya, Saujeno?"

Saujeno mengangguk kecil, sedikitnya ada rasa ragu yang merekah dalam hatinya. Namun, ia tetap diam menunggu jawaban dari Senandika yang kini tengah mengunyah potongan kecil kue keju.

"Gak ada yang menarik yang bisa saya ceritain ke kamu," Senandika mengedikkan bahunya acuh. "Atau mungkin, saya belum cukup percaya untuk bagi cerita ke kamu. Mungkin nanti."

"Apa kamu juga begini sama Bang Raka, Dika?"

"Kak Raka tau hampir semua, dia ada di setiap bagian cerita hidup saya," Senandika menjawab, menyuapkan sepotong lagi kue keju ke mulutnya. "Bahkan lebih tau saya daripada diri saya sendiri."

Saujeno seketika merasa cemburu, seperti tempo hari ketika Senandika meninggalkannya begitu saja di depan pagar sekolah karena lebih memilih untuk pergi bersama Raka.

"Jadi, Bang Raka udah mengerti benar soal diri kamu yang rumit itu, Dika?"

Senandika mengangguk setuju, "Bisa dibilang begitu."

"Kenapa kamu bersikap seolah buku terbuka untuk Bang Raka? Apa yang bikin kamu begitu terbuka sama dia?"

"Saya kenal Kak Raka lebih dulu daripada saya kenal kamu," Senandika menjawab, memasukkan lagi potongan kue keju ke dalam mulutnya. "Kak Raka itu baik, sekali malah. Udah kayak sosok kakak buat saya yang seorang anak sulung."

"Apa hidup kamu pahit karena kamu anak sulung?"

"Gak juga," Senandika mengedikkan bahunya, menenggak americanonya sampai habis. "Hidup saya pahit dalam segala aspek."

"Senandika, serius, saya—"

"Saya lelah, sumpah," Senandika memotong ucapan Saujeno, meregangkan tangan dan pinggangnya—sebetulnya menghindari topik yang selanjutnya akan Saujeno bahas. "Saya beres-beres dulu."

Saujeno cuma diam begitu Senandika beranjak pergi sambil membawa gelas dan piring kotornya ke arah dapur. Ia seketika termenung memikirkan ucapan Senandika.

Ditengah lamunannya, Yuta datang menghampirinya, memberinya sebuah amplop yang ia yakini sebagai upah yang Yuta janjikan padanya sore tadi.

"Saujeno, kalau kamu mau kerja tetap disini, boleh banget lho," Yuta tersenyum sumringah sembari menyodorkan amplop cokelat itu padanya.

Saujeno tersenyum sembari menggeleng sopan, "Makasih atas tawarannya, Mas Yuta. Saya kesini sebenarnya mau ajak Dika kencan. Tapi apa daya, dia gak punya waktu luang untuk sekedar nonton bioskop atau makan berdua sama saya."

"Loh? Ditya padahal bisa loh kalau mau izin sama saya. Saya pasti kasih izin," aku Yuta setelah mendengar penuturan Saujeno.

"Mas Yuta 'kan tau dia kayak gimana orangnya," Saujeno menyengir. "Jadinya, saya aja yang datang kesini, menyesuaikan Dika. Walau begitu, kencan disini juga menyenangkan, kok."

Yuta mengangguk-angguk sambil tertawa, "Kalau gitu, saya izinin deh Dika untuk gak usah kerja besok. Biar bisa malam mingguan sama kamu."

"Memangnya gak apa-apa, Mas?" Saujeno bertanya ragu.

Tunggu, kenapa makin hari dia malah makin gencar untuk memenangkan hati Senandika begini ya? Harus sampai kencan segala gak sih?

"Ya gak apa-apa, Saujeno. Ditya itu memang agak kaku orangnya. Dia terlalu gak enakan sama saya, padahal saya maklum aja, toh dia masih usia sekolah, usia buat menikmati masa remaja. Untuk hari ini, saya merasa terbantu banget sama kamu. Pelanggan yang datang jadi banyak dan kamu viral tuh di Twitter hahaha. Ini bayaranmu."

Yuta menyodorkan amplopnya kembali pada Saujeno, namun pemuda itu justru menggeleng lagi, masih menolak.

"Mas Yuta boleh tolong kasih ini untuk Dika aja?" Saujeno tersenyum memohon.

"Kenapa gak kamu aja yang kasih?"

"Dika pasti gak bakal mau nerima. Mas jangan bilang ini dari saya tapi ya."

"Ya udah, ini biar saya gabung ke gajinya akhir bulan nanti," Yuta mengangguk setuju sambil memasukkan amplopnya kembali ke dalam saku jaketnya. "Dia pasti seneng deh, langsung traktir adiknya ini-itu."

"Dika punya adik?"

"Punya. Adiknya masih SD. Ditya sayang banget sama adiknya itu, sampai-sampai kalau Ditya bawa dia kesini, tiap jam dicekin terus."

"Kalo boleh tau, Dika kerja disini sejak kapan, Mas?"

"Udah sekitar satu tahunan, berarti waktu kalian kelas sepuluh."

"Alasan kenapa Dika kerja, Mas tau?"

"Hmm... sebenarnya ini privasi, saya gak bisa sembarang cerita. Mungkin nanti Ditya sendiri yang cerita ke kamu. Dia emang anaknya agak tertutup dan pendiam, tapi sekali kamu dapat percayanya, Ditya bakal datang terus ke kamu kalau butuh bahu buat bersandar. Hidupnya gak gampang, Saujeno."

Usai bicara demikian, Senandika datang, berkata bahwa ia sudah siap untuk pulang.

"Besok kamu libur, Dika." Yuta langsung berucap memberitahu perihal kompensasi kerja besok, buat Senandika menatapnya bingung di tempat.

"Loh? Kenapa, Mas?"

"Biar kamu bisa kencan sama Saujeno."

"Haaahh?" Senandika menatap Saujeno dan atasannya bergantian sebelum memukul pemuda seumurannya itu tepat di lengan. "Kamu ngomong apa sama Mas Yuta?!"

"Saya gak bilang apa-apa, sumpah," ringis Saujeno sembari mengusap lengannya. "Kamu tanya aja sama Mas Yuta."

"Mas..."

Sementara pemuda blasteran Jepang itu cuma tertawa seraya tersenyum dan mengusak rambut Senandika, "Mas mau kamu istirahat, Dika. Kamu kerja tiap hari, gak ada liburnya. Lumayan juga 'kan mumpung ada teman?"

Senandika mendengus melihat Yuta yang menaik-turunkan alisnya bermaksud menggoda. Daripada berdebat lagi, Senandika akhirnya mengangguk pasrah sebelum kemudian pamit pulang pada Yuta.

Saujeno pun mengantar Senandika dengan selamat sampai gerbang rumah, kali ini gak ada kebut-kebutan karena Senandika mengomel sepanjang jalan, menyuruhnya untuk membawa motor pelan-pelan.

"Istirahat yang cukup, Dika," Saujeno tersenyum sembari menerima helm dari Senandika. Ketika Senandika hendak mengembalikan jaket yang Saujeno pinjamkan, lelaki itu menahan tangannya duluan. "Simpen aja, buat kamu pake kerja."

"Loh, nanti kamu—"

"Biar kamu ingat terus sama saya. Anggap aja, saya yang selalu nemenin kamu kerja."

Kali ini, Senandika memukul Saujeno tepat di bahu, membuatnya mengaduh karena pukulan Senandika lumayan terasa juga.

"Kok saya dipukul?!"

"Kamu terlalu nyebelin, Saujeno."

"Oh ya? Tapi muka kamu merah tuh."

Satu pukulan mendarat lagi di lengan Saujeno.

"Karena saya kesal sama kamu! Saya emosi!"

Saujeno tidak membalas, cuma mengusak rambut Senandika hingga si empunya protes malas.

"Pulang, Saujeno. Sudah malam. Saya yakin kamu juga lelah."

"Asal lelahnya dilengkapi kamu, rasanya gak lelah lagi, kok."

"Bisa gak, kamu cari hobi lain yang sekiranya gak bikin saya jadi shock begini? Asal kamu tahu, rasanya sesak sekali setiap kamu goda saya, buat saya mau lempar kamu pakai meja kayu."

"AHAHAHAH, Dika, kamu bercanda, ah!"

"Saya serius! Mau saya ambil meja kayunya?!"

"Ampun, Dika. Astaga, kamu galak sekali sih, cantik?"

Senandika sontak melongo, ucapan Saujeno kemarin malam dan siang tadi seketika terngiang-ngiang lagi di dalam kepalanya, buat wajahnya memerah tanpa sadar.

"Saujeno, kamu buta ya?"

"Loh? Kenapa?"

"Jelas-jelas saya sejenis sama kamu. Sama-sama jantan. Memangnya saya wanita jadi kamu panggil saya cantik?"

"Astaga, Dika. Cara ngomong kamu itu unik sekali, tau?"

"Tau. Makanya Saujeno gak usah coba-coba ikut saya. Cuma saya yang punya."

"Kalau Dika punya kepemilikan soal gaya bicara dan larang saya untuk ikut serta, kalau begitu boleh gak saya milikin yang bicara aja?"

"Tuh, Saujeno, sudah cukup sekali saya terima gombalan anehmu itu hari ini. Nanti saya sakit betulan!"

"Kamu bisa bagi sakitmu sama saya, Dika."

"Cukup kejunya, Saujeno. Saya udah makan kue keju tadi. Dari kamu pula. Sekarang kamu mau tambah saya keju lagi? Muntah saya adanya."

Saujeno terbahak lagi kali ini, benar-benar tidak tahan untuk tidak mengacak-acak rambut cokelat gelap milik Senandika. Lawakan Senandika itu benar-benar another level.

"Saujeno, kepala saya bukan mainan..."

"Kamu gemas sekali, Dika. Jangan salahkan saya, gak tahan."

"Tapi—astaga, Saujeno! Rambut saya bisa rontok!"

Tangan Saujeno akhirnya berhenti bergerak mengusak rambut Senandika. Anak lelaki itu cemberut kesal sambil memajukan bibir, buat Saujeno mencubit bilah tipisnya itu pelan.

"Aduh!"

"Jangan manyun, Dika. Kamu seolah mengundang saya, deh."

"Aish, Saujeno, pikiranmu," Senandika menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. "Sumpah, Saujeno, sudah berapa lama kita berdiri seperti orang bodoh disini?"

"Sepuluh menit, mungkin?" Saujeno melirik arloji di tangan kirinya. "Aish, Dika, masuk sekarang dan istirahat. Kali ini saya gak bakal telepon, oke? Jadi kamu bisa tidur cep—"

"Kenapa gak telepon?"

Saujeno terdiam.

"Ya?"

"Kenapa Saujeno gak telepon saya?"

"Biar kamu bisa tidur cepat, Dika," Saujeno tersenyum lembut, tangannya benar-benar tidak bisa berhenti mengusak rambut Senandika. "Saya jadi gak enak sama kamu karena ganggu waktu tidurmu. Kemarin kamu bahkan sampai ketiduran, itu artinya lelah banget, 'kan?"

Senandika akhirnya mengangguk patuh pada Saujeno, "Besok jam berapa?"

Saujeno loading sebentar, "Apanya yang jam berapa?"

Senandika malah mencebik dengan bibir melengkung turun. "Gak jadi. Udah kamu pu—"

"Oh!" Saujeno berseru ketika sadar, mendadak senyumnya mengembang lebar kegirangan. "Jam sepuluh saya jemput."

Senandika mendengus, "Kita mau kemana?"

"Tunggu aja besok. Kamu pasti bakal suka."

"Ya udah. Jam sepuluh, ya. Jangan telat."

"Jangan susah jujur, Dika. Kamu sebetulnya senang 'kan mau kencan sama saya?"

Senandika mendadak gelagapan, kepalanya ia gelengkan dengan ribut, "Gak! Siapa bilang?!"

"Muka merahmu yang bilang."

Buru-buru menutup wajahnya dengan jaket milik Saujeno, Senandika mendorong bahu anak itu supaya cepat-cepat pergi dari rumahnya karena ia sudah kepalang malu dengan wajah meronanya.

Sialan, Saujeno mengumpat dalam hati. Manis banget?! Culik boleh gak sih?!

"HAHAHA, iya, cantik. Saya pulang ya. Jangan rindu."

"Gak penting rindu sama kamu."

"Halah, tapi tadi nanya dijemput jam berapa. Saya bilang jangan susah jujur sama pacar, Dik."

"Saujeno!"

Tertawa, Saujeno pun memilih untuk berhenti menggoda dan menaiki motor milik kakaknya. Tepat ketika Saujeno hendak menyalakan, suara gerbang dibuka mengalihkan perhatian mereka berdua. Ibu Senandika muncul dengan wajah tidak suka, melipat tangan di depan dada, menatap Senandika dengan tatapan sinis yang begitu kentara.

"Darimana aja kamu baru pulang jam segini, Dika?"

"Aku... ke rumah teman," Senandika menjawab, tiba-tiba merasa takut karena Saujeno masih ada disana. "Maaf, Bunda."

"Ya terserah," ibunya memutar mata, sama sekali tidak mengalihkan tatapan pada Saujeno sedetikpun. "Lebih baik lagi kalau kamu gak usah pulang aja, Dika. Kamu nambah kerjaan saya dengan nunggu kamu pulang. Cepat masuk, kunci pintunya."

Setelahnya, ibu Senandika balik badan tanpa bicara apapun lagi, meninggalkan Senandika dan Saujeno tenggelam dalam keheningan malam.

"Senandika—"

"Saya masuk dulu, Saujeno. Kamu hati-hati bawa motornya," Senandika menunduk begitu dalam sampai-sampai Saujeno tidak dapat melihat wajah manisnya yang beberapa menit lalu masih berseri begitu cerah dan cantik.

"Senandika, tunggu—" Saujeno menahan tangannya, namun Senandika menariknya hingga lepas dan berjalan terburu memasuki rumah, dengan cekatan menutup pagar dan detik berikutnya suara rantai dan gembok terkunci terdengar nyaring berdentingan.

Saujeno menghela napasnya, seketika pikirannya dipenuhi oleh omongan Yuta di cafe tadi.

"Hidupnya gak gampang, Saujeno."

Sambil menghidupkan motor dan melajukannya meninggalkan rumah Senandika, ajaibnya Saujeno masih tenggelam dalam pikiran di lubang yang sama; soal Senandika dan masalah hidupnya yang ia bilang rumit itu.

Untuk pertama kalinya, Saujeno merasa perlu untuk peduli.









Januar Alkuna (Kun)

Arrashya Stevan Ilham (ArSI)




3500 words, pegel juga ya ngetiknya :)

Continue Reading

You'll Also Like

6.9K 672 9
Na Jaemin, mengalami trauma masalalu yang disebabkan oleh ayahnya sendiri. Membuatnya merasa menjadi manusia paling tidak berharga didunia. Hingga pe...
98.6K 9.7K 34
Hanya sepenggal cerita tentang sosok anak lelaki yang menjadi saksi bisu atas kehancuran keluarga nya. Bxb| gay| boy's love| homo| yaoi So? Still co...
96.3K 12.9K 27
Huang Renjun sudah menemaninya bertahun-tahun, sementara dia hanya bertemu dua kali dengan Na Jaemin... Terkadang kisah cinta bertahun-tahun tidak me...
650K 41.1K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...