ATLANTAS || END

By badgrik

276K 21.9K 2K

[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam m... More

Prolog
01. Permulaan
02. SMA Delton
03. Insiden
04. Tawuran dan Pencarian
05. Jaket
06. Jalan-Jalan Ke Mall
07. Abel Hilang
Cast + Nama + karakter Pemain
08. Markas Vagos
09. Berlalu
10. Bertemu Kembali
11. Apartemen
12. Berangkat Bersama
13. Penasaran
14. Turnamen Futsal
15. Atlantas Dan Alex
16. Bimbang
17. Gosip Sekolah
18. Simpang Siur
19. Gudang Sekolah
20. Fakta Yang Sebenernya
21. Syndrome Sandi
22. Senja Di Rumah Sakit
23. Antara Abel, Atlantas & Alex
24. Orang Tua Abel
25. Hal Indah Di Rumah Atlantas
26. Penyerangan
27. Antara Bandung Dan Jakarta
28. Cerita Di Dufan
29. Malam Minggu
31. Kotak Bekal
32. Tentang Atlantas
33. Mimpi Abel
34. Meniti Ke Akhir Cerita
35. (Bukan) Akhir Segalanya
Ucapan Terima kasih
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3 • Special POV Atlantas
Cerita Baru
Grub Atlantas
Info Bahagia?
Atlantas Versi Baru?

30. Setan

3.9K 412 23
By badgrik

“Aku belum mengenalmu jauh lebih dalam,” —Abel.

🏍️🏍️🏍️

Orang tua Abel menyambut kedatangan Atlantas dengan ramah. Killa menyiapkan makanan untuk sang suami, anak, dan tamunya.


“Dimakan ya, Tas. Maaf kalau nggak sesuai selera kamu.”

“Nggak papa, Tan. Saya suka, kok.”

Abel duduk yang duduk di samping Atlantas berdehem pelan. Bisa-bisanya Atlantas berbicara kalem seperti barusan. Sangat ber-damage. Dan tidak baik untuk jantung perawannya.

“Kak Atlas beneren nggak papa, kan?” tanya Abel kepada Atlantas setengah berbisik. “Kalau nggak suka jangan dimakan. Nggak papa, kok.”

Atlantas melirik Abel. Mengambil sendoknya—siap untuk makan.

“Gue suka,” sahut Atlantas. “Kalaupun gue nggak suka, gue tetap makan. Itu cara gue menghargai masakan seseorang.”

Abel specheless, dia teringat akan kelakuannya dulu. Dia sering sekali tidak memakan masakan Mamanya kalau masakan yang tersaji tidaklah sesuai seleranya dan memilih untuk memasak mie instan sendirian.

Tiba-tiba Abel jadi merasa bersalah. Apa dulu dia tidak bisa menghargai masakan Mamanya?

Abel bernapas gusar. Dia hanya bisa memilin jari-jarinya di atas pangkuan—sangat ciri khas jika Abel tengah bingung. Dia juga sudah kehilangan niatnya untuk makan saat ini akibat pikiran tersebut yang mulai menguasai otaknya.

Lho, kenapa nggak makan? Nggak sesuai selera kamu, Bel?” tanya Killa yang memperhatikan gerak-gerik putrinya.

“Eh, enggak kok, Ma. Abel cuman kepikiran Mas Adrian doang di Kalimantan. Kira-kira dia bisa nggak ya makan gini? Tumis kangkung dan ayam goreng. Padahal ini makanan favorit Mas Adrian. Kasian banget sih Mas Adrian,” bohong Abel. Dia tidak sanggup untuk membicarakan yang sesungguhnya.

Abel segera mengambil sendoknya, mengabaikan tatapan tajam Atlantas yang terarah kepadanya.

“Udah Mama masakin kok pas balik ke Kalimantan.”

“Eh, seriusan, Ma?”

“Iya. Ngapain juga Mama bohong. Tanya aja sana sama Ayah kalau kamu nggak percaya.”

“Beneran, Yah?” tanya Abel ingin memastikan.

Frams mengangkat wajahnya, lalu mengangguk. “Seperti biasa, Adrian selalu nambah.”

Abel tersenyum lebar. “Ternyata nggak berubah. Oh iya, tadi sebelum pulang ke sini Mas Adrian juga telpon Abel.”

“Mama tau. Adrian bilang dia usah dari lama mau telpon kamu tapi selalu nggak punya waktu.”

Ab merenggut kesal. Melahap paha ayam gorengnya dengan cepat. “Abel kirain Mas Adrian udah lupain Abel. Kan, jadi kesal. Habisnya sih nelpon tuh jarang banget. Kayak orang sibuk aja.”

“Lah, kan iya. Adrian memang sibuk. Dia ngurus kuliahnya,” sahut Frams. “Apalagi sekarang ngurus macam-macam. Studio yang di Kalimantan lagi rame-ramenya.”

“Iya, tau. Sibuk banget.” Abel jadi cemberut.

Killa tersenyum lembut ke arah Abel. “Akhir tahun Adrian ke Jakarta, kok.”

Kedua matanya seketika berbinar-binar. “Seriusan, Ma?”

“Adrian nggak bilang ke kamu?”

“Ihh, nggak ada Mama! Haish, bikin kesal aja.”

“Mau kejutan kali.”

Abel tersenyum semringah. “Bisa juga, sih.” Lalu dia terkejut pelan. “Aduh nggak sabarnya.”

Atlantas mencengkram kuat sendoknya. Sebenernya siapa Adrian ini sehingga keluarga Abel pun tau. Sialan, dia merasa kecolongan start.

Sungguh, dia merasa sangat kepanasan. Dengan cepat dia mengambil air minum dan meneguknya hingga tandas.

Diam-diam Banu menahan tawa. Hanya orang minus peka yang tidak menyadari jika Atlantas tengah menahan kobaran marah dan cemburu. Jelas sekali.

Astaga, apa Raja Kelam Jalanan di depannya ini sudah bucin?

“Tas, lo nggak mau nambah?” Banu tersenyum jahil.

Semua orang menatap ke arah Atlantas. Cowok tersebut menggeleng. “Nggak usah. Ini udah cukup.”

“Kali aja mau nambah. Soalnya cemburu juga butuh tenaga.”

“Hm.”

Banu terkekeh pelan. Dia bisa membalas Atlantas.

“Atlantas ini orangnya emang titisan Kutub Utara, Ma. Dingin banget, kaku lagi. Datar bangat pokoknya kayak papan,” jelas Banu kepada Killa. “Tapi tenang aja, dia teman yang baik, Ma.”

Killa tersenyum, selalu. Senyuman yang seperti Abel, sangat manis dan cantik. Banu jadi ikutan tersenyum dibuatnya.

Dan deheman dari Frams membuat Banu tersentak kaget.

Ekhem!

“Hehehe.” Banu hanya bisa memberikan cengirannya.

“Mata kamu, Banu. Jangan mandang istri Ayah kayak gitu. Kamu tatap piring aja. Jangan sok kegantengan. Mau Ayah colok mata kamu?”

Banu tersenyum kikuk. Frams dan ke-posesifannga adalah satu paket yang sangat spesial. Dia hanya bisa manggut-manggut.

“Maafin Banu, Yah.”

“Killa, kamu masuk kamar.”

“Jangan aneh-aneh deh, Mas. Aku baru aja makan setengah.”

“Nanti Mas kasih asupan di kamar aja. Masuk! Mas nggak suka lihat Banu liatin kamu kayak tadi.

“Mas, jangan mulai deh.”

Frams menatap Killa dalam. “Masuk sekarang atau kamu yang Mas masukin.”

Atlantas dan Banu sama-sama tersedak makanannya.

Sedangkan wajah Killa yang langsung bersemu merah. “Iya-iya! Aku Masuk sekarang, nih. Puas kamu, Mas?”

“Tentu saja.” Frams memakan kembali nasinya di piring dengan cepat. Biar bisa menyusul istirnya segera.

“Ayah, kalau bicara jangan frontal gitu, dong. Otak Banu jadi traveling, nih. Mana travelingnya nggak pakai tiket pesawat lagi.”

“Makanya, buruan nikah sana.”

“Ayah nyuruh Bang Banu nikah?” tanya Abel tiba-tiba. “Yang benar aja? Bang Banu kan nggak demen cewek, Yah.”

Kini giliran Frams, Atlantas, dan Banu yang tersedak. Ketiga cowok tersebut hampir saja mengumpat.

“Seriusan kamu, Nu?” Tanya Frams.

“Enggak, Yah!” Sanggah Banu cepat. “Jangan percaya sama ucapan Abel pokoknya, Yah. Musyrik!”

Atlantas tidak bisa berkutik lagi. Terjebak di keluarga Abel ternyata hisa membuat dadanya terasa hangat walaupun dia tidak ikut berbicara sama sekali.

“Awas aja kamu gay, Banu. Ayah kebiri kamu!”

Spontan Banu merapatkan kedua pahanya. “Banu masih normal, Yah!” ucap cowok tersebut menggas.

“Yaudah, sih, santai aja. Nggak usah ngegas kayak gitu,” sahut Frams santai.

“Bahasa gaulnya aktif ya, Yah.”

“Tentu saja.” Frams berdiri. “Kalian habiskan saja dulu makan malamnya.”

Frams menatap Atlantas, yang ternyata ditatap balik oleh cowok tersebut. “Jangan sungkan-sungkan, makan aja. Anggap rumah sendiri.”

“Iya, Om.”

“Kayak Banu, tuh. Minus akhlak, makan sesuka dia. Tapi nggak papa, kok.”

“Banu mulu yang dinistain."

Banu jadi teringat Anji. Apa ini karma karena dia selalu menistakan Anji selama ini?

“Kamu itu nistaable, jangan mengelak. Yang nurut aja sama kayak orang tua. Sudahlah, Ayah mau malam mingguan dulu sama Mama di kamar. ”

“Aduh-aduh, enaknya malam mingguan versi halal. Bisa anu-anu.”

“Otak kamu Nu kalau mikir suka benar.”

Atlantas tersenyum tipis. Sepertinya tingkah Abel tidak jauh berbeda dari sang Ayah.

“Yaudah, Yah, masuk gih sana ke kamar. Mama pasti udah nungguin.”

“Pasti.” Frans tersebut tipis. “Kamu, Nu, jalan-jalan sana. Cari pacar. Jangan gangguin Adek kamu pacaran.”

“Gue lagi yang kena, anjer,” gumam Banu.

“Siapa yang pacaran, Yah?" tanya Abel dengan raut polos.

Fram mengusap-usap pelan rambut anaknya. Tersenyum tipis. Ternyata putri bungsunya ini masih saja bersikap polos.

Frams jugalah seorang cowok. Dia bisa menebak tatapan Atlantas kepada putrinya.

“Nonton film gih sana. Malam minggu di rumah aja. Cemilan banyak di dalam kulkas.”

“Oke, Ayah!” sahut Banu riang.

“Lah, kata siapa buat kamu.”

Banu menipiskan bibirnya. Dia memiliki firasat buruk.

“Abel, bawa Atlantas ke ruang depan. Dan kamu Banu pergi aja sana. Jangan ada yang ketuk pintu kamar Ayah.”

“Baiklah, Ayahnda. Pangeran tampan ini akan angkat kaki saat ini juga.”

Banu diusir dari rumahnya sendiri. Sangat miris.

“Pangeran ndasmu!” ledek Frams sebelum meninggalkan ketiga orang di sana.

The real setan.” Atlantas mengejek Banu.

“Sialan! Nggak gue restuin lo, mampus!”

🏍️🏍️🏍️

Abel dan Atlantas duduk di sofa. Saat ini mereka tengah menonton sebuah film yang bahkan Atlantas pikir dia tidak akan pernah menontonnya.

Boboiboy The Movie.

Siapa lagi kalau bukan Abel dalangnya. Cewek tersebut benar-benar menikmati alur ceritanya. Sedangkan dia tidak.

“Lo suka Boboiboy?” tanya Atlantas sedikit iri. Iya, hanya sedikit. “Ditatap mulu. Nggak sakit mata lo.”

“Nggaklak,” jawab Abel dengan mata yang masih menatap layar tv. “Asal Kak Atlas tau aja, ya. Boboiboy api itu damage-nya nggak main-main. Makanya, Abel tuh suka banget sama dia.”

“Apalgi Boboiboy ice, beuh mantab!”

“Eh, tapi nih ya, kalau dilihat-lihat Boboiboy angin itu ternyata keren juga.”

Astagfirullah, Abel jangan maruk.” Dia mengelus dada entah untuk apa. Kedua matanya tampak berbinar-binar.

Haish, cakep,” kagum Abel. “Produksi Animasi memang selalu unggul.”

Bermenit-menit Abel menonton, tidak henti-hentinya ucapan kagum menguar dari mulut cewek tersebut. Telinga Atlantas dibuat semakin panas olehnya.

“KYAA, FANG! YA ALLAH, TAMBAH CAKEP AJA, HUHUHU.”

“Huwa, Fang. Astagfirullah, lihat Fang cakep gini hawanya tuh adem banget. Bawaannya mau beristighfar mulu.”

Atlantas berdecih. “Film bocah!” ledeknya kesal. Sudah sedari sore tadi dia cemburu tidak karuan. Dari Sean, Adrian dan sekarang Boboiboy. Kurang apa dia di mata cewek tersebut.

Tidak mungkin kan dia jadi Sean yang playboy?

Atau Adrian yang entah seperti apa rupanya dan jadi Boboiboy yang memiliki beberapa kekuatan elemen?

Yang benar saja?!

“Sudah cukup!” Atlantas menutup mata Abel menggunakan telapak tangannya. Perduli setan dengan harga dirinya. “Gue nggak suka lo natap mereka kayak gitu. Gue cemburu,” desisnya.

Lho, ada apa Kak Atlas? Singkirin dulu tangannya, ih. Gelap, nih. Abel mau nonton tivi.”

“Nggak! Nggak ada tivi-tivian. Awas aja lo nonton bocah elemen itu lagi! Gue ledakin tivi lo.”

“Heh, sembarangan! Awas aja kalau Kak Atlas ledakin beneran. Kita end!”

Atlantas mendesis geram. Menarik pundak Abel agar bisa berhadapan dengannya. Ditatapnya kedua mata Abel yang menyorotnya dengan bingung.

“Dengerin gue, Arabella. Gue nggak suka dibantah apalagi ditolak. Gue nggak suka makanan pedas atau minuman manis. Dan gue juga nggak suka sama cowok-cowok yang liatin lo apalagi cowok-cowok yang lo liatin. Termasuk anak-anak di dalam tivi itu. Gue cemburu! Lo paham cemburu, kan? Gue nggak suka, arrgghh.”

Napas Atlantas memburu. Wajahnya tampak memerah. Entah malu atau marah. Namun, sepertinya itu perpaduan dari keduanya.

Abel jadi memiringkan kepalanya. Menatap gemas ke arah Atlantas.

“Mereka nggak nyata, Kak Atlas. Ngapain cemburu coba.”

“Gue cemburu!” aku Atlanta jujur. Sudah dia bilang, perduli setan dengan harga dirinya. Dia tidak suka menahan gejolak cemburu di dadanya. Rasanya sangat sesak.

“Tapi, merek—”

Atlantas menutup mulut Abel menggunakan telapak tangannya.

“Ini yang gue mau bilang ke lo.” Atlantas menatap tajam ke arah Abel. “Gue cemburuan, iya. Gue emosional dan anak motor. Banyak yang bilang gue seram, kejam, bahkan sadis. Gue akui, gue memang seperti itu. Gue nggak akan segan-segan untuk patahin tangan orang yang pernah mukulin Anji sampai babak belur, atau hancurin Markas Vagos karena mereka pernah sekap lo waktu itu.”

Atlantas membasahi bibir bawahnya yang kering.

“Asal lo tau, gue punya pertahanan yang kuat. Tapi, lo hancurin semuanya hanya dalam hitungan detik, Bella.”

“Lo nggak perlu angkat senjata buat jatuhin gue. Hanya dengan kehadiran lo di depan mata gue aja udah cukup buat gue sejatuh-jatuhnya.”

“Dan gue juga bukan cowok baik-baik. Gue adalah cowok dengan musuh di mana-mana. Gue ketua Bandidos. Gue punya tanggung jawab besar pada Geng Motor gue. Gue hanya memprioritaskan Bandidos di atas segalanya. Tapi, semuanya berubah saat lo masuk ke markas Bandidos waktu itu. Gue meletakkan nama lo di list teratas kehidupan gue.”

“Jadi, sampai sini lo paham, kan?”

Abel hanya diam. Dia benar-benar kaget dengan pengakuan Atlantas barusan ditambah lagi dengan panggilan dari cowok tersebut yang terasa familiar di telinganya

Bella, biarkan aku memanggilmu seperti itu. Bukankah itu hal yang bagus? Kita sama-sama memiliki nama panggilan. Kita Impas.

Abel memegang kedua sisi kepalanya dengan kedua mata yang terpejam erat membuat Atlantas melepaskan pegangannya pada pindah Abel, lalu ikut memegang kepala cewek tersebut.

“Lo nggak apa, Bel?”

Abel meringis pelan. Rasanya sangat sakit, seperti ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk kepalanya.

Atlantas jadi panik.

“Kita ke rumah sakit?”

Abel menggeleng pelan. Air matanya sudah turun membasahi pipi.

“Sakit,” ucap Abel pelan dengan mata yang masih terpejam. Atlantas tidak tau harus bersikap seperti apa. Dia ingin berteriak memanggil kedua orang tua Abel, namun dia masih teringat pesan Frams.

Jangan ada yang ketuk pintu Ayah.

Setelah beberapa menit berlalu, hingga pada akhirnya Abel terdiam di pelukan Atlantas. Rasa nyeri di kepalanya sedikit berkurang akibat usapan pelan dari cowok tersebut.

Abel malu, tapi dia enggak untuk beranjak.  Rasanya nyaman.

“Udah mendingan? Kalau masih sakit kita ke rumah sakit sekarang.”

“Abel nggak papa.”

“Sering kayak tadi?” tanya Atlantas lembut. Diusapnya pelan rambut cewek tersebut.

“Nggak pernah, baru kali ini. Tadi rasanya sakit banget. Kepala Abel kayak ditusuk-tusuk pakai jarum.”

Atlantas mendekap Abel erat. Kalau bisa biar dia saja yang merasakan sakit cewek tersebut.

“Tapi sekarang udah nggak papa, kok. Kak Atlas tenang aja.”

“Hm.”

Posisi Abel jadi bersandar di dada Atlantas dengan lengan kekar cowok tersebut yang melingkar di punggungnya.

“Makasih sudah mau jujur dan mau nolongin Abel barusan.”

“Hm.”

“Kak Atlas nggak mau pulang?”

“Lo ngusir gue?” Atlantas yang tengah mengusap-usap pelan rambut Abel jadi terhenti. “Lo nggak suka gue di sini?”

Abel memejamkan kedua matanya sebentar, lalu membukanya. “Bukan gitu, Kak Atlas. ini udah mau jam sembilan, lho. Kak Atlas nggak dicariin Mama Kak Atlas gitu?”

Atlantas terdiam.

“Nggak ada yang cari gue,” bisik Atlantas penuh arti. Dan Abel terdiam dengan berbagai spekulasi.

Sedangkan Banu terpaku di undakan tangga. “Nyesel gue nggak nurutin kata Ayah buat malam mingguan tadi. Kan, sialan banget. Gue malah menyaksikan mereka dempetan gitu.”

“Gue jadi seran beneran. Ayah uwu-uwuan dikamar, sedmahkan Abel di ruang tengah. Lah gue? Jomblo setan!”

🏍️🏍️🏍️

Continue Reading

You'll Also Like

20.1K 609 51
~Sebuah awal dan akhir yang akan membawa semua peristiwa pahit di dalamnya~ [Romance-Comedy-Fiksi ] _____________________________ "Aku salah Gal, pel...
129K 5.1K 36
⚠️ CERITA INI MENGANDUNG KATA KASAR YANG TIDAK BAIK UNTUK DITIRU DI DUNIA NYATA⚠️ Devino Raendra Radipta. Manusia balok es berjalan ini memang terken...
614K 17K 49
Cerita sudh end ya guys, buru baca sebelum BEBERAPA PART DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT. Kata orang jadi anak bungsu itu enak, jadi anak bungsu...
486K 36.6K 44
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...