DANDELION

By CarVanila

1.5M 89.6K 4.3K

Sedari kecil tinggal di panti asuhan tak membuat Caramel Malaika Princessa atau yang biasa disapa Kara ini ta... More

1. Beginning
2. Leukimia
3. Dirgantara's new family (Revisi)
4. Rasa iri
5. Alaska
6. The Devil
7. Accident
8. The truth about forever
9. Caramel
10. She's back
11. Meet family
bukan update
12. Hospital (Revisi)
13. Amarah (Revisi)
14. Hilang
15. William dan Hati
16. Teman baru
17. Heartache
18. Aruna dan Rahasia
19. PDKT
Just Info
20. Library
21. Festival
22. Rasa
23. Kado pahit
24. I'm fine?
25. Dunia Fantasi part 1
26. Dunia Fantasi part 2
27. BUCIN level akut
28. Sisi lain Alaska
29. Bertemu
30. First time
31. Red
32. Traumatik
33. White
34. The Queen
35.
37. Rasa curiga (Revisi)
38. Setan!
39. Open book
Pendapat
cuap-cuap
Cast part 1
Cast part 2
Cast part 3
40. Langit tak bercahaya
41. Double date?
42. Mission!!!
just asking
43. Insiden
44. Maaf
45. Exposed
46. Table
47. Tiba-tiba ....?
48. Kabar berita

36. Keputusan

10.1K 828 45
By CarVanila

William kembali ke rumah setelah mengantar Caramel pulang. Seperti keluarga lainnya yang jika anggota keluarga perempuan mereka pulang terlambat dan diantar lawan jenisnya, pasti terjadilah hal yang sudah ia antisipasi dengan baik.

Berbagai pertanyaan yang untung saja mampu William jawab dengan sedikit rasa keraguan apakah jawabannya dapat diterima atau tidak.

Seperti saat ini, ia sedang di interogasi oleh Anisa. Baru saja William membuka pintu, tangannya langsung ditarik menuju ruang keluarga. Siapa lagi pelaku utamanya kalau bukan Anisa, ibunya yang kalau dalam hal menginterogasi sangat amatlah mendetail memberikan berbagai pertanyaan. Bahkan polisi, detektif, atau interpol pun akan kalah jika berhadapan dengan ibunya.

"Jam berapa sekarang?" Anisa memulai sesi pertanyaan.

William melihat jam yang tersemat  di pergelangan tangan kirinya. "Em 8 malam,"

"Terus?"

"Terus..... Aku mau ke kamar, mandi, tidur"

"Kamu enggak lupa sesuatu?"

"Lupa apa?"
William mencoba mengingat-ingat apa yang ia lupakan. "Kayaknya enggak ada yang kelupaan,"

Anisa menahan agar tidak menjitak kepala William. Ingin rasanya ia menjitak kepala putra semata wayangnya itu agar mengingat kesalahannya.

"Oh iya, Willi belum buat tugas sekolah."

"Mau kemana anak Mama yang paling baik hati dan tidak sombong?"

"Ya ke kamarlah. Willi lupa belum buat tugas."

Anisa menghela napas kasar. Anaknya terkadang memang menyebalkan. "Kue pesanan Mama mana?"

William berhenti melangkah begitu mendengar pertanyaan Anisa. Ia membalikkan badannya dan terkekeh. "Oh iya,"

"Oh iya," Anisa menirukan ucapan William. "Lupa?"

"Enggak lupa Ma, Willi udah beli kue-nya. Tapi kayaknya ketinggalan deh di---" kalimat William menggantung. Ia lupa meninggalkan pesanan ibunya dimana.

"Dimana coba, Mama mau tahu"

"Di- disuatu tempat pokoknya." Jawab Willi membuat jengah ibunya.

"Ya sudahlah! Emang dasarnya kamu aja yang nggak mau,"

William langsung memeluk ibunya. "Besok deh! Janji! Besok Willi beliin. Mama jangan ngambek lagi dong. Nanti cepet tuanya loh, terus Papa punya Wanita Idaman Lain gimana?"

Anisa mencubit lengan Willi hingga pemuda itu berteriak. "Kamu nyumpahin Mama gitu? Kamu pengen banget Papa punya wanita lain?"

"Ya biar sama kayak di sinetron-sinetron yang suka Mama tonton itu!" Setelah mengatakan itu, William langsung melarikan diri dari Anisa yang akan mencubit William untuk kedua kalinya.

"Astagfirullah..... Ampun deh Mama punya anak kayak kamu Willi!"

.
.
.
.

'Sedang apa kak? Sudah sampai rumah'

Caramel mengetik sebuah pesan singkat dan mengirimnya ke William. Sambil menunggu balasan dari lelaki yang kini sudah menjadi kekasihnya, Caramel membaca buku.

Tak lama Handphonenya bergetar.

'kakak sedang berkirim pesan ke wanita yang sangat kakak cintai'

Blushhh

Pipi Caramel merona. Baru akan membalas pesan dari William, lelaki itu menelepon Caramel.

"Iya kak?"

'sedang apa?'

"Tadi aku lagi baca buku, sekarang lagi teleponan sama kakak"

'besok kakak mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu mau ya?'

"Kemana kak?"

'Rahasia. Besok kamu juga akan tahu'

.
.
.
.

Tengah malam, Caramel terbangun karena sakitnya yang kambuh. Dengan perlahan ia mengambil obat pereda nyeri yang ia simpan di dalam laci meja lalu meminumnya.

Keringatnya mengucur karna menahan sakit yang teramat sangat. Ingin rasanya ia berteriak, namun ia tak ingin membangunkan keluarganya dan membuat mereka mengetahui penyakit yang ia derita.

Setelah reda, Caramel mencoba untuk kembali tidur. Namun tidak bisa. Caramel memilih keluar dari kamarnya. Niatnya hanya untuk membuat susu hangat namun ia justru melihat lampu di ruang kerja sang kakek masih menyala, ketika melewatinya.

Caramel mengetuk pintu. Terdengar suara Richard yang menyuruh untuk masuk ke dalam.

"Grandpa?"

"Oh Caramel. Ada apa? Kenapa belum tidur?"

"Tadi Kara udah tidur, cuman kebangun Grandpa karena haus. Grandpa belum tidur?"

"Masih ada pekerjaan yang belum Grandpa selesaikan."

Caramel mengangguk. "Caramel buatin teh hangat buat Grandpa ya?" Tawar Caramel.

"Boleh. Grandpa juga ingin mencicipi teh buatan cucu Grandpa."

"Tunggu Grandpa, Kara buatkan teh yang paling enak. Grandpa pasti ketagihan deh,"

Caramel menuju dapur, membuatkan teh untuk Richard dan susu untuknya sendiri. Caramel kembali ke ruang kerja Richard. Meletakkan secangkir teh di atas meja kerja Richard.
Memperhatikan Richard yang masih berkutat dengan pekerjaannya.

Caramel mengelilingi ruang kerja Richard. Mengambil salah satu album foto yang menarik perhatiannya. Dibukanya album foto itu. Foto pertama yang ia lihat adalah foto Richard dan Chintya. Keduanya terlihat bahagia. Terutama Chintya, senyumannya begitu tulus. Sangat berbeda jauh saat ia bertemu dengannya.

"Grandpa?"

Richard mengalihkan pandangannya dari dokumen. Caramel menghampiri Richard dan menunjukkan album foto itu.

"Kalau Kara boleh tahu. Ini siapa Grandpa?" Tanya Caramel, berpura-pura tak mengenal Chintya.

Richard menghela napas terlebih dahulu. "Chintya. Dia adalah istri kedua Grandpa,"

"Terus, sekarang dia dimana Grandpa? Kara pengen ketemu."

"Grandpa tidak tahu dan tidak ingin tahu. Karena dirinyalah keluarga ini hampir kehilanganmu."

Richard mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dan mengapa Chintya melakukan hal seperti itu.

Caramel menggenggam tangan Richard. "Apa Grandpa masih mencintainya?"

"Cinta? Mungkin sudah tidak ada lagi. Tapi kalau Grandpa boleh jujur, masih ada perasaan sayang untuknya."

Caramel tersenyum. "Dan- kalau suatu hari nanti, Grandpa dipertemukan lagi sama dia. Apa Grandpa mau memaafkan dia?"

Richard menoleh, ia tersenyum sambil mengelus kepala Caramel dengan lembut. "Sudah larut. Sudah saatnya kamu tidur," ucap Richard tak menjawab pertanyaan Caramel.

"Ya udah, Kara ke kamar dulu Grandpa. Selamat malam," Sebelum kembali ke kamarnya, Caramel mencium kedua pipi Richard

Suara jam berdetak terdengar di ruangan kerja Richard. Lelaki tua itu masih memikirkan pertanyaan yang dilontarkan Caramel.

Apakah ia akan memaafkan Chintya?

Entahlah, ia juga tidak tahu.
Jika mengingat betapa kejamnya Chintya menghabisi istrinya dulu yang merupakan sahabatnya sendiri. Ia tidak bisa memaafkan kesalahannya, ditambah ia lah yang membuat mereka harus kehilangan Caramel walaupun sementara.

...

'kak, sepulang sekolah nanti, aku ingin bertemu.'

Caramel menarik napas dan membuangnya. Semoga keputusannya benar.

...

"Kak...."

"Hem,"

"Ada yang mau Kara omongin sama kakak. Dan ini penting."

"Apa itu? Jangan bilang kamu mau minta putus ya sama kakak? Kita baru pacaran kemaren loh, masa udah putus aja."

"Ihhhh kak Willi bukan itu yang mau Kara omongin," Caramel mencubit lengan Wiliiam.

Saat ini keduanya berada di taman belakang sekolah. Caramel meminta ijin kepada Embun bahwa ia memiliki pelajaran tambahan. Tentu saja dengan bantuan Cempaka. Dan kalau Cempaka sudah terlibat, tidak ada yang namanya gratis.

Salahkan William kenapa hubungan mereka bisa ketahuan oleh Cempaka. Saat istirahat siang tadi, William memegang tangan Caramel di kantin yang pada saat itu bel istirahat baru saja berbunyi. Untung saja Embun, Adrian dan Randy sedang sibuk membahas game Free Fire mereka. Kalau tidak, bisa habis Caramel diinterogasi oleh keluarganya.

Dan ternyata yang melihat adalah Cempaka. Dan dengan otak liciknya, Cempaka meminta syarat yang langsung di setujui oleh William tanpa bertanya dulu pada Caramel.

"Apa sih yang mau kamu omongin cantik?" Tanya William, menjawil hidung Caramel.

"Sebelum itu, aku mau sampein pesen Cempaka, katanya jangan lupa album terbarunya Super Junior, kak."

William menepuk dahinya sendiri. "Emang dasar sahabat kamu itu ya," keluh William, mengeluarkan Handphone dan mengetik sesuatu.

"Done! Tunggu aja 2 atau 3 hari,"

Caramel terkejut. "Eh, kakak seriusan? Kok cepet banget?"

"Siapa dulu dong?!" Ucap William. "Oh iya, apa yang mau kamu omongin?"

"Tentang kak Runa dan keluargaku."

Mendengar itu William beranggapan ini memang masalah penting. Ia menegakkan posisi duduknya, berusaha menjadi pendengar yang baik bagi Caramel.

Caramel mulai menceritakan apa yang terjadi antara dia dan Aruna. Tangannya gemetar saat menceritakan apa yang harus ia lakukan kepada keluarganya. William memeluk gadis itu, mencoba memberikan kekuatan padanya.

"Kenapa baru menceritakan hal ini pada kakak, hem? Jangan pernah memendamnya sendiri."

"Maaf kak. Kara bingung,"

"Lalu sekarang, kau akan menemui gadis itu?" Tanya William, ia terlalu malas menyebut nama 'Aruna'.

"Kak Aruna, maksud kakak?" William mengangguk. "Iya, kak. Sepuluh menit lagi di cafe depan sekolah."

"Biar kakak temani,"

"Tapi, kak. Kalo kak Aruna tahu, bagaimana?"

"Kakak akan jaga jarak dengan kalian.  Dan ingat baik-baik, rekam pembicaraan kalian secara diam-diam." Ucap William, Caramel mengangguk.

"Kak.... Kakak akan selalu disisi Kara kan? Kakak harus selalu percaya Kara."

"Sampai kapanpun kakak akan selalu disisi kamu. Dan kakak selalu percaya kamu." William meyakini.

.
.
.
.

Caramel menunggu dengan cemas kedatangan Aruna. Sesekali ia melirik William yang mengawasinya dari jauh. Hanya berjarak 5 meter dari Caramel.

"Bicara sekarang! Aku tidak punya banyak waktu!" Ucap Aruna yang baru datang dan langsung menempati kursi di hadapan Caramel. Membelakangi William yang tetap mengawasi.

"Ini masalah yang kemaren kak," Caramel mulai berbicara. Diam-diam ia menghidupkan alat perekam yang terdapat di Handphonenya, seperti apa yang William katakan padanya.

Aruna mengangkat salah satu alisnya, seolah berkata 'lalu?'

"Dan Kara sudah memutuskan, bahwa Kara tidak bisa mengikuti semua keinginan kakak dan nyonya Chintya. Kara tidak bisa menyakiti keluarga Kara sendiri. Kara tidak ingin menyakiti Grandpa, apalagi menghancurkan perusahaan yang sudah Grandpa bangun dari Nol hingga sekarang."

"Baiklah!" Ucap Aruna.

Hanya itu. Caramel menjadi bingung. Namun ia dibuat heran karena Aruna yang langsung mengeluarkan Handphone dan menelepon seseorang.

"Lakukan sekarang!" Ucapnya ke seseorang di line telepon, lalu mengakhiri panggilan teleponnya dan memberikan smirk pada Caramel.

"Kau akan terima konsekuensinya!" Setelah mengucapkan itu, Aruna pergi meninggalkan cafe.

William menghampiri Caramel yang masih terdiam dengan pertanyaan yang memenuhi otaknya. 'konsekuensi apa?'

"Ada apa? Apa yang gadis itu katakan?" Tanya William menyadarkan Caramel.

"Kak Runa bilang, aku akan terima konsekuensinya. Apa maksudnya? Aku gak ngerti, kak."

William juga tidak mengerti. Ia ikut memikirkan konsekuensi apa yang dimaksud Aruna.

Tiba-tiba telepon William berbunyi. Nama Randy tertera di layar Handphone.

"Ya? Serius Lo? Nggak lagi bercanda kan? Di rumah sakit mana? Oke, gue kesana sekarang." William menyimpan Handphonenya ke saku celana.

"Kenapa kak?" Tanya Caramel, perasaanya tidak enak.

Sebelum William sempat menjawab pertanyaan Caramel. Handphone Caramel terlebih dulu berdering. Ia langsung menjawab panggilan telepon dari Cempaka.

"Iya, Cem? Hah? Enggak mungkin! Kamu bercanda kan Cem? Kak Embun baik-baik aja kan? Ak- aku kesana sekarang!"

Caramel teringat dengan ucapan Aruna tadi. Apakah ini konsekuensi yang harus ia terima. Melihat keluarganya tersakiti.

Gadis itu berdiri, saat akan melangkah ia hampir terjatuh kalau saja William tidak berhasil menahannya. Kakinya seolah tak berdaya.

"Kak Embun, kak.... Kak Embun kecelakaan!" Ucap Caramel tangisnya langsung pecah.

"Kakak tahu! Kita ke rumah sakit sekarang," William menggendong Caramel ala bridal style sehingga mendapat perhatian dari pengunjung cafe.
William mendudukkan Caramel dikursi depan, memasangkan seat belt pada gadis itu. William mengeratkan genggamannya di kemudi stir, mengingat betapa beraninya Aruna menyentuh seseorang yang begitu Caramel sayangi.

Dan gadis itu juga harus terima konsekuensinya.

...

Continue Reading

You'll Also Like

5.1M 382K 54
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
6.7M 218K 75
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
3.9M 308K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
389K 47.8K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...