Starlit Night - [nomin]

By dazzlingyu

34.8K 3.2K 447

Sepenggal kisah tentang Lee Jeno dan dunianya, Na Jaemin. [nomin short story collection] dazzlingyu, 2020. f... More

1. sembilan belas
1.1. sembilan belas
1.2. sembilan belas
1.3. epilog
2. light my cigarette
2.1. always taste like you
3. kamu yang paling bisa
4. my muffin, my pumpkin, na jaemin<3
5. roommate
6. pacaran by accident
7. overprotektif
8. classmate
8.1. soulmate
9. the broken leg and those lingering feelings
9.1. all i can do is say that these arms were made for holding you
9.2. i've loved you since we were 18, long before we both thought the same thing
10. si manis na jaemin
11. into your skin
12. merry kissmas
13. last chance
13.1. final chance
13.2. epilog
14. movies
15. nala
16. benefits
16.1. i like u
17. green eyes with malibu indigo

2.2. hoping things would change

1.1K 135 10
By dazzlingyu

Aku berharap segala hal mampu berubah setelah kepergian Jeno.

Aku melewati musim dingin sendirian tanpa siapapun di sisiku. Harapanku akan liburan di Utah atau mungkin Colorado untuk bermain salju musnah sudah. Donghyuck mengajakku bermain di taman komplek perumahan, namun aku menolaknya karena aku benar-benar tidak memiliki mood untuk bermain apapun.

Jeno telah berangkat ke Seattle lima hari lalu. Natal akan segera datang dan hadiah untuknya teronggok tak berguna di laci nakasku.

Aku menangis hampir dua jam sehari hingga Renjun dan Lucas akhirnya geram padaku dan menyeretku keluar kamar untuk membersihkan selokan yang penuh dengan daun kering karena hujan deras yang semalam mengguyur Los Angeles.

"Kenapa kalian memaksaku sih?!" Aku menggerutu sembari mengomel pada dua orang temanku itu.

"Ayolah, Jaemin. Jangan bertingkah seolah Jeno pergi meninggalkanmu selamanya. Ia hanya ke Seattle! Dan ia akan kembali musim panas tahun depan!"

Aku cemberut karena yang dikatakan Renjun ada benarnya. Sahabat mungilku dan kekasih jangkungnya itu terkadang menyebalkan tapi aku tidak punya teman selain mereka dan Donghyuck serta Mark.

Kami pun membersihkan selokan selama sisa sore, makan malam bersama sembari merayakan penyambutan hari Natal. Hujan kembali turun dengan deras malam harinya dan kupikir sia-sia saja aku membersihkan selokan sore tadi.

Di tengah hujan badai, aku mengomel pada Renjun lewat telepon. Tapi ia malah balik memarahiku dengan kurang ajarnya. Setelahnya aku menutup teleponnya dengan emosi menggebu, tapi semenit kemudian aku sadar bahwa yang dikatakan Renjun ada benarnya juga.

Ia mengatakan tujuannya mengajakku main tadi sore. Katanya supaya aku bisa berhenti galau memikirkan Jeno dengan melakukan kegiatan di luar rumah. Aku pikir Renjun benar. Si mungil memang temanku yang paling baik meskipun terkadang garang sampai si bongsor Lucas itu takut padanya.

Di tengah kemelutnya pikiranku, ponselku berdering di atas nakas, menampilkan nama kekasihku yang pergi meninggalkanku lima hari lalu.

Oh, ayolah, mengapa aku malah membuat Jeno terdengar jahat disini?

Aku mengangkatnya, dan di detik pertama telepon kami tersambung, terdengar nada suara Jeno yang berat dan rendah dari seberang.

"Jaemin?"

"Ha-hai, Jeno..."

Suaraku terdengar begitu kaku dan aku mendadak kikuk di tempat. Oh ayolah, astaga, Na Jaemin. Ini hanya Jeno. Lee Jeno-mu yang biasanya kamu temui tiap hari.

"Hei, Sayang. Apa kabar?"

"Jeno... aku—aku baik. Bagaimana denganmu disana?"

"Segalanya baik. Ibu mengunjungi kami dan menginap selama tiga hari. Kami piknik bersama Kak Taeyong yang sedang cuti. Kamu harus kesini juga kapan-kapan. Aku akan menjemputmu, Babe. Beritahu aku jika sekolah sudah memasuki liburan musim panas."

Namun kegundahan hatiku menghilang begitu saja ketika mendengar suara tawanya yang begitu melegakan itu. Ia terus bercerita mengenai masa akhir sekolah menengahnya dan berbicara mengenai kuliahnya di Seattle. Ia juga menceritakan soal Bongshik, Seol, dan Nal yang tak ada hentinya mengeong di depan pintu dapur tiap malam.

Aku menghabiskan hampir empat puluh lima menit berbicara dengannya. Dari posisi berdiri hingga duduk lalu tiduran di atas kasur. Pembicaraan kami malam ini ditutup dengan salam manis dari Jeno, lalu aku pun tertidur dengan senyum lebar malam itu.

Kupikir aku tak perlu khawatir meskipun tinggal jauh dengan kekasihku. Ia mempercayaiku, begitu pula aku kan? Aku harus percaya padanya. Lagipula, kami sudah berjanji.

Iya 'kan?

Kalian harus tahu sudah berapa lama aku merindukan Jeno-ku.

Sudah setahun berlalu semenjak terakhir aku dan Jeno bertemu. Tukar kabar kami yang terakhir adalah lima bulan yang lalu, tepatnya setelah aku memergoki suara perempuan yang menyahut di latar belakang ketika aku dan Jeno sedang video call. Kini balasan asing dengan kalimat aneh yang sering kuterima di ruang obrolan kami menjadi jelas alasannya. Adalah karena Jeno kini telah berpindah ke lain hati selain diriku.

Aku mengabaikan ratusan pesan dan puluhan panggilan darinya hingga ia menyerah satu minggu kemudian. Ia bahkan mengirimiku pesan lewat semua sosial mediaku, tapi aku yang sudah kepalang marah setelah memergokinya selingkuh sudah malas untuk sekedar menanggapi.

Kini aku sudah duduk di bangku kuliah bersama Donghyuck yang satu fakultas denganku. Kami sama-sama mengaplikasikan diri ke jurusan sastra dan menjalani dunia perkuliahan kami dengan cukup baik.

Semester pertamaku berjalan dengan baik—setidaknya, untuk satu bulan pertama karena setelah itu kehidupan perkuliahanku mulai buruk karena banyaknya kakak tingkat yang mulai mengejar-ngejar diriku.

Tapi hanya karena si Lee sialan itu—entahlah, aku juga tidak mengerti. Padahal banyak dari mereka yang tinggal di Beverly Hills dan mempunyai rumah luas dengan kolam renang pribadi, membawa Cadillac atau Mercedes ke kampus dan selalu tampil modis dengan Gucci atau St. Laurent.

Lalu mengapa hatiku tetap tidak bisa berpaling dari si brengsek Lee itu?

Donghyuck bahkan sampai heran darimana tumpukan barang bermerek Louis Vuitton dan Givenchy yang berada di pojok kamar asramaku berasal. Tapi yang kulakukan hingga saat ini adalah memeluk hoodie Pull & Bear pemberian Jeno untuk ulang tahunku yang kedelapan belas, membuatku terlihat seperti seorang lelaki yang depresi karena putus cinta.

Tapi, yah... kenyataannya memang demikian.

Aku bahkan belum bisa move on sama sekali darinya.

Tiap malam selama lima bulan terakhir kuhabiskan dengan menangisi dan memikirkan mantan kekasihku yang tinggal ribuan mil jauhnya dariku. Terkadang aku menyesali keputusanku yang memutusinya duluan, tapi diriku terus berteriak bahwa aku punya harga diri dan tidak pantas untuk diselingkuhi begini.

Donghyuck selalu mengatakan bahwa aku pantas mendapatkan yang lebih baik. Kalimat tersebut terus terulang selama empat bulan belakangan, hingga ia memaksaku untuk ikut kencan buta. Beruntung, aku selalu sukses berkelit tiap kali anak itu hampir memosisikanku di posisi yang sulit.

Yah, tak terasa musim panas telah tiba. Kuharap, musim panas di tahun 2019 ini menjadi musim panas terbaikku seperti dua tahun lalu dimana aku bertemu—ah, lupakan lelaki sialan itu, Na Jaemin! Ada banyak lelaki baik dan kaya raya yang rela memperlakukanmu bak ratu di luar sana, jadi mengapa kamu masih saja terpaku pada orang itu?

Donghyuck menghubungiku tanggal sembilan kemarin. Seperti biasa, ia mengajakku ke villa milik kekasihnya yang berada di Santa Monica.

Awalnya aku hendak menolak, tapi rasanya terlalu kasar jika aku menolak Donghyuck setelah aku selalu berkelit mengenai segala kencan buta yang ia usahakan untukku.

Tahun lalu, aku berharap Jeno setidaknya sempat datang ketika libur musim panas seperti janjinya di telepon saat itu. Namun ia tak hadir dan beralasan sedang disibukkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan kampusnya dan pada akhirnya kami hanya bertemu tatap secara virtual hari itu.

Intensitas komunikasiku dengan Jeno juga perlahan berkurang. Alasannya yang kupercayai adalah karena ia sibuk—sampai ketika aku mendengar suara perempuan di latar belakang seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya lalu aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Jeno.

"Sampai kulihat lagi hoodie hijau sialan itu, akan kubakar saat itu juga!"

Tanganku yang sedang mengemas baju mendadak terhenti ketika mendengar omelan Donghyuck dari seberang. Jika dugaan kalian soal hoodie hijau tosca yang Donghyuck maksud adalah hoodie pemberian Jeno, selamat, kalian benar. Aku begitu merindukannya sampai-sampai tak rela berpisah satu menit pun dengan satu-satunya barang yang Jeno tinggalkan untukku.

Donghyuck mungkin tak serius mengatakannya, atau ia sok mengomel agar setidaknya hatiku sedikit terhibur karenanya. Tapi, mungkin Donghyuck tak mengerti betapa linglungnya aku soal Jeno dan segala hal yang berada dalam dirinya.

Seperti—dua tahun lalu kami bertemu, menjadi dekat dan boom! Aku melepas keperawananku bersamanya dan kami berpacaran. Namun tiba-tiba ia berkata bahwa harus pergi dan kami terpaksa menjalani LDR. Kini ia menyelingkuhiku karena aku terpisah sejauh ribuan mil darinya dan mungkin saja ia mengalami frustasi seksual hingga mencari pelampiasan baru.

Jujur aku bingung dan aku benci mengatakannya bahwa aku sangat merindukannya.

Aku rindu hangat peluknya dan kecup manisnya. Rasa cumbuannya yang kuingat betul seperti stroberi dan rokok itu membuatku mendadak nostalgia dan menginginkan bibirnya memagut bibirku.

Tapi rasanya terlalu mustahil mengingat bagaimana keadaan kami sekarang. Aku hanya mampu menghela napas ketika kenangan singkat kami sempat mengalir memenuhi memoriku, sebelum aku menghentikannya dengan menggelengkan kepala dan melanjutkan acara berkemasku.

Besok adalah saatnya bersenang-senang.

Santa Monica Pier nampak lumayan ramai malam ini.

Aku sedang mengantri membeli es krim bersama Donghyuck, sedangkan kekasihnya sedang membeli pizza di kedai seberang.

Setelah selesai, kami pun kembali ke villa milik Mark, disambut belasan lelaki yang adalah teman sekampus Mark di Universitas California.

Beberapa dari mereka melambaikan tangannya padaku sembari mengangkat kaleng bir, menyerukan namaku seolah aku adalah idola mereka.

Aku hanya tersenyum kecil sembari melangkah menghampiri, mengambil sekaleng bir yang disodorkan Eric padaku lalu duduk di sampingnya. Ia kemudian merangkulku mendekat, menyenderkan kepalanya di bahuku.

"Hei." Ia menyapa, napasnya yang berbau mint dan tubuhnya yang beraroma musk begitu menggodaku.

"Hei, Eric," aku balas tersenyum, mendorong kepalanya dengan sopan menggunakan ujung jemariku.

"Jadi, kapan kamu akan menerima tawaran untuk menjadi pacarku?"

Aku mulai duduk dengan gusar di tempat. Kaleng bir kucengkeram dengan erat hingga ujung jariku memutih.

Eric adalah salah satu dari sekian orang yang begitu gencar mengejarku. Salah lima dari kotak Dior dan salah dua dari kotak Gucci yang berada di pojok kamar asramaku berasal dari pemuda pemaksa yang duduk di sampingku ini.

"Maaf, Eric. Kupikir aku telah mengatakannya padamu sebanyak... empat puluh? Atau mungkin lima puluh kali? Bahwa aku tidak sedang tertarik untuk berpacaran dengan siapapun."

Eric terlihat sedikit kecewa sebelum memasang senyumnya lagi padaku. Vape di tangannya menarik perhatianku kemudian. Eric yang nampaknya sadar kemana perhatianku tertuju pun segera menyedot asap dari benda berbentuk persegi tersebut sebelum menghembuskannya tepat di wajahku.

Seketika wangi stroberi langsung memenuhi penghiduku. Kepalaku terasa sedikit pening dan dadaku terasa sesak. Aku tidak suka asap dan aroma dari liquid benda itu terlalu menyengat hingga rasanya aku bisa mengeluarkan pasta yang kumakan untuk makan malam tadi. Aku sudah berhenti merokok sejak Jeno pindah ke Seattle, terlebih karena tiap kali menatap batang tembakau tersebut, benda itu selalu mengingatkanku pada Jeno.

Still, strawberries and cigarettes always taste like you.

Aku terbatuk di detik ketika Eric menghembuskan asap pekat beraroma stroberi itu kembali ke wajahku. Dadaku sesak dan aku begitu ingin memukulnya karena telah berlaku begitu padaku.

"Hei, Bung. Jauhkan tanganmu darinya."

Aku terdiam sejenak ketika suara itu terdengar di telingaku, namun masih dalam keadaan terbatuk sehingga membuat telingaku sedikit pengang.

Eric nampaknya tak mendengar, hingga hembusan asap ketiga menerpa kembali wajahku.

"Eric!! Uhuukkk!!" Protesku kesal. "Berhenti atau aku—"

"Hei, Bung. Kau tuli? Jauhkan tanganmu dari kekasihku atau kupatahkan lenganmu dan kuhancurkan vapemu hingga berkeping-keping."

Dan yah, aku sukses diam ketika suara familiar tersebut menyapa pendengaranku, terlebih suara pesta mendadak hening setelah suara itu menggema di seluruh ruangan. Aku mengibaskan asap tipis di depan wajahku sebelum mataku melotot menatap tubuh tinggi Jeno yang menjulang di hadapan kami.

"Oh?" Eric dengan sombong malah bangkit berdiri seolah menantang Jeno.

Jangan, batinku sontak berteriak gusar. Eric jelas akan kalah dalam sekali pukul. Bogeman Jeno tidak main-main sakitnya.

"Kau siapa berani-beraninya mengklaim apa yang menjadi milikku?"

"Cih?" Jeno mendecih, mata tajamnya melirikku yang berdiri di belakang Eric. "Milikmu? Kupikir kau yang merebut apa yang menjadi milikku."

Eric nampak tersulut emosi melihat Jeno yang barusan mengejeknya remeh. Ia maju selangkah bermaksud menggertak—yang sebetulnya percuma saja karena Jeno tetap bergeming di tempat.

"Kau dari fakultas mana, hah?! Beraninya—"

"Eric, cukup."

Mendengar suaraku, Eric langsung berbalik menatapku heran, terutama ketika aku melangkah maju untuk berdiri berhadapan dengan Jeno.

Ia tersenyum padaku, senyum bulan sabit yang begitu kurindukan, senyum yang dulu selalu sukses membuat hatiku berbunga-bunga dan wajahku merona sewarna sakura.

"Kamu baik-baik saja? Si brengsek itu keterlaluan."

"Kenapa kamu disini?" Aku menyelanya, mengabaikan pertanyaannya, menuntutnya dengan pandangan mataku.

Jeno terdengar menghela napas sebelum tersenyum, "Apa aku tidak boleh mengunjungi kota kelahiranku? Tidak boleh mengunjungi teman lamaku? Tidak boleh mengunjungi kekasihku?"

"Mantan kekasih." Aku mengoreksi, dan dapat kulihat Jeno mendengus begitu mendengarku mengatakannya. Lalu kudengar Eric dan seluruh pasang mata yang memperhatikan kami terkesiap bersamaan di belakangku.

"Sayang, biarkan aku menjelaskannya padamu. Aku—"

"Menjelaskan apalagi, Lee Jeno? Jelas-jelas kamu berselingkuh di belakangku dan kamu bilang masih ingin menjelaskan?!"

"Na, Sayang, dengarkan aku—"

"Tidak, Jeno—aku—"

"Na, sebaiknya kamu mendengarkan penjelasan Jeno dahulu. Ia banyak bercerita padaku dan semua ada buktinya. Selesaikanlah masalah kalian secara empat mata. Hargailah usaha Jeno yang rela terbang jauh dari Seattle ke Santa Monica hanya untuk menemuimu."

Suara Mark jelas menyentuh sisi logis dalam diriku. Melihat binar mata Jeno yang penuh akan harapan membuatku luluh begitu saja, melupakan rasa marah yang pernah bersarang dalam diriku hari itu.

Aku akhirnya mengangguk setuju dan Jeno pun menarikku menuju balkon villa, tempat yang kuingat sebagai tempat pertemuan pertama kami dua tahun lalu.

"Nana, sebelumnya aku minta maaf karena telah melukai perasaanmu. Tapi kurasa, ada yang harus dijelaskan disini. Kamu tahu betapa aku begitu mencintaimu 'kan, Sayang? Aku telah berjanji padamu 'kan? Aku telah berjanji untuk mempertahankan semuanya padamu. Mau mendengarkanku, 'kan?"

Aku mendongak menatap matanya. Sorot lembut itu, sorot yang sarat akan damba itu—oh, rasanya aku mampu menangis hanya dengan menatap manik sekelam malam itu lebih dalam.

Sial, aku merindukannya.

"Nana?"

Aku mengangguk, dan ia pun membawaku untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia disana.

"Namanya Jocelyn. Dia teman satu jurusanku di kampus. Ia wanita yang tangguh namun menyebalkan. Dia sangat gigih mengejarku sejak awal semester meskipun tahu bahwa aku sudah memilikimu sebagai kekasihku. Ia bahkan tidak peduli ketika melihat kamarku penuh dengan potret dirimu. Ia tidak peduli ketika melihat lockscreen ponselku adalah foto selfiemu. Ia bahkan berani mengutak-atik ponselku, Na. Aku yakin kamu pasti mendapat pesan aneh atas namaku 'kan?"

Aku mengangguk menatapnya dan kemudian ia menggenggam tanganku. Rasanya begitu hangat, seperti pelukannya yang sangat kurindukan.

"Hari itu ia menerobos masuk ke kamarku saat kita sedang video call. Ia memang tidak sopan dan memang wanita gila! Ia bahkan memiliki kunci cadangan untuk masuk ke dalam kamarku. Pernah sekali aku sedang tidur dan ia menyelinap masuk dan—ah, itu kenangan buruk. Aku tidak ingin mengingatnya—tapi, Jaemin... ketahuilah bahwa aku begitu menyayangimu sampai-sampai tidak pernah terpikir dalam benakku untuk mencari orang lain untuk menggantikan posisimu di hatiku. Sayang, tidak ada yang lebih baik darimu di dunia ini. Sebaik-baiknya pasangan adalah dirimu dan aku tidak akan mungkin melepasmu hanya demi sebuah kepuasan sesaat. Aku begitu sakit hati ketika kamu mendadak memutuskanku dan—"

Jeno mengatupkan mulutnya begitu aku menubruknya dengan sebuah pelukan erat. Nampaknya ia begitu terkejut sampai-sampai tubuhnya terasa kaku dalam pelukanku, tapi tidak sampai semenit kemudian, lengan besar itu melingkari pinggangku dan membawa tubuhku ke pangkuannya, dipeluk erat sampai aku merasa sesak.

"Aku merindukanmu, Sayang." Gumamnya teredam di ceruk leherku. "Sangat amat merindukanmu."

Aku menangis tanpa bisa dikontrol. Kalimat maaf langsung meluncur dengan begitu lancar dari bibirku, membuat Jeno segera melepas pelukannya dan menangkup pipiku, menghapus air mataku dengan ibu jarinya.

"Aku minta maaf. Untuk—untuk segalanya. Aku memang bodoh, dan egois, dan tidak punya hati, dan—"

"—dan menyayangiku, 'kan?"

Tangisku mereda di detik Jeno menampilkan lagi senyumannya itu. Dengan lengan kemejanya, ia menghapus sisa air mata di pipi dan mataku sebelum mengecup kelopaknya lembut, membuat hatiku terasa penuh dan rasa hangat pun merambati seluruh tubuhku.

"Kamu bisa lihat buktinya di ruang obrolanku dengan Mark. Aku menjelaskan semuanya padanya dan—"

Jeno kembali mengatupkan bibirnya, kali ini karena aku menarik wajahnya dan menabrakkan bibirku dengan bibirnya. Dapat kurasakan senyumnya yang terkembang di sela ciuman kami. Tangan besarnya kemudian menangkup wajahku yang mungil, menarik tengkukku untuk memperdalam ciuman kami.

Terdengar seruan tidak terima Eric dari dalam villa, disusul suara heboh dari Mark dan beberapa temanku yang lainnya, lalu suara Eric pun tidak terdengar lagi.

"Siapa nama si sombong yang berani menyentuhmu tadi? Ingin sekali aku memukul kepalanya dengan vape miliknya itu."

"Eric?"

"Kuharap ia kejatuhan sial setelah menyemburkan asap ke wajah cantik kekasihku ini."

Aku terkekeh sebelum menanggapi, "So... we're cool? Kita menjadi sepasang kekasih lagi?" Aku bertanya malu-malu, memainkan kancing kemejanya dengan wajah tersipu.

"Of course! Orang bodoh mana yang mampu menolak kekasih manis dan seksi macam dirimu, Sayang."

"A-ahh... Sial! Lee Jeno! Perhatikan tanganmu!"

"Ups, maaf. Kamu menduduki selangkanganku, Babe."

"Jeno?!"

"Aw! Aw! Aduh! Bokongmu makin enak untuk dire—"

"Lee Jeno!! Sekolah di Seattle membuat pikiranmu rusak ya?!"

"Isi kepalaku bahkan hanya terisi olehmu, Na. Aku sampai tidak mampu berpikir jernih saat berhadapan denganmu yang... em... hanya memakai celana legging selutut dengan crop top dan em... siapa yang mendadanimu sampai terlihat sebegini cantik dan seksinya, Sayang?"

"Oh, ada yang tergoda rupanya?" Aku pun memutuskan untuk balas menggodanya, menarikan jemariku di garis rahangnya.

"Kapan terakhir kali aku menyentuhmu, Sweetheart? Oh, rasanya sudah lama sekali."

Jeno lalu memajukan wajahnya dan kembali memagut bibirku. Terasa helaan napas puasnya menerpa wajahku begitu tanganku melingkari lehernya. Ia lalu melepaskan ciuman kami, menggesekkan hidung mancungnya dengan hidungku, lalu menempelkan dahi kami.

Tangannya terasa merambat memasuki kaus crop top yang kukenakan. Sebetulnya kaus yang kukenakan ini milik Donghyuck, aku meminjamnya karena kaos lengan panjangku basah ketika bermain di pantai siang tadi.

"A-ah, J-jeno—jangan disini..."

"Tidak akan ketahuan jika kamu tidak berisik, Sayang."

"T-tapi—Jen!"

Aku berseru dan mendorong bahunya menjauh ketika tangannya meremas dadaku. Dengan wajah memerah dan napas terengah, aku menarik keluar tangannya dari bajuku, lalu mendekatkan wajahku ke telinganya seraya berbisik,

"Kamarku kosong."


















fin.














🍓🚬














Endingnya bayangin sendiri aja ya :"

Continue Reading

You'll Also Like

10.8K 569 23
klasik : berasal dari masa lampau, tetapi tidak kolot atau ketinggalan zaman. begitu juga dengan mereka. ------- Cheating 18+ πŸ”žπŸ”žπŸ”ž boyxboy M-preg
18.2K 2.1K 11
Na Jaemin, laki-laki manis yang sejak kecil takut dengan petir. Ia sering bertanya kepada dunia, dimana ayahnya? Tetapi ibunya selalu menjawab bahwa...
66.4K 9K 5
(n). Haechan kini berusaha menarik Jaemin turun dari kasur, namun anak bernama Jaemin itu malah menenggelamkan seluruh badannya ke dalam selimut, mel...
6K 716 8
Berisikan tentang lika-liku rumah tangga Jeno-Jaemin. bxb!nomin;jenojaemin! mpreg! bahasa gabungan baku dan non-baku marriage life start: 04-02-24...