ATLANTAS || END

By badgrik

266K 21.6K 2K

[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam m... More

Prolog
01. Permulaan
02. SMA Delton
03. Insiden
04. Tawuran dan Pencarian
05. Jaket
06. Jalan-Jalan Ke Mall
07. Abel Hilang
Cast + Nama + karakter Pemain
08. Markas Vagos
09. Berlalu
10. Bertemu Kembali
11. Apartemen
12. Berangkat Bersama
13. Penasaran
14. Turnamen Futsal
15. Atlantas Dan Alex
16. Bimbang
17. Gosip Sekolah
18. Simpang Siur
19. Gudang Sekolah
20. Fakta Yang Sebenernya
21. Syndrome Sandi
22. Senja Di Rumah Sakit
23. Antara Abel, Atlantas & Alex
24. Orang Tua Abel
25. Hal Indah Di Rumah Atlantas
27. Antara Bandung Dan Jakarta
28. Cerita Di Dufan
29. Malam Minggu
30. Setan
31. Kotak Bekal
32. Tentang Atlantas
33. Mimpi Abel
34. Meniti Ke Akhir Cerita
35. (Bukan) Akhir Segalanya
Ucapan Terima kasih
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3 • Special POV Atlantas
Cerita Baru
Grub Atlantas
Info Bahagia?
Atlantas Versi Baru?

26. Penyerangan

4.4K 414 15
By badgrik

Tepukan pelan di pipinya membuat Abel menggeram pelan. Dengan keadaan muka yang entah bagaimana, dia duduk linglung di atas kasur.

Atlantas menarik pelan tangan cewek tersebut. "Cuci muka, kita makan dulu. Baru habis itu gue antar ke Jakarta." Abel bangun, lalu mengangguk pelan.

Atlantas mengacak-acak rambut Abel secara spontan, lalu menarik cewek tersebut menuju kamar mandi yang memang terletak satu ruangan dengan kamar tidur.

"Bersihin badan lo sekalian. Bajunya ada di dalam lemari. Itu semua baru, nggak ada yang bekas. Handuk sama yang lainnya juga ada di dalam lemari."

Abel yang sudah selesai mencuci mukanya, menatap pantulan Atlantas melalui cermin.

"Iya, nanti Abel mandi," ucapnya pelan. Dia masih ingin tidur.

Atlantas bersandar di depan pintu. "Gue tunggu lima belas menit. Lebih dari itu gue tinggal."

Abel melototkan kedua matanya. "Eh, enak aja!"

"Makanya, buruan mandi sana."

"Iya-iya. Kak Atlas keluar dulu sana, Abel mau bersih-bersih badan."

Atlantas mengangguk, lalu keluar dari kamar tersebut. Membuat Abel bisa menghela napas dengan lega. Dan dia pun langsung menuju lemari, membukanya dan terperangah takjub pada isi lemari tersebut.

Belasan baju-baju bagus yang masih terbungkus plastik tersusun rapi di dalam lemari membuat kedua matanya jadi berbinar-binar.

"Nggak nyangka ada baju sekeren ini di sini."

Abel memilih-milih baju yang cocok, dan mengambil handuk lalu membawanya ke dalam kamar mandi.

Namun, sebelum Abel masuk ke dalam kamar mandi, dia menyempatkan diri untuk berjalan menuju kaca jendela yang di dekat ranjang. Duduk di atas kasur dan menikmati sunrise.

Abel tersenyum lebar. Selain sunset, dia juga menyukai sunrise. Posisi rumah Atlantas ini benar-benar sangat strategis. Cukup membuat Abel merasa iri. Dia juga ingin memiliki rumah dengan posisi seperti ini. Bisa melihat sunrise dan sunset setiap harinya. Itu pasti sangat menyenangkan, bukan.

Setelah bermenit-menit hanya diam memperhatikan sunrise, Abel pun tersadar akan tujuan utamanya.

"ASTAGA, MANDI!"

Buru-buru Abel melompat dari kasur, dan memasuki kamar mandi.

"Jangan sampai Abel ditinggal beneren sama Kak Atlas di sini."

🏍️🏍️🏍️

Abel duduk di meja makan dengan perasaan yang sedikit acak-acakan. Bagaimana tidak, bisa-bisanya Atalantas sarapan hanya menggunakan celana selutut tanpa menggunakan pakaian atas.

Abel mulai merasa depresi. Lama-kelamaan bukan roti panggang yang dia lahap, tapi juga roti sobek yang tersuguhkan di depannya ini.

"Kak Atlas ngapain, sih, nggak pakai baju gitu?" Mau pamer badan ceritanya?

Abel benar-benar risih sekarang. Selera sarapannya pagi ini jadi kacau. Dia tidak terbiasa sarapan dengan cowok selain keluarganya. Apalagi tanpa pakaian atas seperti Atlanta ini.

Atlantas menggigit roti panggangnya dengan sebelah alis yang terangkat.

"Kenapa? Masalah?"

Ingin sekali Abel meneriakkan kata 'iya', namun dia tidak bisa. "Abel cuman takut dosa." Alasan yang sangat klasik. Tapi, Atlantas mengangguk memahami.

"Sebenarnya gue emang udah terbiasa nggak pakai baju di pagi hari."

"Kok, di Apartemen dulu enggak?"

Atlantas mengambil lagi roti panggang, lalu mengoleskan selai nanas di atasnya. "Emangnya lo lihat gue pas di dalam kamar? Enggak, kan?"

Abel menggaruk pipinya. "Iya juga, sih." Dia terkekeh pelan dan melanjutkan sarapan.

Sedikit demi sedikit roti milik Abel akhirnya habis, namun tidak dengan Atlantas. Cowok tersebut seperti orang tidak makan berhari-hari saja. Entah sudah berapa banyak lembar roti yang dia lahap.

"Kak Atlas suka banget ya sama roti panggang?"

"Hm."

"Padahal Kak Atlas tuh bisa masak yang bahannya roti. Tapi, kenapa dulu pas Abel cek kondisi kulkas Kak Atlas yang di Apartemen, isinya cuman banyak bekas makanan cepat saji?"

"Gue malas masak."

"Padahal nggak sehat lho, Kak, makan cepat saji mulu."

"Gue tau."

"Kalau tau kenapa masih makan makanan cepat saji? Nggak mau ubah pola makan yang sesuai Abel anjurkan dulu?"

Dulu, saat Abel masih berada di Apartemennya Atlantas, dia pernah menyuruh cowok tersebut untuk mengikuti gaya makannya yang jarang memakan makanan cepat saji.

"Kalau Kak Atlas nggak keberatan, Abel bisa kok masakin bekal buat Kak Atlas. Hitung-hitung sebagai balas budi karena Kak Atlas udah bawa Abel ke sini."

"Nggak usah."

"Tapi Kak Atlas harus bisa kurangin makan makanan cepat saji, ya."

"Nggak janji."

"Harus bisa, dong. Nanti kalau sakit-sakitan bisa cepat mati, lho."

Atlantas mengangkat wajahnya. "Lo ngedoain gue cepat mati?" tanya cowok tersebut dengan ekspresi yang super datar.

Abel langsung menggeleng cepat. "Enggak!"

Atlantas menghabiskan roti panggangnya. "Banu telpon gue pagi tadi. Hari ini dia ada kesibukan sama kegiatan tinjunya di latihan. Dan orang tua lo yang katanya pergi ke acara keluarga," ucap Atlantas mengalihkan topik mereka.

"Lah, kok Abel nggak tau? Kenapa nggak dikasih tau ke Abel langsung, sih?"

"Lo tadi ditelpon, tapi masih tidur. Emangnya lo nggak periksa ponsel?"

Abel mengerucutkan bibirnya. Memang dari lagi tadi ia belum men-cek ponsel sama sekali.

"Yaudah deh nggak papa. Kita pulang sekarang aja, kan?"

"Hm."

Atlantas mengumpulkan piring sisa makan mereka ke wastafel. Abel menghampirinya.

"Abel aja yang cuciin. Kak Atlas siap-siap aja gih sana."

"Oke," jawab Atlantas tanpa pikir panjang.

Kirain kayak di drakor, cuci piring berdua ...

Tanpa berpikir yang tidak-tidak lagi, Abel langsung menuju wastafel. Mencuci beberapa piring dan gelas dan meletakkan ke dalam lemari kaca.

"Sayang banget ruang segede dan sebagus ini malahan sepi."

Abel me-lap tangannya menggunakan tissue. "Rasanya belum ikhlas pulang hari ini. Tapi, yaudahlah. Semoga aja kapan-kapan bisa main ke sini lagi, lihat pemandangannya."

Abel keluar dari dapur dan menuju ruang utama. Menelusuri setiap dekorasi ruang tersebut yang tampak memukau dimata.

Elegan, mewah, dan bernuansa Eropa.

"Tuhan, semoga aja suami Abel punya rumah yang kayak gini juga, aamiin."

🏍️🏍️🏍️

Abel sedikit merasa kesal. Bagaimana bisa dia tidak tau kalau Atlantas punya mobil di garasi yang terletak berdampingan dengan dapur. Hanya bersekat dinding.

"Kenapa kemarin sore Kak Atlas nggak jemput Abel aja? Kan, bisa Abel ke rumah Kak Atlas nggak pakai jalan kaki segala.

"Olahraga."

Atlantas melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mereka masih berada di Bandung. Jalanan masih tampak sepi walaupun sudah jam sembilan lewat.

"Kita nggak nyasar, kan, Kak?" tanya Abel khawatir, sebab jalanan yang mereka lalui tiba-tiba saja jadi semakin sepi dan hanya ada pohon-pohon besar di bahu jalanan.

"Ini jalan pintas. Kalau lewat jalan biasanya butuh waktu banyak," jawab Atlantas.

Abel yang tengah menguyah permen yupi itu hanya mengangguk. "Kirain kita nyasar. Tapi syukurlah kalau enggak."

"Hm."

Abel memandang ke arah luar. Hanya pohon saja. "Jadi serem juga ya kalau jalanannya sepi kayak gini."

"Sudah biasa."

Walaupun terkesan cuek, tapi Atlantas selalu menimpali semua perkataan Abel.

"Masih lama kah sampai ke Jakarta?"

"Sekitar 40 menitan lagi."

Abel mengacungkan jempolnya. "Oke. Oh iya, baju yang Abel pinjam hari ini nanti Abel kembalikan hari Senin aja, ya. Sekalian sama bekal di sekolah."

"Terserah lo."

Abel menelan yupinya. Dia teringat akan ucapan Naida siang kemarin.

"Soal Kak Daisy, dia nggak di keluarin dari sekolah kan, Kak?"

Atlantas melirik ke arah Abel. "Kalau iya kenapa?"

Abel bergerak gelisah. "Ya, jangan sampailah. Abel jadi nggak enak, Kak."

"Dienakin aja."

"Nggak bisa gitu. Kata Naida, kemarin Kak Daisy sama teman-temannya nggak keliatan di sekolah. Dia nggak dikeluarin kan, Kak?"

Atlantas menghela napas panjang. "Dia yang udah bully lo, kan? Wajar kalau dia di keluarin dari Delton."

Abel menghela napas.

"Emangnya Kak Atlas tau dari siapa kalau Kak Daisy yang lakuin hal itu ke Abel?" tanyanya sedikit memicingkan kedua mata.

"Lewat cctv," jawab Atlantas datar.

"Di koridor ada cctv?"

"Hm."

"Sejak kapan?"

"Dari dulu."

"Kok, Abel nggak tau?"

"Lo aja yang nggak lihat."

"Letaknya aja yang tersembunyi. Makanya Abel nggak lihat."

"Iya."

Abel terus saja mengoceh di dalam mobil hingga ketiduran. Atlantas tersenyum tipis, menyelipkan rambut cewek tersebut ke belakang daun telinga saat mobilnya berhenti karena dia ingin minum sebentar.

Sebelum mereka berangkat, dia sudah menyiapkan beberapa cemilan dan air mineral sesuai perkataan Abel.

Lagu Afgan - Bawalah Cintaku, mengalun lembut melalui radio yang terputar di dalam mobil.

Wajah damai Abel tampak sangat cantik saat tertidur. Membuat Atlantas tak henti-hentinya memandang wajah Baturan tanpa olesan make-up tersebut.

Tanpa ragu dia mengambil tangan Abel, menggenggamnya erat. Mengelus-elus pelan punggung tangan cewek tersebut. Lembut dan sangat pas di tangannya.

Atlantas tetap menautkan tangan mereka walaupun dia mengemudikan mobil.

"Sebentar lagi. Tungguin gue buat kasih tau semuanya ke lo, Bel."

🏍️🏍️🏍️

Abel mengernyitkan dahi. Merasa terganggu karena suara gedoran yang sangat kencang di sebelahnya. Dengan kedua mata yang masih berat, dia menegakkan punggung. Mengucek-ngucek pelan kedua matanya.

"Sialan! Buka, bodoh!"

Abel tersentak kaget. Langsung melirik ke arah kaca jendela yang menampilkan seorang cowok berperawakan besar dan berwajah sangar. Tanpa sadar ia langsung mendekat ke arah Atlantas yang mencengkram kuat setir.

"Kak Atlas ...."

"Tunggu di sini. Jangan buka pintu mobilnya sedikit pun."

Abel menggeleng panik. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Jangan! Kita langsung jalanin mobilnya aja. Kita pergi sekarang!"

"Mundur ataupun lari bukanlah gaya gue."

Abel memegang lengan tangan Atlantas dengan kuat. "Kak Atlas nggak mungkin mau keluar dari mobil, kan?"

"Sesuai pikiran lo."

Kedua mata Abel langsung melebar luas. "Jangan!" pintanya keras. "Kak Atlas mau mati ngadapin mereka sendirian?" Abel mulai panik. Apalagi cowok yang sama masih menggedor-gedor kaca jendela mobil.

"Kak Atlas di sini aja. Jangan keluar. Badan mereka besar-besar. Kak Atlas bisa babak belur kalau berantem sama sama mereka.†

"Lo nge-remehin gue?"

"Nggak gitu, tapi logis aja. Nggak mungkin kan Kak Atlas lawan mereka sendirian? Mereka ada lima orang, lho. Kakak udah kalah jumlah tau!"

Atlantas mematikan mobil. "Kita lihat aja. Gue atau mereka yang tumbang." Dia tersenyum miring. Mendekat ke arah Abel yang tampak pias.

"Kalau gue di dalam mobil, mereka bisa aja pecahin kaca jendela," papar Atlantas di depan wajah Abel. "Jadi, mendingan gue aja yang di luar. Hadapin mereka pakai baku hantam ketimbang gue nerima resiko lo yang kenapa-kenapa."

"Tapi-"

"Diam di sini aja. Jangan keluar."

Abel langsung menahan Atlantas, memegang ujung jaket cowok tersebut. "Jangan ...," ucapnya lirih.

Atlantas memejamkan kedua matanya. Orang-orang sinting mana yang telah menahannya di tengah jalan seperti ini dan membuat Abel ketakutan.

Lalu Atlantas membuka matanya. Menatap kedua mata Abel dalam. "Percaya sama gue." Dia melepaskan pegangan Abe dan membuka pintu mobil membuat Abel terpekik seketika.

"KAK ATLAS!" Abel ingin keluar, tapi dia tidak berani. Atlantas berdiri di depan kap mobil. Dia hanya bisa berdoa untuk keselamatan cowok tersebut.

Di luar, Atlantas terkekeh pelan. "Sebuah kejutan kalau Anak Vagos tiba-tiba nahan gue di sini. Ah iya, gue lupa. Jeffry emang lagi di Bandung, kan?"

Rian dan Marco saling melempar pandangan sekilas.

"Ada atau enggaknya Jefrey di sini itu bukanlah urusan lo," ucap Marco tegas. Dia membalas tatapan tajam Atlantas.

Atlantas hanya menyeringai.

"Belum kapok Markas Vagos gue hancurin waktu itu?"

"Lo pikir kita kalah?" tanya Rian kesal. "Jangaj mimpi!"

Dengan santai Atlantas mengguyur rambutnya ke belakang. "Lari dan membuat pertahanan baru di Bandung. Bagus juga," ucapnya santai.

Lagi dan lagi Rian dan Marco saling melempar pandangan. Meraka tidak menyangka kalau Atlantas bisa mengetahui rencana mereka.

"Sialan," desis Marco. Dia langsung memberikan kode kepada empat teman lainnya untuk segera mengepung Atlantas.

Rian mengangguk paham dan sudah memasang posisi siap bertarung.

"Mau gue antar ke mana? Rumah sakit atau kuburan?" Atlantas tersenyum. Senyuman yang membuat buku kuduk Rian seketika berdirian.

Marco mengepalkan kedua tangannya, siap untuk melayangkan bogeman mentah ke arah Atlantas, namun dengan cepat cowok tersebut menghindarinya.

Atlantas melayangkan kakinya tepat pada salah satu perut lawan yang ingin melawannya dari belakang.

Menit demi menit berlalu, satu persatu lawan mulai berjatuhan. Napas Atlantas mulai tidak stabil, namun dia tetap bisa berdiri tegap. Dia tetap menjaga jarak dengan kedua cowok di depannya tersebut.

Marco berdecih. "Sialan! Bangun lo semua!"

Rian membuang ludahnya yang bercampur darah. rahangnya terasa ngilu.

"Nggak berguna!" ucap Rian pada ketiga temannya.

"Bisa ditebas Jeffry kita kalau pulang nggak bawa apa-apa, alias tangan kosong," bisik Rian.

"Gue tau," sahut Marco. Dia diam sambil menyusun strategi agar bisa menjatuhkan Atlantas. Dia akui skil berantemnya Atlantas itu benar-benar hebat. Permainan
kakinya dan elakkan yang Atlantas kuasai membuat lawan kewalahan.

"Kenapa diam?" tanya Atlantas. Dia ingin segera mengakhiri ini. Dia hanya ingin mengantar Abel dengan selamat ke Jakarta tanpa ada hambatan.

Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, Marco, Rian dan Atlantas kembali saling menyerang.

Sebisa mungkin Atlantas menyerang titik-titik yang bisa membuat lawan lengah walaupun hanya sebentar, seperti rahang dan dagu. Sesekali dia juga memberikan pukulan telak ke wajah, hidung, perut, serta pelipis sang lawan. Dan terakhir Atlantas menyerang tepat ke arah hulu hari Rian, membuat cowok tersebut langsung terkapar ke jalanan.

Marco mencoba untuk bangkit. Perutnya terasa sakit setelah Atlantas menyerang bagian ginjalnya. Sialan, cowok tersebut benar-benar berniat untuk menghabisi nyawanya hari ini.

Marco melirik ke arah Rian yang sepertinya sudah kehabisan tenaga. Saat ini dia tinggal sendirian.

Sangat aneh. Atlantas sama sekali tidak bisa ditumbangkan, bahkan dihadapan dengan lima orang sekaligus. Bukannya kalah, di sini malah Marco dan kawanlah yang tumbang. Sangat memalukan.

Mau dilawan lagi pun sama saja seperti mengantar diri ke kuburan. Tenaga Atlantas tampaknya masih banyak.

"Awas aja lo!" Marco berhasil berdiri seraya memeluk perutnya sendiri.

"Next time, gue bisa pastiin lo kalah!"

"Gue tunggu." Atlantas tersenyum miring. "Tapi, dalam mimpi lo," sambungnya lagi dengan nada mencemooh.

"Sialan!"

Marco menarik Rian, memapah cowok tersebut agar menjauh dari Atlantas.

Atlantas hanya diam saja. Membiarkan mereka pergi satu persatu. Saat ini dia belum ingin menghabisi nyawa seseorang. Tidak saat di depan Abel.

Rian yang tanpa sengaja melihat ke dalam mobil Atlantas sempat tersentak kaget.

"Abel?"

Atlantas mengernyitkan dahi. Mengikuti arah pandang Rian yang menuju mobilnya. Abel!

"Sialan! Apa yang lo lihat, hah?!" wajah Atlantas memerah. Urat-urat di lehernya menonjol dengan kepalan tangan yang siap mendarat kapan saja di tubuh lawan.

"Kita cabut sekarang!" Marco tidak ingin melawan Atlantas lagi saat ini. Tenaganya juga sudah ikut terkuras habis.

Rian menatap Abel, lalu Atlantas. Dia ingin berkata sesuatu, namun tidak jadi karena Marco tiba-tiba saja menyeretnya menjauh dari lokasi tersebut.

Semuanya jadi sepi. Atlantas memegang kepalanya yang tiba-tiba saja terasa berdenyut. Pun kedua matanya mulai berkunang-kunang.

Abel yang sudah tidak sabaran langsung berlari menuju ke luar mobil. Menahan bobot badan Atlantas yang hampir saja ambruk.

"Kak Atlas jangan mati di sini dulu," ucap Abel dengan air mata yang berlinang.

🏍️🏍️🏍️





Continue Reading

You'll Also Like

6.2K 3.3K 50
"Ketika tawamu menjadi kebahagiaanku." -Reyno Daimend- Sudah bertunangan dan hampir mau menikah sih, tapi tunangannya malah dibunuh. Miris memang. Se...
34.1K 3.3K 44
"Gue akan selalu percaya sama lo Al" "Jangan pernah percaya sama gue" Alvaero ketua Xezagron yang terjebak dengan cinta Aurora si cewek Bar-bar dan p...
6.1K 580 8
"kapan rencana akan dimulai kak..?" "..." "kak" "Hmm... Selesai liburan" "Serius kak..!" "Ya" "Yeayyy..... akhirnya" "Besok kakak bakal menyuru...
3.9K 263 13
[ANGKASA S2] BIASAKAN FOLLOW DULU!! BARU BACA!! -Benci dan Cinta aku belajar banyak darinya- Siapa yang tidak kenal dengan Langit Dewantara Putra. ...