Happiness is a Butterfly [TAM...

By awtyaswuri

599K 62.9K 7.5K

☆Ambassador's pick bulan Desember 2021☆ ☆Daftar Pendek Wattys Award 2022☆ Rumah tangga Praya dan Bagas tidak... More

PROLOG
[satu--a]
[satu--b]
[dua--a]
[dua--b]
[tiga--a]
[tiga--b]
[tiga--c]
[When You Say You Love Me]
[empat--a]
Tentang Mereka
[empat--b]
[empat--c]
[lima--a]
[lima--b]
[lima--c]
[enam--a]
[enam--b]
[enam--c]
[tujuh--a]
[tujuh--b]
[tujuh--c]
[delapan--a]
[delapan--b]
[delapan--c]
[delapan--d]
[sembilan--a]
[sembilan--b]
[sembilan--d]
[sembilan--e]
[sepuluh--a]
[sepuluh--b] TAMAT-- bagian 1
[sepuluh--c] TAMAT -- bagian 2
IKLAN
EPILOG [bagian 1]
EPILOG [bagian 2]

[sembilan--c]

19.8K 1.9K 189
By awtyaswuri

"Aya ...."

Pijar memanggil nama itu dengan raut wajah sendu. Menatap raga wanita yang disayanginya, sembari berharap ada tanda-tanda Praya akan terbangun dari tidur panjangnya. Namun, Praya tetap terbaring diam di sana. Yang hingga hari ke empat pascaoperasi, belum menunjukkan adanya kemajuan.

"Dulu, kalau aku susah dibangunkan, kamu pasti langsung menggelitik kaki aku tanpa ampun." Pijar mengingat kembali interaksinya dengan Praya di masa lalu.

"Kamu takut kalau aku terlalu lama tidur, aku nggak akan bangun lagi, terus mati dan ninggalin kamu selamanya."

Pijar menjeda kalimatnya dan melajutkan, "Waktu itu aku bilang kalau kamu terlalu gampang dibohongi orang dengan cerita takhayul. Tapi kamu tetap aja percaya dengan hal itu. Sampai aku iseng ngerjain kamu. Aku sengaja nggak membuka mata aku, supaya kamu mengira aku sudah mati."

Saat itu Pijar harus mati-matian menahan rasa geli, untuk mematahkan omong kosong yang dipercaya Praya. Sayangnya, keisengannya itu malah membuat Praya yang kala itu masih berusia sembilan tahun menangis histeris, karena mengira ia sudah mati.

"Aku nggak menyangka kamu sampai sebegitu takutnya kehilangan aku. Karena selama di panti, aku pikir nggak akan pernah ada orang yang nangis kalau aku nggak ada."

Pijar menghela napas panjang sebelum berkata lagi. "Aku jadi tahu rasanya dibutuhkan. Dan sejak itu aku berjanji sama diri aku sendiri, kalau nggak akan pernah membuat kamu menangis lagi. Karena rasanya sangat nggak enak melihat kamu bersedih."

Melihat Praya bersedih adalah hal yang paling dibencinya.

"Sekarang aku takut kamu nggak akan pernah bangun lagi. Aku takut kalau kamu terlalu lama tidur, kamu akan pergi jauh," ucapnya penuh kesedihan. Pijar tak kuasa membayangkan itu akan terjadi.

"Kamu perlu tahu ini, Praya." Pijar menjeda sejenak, menatap Praya saksama dan dalam. Walaupun Praya tidak mendengarnya, tapi Pijar ingin mengungkapkan isi hatinya sekarang juga.

"Aku selalu sayang dan cinta sama kamu. Selamanya ...."

Pijar sudah mencoba agar tidak ada air mata yang tumpah, tapi ternyata sangat sulit menahan kesedihan yang mendera. Ia tidak bisa mengontrol luapan emosi yang telanjur mencabik-cabik perasaannya.

Sebelum keluar dari ruang ICU, Pijar memuaskan diri menatap wajah Praya. Entah kenapa, Pijar merasa harus melakukannya. Memanfaatkan waktu yang dimilikinya sebaik mungkin, selama kesempatan itu masih ada.

Pijar sangat takut kalau nanti tidak bisa menemukan wajah itu lagi. Ia sedang berusaha merekam setiap jejak Praya dalam ingatannya. Bersiap untuk segala kemungkinan terburuk, meskipun ia selalu berharap hanya hal baik yang akan terjadi pada Praya.

Ponselnya berdering, ketika Pijar baru saja akan meninggalkan rumah sakit. Sambil terus melangkah, ia mengobrol dengan Suri yang meneleponnya.

"Gimana keadaan Praya? Ada perkembangan?" Suri langsung menyerbu Pijar dengan pertanyaan.

"Belum," jawabnya sambil menekan tanda panah ke bawah pada tombol panel lift, yang akan membawanya ke area parkir basement rumah sakit.

Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya suara Suri terdengar lagi. "Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk Praya. Semoga dia bisa segera sadar dari komanya," ujar Suri prihatin.

Pijar mengucapkan terima kasih. Suri juga mengingatkan Pijar agar tetap menjaga kesehatannya sendiri.

"Jangan sampai telat makan, ya, Mas," ingat Suri sebelum mengakhiri percakapan singkat mereka di telepon.

Suri tidak pernah putus memberi dukungan. Peran Suri dirasa Pijar cukup membantunya melewati masa sulit ini. Suri juga sempat menemaninya di rumah sakit, sampai membawakannya makanan, karena Pijar tidak bernafsu untuk melahap apa pun. Suri dengan sabar selalu menyemangatinya.

Suri bisa memaklumi kekhawatirannya pada Praya. Walaupun begitu, tetap saja terselip ganjalan yang membuat Pijar merasa tak enak hati pada Suri. Bagaimanapun juga, Suri berstatus kekasihnya, tapi harus mengetahui kalau dirinya masih menyimpan rasa pada Praya.

Pijar mengeluarkan remote mobil dari saku celana. Bersiap memencet tanda bergambar kunci, begitu tinggal beberapa meter lagi dari mobilnya.

"Mas, maaf." Suara itu menarik perhatian Pijar.

Ia menoleh dan melihat seorang lelaki berdiri di samping mobil, dengan pintu bagian penumpang yang dibiarkan terbuka.

"Bisa tolong bantu saya, Mas? Saya nggak bisa mengangkat saudara saya sendirian," pinta lelaki yang dari logat bicara serta penampilannya, bisa ditebak berasal dari daerah bagian timur Indonesia.

Pijar berjalan mendekat dan melihat ada seseorang di dalam mobil yang berbaring telentang di kursi penumpang. Mengetahui hal tersebut, Pijar tanpa berpikir panjang segera memberi bantuan.

Posisi Pijar sudah berada tepat di ujung kaki orang yang telentang itu. Namun, tiba-tiba sebuah tangan membekap mulut dan menahan tubuhnya dari belakang. Orang yang tadi berbaring itu pun langsung ikut menyergapnya.

Serangan yang sangat mendadak itu membuat Pijar kelabakan. Ia berusaha membebaskan diri, tapi tidak berhasil. Kekuatan dua orang yang sekarang mendorongnya secara paksa masuk ke mobil, terlalu kuat untuk dilawan. Pintu mobil dengan cepat ditutup

"Apa-apaan ini?!" teriak Pijar sesaat setelah bekapan tangan di mulutnya lepas. Pijar melihat ada dua orang lainnya duduk di bagian depan mobil.

"Kalian ma-"

Sebuah pukulan sudah lebih dulu menghantam wajahnya sebelum ia sempat berbicara lagi. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Perutnya juga tak luput dari pukulan. Sehingga Pijar dibuat tak berkutik.

Mobil itu kemudian meninggalkan rumah sakit. Membawa Pijar ke tempat yang sudah disiapkan.

•••

Salwa menarik koper berisi pakaian ke luar kamar. Pintu kamar ia tutup dengan diliputi perasaan yang berat. Sekarang ia harus pergi dari rumah ini. Pijar telah memintanya dan juga sang kakak untuk tidak kembali lagi ke rumah selama ibu mereka masih berada di rumah sakit. Dan untuk sementara, ia dan Tara akan tinggal di rumah Aneta.

"Sini, biar aku yang bawa," tawar Tara yang juga baru keluar dari kamarnya dengan sebuah koper.

Namun, Tara melihat koper Salwa tidak menutup sempurna, karena terhalang bagian pakaian yang mencuat keluar.

Tara lantas berjongkok dan membuka kembali koper Salwa, lalu segera merapikan isinya. Semua pakaian dalam keadaan tidak terlipat rapi, sehingga ruang dalam koper tidak dapat memuat pakaian dengan maksimal. Tara maklum kalau adiknya tidak bisa mengerjakan hal sepele semacam ini. Mengingat Salwa sedari kecil sudah terbiasa dibantu oleh sang bunda.

Setelah itu, mereka berdua turun ke bawah. Di sana ada Aneta yang menunggu. Mereka sengaja datang kembali ke rumah pada jam-jam yang telah diperkirakan tidak ada Bagas. Bahkan untuk berjaga-jaga, Aneta meminta bantuan pacarnya, Ale, untuk ikut menemani. Wanita itu tidak mau mengambil risiko jika harus sampai bertemu dengan Bagas. Khawatir kalau Bagas akan mengambil kesempatan untuk menahan Tara dan Salwa.

"Tante, aku mau ke rumah Kiara dulu, ya," ujar Salwa begitu koper sudah diletakkan di bagasi mobil. "Aku mau ngambil tugas sekolah."

"Ya sudah, nanti kita ke sana," sahut Aneta.

"Aku sendiri aja, Tan," tolak Salwa cepat.

"Kenapa nggak bareng aja?"

"Aku mau sekalian main dulu di rumah Kiara. Jadi nanti aku bisa pulang sendiri ke rumah Tante."

"Udah, sekalian aja, Sal. Aku juga mau tahu rumahnya Kiara," sela Tara yang sebenarnya tidak mau melepas adiknya pergi sendirian. Tara perlu mengetahui rumah teman Salwa dengan jelas dan pasti.

Salwa tampak berpikir sebentar. Ada keraguan pada raut wajahnya yang cantik. Namun, akhirnya ia menurut dan masuk ke mobil yang dikendarai Ale.

"Jangan sampai terlalu sore. Habis dari rumah Kiara, kamu harus langsung pulang." Tara mengingatkan Salwa yang sudah berada di luar mobil. Berdiri di depan pagar sebuah rumah bercat biru.

Salwa mengangguk, dan Tara baru melepas adiknya setelah nomor ponsel Kiara sudah disimpannya.

Mobil itu kemudian berlalu meninggalkan Salwa, yang sampai beberapa menit kemudian belum juga masuk ke rumah temannya. Ternyata, Salwa memiliki tujuan lain. Ia sengaja membuat alasan ini, agar bisa pergi menemui ayahnya di kantor.

Salwa ingin berbicara pada Bagas tentang Raisa. Ia hanya perlu mendengar penjelasan Bagas, kenapa sampai tega tidak memberitahu kebenaran tentang Raisa. Beban rasa bersalah pada Praya sudah membuat hari-harinya tak nyaman.

Dengan taksi online, Salwa bergerak menuju kantor Bagas. Namun, tepat ketika ia sampai di depan gedung kantor ayahnya, sebuah mobil baru saja keluar melewati portal yang dijaga oleh security. Salwa mengenali mobil itu. Ia semakin yakin kalau itu mobil ayahnya, karena plat nomornya juga sama.

"Pak, tolong ikuti mobil itu, ya!"

•••♡•••

Wah ... siapa yang menebak Bagas ke rumah sakit?😁

Seharusnya kemarin sudah update bab ini, tapi kondisi sedang tidak memungkinkan ❤

Jangan lupa beri VOTE dan komentarnya ya ❤

Oh iya, rencananya mau ada giveaway, jadi yang ingin tahu bisa follow akun Instagram saya @a.w_tyaswuri ❤📚

Terima kasih banyak sudah membaca cerita ini. Semoga kalian selalu sehat ❤❤❤

Psssttt ... siapa yang belum baca Loving Isvara? Yuk, kepoin ❤



Continue Reading

You'll Also Like

18.9K 2.3K 62
Kebahagiaan dan kesedihan datang di saat yang tepat. Mereka bertemu untuk mengurai emosi yang melekat. Hingga tak lekang oleh waktu yang berlalu cepa...
236K 36.4K 42
Kupikir menjauh dari mama adalah upaya terakhir untuk kesehatan mentalku. Rupanya aku salah. Tuhan tak ingin hidupku damai. Dia mengirim bocah pember...
394K 37.3K 37
PUBLISHED SOON BY RALENA PUBLISHER *** Hari ini Mora memakai lipstik berwarna merah cukup pekat. Ian heran kenapa lipstik itu tidak luntur dari bibir...
2M 29.6K 45
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...