Sourire

Par welldonewella

9.8K 1.2K 310

Sebuah kisah tentangnya, yang ingin berjuang bersama dirinya sendiri. "Aku sudah terbiasa dengan rasa rindu y... Plus

One Smile for You
00 : Prolog
01 : Pertemuan
02 : Berteman
03 : Perdebatan
04 : Makan Malam
05 : Menghindar
06 : Baik-baik Saja
07 : Bersikeras
08 : Kesal
09 : Nama Itu
11 : Runtuh
12 : Pengakuan
13 : Pernikahan
14 : Panik
15 : Ampunan
16 : Latihan
17 : Medali
18 : Tidak Normal
19 : Berubah
20 : Keputusan

10 : Penolakan

378 59 46
Par welldonewella

Oh hello, sayang~

Pengumuman ya, ini ada revisi yang lumayan banyak di chapter ini. Semoga kalian bisa menemukan perbedaannya. Semoga lebih nyaman ketika dibaca dan ini lebih terasa rumit karena hati teraduk-aduk melihat interaksi si ayah-anak. Yah kalian pasti tahu siapa. Hehe
Enjoy

Happy Weekend

-----------

[Sourire]

Arash membanting pintu kamar saat Neida meneriakkan namanya. Baru saja tiba di rumah dan keributan sudah tercipta. Aria hanya bisa geleng-geleng kepala. Sambil menggiring Neida yang masih berapi-api, Aria mengusap lembut lengan wanitanya. "Kenapa kau sering sekali marah pada Arash akhir-akhir ini, Sayang? Sikapmu ini akan membuat Arash tidak betah di rumah."

Neida berdecak kesal. "Aku tidak ingin dia berhubungan dengan anak itu. Arash masih saja tidak mengerti dan malah melawan perkataanku. Memintaku memberikan alasan. Seharusnya Arash menuruti saja kan, Aria? Tanpa perlu membantah, seharusnya dia mematuhi apa yang aku katakan. Aku ini ibunya. Aku berhak mengatur dengan siapa saja dia berteman, dan aku tidak ingin dia berteman dengan anak itu." Oceh Neida, terbalut emosi lagi. Aria mengernyit, sedikit bingung. "Anak itu? Maksudmu anak dari Pak Jun tadi?"

"Ya. Anak dari pria itu. Aku tidak suka dan tidak ingin Arash berhubungan dengan mereka."

"Kenapa?"

Seketika Neida terkesiap. Ia sadar mulutnya hampir saja meloloskan apa yang seharusnya tidak ia katakan. Neida menutup bibirnya rapat, menciptakan hening untuk beberapa saat. "Neida, kenapa? Kenapa kau tidak ingin Arash berhubungan dengan mereka? Ada yang salah dengan mereka?" desak Aria, meminta kelanjutan dari penjelasan itu.

Neida melemaskan bahu dan menurunkan emosinya. "Tidak usah dibahas. Yang penting Arash sudah ikut pulang bersama kita." Neida beranjak dari sofa, tapi tangannya segera ditahan oleh Aria hingga wanita itu kembali duduk. "Belum selesai, Neida." tutur Aria dengan suara rendah yang terdengar menekan, hingga Neida gugup dibuatnya.  "Pembahasannya belum selesai. Arash adalah anakmu, dan sebentar lagi akan resmi menjadi anakku juga. Berarti, masalah ini harus benar-benar diselesaikan. Aku harus tahu apa yang membuatmu membenci teman Arash itu. Ada apa sebenarnya?" Ujar Aria. Neida kebingungan. Ia hanya bisa menggigit bibir karena menyadari bahwa mulutnya terlalu lancar melontarkan ucapan yang hanya akan mengacaukan rencana kehidupannya bersama Aria. Ia harus mencari cara untuk mengalihkan topik dan sebuah kecupan menjadi solusi terbaik. Aria membelalak terkejut saat bibirnya disentuh bibir lembut Neida. Keduanya menikmati kecupan itu dalam hening. Lalu, Neida menjauhkan wajahnya dan memberikan tatapan manja pada Aria.  "Maafkan aku. Aku tidak ingin membahasnya malam ini karena aku sangat lelah. Bolehkah kita membicarakannya besok saja?"

Neida benar-benar tahu titik kelemahan Aria dan berhasil membuat Aria menghentikan desakan untuk bertanya lebih jauh. Aria menangkup pipi Neida, lalu mengecup dahi wanita itu. "Baiklah, kita tidak membahasnya malam ini, tapi kita harus menyelesaikannya. Aku tidak ingin kau berselisih paham dengan Arash terus-menerus. Kasihan dia. Konsentrasi belajarnya bisa terganggu." 

Kali ini, Neida selamat dari desakan Aria. Namun, besok, lusa atau lebih cepat, ia harus bersiap untuk mengungkap semua yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Ryo, beserta keluarganya.

***

"Tidak enak ya, Ryo?" tanya Maria setelah menyuapkan sesendok bubur pada cucunya. Ryo menelan bubur itu dalam mulutnya dengan susah payah. Jujur saja, bubur itu terasa pahit dilidahnya. Belum lagi tenaga Ryo yang sangat sedikit hanya untuk sekadar menelan makanan.

"Mungkin kalau aku tidak sedang sakit, bubur itu bisa aku habiskan dalam sekejap, Nek." Jawab Ryo, sambil tersenyum tipis. Ia tidak betah melihat wajah sang nenek yang tertekuk seharian karena khawatir selama menjaga dirinya. Ryo merasa bersalah sekali, tapi apa daya. Ia tidak bisa menyembunyikan kesakitannya. Ia hanya bisa tetap mengulas senyum dan tetap bersikap manja agar sang nenek tidak begitu khawatir.

Maria menyeka bibir Ryo dengan tisu basah, kemudian membereskan mangkok bubur yang ia berikan pada Ryo. Ia tidak ingin memaksa Ryo untuk menghabiskan makanan yang tidak disukai oleh sang cucu.

Tak lama, Jun masuk ke kamar. Seperti biasa, Maria dan Jun bergantian untuk beristirahat. Jun menyarankan Maria untuk pergi ke kafetaria atau berjalan di taman rumah sakit. "Kau harus menghirup udara segar sebentar, Bu." Saran Jun. Maria menuruti saran Jun dan membiarkan ayah dan anak itu berdua.

"Sudah lebih baik?"

"Tidak lebih baik dari semalam, Yah. Masih pusing. Masih lemas. Aku ingin muntah." Mendapat jawaban seperti itu, cepat-cepat Jun mengambil tong di depan pintu kamar mandi dan mendekatkannya pada Ryo. Putranya mencondongkan tubuh dan mengeluarkan isi perut yang sudah di ujung tenggorokkan. Makanan yang baru saja Ryo telan keluar lagi dan tubuhnya lemas.

Jun menyeka wajah putranya dengan handuk basah. Ia juga membantu putranya berbaring kembali, setelah membersihkan tenggorokan dengan menenggak air.
Jun mengusap dada Ryo dengan lembut. Berharap putranya merasa lebih baik. Ryo memejamkan mata sejenak, kemudian membuka mata kembali. Ia menatap sendu pada sang ayah. Jun tersenyum menanggapi tatapan putranya itu. "Tidurlah. Pasti lelah kan?"

Ryo menelan ludah dengan susah payah sambil menggeleng lemah. "Ingin mengobrol dulu dengan Ayah." Jawabnya dengan suara parau.

"Baiklah. Ingin mengobrol apa, anak Ayah yang hebat ini?"

Ryo memejamkan mata beberapa detik untuk meredakan denyut nyeri di kepala. Ia ingin menahan rasa sakit itu agar bisa terus bercakap dengan sang ayah. Untunglah nyeri itu berkurang saat tangan Jun mengusap pelan dahinya. "Ayah, apa yang Ayah katakan kemarin ... apa memang benar?"

Jun terdiam sejenak. Ia mengingat kembali apa yang ia katakan kemarin. Tentang sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dari sang putra. "Apa benar ibu masih hidup? Adikku juga masih hidup?"

"Apa menurut Ryo Ayah berbohong?" Jun memandang putranya dengan tatapan sendu.

Ryo menelan ludah. Mulutnya terasa pahit dan membuatnya malas berbicara. Namun, Ryo tidak ingin menahan perasaan apapun. Ia sudah sakit secara fisik dan tidak ingin menambah sakit dalam hati dengan menyimpan apa yang ingin ia sampaikan. "Aku hanya tidak tahu harus berkata apa, Yah. Aku tidak berharap Ayah membohongiku tentang keadaan ibu dan adik, tapi selama ini Ayah sudah berbohong. Setelah aku tahu, aku ingin marah , tapi ... apa perlu aku marah dengan kondisi seperti ini?" tutur Ryo dengan alis bertaut. Jun meraih tangan Ryo dan mengusap punggung tangan putranya. Detik itu, ia merasa segan untuk menegakkan kepala.

"Aku tidak mau bertemu dengan ibu, Yah."

Pernyataan itu membuat Jun mengangkat kepala. "Kenapa begitu, Ryo?"  Jun tahu jika Ryo akan kecewa, marah, bahkan mengamuk setelah mengetahui semuanya. Namun, Jun tidak mengira jika Ryo akan berucap demikian. Ia terlalu naif dengan berpikir bahwa sekecewa apapun Ryo, anak itu pasti merindukan sang ibu dan ingin bertemu dengannya.

"Memangnya Ryo tidak rindu dengan ibu?"

Ryo menghela napas panjang. "Aku sudah terbiasa dengan rasa rindu itu, Yah. Aku terbiasa menyimpan rindu tanpa perlu diwujudkan. Aku ..." Ryo memejamkan mata lagi, menahan nyeri di sekujur tubuhnya. " ... aku tidak butuh seorang ibu."

Seperti tertembak mata panah tertajam tepat di jantungnya, Jun merasa nyeri di dada. Ryo, putranya yang rapuh, kini menyatakan sesuatu yang tidak pernah Jun sangka. Ia menolak kehadiran seorang ibu dalam hidupnya.

"Bagaimana bisa aku merindukan seorang ibu yang bisa dengan mudah menyakiti Ayah?" Ryo memperjelas alasan pernyataannya dengan satu kalimat tanya itu. Cukup untuk membuat Jun memahami perasaan anaknya saat ini.  "Aku tidak bisa, Ayah. Aku tidak bisa menemui wanita itu lagi. Lagipula kita juga sudah tidak membutuhkan siapa-siapa lagi, iya kan? Termasuk seorang ibu. Aku hanya butuh Ayah saja. Itu sudah lebih dari cukup."

"Ryo, ibu dan adikmu yang masih hidup adalah sebuah takdir yang harus kita terima. Kita masih membutuhkan mereka."

"Untuk apa, Ayah? Untuk membantuku? Untuk meminta Arash menjadi pendonor untuk menyelamatkanku? Apa kita benar-benar membutuhkan bantuan itu?" Jun dibuat bungkam oleh putranya yang sangat lihai berkata. Ryo menggeleng pelan. "Tidak, Ayah. Aku tidak membutuhkan bantuan itu sama sekali. Meski kemungkinan aku hidup tanpa donor dari Arash semakin kecil, aku tetap tidak akan menerima bantuan apapun dari mereka. Aku harus berjuang sendiri. Jika aku gagal dalam perjuanganku, berarti aku kalah. Sesederhana itu, Ayah. Untuk apa kita harus mengharapkan bantuan dari orang yang bahkan sudah menjauhkan diri dari kita? Apa Ayah tidak punya harga diri?"

"Ryo, ini bukan masalah harga diri. Ini tentang dirimu. Ayah ingin kau selalu berada di dekat Ayah. Ayah sedang berusaha untuk membuatmu tetap tinggal di sini. Ayah tidak bisa tidur nyenyak tanpa harus memikirkan bagaimana jika kau tiba-tiba pergi meninggalkan Ayah tanpa aba-aba. Ayah rela harus menurunkan harga diri Ayah, menjatuhkan martabat Ayah, atau apapun, asalkan Ayah bisa menyelamatkanmu." ujar Jun dengan emosi yang mulai terpancar. Hidungnya memerah, menatap Ryo dengan mata berkaca-kaca. 

"Tidakkah Ayah perlu menanyakannya padaku dulu? Apakah aku ingin dibantu? Apakah aku bersedia kalau Ayah harus berlutut dan menjatuhkan harga diri di depan orang lain demi aku? Ayah, aku lebih baik mati terhormat daripada harus hidup dengan melihat Ayah yang bertekuk lutut di depan orang lain, hanya demi mendapatkan bantuan. Itu akan lebih menyiksa. Melihat Ayah yang begitu ... itu lebih menyiksaku, Ayah. Jadi kumohon, hentikan." Ryo menitikkan air mata, sambil menggigit bibirnya yang kering. Bahkan sedikit berdarah karena gigitannya sendiri. "Hentikan pengharapan Ayah pada orang-orang yang sudah mengkhianati kita. Aku tidak butuh mereka. Aku hanya membutuhkan Ayah. Aku akan berjuang sendiri. Asal ada Ayah, aku bisa bertahan." Tangis Ryo pecah, seiring dengan Jun yang menunduk, menenggelamkan wajah pada bahu sang putra. Keduanya terisak, memenuhi ruang rawat yang hening dengan suara memilukan. 

Seketika terdengar ringisan dan Jun segera berdiri. Mengusap dahi putranya yang berkerut. "Ada apa, Ryo? Sakit lagi? Di mana?" Jun memandangi putranya dalam panik, tapi Ryo menggeleng lemah. Dengan matanya yang terbuka sangat tipis, ia memastikan sang ayah berada di hadapannya. Namun, matanya terasa sangat berat hingga ia tak bisa lagi menatap sang ayah. Ryo mendengar suara panik Jun yang menelepon perawat. Ia ingin sekali berkata sesuatu, tapi tidak bisa. Ia hanya terus merapalkan keinginannya dengan mata terpejam dan tetesan air mata mengalir dari sudut matanya. "Ayah ... jangan tinggalkan aku." bisiknya dalam hati. 

To be continued 

[Sourire]


See you, love you

Wella

24 Februari 2021

Repost

24 Juli 2021

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

32.4K 3K 27
Siapa sih yang manja nya kek bayi, siapa lagi kalo bukan sarocha freen ........... " ayang peluk" ucapnya sambil merentangkan tangan " utututu, sini...
SCH2 Par xwayyyy

Fiction générale

128K 17.9K 47
hanya fiksi! baca aja kalo mau
932K 18.5K 42
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
715K 3.9K 12
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...