71 - bermalam
Lusi membuka loker dan tak menemukan apa pun di dalam sana selain buku paket yang dia simpan kemarin. Lusi masih memikirkan surat-surat itu. Satu surat bernada kebencian membuatnya semakin penasaran siapa yang mengirimnya.
Dia mengambil ponselnya yang bergetar dari dalam tas. "Halo?" sapanya kepada Rama di seberang sana.
"Ada jemputan, kan?"
Lusi langsung menggeleng. "Tadi Zena bilang mau pergi ada urusan...." Lusi terdiam lagi. Tak meneruskan kalimatnya karena sadar akan sesuatu. Zena pergi karena urusan mendadak.
Sere, ya?
Lusi menggeleng. Belakangan ini dia selalu banyak menebak hal yang belum pasti.
"Lusi?"
"Iya, Kak?"
"Kapan lo mau jujur ke Zena?"
"Yang terpenting sekarang gimana caranya jelasin semuanya ke bunda." Lusi menghela napas. Dulu dia bersusah payah menjaga rahasianya meski Luna telah pergi. Semua dia lakukan agar bunda tidak begitu sedih ketika mendengar kabar Luna yang sebenarnya. Lusi bisa melihat bagaimana Luna sangat menyayangi bunda. Sekarang, Lusi sadar dia tidak mungkin semakin lama berpura-pura menjadi Luna. Dia sedang mencari waktu yang tepat untuk jujur kepada semuanya, lalu pulang ke Adi Bakti dan menjalani hari-harinya seperti biasa.
"Gue jemput. Gue udah di jalan," kata Rama. Lusi menutup lokernya dan berjalan keluar gedung sekolah. "Lusi, bunda ngajakin makan malam di rumah. Lo harus pergi kata bunda karena ada hal penting yang pengin dibicarin bunda dan ayah."
Lusi menghentikan langkah. Kemudian teringat kejadian malam itu.
***
Lusi akhirnya duduk di antara satu keluarga yang menjadikannya sebagai pusat perhatian.
Makan malam yang sangat tenang. Lusi bisa merasakan tatapan Zena yang terus mengarah kepadanya. Mungkin dia bingung dan sedang bertanya-tanya kenapa dia bisa ada di sini. Lusi datang bersama Rama. Permintaan Rama agar Zena tak perlu tahu kedatangannya akhirnya disetujuin oleh Lusi setelah pertimbangan panjang. Jelas. Zena akan marah setelah panggilan dan pesan-pesannya tidak dia gubris sama sekali. Disaat Zena baru akan pergi menghampirinya, Lusi sudah tiba di halaman rumah itu bersama Rama.
Lusi juga bingung kenapa harus ada di sini. Setelah makan malam itu, bunda membawanya berkumpul di ruang tengah. Bunda, ayah, Rama, dan dirinya ada di sana. Zena ikut tanpa dipanggil. Sejak tadi ekspresinya sudah tak keruan. Seperti tahan ingin mengutarakan ada apa sehingga Luna bisa ada di rumah itu.
Basa-basi yang dilakukan seputar sekolah Luna. Bunda juga mengajak Zena bicara dan membahas kembali mengenai kenapa Zena yang tak tahu apa-apa. Lusi memperhatikan Zena yang sibuk sendiri dengan ponselnya, seolah sengaja tak ingin masuk ke dalam pembicaraan dan hanya ingin mendengarkan. Hal itu membuat ayah menegurnya karena ada Luna di sana.
"Pasti heran, ya, kenapa Bunda ngajakin kamu makan malam di rumah?" tanya Bunda sembari memegang punggung tangan Lusi. "Ada pembicaraan penting soal kamu dan Rama."
Lusi melirik Rama. Rama sedang menggeleng, seolah memberitahukan kepadanya bahwa dia tak tahu apa-apa. Lusi kembali menatap bunda karena tak ingin melihat Zena saat ini.
"Bunda dan Ayah tahu soal hubungan kamu dengan Rama. Bunda dan mendiang Mama kamu juga sudah bersahabat dari masih remaja. Kami bahkan pernah bercanda kalau suatu saat masing-masing punya anak perempuan dan laki-laki dijodohin aja. Bunda nggak nyangka Bunda punya anak laki-laki dan mendiang Mama kamu bisa punya kamu."
Lusi hanya bisa diam. Pikirannya sibuk menebak-nebak arah pembicaraan ini.
"Jadi, Bunda dan Ayah sudah setuju kamu dan Rama harus tunangan secepatnya."
Rama terbatuk. Lusi membelalak, tak bisa menyembunyikan ketekejutannya. Diliriknya Zena yang sedang mengernyit. Entah apa yang sedang dipikirkan Zena saat ini.
***
Hampir pukul 12 malam, Lusi duduk di sebuah ruangan yang bisa melihat langsung pemandangan di kolam renang luar sana. Kaca tembus pandang itu membuatnya bisa melihat apa yang sedang Zena lakukan.
Lusi termenung. Bunda mengajaknya tidur di rumah ini semalaman dan menyuruhnya untuk menganggap rumah sendiri. Lusi tak bisa tidur karena Zena tak pernah menyapanya. Dia segaja di ruangan itu karena melihat Zena berjalan ke arah kolam.
Sejak tadi dia sibuk memikirkan cara menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada bunda. Juga tentang apa yang saat ini Zena pikirkan. Dia terlihat santai setelah raut marah terpatri ketika pembicaraan mengenai tunangan.
Lusi bangun dari sofa. Sembari menautkan jemarinya dengan gugup, dihampirinya Zena yang masih asyik berenang. Lusi berhenti di dekat kolam dan duduk di kursi. Dia hanya diam memandangi Zena.
Zena berenang ke tepi dan mengangkat kepalanya. "Ngapain ke sini? Nggak tidur?"
"Belum bisa tidur. Kamu sendiri ngapain berenang tengah malam gini? Nggak dingin?"
Zena melipat kedua tangannya di tepian kolom. Dia mendongak memandangi Lusi yang berada tak jauh darinya.
"Mau ikutan?"
"Nggak. Thanks." Lusi menggeleng cepat saat Zena naik dari kolam. Cowok itu menariknya berdiri dengan paksa, lalu membawa tubuh mereka melompat bersama-sama.
Zena tertawa saat berhasil membawa Lusi bersama-sama memasuki kolam itu. Lusi menggapai-gapai udara di atas air, lalu dia merasakan tubuhnya diangkat. Lusi mengambil napas dan mencari pegangan. Tangannya menggapai leher Zena dan memeluknya erat.
"Gue nggak bisa renang, Zena...."
Zena mendongak melihat wajah Lusi di atasnya. "Nggak dalam, kok." Dipegangnya erat pinggang Lusi agar cewek itu tak ke mana-mana. "Jangan berusaha untuk kabur. Gue lepasin, ya?"
"Nggak...." Lusi menggoyangkan kakinya dan tak ada apa-apa yang menyentuh kakinya selain air.
"Ini dangkal, Lus." Zena perlahan melepaskan Lusi.
"Please.... Jangan jauh-jauh." Lusi panik saat Zena melangkah mundur. "Zena!"
"Jangan takut. Tuh, kaki lo sampai bawah, kan? Nggak tenggelam, kan?"
"Ah, iya...." Lusi tertawa sendiri. "Tapi, dingin."
Zena berjalan lagi ke arahnya. "Banyak alasan. Sini gue peluk."
"Nggak!"
"Tadi nyuruh gue jangan jauh-jauh?"
"Zena! Aku harus cepet pergi. Nanti Bunda lihat salah paham lagi."
Tatapan Zena datar. "Lo seneng, ya?"
"Hem?"
"Seneng karena bunda ngedukung hubungan lo dengan Rama?"
"Lo marah?" Lusi merapatkan bibir. Salah mengeluarkan kata. Zena sedang mengamatinya intens saat ini. "Kamu ... cemburu?" tanya Lusi, memancing jawaban Zena mengenai perasaannya kepada Luna.
"Cemburu?" Zena tersenyum pahit. "Banget. Iri juga ada. Kesel? Marah? Kecewa? Sakit hati? Iya."
Lusi bungkam. Semua perkataan Zena tergambar di wajahnya.
"Jadi, sebenarnya Rama itu beneran pacar lo apa bukan, sih?" tanya Zena, menuntut jawaban. Lusi semakin tak bisa berkata-kata.
"Kamu cemburu banget, ya?" Lusi mendorong Zena. Akhirnya mereka terpisah. Lusi berjalan ke tepi dan berusaha naik, tetapi dia ditahan oleh Zena.
"Mau ke mana?" tanya Zena.
Lusi terpaksa menenggelamkan wajahnya ke air agar air matanya tak kentara. Zena membawanya naik dengan panik.
"Lo ngapain, hah?" tanya Zena khawatir.
"Pengin basahin rambut aja," balas Lusi asal. Beruntung jawabannya masuk akal. "Aku mau tanya satu hal." Lusi mengamati raut wajah Zena. "Perasaan kamu ke Lusi sekarang kayak gimana?"
Zena diam sebentar. Dia juga mengamati raut wajah Lusi. "Udah mati."
Lusi semakin sakit hati. Air matanya tak bisa dia tahan lagi. Dia berusaha tersenyum, berusaha menahan air matanya, tetapi sulit.
"Kenapa lo malah nangis?" tanya Zena, heran.
"Aku nggak bisa ngebayangin gimana perasaan Lusi kalau tahu ini."
"Bukannya lo sendiri yang bilang dari awal kalau Lusi udah nggak ada? Ngapain ungkit orang yang udah nggak ada?"
Lusi berusaha naik. "Lepas. Nggak usah pegang-pegang," kata Lusi kesal. Zena melepasnya dan dia segera pergi dari hadapan cowok itu.
Pasti bakalan ada waktu yang tepat untuk ngebuat lo kaget, Zena.
***
thanks for reading!
love,