ATLANTAS || END

By badgrik

276K 21.9K 2K

[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam m... More

Prolog
01. Permulaan
02. SMA Delton
03. Insiden
04. Tawuran dan Pencarian
05. Jaket
06. Jalan-Jalan Ke Mall
07. Abel Hilang
Cast + Nama + karakter Pemain
08. Markas Vagos
09. Berlalu
10. Bertemu Kembali
11. Apartemen
12. Berangkat Bersama
13. Penasaran
14. Turnamen Futsal
15. Atlantas Dan Alex
16. Bimbang
17. Gosip Sekolah
19. Gudang Sekolah
20. Fakta Yang Sebenernya
21. Syndrome Sandi
22. Senja Di Rumah Sakit
23. Antara Abel, Atlantas & Alex
24. Orang Tua Abel
25. Hal Indah Di Rumah Atlantas
26. Penyerangan
27. Antara Bandung Dan Jakarta
28. Cerita Di Dufan
29. Malam Minggu
30. Setan
31. Kotak Bekal
32. Tentang Atlantas
33. Mimpi Abel
34. Meniti Ke Akhir Cerita
35. (Bukan) Akhir Segalanya
Ucapan Terima kasih
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3 • Special POV Atlantas
Cerita Baru
Grub Atlantas
Info Bahagia?
Atlantas Versi Baru?

18. Simpang Siur

5K 438 38
By badgrik

Kedekatan antara Atlantas dan Abel yang sudah menjadi buah bibir di kalangan para siswa-siswi Delton masih saja menyebar luas sampai hari ini. Berita yang simpang-siur membuat Abel benar-benar merasa tidak bebas. Yang ia lakukan hanya berdiam di kelas bersembunyi dari orang-orang yang menatapnya penuh penilaian.

“Lo nggak mau ke kantin, Bel?”

“Mau,” jawab Abel. “Tapi malu,” sambungnya lesu. “Abel belum siap keluar.”

“Astaga, Abel.” Naida berdecak. “Ada gue sama Cassia, ngapain lo takut?”

“Belum siap, Nai.”

“Sini ikut gue! Kita hadapi sama-sama. Kalau ada yang omongin lo bakal gue cakar mulutnya. Lo tenang aja, gini-gini gue dulu sering labrak adik kelas pas SMP.”

Abel tertawa pelan. “Ada-ada aja.”

“Serius gue.”

“Iya-iya percaya.”

“Wakru istirahat tinggal 15 menit, guys.” Cassia memberi tahu. “Mau ke kantin sekarang?”

“Iya, sekarang aja.”

“Ayo, Bel,” ucap Cassia sambil menarik pelan tangan Abel yang terasa dingin. “Takut itu wajar. Tapi, kalau bikin lo nggak bisa ke mana-mana kayak gini jadi susah sendiri, kan?”

Abel mengangguk lesu.

“Tenang aja ada kita, kok.”

Abel tersenyum hangat. Ia bersyukur memiliki teman seperti Naida dan Cassia ini.

Pintu kelas terbuka, Atlantas berdiri di depan sana bersama beberapa orang di belakangnya.

Tiba-tiba kelas jadi ricuh. Para siswi-siswi kaget atas kehadiran Atlantas yang tampak memukau walaupun semua kancing seragam cowok tersebut sudah terlepas.

“Kak Atlas ngapain, sih?” batin Abel.

Atlantas berjalan memasuki kelas X IPS-1 dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana.

“Ikut gue.”

Abel mendongak untuk bisa menatap wajah Atlantas karena posisinya yang masih duduk di kursi.

“Ke mana?”

“Bisa nggak sih kalau gue ngomong lo nggak usah banyak tanya?!”

“Sensi banget, sih. Lagi PMS, ya?” Abel lagi malas untuk berbicara sekarang. Terlebih-lebih lagi dengan kondisi hatinya yang memang buruk dari kemarin.

“Lo?!”

“Kak Atlas ngapain sih ke sini? Bikin kelas Abel jadi ribut aja. Pulang sana! Balik ke kelas!”

Seisi kelas melongo. Tidak percaya dengan apa yang barusan mereka lihat dan dengar.

”Anjer berani banget Abel bentak Kak Atlantas.”

“Jangan-jangan emang pacaran lagi?”

Abel memijit pelipisnya. Ia benar-benar merasa pusing. Dari pagi tadi ia belum sarapan sedikit pun.

”Kak Atlas mending balik ke kelas aja deh sana.”

Atlantas mencoba untuk sabar. Dengan pelan ia menyentuh pergelangan tangan Abel dan menariknya. “Kata Banu lo belum malam dari malam tadi. Ikut gue, kita makan.”

Abel specheless. “Ini beneran kak Atlas?”

“Hm.”

Abel menunduk. Melihat tangannya yang di genggam oleh Atlantas. Seketika detak jantungnya mulai berdetak cepat di dalam sana. Wajahnya kian memerah dengan seiringnya langkah mereka menuju kantin.

Abel tidak bisa menjelaskan euforia-nya saat ini. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan memenuhi rongga dadanya. Sehingga terasa menggelitikkan sekaligus hangat.

Namun, lagi dan lagi bisik-bisik mulai terdengar ke telinga Abel. Ia merasa tidak nyaman. Atlantas sadar itu.

“Lo memang nggak bisa tutup mulut mereka pakai dua tangan lo itu. Tapi, lo bisa tutup dua telinga lo pakai dua tangan.” Atlantas menarik lengan Abel cukup kuat hingga mereka berjalan bersisian dengan kedua tangan yang bertautan.

“Eh-eh woi astagfirullah! Atlantas udah dewasa, Bun.”

“Potek hati gue, anjer!”

“Mereka yang pegangan tangan, gue yang baper. Sialan!”

“Nggak cocok woi! Nggak cocok!”

“Sirik aja lo sisik ikan!”

Abel tidak berani untuk mengangkat wajahnya. Dan tanpa sadar mereka berdua sampai ke rooftop.

“Kok, ke sini?”

“Lo mau ke kantin?”

“Eh, enggak!"

Abel menghela napas. “Kita ngapain ke sini?”

“Makan.”

“Jangan ngaco.”

Atlantas masih memegang tangan Abel, membawa cewek tersebut ke sisi barat rooftop, karena cuman sisi tersebut saja yang tidak terkena paparan sinar matahari.

Abel ikut duduk lesehan di lantai dengan Atlantas di sampingnya. Memperhatikan setiap gerak-gerik cowok tersebut yang membukakan sebuah kotak bekal dan menyerahkan kepadanya.

“Makan sekarang!”

“Kak Atlas ...,” cicit Abel tidak mengerti dengan semua ini.

“Gue bilang makan!”

Abel meneguk saliva. Makanan di tangannya ini memang tamapak menggiurkan. Tapi, isi kotak bekal milik Atlantas adalah makanan kesukaannya. Nasi goreng tanpa sayur.

“Kenapa cuman diliatin?”

Abel tersentak. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Mana mungkin Kak Atlantas mau menukar kotak bekal mereka.

Abel memakan nasi goreng miliknya dengan pelan. Menyingkirkan beberapa sayuran yang membuatnya tidak berselera makan.

“Kenapa di singkirin sayurnya?” tanya Atlantas seraya meletakkan kotak bekal miliknya ke lantai.

“Nggak suka sayuran,” jawab Abel pelan. Takut Atlantas marah.

Ck, kenapa nggak bilang dari awal, hah?!

“Gimana Abel mau ngomong kalau setiap dekatan sama Kak Atlas aja udah bikin Abel gugup.”

“Terserah.”

“Kak Atlas itu emosian. Cepat banget marahnya,” papar Abel seraya mengaduk-aduk nasi gorengnya tanpa minat.

“Itu makanan! Jangan lo aduk-aduk. Makan punya gue! Habisin!” Atlantas langsung mengambil kotak bekal milik Abel dan menyerahkan miliknya kepada cewek tersebut. “Kalau lo nggak suka bilang. Gue nggak bakalan tau.”

Abel merasa bersalah. “Maaf.”

“Hm.”

“Kak Atlas suka sayur, kah?” tanya Abel membuka obrolan. Ia mencoba untuk tidak gugup saat ini.

“Seperti yang lo lihat.”

“Kayaknya suka banget, ya. kalau Abel enggak suka. Soalnya sayuran itu pahit, hambar, jelek lagi.”

“Itu makanan jangan lo ejek-ejek.”

Abel tersenyum tipis di balik kunyahannya. “Ternyata Kak Atlas memang nggak se-menakutkan yang Abel bayangkan selama ini.”

“Hampir satu minggu satu atap sama Kak Atlas buat Abel tersadar kalau Kak Atlas itu ternyata orangnya cuman cuek, bukan patung berjalan.”

Atlantas terlebih dahulu menghabiskan kotak bekal miliknya.

“Dan juga Kak Atlas itu orangnya baik.”

“Makasih atas bekalnya hari ini, ya. Abel suka banget.” Cewek tersenyum lebar. “Oh iya. Maaf juga ya waktu itu Abel nggak sempat pamitan sama Kak Atlas. Soalnya Abel ketiduran di kamar. Eh, pas bangun ternyata udah ada di kamar lama aja.”

“Makasih udah mau numpang Abel selama beberapa hari.”

Atlantas mengangguk dua kali. “Hm, iya.” Ia membuka sebotol soda, dan menusukkan sedotan ke kotak susu coklat untuk Abel.

“Makannya sambil minum.”

Abel tersenyum lebar. “Kan, Kak Atlas itu sebenernya memang baik. Cuman karena sering berantem aja makanya dicap badboy.

“Nggak usah sok tau.”

Abel tidak mengindahkannya. Ia tetap tersenyum lebar. Menyuap nasi gorengnya dengan lahap.

“Makannya pelan aja, ck!” Atlantas mendekatkan tubuhnya, menyapu bawah bibir Abel yang tersisa butir nasi. “Lo udah SMA, bukan anak TK lagi. Makannya pelan-pelan aja, jangan belepotan.”

Wajah Abel memerah, lagi. Bibirnya seketika kelu. Kedekatannya dengan Atlantas seperti ini membuat kinerja otak dan jantungnya mendadak sakit.

Abel menghela napas pelan. Ya Tuhan ..  jangan sampai Kak Atlas dengan detak jantung Abel, tolong.

“Wajah lo merah,” bisik Atlantas pelan. “Lo suka sama gue?”

Abel melebarkan kedua pupilnya. Suka? Iya, suka! Tapi nggak suka-suka banget.

Abel memundurkan tubuhnya. Berdekatan dengan Atlantas memang berdampak buruk untuk tubuhnya. Dengan gugup Abel kembali melanjutkan makannya.

Atlantas tersenyum tipis. Membiarkan cewek tersebut merasa gugup.

“Jangan baper sama gue," ucap Atlantas. “Ini semua Banu yang siapkan.”

Abel menghentikan pergerakannya. “I-iya.”

Abel merasa aneh. Jika tadi ia berdebar-debar lantaran berbunga-bunga. Namun sekarang ia malah merasa seperti dihempaskan ke dasar jurang dari ketinggian 100.000 meter.

Kecewa, kah?

Abel mengatur napasnya. Ia terlalu baperan.

“Tentu aja nggak mungkin Kak Atlas yang siapkan semua ini,” gumam Abel dalam hati.

Tapi, hatinya benar-benar merasa kosong.

“Apa Abel mulai suka sama Kak Atlas?” tanya Abel kepada dirinya sendiri. Seketika ia menenggak punggung. Napasnya seketika tersekat. “Nggak mungkin, kan?!”

🏍️🏍️🏍️

“Galau dikit nge-post lagu sedih, lagu barat melow, lagu korea yang ngiris hati. Sesekali nge-post lagi Nasional kek biar galaunya Nasionalisme dikit," ucap Anji. Saat ini ia berada di kantin bersama Ucup, Sandi, Sean, Leo, Liam, Banu dan Rendi.

“Gue jadi mikir. Semua orang kan dilahirkan sepaket sama otaknya, nih. Nah, kok Anji enggak ya? Kenapa bisa gitu? Ada yang bisa jelasin ke gue?” tanya Ucup kepada teman-temannya.

“Bukan gitu konsepnya, Cup,” sahut Leo. “Anji dapat paketan otak juga, kok. Cuman paketan otak punya dia tuh kecampur sama tai kucing.”

Tawa Ucup seketika meledak. “Hahaha, anjer iya juga.”

Anji berdecak pelan. Melempar kulit kuaci ke arah Leo, Ucup, Rendi dan Sandi yang mentertawakannya.

“Gue mulu yang dinistain,” sebal Anji.

“Lo nistaable, Bang,” sahut Rendi tertawa.

“Adik kelas sialan!”

“Atlantas sama Abel gimana, ya?” tanya Banu tiba-tiba.

“Di rooftop, kan?” Sandi memastikan.

“Iya, di sana. Tapi kok lama ya? Nggak balik-balik.”

Liam menghembuskan napas. “Ya, namanya juga makan, Nu. Pasti lamalah. Apalagi ini Atlantas sama Abel, nggak jamin adek lo buru-buru makan buat kabur.”

“Atlantas-Atlantas, dia kenapa coba?” tanya Liam. “Gue jadi kepo.”

“Jangan urusin dia,” sahut Sean datar. “Biarin aja,” sambungnya.

“Pasti ada alasannya, sih. Tapi kita diam sambil pantau aja deh,” timpal Sandi. “Kalau mereka jadian ya kita tinggal minta PJ,” ucapnya seraya terkekeh.

“Benar juga. Kapan lagi coba kita bisa makan-makan besar,” ucap Ucup.

Banu mendesah pelan. “Meresahkan banget asli.”

“Sabar, Nu. Mungkin adik sepupu lo itu memang menarik, makanya Atlantas jadi kepincut,” ucap Leo.

“Cantik sih gue liat,” ucap Sandi. “Mungil-mungil orangnya.”

“Kayaknya juga lugu banget,” timpal Liam.

“Kelihatannya baik dan ramah,” tambah Anji.

“Gue jadi demen sama yang kayak modelan Abel gini. Masih ada stok nggak lo, Nu?”

“Lo pikir gue produksi anak, hah?” sewot Banu.

“Nggak gitu juga, anjer. Maksud gue itu, lo masih punya nggak sepupu yang kayak Abel gitu? Kalau ada kasih ke gue dong.”

“Nggak. Nggak ada.”

“Sialan!”

“Lo ngebet banget pengen cari yang kayak Abel. Si itu lo gimanain?” tanya Anji menyebut ambigu pada cewek incaran Anji.

“Nggak di gimana-gimanain. Biarin aja. Dia juga udah punya tunangan, gue nggak mau jadi orang ketiga.”

Liam merasa miris. “Cari cewek lain aja, Cup. Delton banyak stok cecan, nih.”

“Eits, tapi selama jalur kuning belum melengkung, tikung aja nggak papa. Nanti gue bantu lewat dukun, Cup,” ucap Sandi bergurau.

Ucup hanya bisa terkekeh. “Kalau lo sendiri gimana, Nji? Udah bisa bawa cewek ke depan Nyokap lo?”

Anji berdecak kesal. “Nggak usah diingetin! Nyokap gue masih nggak percaya kalau gue itu lurus sebelum bawa cewek ke rumah.”

“Cari random aja kali, Bang, ribet banget lo,” ucap Rendi. “Atau mau gau kenalin ke cewek-cewek di kelas gue? Cakep semua tuh.”

“Kenalin ke gue dong beberapa!” Sandi tiba-tiba menjadi antusias.

“Aelah buaya lo!” ucap Leo.

“Selagi pesona gue masih ada kenapa nggak gue manfaatin aja?”

“Inget karma,” celetuk Sean.

Sandi kikuk. “Iya-iya, ingat gue, Yan. Toh, gue cuman mau kenalan doang.”

“Iya, kenalan. Habis itu lo pacarin sampai anak orang baper, pas lo bosan lo tinggalin,” cecar Anji. “Dasar anak nggak ada akhlak.”

“Gue nggak berani gitulah,” ungkap Ucup. “Kata Bapak gue, mainin perasaan cewek itu sama aja kayak kita nyakitin perasaan Emak kita. Nggak enak, bro. Sakit banget.”

Semuanya terdiam, terlebih lagi Sandi yang benar-benar dirundung rasa bersalah. Tapi, ia enggan mengakuinya. Ia sudah terlalu nyaman dengan keadaan seperti ini. Bermain-main dengan banyak hati semaunya sampai ia merasa bosan.

“Sudahlah. Kita memang punya cara buat senang-senang sama diri sendiri. Tapi ingat, apapun itu liat konsekuensinya. Tanggung jawab sendiri dan jangan menyesal,” ucap Sean yang seakan-akan menampar Sandi secara tak kasat mata.

“Arrggh, sialan!” umpat Sandi tertahan.

🏍️🏍️🏍️

Halaman belakang sekolah tampak sejuk. Angin berhembus pelan.

Bumi berdiri berhadapan dengan Atlantas.

“Ada apa?” tanya Atlantas tanpa basa-basi.

“Santai dong, bro.”

Atlantas berdecak.

“Gue cuman mau bilang. Dari sekarang lo harus jaga-jaga. Musuh lo bukan cuman gue dong di sini. Yang inginin lo hancur juga bukan cuman gue doang. Ada banyak,” ucap Bumi.

“Nggak usah bertele-tele.”

“Abel. Sebelumnya harus gue akui kalau dia memang nggak ada sangkut pautnya sama masalah kita,” ucap Bumi serius. “Tapi itu dulu,” sambungnya.

“Dia cewek yang baik, gue akui itu. Tapi kayanya gue mulai berubah pikiran sekarang.”

“Lo mungkin nggak sadar, Tas. Tapi tanpa sadari lo udah buka celah buat orang kalahin lo nanti lewat Abel.”

“Di Delton nggak cuman ada Anak Bandidos doang, tapi juga ada Cakrawala sama Badjingan.”

“Gue Bumi, Anak Badjingan, gue juga mau lihat lo hancur. Gue tau kalahin lo itu mungkin terdengar mustahil. Tapi, lihat lo dekat sama cewek, gue jadi mikir bisa serang lo lewat Abel.”

“Lambat lain Abel itu bakal kekalahan lo.”

“Udah ngomongnya?”

Bumi merotasi bola mata.

“Gue kasih sesuatu ke lo, Bumi. gue Atlantas, apapun yang gue mau akan gue kejar sampai mati-matian. Sama halnya kayak gue mau hancurin lo dan Jeffry sampai ke akar-akarnya.”

“Jangan mengkhayal. Abel atau siapapun itu nggak akan ada yang bisa jadi sumber kekalahan gue.”

“Buat Badjingan, salam kematian dari Bandidos. Secepatnya.”

Atlantas pergi meninggalkan Bumi dengan kedua tangan yang terkepal kuat.

🏍️🏍️🏍️

Continue Reading

You'll Also Like

623K 17.2K 49
Cerita sudh end ya guys, buru baca sebelum BEBERAPA PART DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT. Kata orang jadi anak bungsu itu enak, jadi anak bungsu...
29.4K 1.8K 57
(⚠WARNING⚠) • Cerita fiksi ini dibuat untuk hiburan saja, dan tidak ada sangkut pautnya dikehidupan nyata! • Alurnya masih acak dan banyak typo bert...
1.8M 194K 52
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
ALEXIS 2 By wpyann__

Teen Fiction

11.6K 799 9
Menceritakan kelanjutan kisah cinta Alexis yang kini melibatkan geng barunya Starblack. Starblack sebuah geng gabungan dari Ringstar dan Goldblack y...