ATLANTAS || END

By badgrik

276K 21.9K 2K

[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam m... More

Prolog
01. Permulaan
02. SMA Delton
03. Insiden
04. Tawuran dan Pencarian
05. Jaket
06. Jalan-Jalan Ke Mall
07. Abel Hilang
Cast + Nama + karakter Pemain
08. Markas Vagos
09. Berlalu
10. Bertemu Kembali
11. Apartemen
12. Berangkat Bersama
13. Penasaran
14. Turnamen Futsal
15. Atlantas Dan Alex
16. Bimbang
18. Simpang Siur
19. Gudang Sekolah
20. Fakta Yang Sebenernya
21. Syndrome Sandi
22. Senja Di Rumah Sakit
23. Antara Abel, Atlantas & Alex
24. Orang Tua Abel
25. Hal Indah Di Rumah Atlantas
26. Penyerangan
27. Antara Bandung Dan Jakarta
28. Cerita Di Dufan
29. Malam Minggu
30. Setan
31. Kotak Bekal
32. Tentang Atlantas
33. Mimpi Abel
34. Meniti Ke Akhir Cerita
35. (Bukan) Akhir Segalanya
Ucapan Terima kasih
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3 • Special POV Atlantas
Cerita Baru
Grub Atlantas
Info Bahagia?
Atlantas Versi Baru?

17. Gosip Sekolah

5K 450 14
By badgrik

Atlantas menarik pergelangan tangan Abel hingga ke depan kelas cewek tersebut. Di dalam kelas, Naida dan Cassia melototkan kedua matanya. Semenjak insiden pengakuan kecil Atlantas terhadap Abel di lapangan kemarin, mereka belum bisa menebak hubungan seperti apa yang tengah Abel dan Atlantas jalani saat ini.

Sudah banyak desas-desus yang tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Istilah mudahnya, gosip.

“Kak, lepasin. Bikin malu aja.”

Atlantas melepaskan pegangannya. Meneliti ke dalam kelas X IPS-1 yang pada heboh. Ia mengangkat bahunya acuh. Biarkan saja.

“Pulang gue jemput.”

“Nggak usah,” tolak Abel cepat. “Abel bisa sendiri, kok.”

“Jangan menolak!”

“Jangan memaksa!” balas Abel.

“Terserah. Tapi, malau lo berusaha kabur kaki lo gue patahin, mau?”

“Jahat!”

“Persetan.”

Abel memajukan bibirnya. “Kalau Abel di bully kayak di novel-novel gimana?" tanyanya hampir dengan kedua mata yang berkaca-kaca. “Kak Atlas tau, kan, kalau kita sekarang jadi pusat perhatian satu sekolah? Mau di letak di mana wajah Abel setalah ini, hah?!” Abel menutup wajah frustasi.

“Abel nggak suka dijadiin gosip satu sekolah!”

“Lo punya dua tangan buat nutup telinga. Jadi nggak bakal denger gosip dari mereka.”

“Kak Atlas ....” Geram Abel seraya meremas kuat kedua sisi roknya.

“Nggak ada penolakan! Pulang bareng gue.”

Egois! Abel mengatur napasnya yang tiba-tiba jadi menderu cepat. Demi apapun, Atlantas itu benar-benar menyebalkan.

“Meresahkan!”

Naida menarik lengan Abel memasuki kelas cepat, dan Cassia menutup pintu biar para siswi-siswi dari kelas sebelah tidak terlalu berkerumunan.

“Lo hutang penjelasan ke kita berdua, Bel.”  Naida melipat tangannya di atas dada. “Ralat, bertiga sama Mitsuko.”

“Iya, tuh,” sahut Cassia.

Abel mengacak-acak rambutnya yang tergerai rapi. Ia merasa hampir frustasi. “Abel nggak da hubungan apa-apa sama Kak Atlas.”

“Terus yang kemarin apa?” tanya Naida benar-benar kepo.

“Ya, Abel juga nggak tau. Pokoknya ini tuh cuman salah paham doang! Abel nggak ada hubungan apapun, kok, sama Kak Atlas. Percaya, deh.”

“Gue sih percaya aja. Cuman kenapa Atlantas kemarin gitu, ya?” tanya Cassia.

“Dia sakit, mungkin.” Mitsuko mematikan ponselnya. Menatap ke arah tiga cewek di depannya yang tampak terkejut. “Biasa aja mukanya. Itu kan cuman dugaan gue.”

“Bercanda mulu lo! lagi serius, nih!” Omel Cassia kepada Mitsuko.

Abel memilih untuk duduk di kursinya. Menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan. “Ya Allah, kenapa harus Abel? Di Delton kan banyak cewek cakep-cakep, kenapa nggak mereka aja, sih?”

Naida merasa iba. “Sabar ya, Bel. Pasti si Atlas-Atlas itu lagi iseng doang. Kalau enggak ya ketempelan roh halus.” Ia mengusap-usap pelan punggung Abel yang dilapisi jaket kebanggaan anak Bandidos.

“Tumben pakai jaket ini, Bel.”

“Dipaksa sama Kak Atlas pagi tadi.”

“Gimana ceritanya coba?”

“Ya, gitu deh,” sahut Atlantas lirih. “Tukang paksa emang, heran.”

“Egois, ya.” Cassia menyuarakan pendapatnya. “Bukan tipe gue banget asli.”

“Wajah sih oke, tapi kelakuan gitu banget,” timpal Naida tiba-tiba kesal.

“Sudahlah,” ucap Abel melerai. Ia menegakkan tubuh. Melepaskan jaket yang ia pakai dan menyimpannya di kolong meja asal-asalan.

“Niat banget Atlantas maksa lo buat pakai tuh jaket sampai dibuatin jaket khusus,” ungkap Naida tak habis pikir.

“Masih menjadi sebuah rahasia kenapa Atlantas nyuruh Abel makai tuh jaket,” celetuk Mitsuko.

Abel memainkan kakinya. “Biarin aja. Ngapain kita pikirkan coba? Abel udah terlalu capek mikir ini-itu. Masalah Kak Atlas nggak bakal berhenti sampai di sini aja. Jadi, Abel butuh tenaga ekstra buat menghadapinya,” papar Abel tersenyum. Naida dan Cassia jadi tertegun.

“Masalah yang satu ini biarin aja sampai reda dengan sendirinya.”

🏍️🏍️🏍️

Banu melepaskan topi. Bersandar santai di samping mobil sambil memainkan ponsel. Sebentar lagi bel jam pulang sekolah akan berbunyi. Ia berniat untuk memberikan surprise kepada Abel dengan kepulangannya yang lebih cepat daripada yang ia kasih tau kepada Adik Sepupunya tersebut.

Di sisi lain lagi, Abel mengernyitkan dahinya. Menatap heran ke arah cowok di depannya yang menyerahkan sebuah ponsel.

Eum, kenapa? tanya Abel akhirnya. “Itu ponsel buat apa?”

“Kasih gue nomor telpon lo.”

“Buat apa?” Abel memeluk erat dua buku yang ia pinjam barusan dari perpustakaan.

“Buat nelpon lo, lah.”

Cowok tersebut terkekeh. Abel meneguk saliva susah.

Glek

“Nga—ngapain?”

“Buat temanan.”

Lagi dan lagi cowok tersebut tersenyum. Abel merasa jadi takut.

“Kenalin nama gue Bumi. Senang bisa bertemu dengan lo Abel.”

Abel semakin erat memeluk bukunya ke dada. “Tau nama Abel? Kita pernah bertemu sebelumnya, kah?”

“Hm,” jawab Bumi bergumam. “Gue udah kenal lo dari lama.” Hanya itu jawaban Bumi. Abel semakin was-was dibuatnya. Sedangkan Bumi tersenyum lebar. Seolah-olah menunjukkan kemenangan. Entah atas dasar apa, tapi Abel yakin ini pertanda tidak baik.

Astagfirullah Abel, jangan mikir buruk ke orang lain.

“O-oh gitu, ya, hehehe. Kenal Abel dari kapan?”

“Itu rahasia.” Bumi mengedipkan sebelah matanya ke arah Abel. “Lo jangan takut gue orang baik, kok.”

“I—iya,” sahut Abel terbata-bata.

“Karena lo udah tau nama gue. Gimana kalau kita tukeran nomor telpon.”

Abel menggerakkan kedua bola matanya ke bawah dan menggigit pelan bibirnya.

“Serahkan ponsel Bumi.”

Bumi tersenyum merekah. Menyerahkan ponselnya kepada Abel. Dengan kedua tangan yang bergemetaran, Abel mengambilnya dan langsung mengetikkan beberapa angka di atas layar. Setelah selesai ia langsung menyerahkannya kembali kepada Bumi.

“Sudah Abel masukin ke WhatsApp, jadi nanti tinggal Abel yang save nomor Bumi.”

“Kenapa nggak sekarang aja?” Ada raut tidak suka dari wajah Bumi yang bisa Abel tangkap.

Sebisa mungkin Abel memasang wajah santai. “Ponsel Abel mati.”

“Oh gitu, ya.” Bumi menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. “Mau pulang bareng? Gue anter.”

“Nggak, nggak usah!" tolak Abel seketika panik. “Abel sudah ada janji sama seseorang. Iya, sama teman tadi, hehehe. Dia juga mau Antar Abel pulang, kok.”

“Siapa?” tanya Bumi datar. Hawanya mulai tidak mengenakkan.

INI SI BUMI ANAK SIAPA SIH, HAH? YA ALLAH ABEL TAKUT!

“PACAR!” sahut Abel refleks. “Iya, sama pacar Abel, hahaha.”

“Tadi katanya teman.”

“Salah ngomong.” Abel benar-benar ingin lari sekarang juga.

“Pacar lo yang mana?” tanya Bumi tiba-tiba tersenyum. Abel semakin merinding dibuatnya.

“Di parkiran," jawab Abel ngarang. “Ka—kalau begitu Abel duluan, ya! Bye-bye Bumi!” Dengan langkah cepat Abel segera meninggalkan perpustakaan.

Namun baru tujuh kali Abel melangkah. Bumi kembali mengahadang jalannya, membuat ia hampir saja berteriak lantaran kaget sekaligus takut.

“Bu—Bumi?”

“Kita barengan aja. Gue murid baru di sini. Gue takut nyasar ke parkiran.”

Abel jadi gelagapan. Panik kalau ia ketahuan bohong. Tapi ia berusaha untuk tetap tenang.

“Yaudah, ayo jalan.”

Bumi tersenyum. “Lo gemesin bikin gue suka aja.”

Abel tertawa kikuk. “Iya—”

“Ke mana aja lo?!”

Abel tersentak kaget. Cukup familiar dengan suara tersebut. Dan benar saja, gak jauh darinya Atlantas berdiri dengan seragam acak-acakan ciri khasnya.

Abel tersenyum lebar. Merasa lega. Dengan riang ia memamggil nama cowok tersebut. “KAK ATLAS!” Abel berlari lalu berhenti di depan Atlantas. “Maaf ya lama, tadi Abel cari buku di perpustakaan.”

Atlantas mengernyitkan dahi. Belum sempat ia melayangkan pertanyaan. Abel sudah menarik tangannya terlebih dahulu.

“Ayo, kita pulang sekarang.”

“Hm.”

Abel membalikkan badannya sekilas, tersenyum tipis ke arah Bumi. “Abel duluan ya Bumi, bye!”

Setelah merasa cukup jauh dari Bumi, Abel melepaskan pegangannya dari tangan Atlantas. Ia jadi merasa malu dan bersalah.

Padahal ia ke perpustakaan tadi untuk menghindari Atlantas. Namun, siapa sangka ia malah ketemu dengan Bumi yang bahkan ia tidak ia kenali sosoknya.

Jangan-jangan stalker lagi? Ah, nggak mungkinlah.

Eum, sebelumya makasih udah datang tadi. Dan maaf karena Abel menghindar.”

“Hm.”

Mereka berjalan bersisian. Abel mengayunkan kakinya kecil. Ia jadi gugup.

“Kak Atlas tau, tadi cowok yang bareng Abel namanya Bumi. Dia sedikit aneh.”

Atlantas melirik.

“Tiba-tiba aja samperin Abel buat minta nomor telpon dan ngajak temanan.”

“Lo mau?”

“Apa?”

“Kasih nomor telpon.”

Abel menggeleng. “Abel kasih nomor Bang Banu aja. Abel merasa aneh sama Bumi. Jadi, nggak Abel asih deh. Tapi, Abel juga nggak enak nolaknya.”

“Hm.”

“Jadi kangen sama Bang banu.”

“Dia ada di depan gerbang.”

“Maksudnya?”

Atlantas menghentikan langkahnya. “Banu ada di depan gerbang.”

Kedua mata Abel seketika berbinar-binar. “Yang benar?”

Atlantas berdecak. “Cerewet lo! Buruan sana!”

Abel tertawa pelan. “Oke, makasih ya Kak Atlas. Abel samperin Bang Banu dulu.”

Atlantas menatap punggung kecil itu yang berlari menuju gerbang. Seulas senyuman tercipta di wajahnya, namun hanya sedetik.

Ia merenggang otot. “Mau sampai kapan lo sembunyi di sana?”

Bumi tersentak, lalu berdecak. Ia keluar dari salah satu pilar sekolah—tempat dia bersembunyi barusan.

“Wah-wah, ternyata kemampuan insting lo nggak memudar, ya. Malah kayaknya tambah terasah aja.”

“Jangan sentuh dia.”

“Apa? Gue nggak denger.” Bumi tampak ingin mengolok-olok Atlantas.

Atlantas mengeraskan rahangnya. “Gue nggak tau rencana lo apa Bumi, tapi gue pastiin lo nggak bakalan bisa sentuh dia.”

Cih, pacar possesive.” Bumi mengacak-acak rambutnya. “Eh, tapi lo emang pacaranya?” lanjut Bumi tertawa mengejek.

“Itu bukan urusan lo. Sentuh dia, lo mati.”

Bumi mengepalkan kedua tangannya. “Kita lihat saja nanti, Atlantas.”

“Persetan!”

🏍️🏍️🏍️

Abel memasukkan bajunya ke dalam koper. Hari ini juga ia akan pulang ke rumah lama. Ia benar-benar sudah tidak sabar menantikannya. Ditambah lagi kabar bahagia dari Banu yang berhasil memenangkan lomba tinju sebagai juara dua.

“Iya, Ma. Abel sama Bang Banu baik-baik aja, kok.”

Saat ini Abel tengah bertelepon dengan Ibunya di Kalimantan.

“Maaf ya, Sayang, gara-gara kesibukan Mama sama Ayah kamu jadi kami tinggalin.”

Abel tersenyum lebar. Menutup koper dengan telpon yang terapit diantara bahu dan telinganya.

“Iya, Mama tersayang.” Abel tertawa renyah. “Abel paham, kok. Mama tenang aja, ternyata di Jakarta nggak seburuk yang Abel pikirin selama ini.”

“Mama senang dengernya, Sayang. Kami akan pulang dua atau tiga hari lagi. kamu mau oleh-oleh apa?

“Abel nggak mau apa-apa, Ma.”

Abel duduk di bibir kasur. “Abel cuman berdoa supaya Mama dan Ayah bisa selamat saat sampai di Jakarta nanti.”

“Jadi pengen cepat-cepat sampai ke Jakarta deh biar bisa peluk anak Mama yang cantik satu ini erat-erat.”

“Mamaaa,” rengek Abel jadi manja. “Kan, Abel jadi pengen peluk juga.”

“Tunggu aja ya nanti.”

“Iya, siap! Kabar yang lain di Kalimantan gimana, Ma?”

“Semunya baik-baik aja, sehat dan bahagia.”

“Syukurlah.”

“Iya. Yaudah ya Sayang, Mama matiin dulu tiba-tiba Ayah manggil, nih.”

“Oke, jaga kesehatan ya, Ma.”

“Iya. Kamu juga, Sayang.”

Telpon tersebut sudah mati. Abel merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini adalah hari terakhirnya di Apartemen Atlantas. Ia jadi merasa sedikit sedih. Bagaimana pun juga sudah hampir satu minggu ia menginap di sini. Menyiapkan makanan dan mengatur pola makan Atlantas bisa tidak berantakan. Tapi, apakah setelah ia pulang nanti Atlantas akan tetap mengikuti perintahnya.

“Abel buatin jadwal makan. Mulai sekarang Abel akan atur jam Kak Atlas makan. Pagi, siang dan malam.”

“Gue bukan anak kecil!”

“Terserah Abel. Pokoknya dari hari ini Abel bakal buarin makanan enak buat Kak Atlas mau makan.”

“Terserah.”

Abel memeluk gulingnya. Ia mengucapkan hal tersebut sejak tiga hari yang lalu. Entah kenapa melihat menu dan jadwal makanan Atlantas yang berantakan membuat Abel ingin menatanya agar lebih manusiawi.

“Nanti yang siapin Kak Atlas sarapan dan makan malam siapa, ya?”

“Kalau beli di luar terus itu namanya pemborosan dan makanannya juga pasti kurang sehat.”

“Abel jadi bingung.”

“Apa Abel masakin aja kali, ya? Terus Abel kasih bekal.”

“Nggak terlalu buruk. Tapi, Kak Atlas mau emangnya?”

“Aarrggghh, capek mikir!”

“Tidur ajalah.”

Abel menyalakan musik melalui ponsel untuk menemaninya tidur siang. Anggap saja ini sebagai tanda perpisahan dengan kasur sebelum ia pergi nanti.

🏍️🏍️🏍️

Di ruang tengah, Atlantas duduk berhadapan dengan Banu.

“Jeffry memang lari ke Bandung. Gue lihat dia tinggal di rumah Pamannya. Ada cewe di sana, sakit-sakitan. Dua kali gue ikutin mereka ke rumah sakit, gue mau susulin tapi susah.”

“Segini udah cukup sekarang,” ucap Atlantas. “Yang penting kita nggak kehilangan jejak dia.”

“Dia kan udah kalah waktu itu. Kenapa lo kejar?”

“Dia ngusik punya gue, gue kejar sampai gue puas.”

“Gila lo!”

Atlantas mengambil ponsel. Mengirimkan pesan ke Sean untuk segera berkumpul ke Markas Bandidos secepatnya.

“Ke Markas sekarang! Kita susun rencana buat hancurin Vagos sampai ke akar-akarnya setelah Jeffry pulang ke Jakarta.”

“Hm, terserah lo dah. Gue mau lihat Abel bentar.”

Atlantas mengangguk. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera memasang jaket dan sarung tangan.

“Kenapa cecunguk seperti Bumi muncul di saat seperti ini?” gumam Atlantas. “Gue harus basmi dia terlebih dahulu. Baru ke Jeffry.”

Sialan! Mereka tidak jauh berbeda!

🏍️🏍️🏍️





















Continue Reading

You'll Also Like

8.6M 547K 67
Aksa Baskara, seorang cowo yang bersekolah di Sma Kartika sekaligus ketua geng motor bernama Harlex. Cowo yang tak pernah mengenal ampun, sekali menc...
617K 17.1K 49
Cerita sudh end ya guys, buru baca sebelum BEBERAPA PART DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT. Kata orang jadi anak bungsu itu enak, jadi anak bungsu...
1M 68.8K 73
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Aksara Gunadhya, manusia berparas malaikat. Rupa wajahnya tak seindah perjalanan hidup cowok tersebut. Terlahir untuk...
656K 14.1K 56
Allea kembali ke Indonesia setelah 8 tahun untuk menemui calon tunangannya, Leonando. Namun Allea tidak tahu telah banyak hal yang berubah, termasuk...