Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 164K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Palar

19.6K 2.5K 98
By khanifahda

Sepuluh bulan kemudian

"Umi... Gandhi bukannya sudah bilang kalau jangan banyak memforsir tenaganya. Umi punya darah tinggi 'kan?"

Umi yang terbaring di brankar rumah sakit hanya bisa terdiam ketika sang putra sulung memberikan pengertian kepadanya. Sekarang Gandhi berada di Surakarta setelah mendengar kabar jika umi masuk rumah sakit. Segera Laki-laki itu mengambil cuti dadakan untuk pulang.

"Toko rame, Ndi. Karyawan umi ada yang cuti melahirkan. Jadinya umi yang harus turun tangan," bela umi. Sedangkan abah yang berada di belakang Gandhi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Istrinya itu memang ada aja alasannya.

"Abah nggak ngontrol pola makan umi?"

Kini gantian Gandhi bertanya pada abah yang berdiri dengan sarung kebesarannya. Maklum, beliau habis shalat ashar di masjid rumah sakit. Gandhi baru datang sekitaran 30 menit yang lalu.

"Abah udah ngontrol, Ndi. Kamu kayak nggak tahu uminya kayak gimana," ujar laki-laki itu dengan tenang.

Sementara itu, umi langsung cemberut. Ternyata suaminya juga tak mau membela dirinya di hadapan putra sulungnya.

"Abah juga yang nggak mau nyariin karyawan sementara di toko. Jadinya umi yang capek."

Kini alasan lain dikeluarkan oleh umi. Sedangkan Asma yang sedang bermain gawai itu menahan tawanya. Batinnya berkata bahwa Perang Bubat babak 2 akan terjadi antara abah dengan uminya.

"Loh abah udah nyariin. Tapi nggak ketemu sesuai dengan kriteria umi. Umi selalu bilang, 'jangan itu abah, umi takut nggak amanah. Jangan itu abah, kasihan masih ada anak kecil. Jangan itu abah, dia janda kembang.' Gimana abah bisa nyariin kalau semua ditolak sama umi?"

Abah berkata dengan menirukan gaya sang istri ketika berbicara. Umi tambah cemberut. Suaminya itu memang tak bisa diajak kompromi sama sekali.

"Abah yang nggak bisa nyari karyawan tho? Bilang aja abah lebih milih tenis sama pak RT ketimbang bantu umi."

"Ya sallam umi... Kenapa tenis sama pak RT dibawa-bawa? Abah juga masih bantu umi. Umi aja yang disuruh makan susahnya minta ampun kayak bocah cilik. Abah kudu piye?"

"Jadi umi bocah cilik?!"

Gandhi memejamkan matanya. Kini justru orang tuanya beradu mulut layaknya bocah. Kepalanya tambah pening rasanya. Lalu tatapannya jatuh pada Asma yang masih menahan tawanya. Langsung saja lelaki itu melotot. Seketika Asma langsung membekap mulutnya.

"Astaghfirullah umi, abah. Kenapa kalian malah berantem? Umi katanya sakit. Kenapa malah marah-marah? Nggak sayang sama kesehatannya?"

"Abah yang mulai loh Le! Umi rasane anyel dipojokin abah," tutur perempuan itu dengan nada kesal.

Gandhi berusaha kalem. "Sudah ya? Kalian jangan berantem lagi. Umi jangan menyalahkan abah juga. Ingat kata dokter, pola makan umi harus dijaga. Nggak boleh capek atau mengabaikan kesehatan."

"Tuh dengerin," sahut abah yang mendapat pelototan sang istri.

Sedangkan abah yang bawaannya santai memilih tertawa kecil dan menggeleng. Lalu ia memilih keluar ruangan. Beliau memilih mencari udara lepas di luar.

"Umi istirahat dulu ya? Kesehatan umi jauh berharga," ucapnya lembut pada perempuan yang telah melahirkannya itu.

Umi mengangguk dan merilekskan tubuhnya. Setelah itu, Gandhi memilih duduk di samping Asma yang tampak sibuk dengan sosial medianya.

"Setiap hari gitu?"

"Apanya?" sahut Asma tanpa menoleh.

Gandhi berdecak. "Ditanya masnya malah sibuk sama gawainya. Lagi ngapain sih?"

"Lagi cari info volunteer, Mas," sahut Asma.

"Kalau di rumah umi emang susah dikasih tahu?" Gandhi bertanya dengan pelan. Lalu gadis yang mengenakan pashmina hitam itu mendongak. Matanya menatap umi yang juga menatap mereka.

"Kayaknya enak ngomong di luar deh, Mas. Biar umi nggak nguping," bisik Asma kembali.

Gandhi lalu mengangguk. Ia juga membiarkan sang umi untuk beristirahat terlebih dahulu.

"Kalian mau kemana?" tanya umi ketika melihat kedua anaknya itu bangkit dari duduknya.

"Mau ke depan, Umi. Cari angin," jawab Asma.

Umi tak menjawab. Lalu mereka berdua keluar dan berpapasan dengan abah yang tampaknya hendak masuk.

"Umi jaga ya, Bah," ucap Asma.

"Mau kemana?"

"Keluar angin bareng Mas Gandhi," jawab gadis itu.

"Jangan lama-lama," peringat abah dan mereka berdua mengangguk.

"Iya Abah. Lagian kita cuma duduk di depan sini aja."

Abah langsung masuk dan mereka duduk di depan kamar inap umi. Mereka berdua duduk bersebelahan.

"Beneran umi sakitnya gara-gara telat makan sama kecapekan?"

Asma mengangguk. "Iya, Mas. Kayak nggak tahu umi itu gimana. Abah aja nyerah kalau umi udah keras kepala."

"Di rumah sering ribut juga?" Asma mengangguk.

"Kemarin ributin kucing tetangga. Kadang ngomel kalau abah pergi tenis lapangan bareng bapak-bapak RT. Nggak tahu lagi deh. Umi makin tua, makin menjadi."

"Sttt, kamu nggak boleh begitu," sela Gandhi. Sedangkan Asma langsung tersenyum konyol.

"Umi suruh di rumah aja. Jangan ke pasar kalau nggak sehat bener. Cari karyawan baru biar umi nggak turun langsung."

"Mas, harusnya Mas tahu. Umi bukan tipe emak yang mau diam di rumah. Kalau di rumah pun pasti ribut sendiri. Kalau nggak bersih-bersih rumah ya pergi ke selepan gabah. Mana mau diam di rumah. Makanya abah biarin di pasar. Di pasar pun banyak temen-temen umi yang jadi teman ngobrolnya. Di rumah? Cuma ada abah doang yang lebih milih ke rumah jagal. Asma kuliah, mbak Ghania di rumah suaminya. Otomatis umi nggak ada temannya."

Ghandi terdiam. Memang kedua orang tuanya bukan dari kalangan pegawai negeri. Namun mereka masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Umi yang punya usaha toko kain di Klewer dan abah yang punya usaha rumah potong masih sering memantau sendiri usahanya. Jadinya rumah sering kosong. Umi pun disuruh berhenti juga tidak mau karena rumah sepi dan tak ada temannya. Inilah dilema orang tua ketika anak sudah dewasa dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Walaupun punya anak banyak, tetapi rumah sepi.

"Asma kadang kasihan. Mereka harusnya di rumah. Tapi karena sepi akhirnya milih kerja. Makanya Mas cepet nikah punya istri punya anak biar umi ada temennya."

"Mas nikah pun pasti ikut mas, Ma. Yang bisa buat mereka di rumah ya harus ada yang jadi kesibukan mereka di rumah. Kenapa Ghania nggak suruh di rumah umi aja?"

"Kayaknya nanti mbak Ghania kalau udah ngelahirin bakal di rumah, Mas. Tapi nggak tahu. Asma juga bingung."

Gandhi terkekeh pelan. Lalu ia mengusap kepala sang bungsu.

"Maaf ya kalau mas jarang pulang," ucap Gandhi kemudian.

Asma tersenyum. "Iya, Mas. Udah jadi konsekuensi juga, kan? Umi juga seneng Mas sampai dititik ini. Cuma kurang mbak ipar aja," ujar Asma dengan nada menyindir dikalimat terakhirnya.

Gandhi berdecak. "Nggak takut kalau mas nikah, kamu nggak dapat kompensasi dari mas?" Gandhi mengangkat sebelah alisnya.

Asma menggeleng dengan yakin. "Nggak dong. Asma pastikan mbak iparnya nggak pelit dan pengertian. Walaupun mas udah nikah, uang jajan Asma tetep jalan dong," ujar gadis itu.

Gandhi menggelengkan kepalanya pelan. "Dasar bocah! Nggak sadar kamu mau lulus S1? Nggak malu masih lendotan sama mas? Masih ndusel-ndusel mas?"

Asma tetap menggeleng. "Malu ngapain? Mas kan, masnya Asma."

"Ya wis lah, Nduk. Sekarepmu! Mas cuma heran, kenapa kamu manjane pol ke mas? Kamu juga kayak bocah gini."

Asma mendengus. "Aku nggak manja, cuma memanfaatkan peluang jadi anak bungsu, hehe." Asma memberikan cengiran yang menyebalkan pada Gandhi. Laki-laki itu langsung saja menjepit hidung sang bungsu.

"Mas, Mas, ampun! Asma janji manut sama Mas. Tapi lepas ini tangannya. Tangan Mas itu keras kayak baja, astagfirullah." Asma berusaha mengelak ketika tangan Gandhi sudah bertengger manis di hidung mediumnya. Asma paling tak suka bisa Gandhi menarik hidungnya. Hal ini karena tangan Gandhi itu keras dan nggak mempan semisal Asma memukulnya.

Gandhi terkekeh puas. Lalu ia melepaskan tangannya itu dan memilih masuk ke dalam ruang inap sang umi. Sementara Asma sudah cemberut karena masnya itu.

Gandhi tampak meletakkan gawainya di atas nakas. Laki-laki itu langsung pamit untuk shalat ashar.

"Nggak dibawa aja Mas?"

"Nggak Mi, di situ aja. Mas nggak mampir kok." Setelah itu, Gandhi langsung keluar dan menuju masjid.

Sedangkan Asma tampak gabut dengan duduk tak nyaman. Namun tak lama kemudian, gawai Gandhi berbunyi. Pertama kali, Asma mengabaikan karena mungkin saja itu urusan masnya. Namun gawainya berbunyi berkali-kali hingga umi terusik.

"Itu hapenya masmu tha?" Asma mengangguk. "Coba lihat siapa yang nelpon, Nduk," perintah umi.

Asma menggeleng. "Nggak mau Umi. Asma takut kalau itu berhubungan dengan pekerjaan mas Gandhi."

"Lihat aja namanya dulu tho. Kayaknya penting."

Mau tak mau Asma bangkit dan melihat siapa yang menghubungi masnya itu berkali-kali. Layar gawai berkedip berkali-kali dan Asma melihat nama di sana.

"My future wife?" ucap gadis itu.

"Umi, mas Gandhi punya pacar ya?"

"Hah? Pacar?"

Asma langsung mengambil gawai tersebut dan memperlihatkan nama yang tertera di layar. Umi yang masih berbaring pun membaca id penelepon yang kini sudah tidak menghubungi lagi.

Umi terdiam. Ia paham nama itu bermakna apa.

*****

"Mas nggak mau jelasin ke umi?"

Setelah Gandhi kembali, umi menatap putranya itu tanpa mau mengalihkan pandangannya ke lain. Tatapan wanita itu seperti menuntut kejelasan.

Gandhi menatap umi yang masih terbaring di brankar. Walaupun umi sakit, tetapi perempuan itu masih terlihat begitu tangguh.

"Maksud Umi?" tanya Gandhi tak mengerti. Ia baru sampai dan kini mendapatkan tatapan penuh tuntutan dari sang umi.

"My future wife." Bukan umi, tetapi Asma yang menatap geli Gandhi.

Gandhi langsung melebarkan matanya menatap sang adik. "Kamu buka gawai mas ya?!" ucap Gandhi reflek dengan nada ngegas.

Asma hanya memberikan cengirannya. "Boten, Mas. Tapi gawai Mas tadi bunyi terus dan Asma lihat ada 'my future wife'. Nggak salah 'kan Asma?"

Gandhi menggeram. Dibalik sifat sok polos dan manja Asma, adiknya itu juga kategori menyebalkan. Asma berulang kali bisa mengelabuhi dirinya dan seolah-olah gadis itu tak bersalah.

Kini gantian Gandhi menatap umi yang masih menatap dirinya. Laki-laki itu menunjukkan cengirannya. Ah bagaimana ini? Ia belum siap sepenuhnya menceritakan Grahita. Bukan maksud tak siap menikahi, namun laki-laki itu takut tiba-tiba umi meminta mempercepat pernikahan ketika dirinya mengenalkan Grahita di awal-awal. Alhasil Gandhi menunggu Grahita pulang ke Indonesia. Sekarang? Terlanjur tahu dan dirinya harus memberitahunya.

Gandhi lalu bangkit dari duduknya di sofa. Laki-laki itu berjalan dan mengambil kursi. Lalu ia duduk di samping sang umi yang kini dibantu untuk duduk setengah berbaring.

"Maaf kalau Gandhi menyembunyikan dari umi," ucap Gandhi. Laki-laki itu kemudian meraih tangan umi yang tidak diinfus.

"Gandhi ada alasannya mengapa memilih tidak bercerita kepada umi terlebih dahulu."

"Siapa gadis itu?" tanya umi kemudian.

"Namanya Grahita. Asal Jakarta, Gandhi kenal karena insiden yang tidak sengaja. Gandhi pernah tidak sengaja menabrak dia. Dari situ kita kenal dan akhirnya dekat, begitu singkatnya, Umi."

"Kenapa kamu nggak ngomong dulu ke umi?" tanya perempuan itu seakan tak puas dengan jawaban Gandhi.

Gandhi terlihat menghembuskan napasnya panjang. "Ceritanya panjang, Umi. Gandhi butuh waktu dan strategi buat menyakinkan dia. Gandhi mohon doa restu, Umi."

Umi menghela napasnya dalam. Beliau paham apa yang dipikirkan putranya itu. "Apapun itu, umi hanya ingin kamu mengambil langkah yang tepat, Le. Maaf jika selama ini umi menekan kamu untuk segera menikah. Umi bahkan menuduh kamu nggak mau mencari pendamping istri karena kamu nggak pernah cerita masalah wanita ke umi,"

"Tetapi sekarang umi sadar bahwa kamu memang butuh waktu dan kesempatan untuk menemukan siapa yang terbaik buat kamu."

Umi lalu tersenyum. "Sopo gadis kuwi Le? Kamu nggak mau ngenalin ke umi?"

Gandhi ikut tersenyum. "Dia seorang chef, Umi. Sekarang lagi di Belanda."

Asma yang diam-diam menguping langsung menatap masnya itu. "Ngapain ke Belanda, Mas?"

Gandhi langsung menatap adiknya itu dengan menaikkan sebelah alisnya. Namun kemudian kembali lagi berbicara dengan umi.

"Dia sedang menjadi pengajar sementara di sana. Mungkin tahun depan dia sudah kembali ke Indonesia."

Selanjutnya umi tampak terlihat berseri-seri dibalik wajah pucatnya. "Umi nggak sabar, Le. Kamu ada fotonya nggak? Umi pengen lihat calon mantu umi."

Gandhi menggaruk pelan belakang kepalanya. Kalau begini ia tak bisa menolak. Padahal rencananya ia ingin umi melihat Grahita langsung, tanpa perantara foto. Tetapi keadaan yang akhirnya mengubah rencana tersebut.

Kemudian Gandhi membuka gawai dan melihat panggilan Grahita yang lumayan banyak. Ia melihat pesan terlebih dahulu dan mengiriminya pesan singkat. Setelah itu, Gandhi mencari foto Grahita yang ia dapat dari foto ketika menghadiri pesta temannya dulu.

Umi terlihat antusias. Lalu Gandhi langsung menunjukkan foto itu pada umi. Tak disangka Asma datang nimbrung.

Umi menatap foto Grahita dengan seksama. "Beneran ini calonmu?"

"Wahhh, cantik bener Mas," ucap Asma yang ikut melihat foto Grahita.

"Mas nggak maksa dia nikah sama Mas, kan? Nggak bikin kontrak nikah yang aneh-aneh macam novel biar mau nikah sama Mas, kan?" Kini Asma nyerocos tak percaya pada Gandhi. Sedangkan laki-laki itu mendengus kesal.

"Boleh umi video call sama--"

"Namanya Grahita, Umi."

"Iya, Grahita. Umi mau ngomong sama dia."

Gandhi agak kaget dengan permintaan umi. Namun tak ayal laki-laki itu mengangguk. Ia tak tega untuk menolak permintaan umi.

Gandhi kemudian meminta kembali gawainya. Ia memilih bangkit untuk menghubungi Grahita perihal ini di luar ruangan. Gandhi langsung menelpon Grahita dan tak lama kemudian gadis itu mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, Ta."

"Wa'alaikumussalam, Ndi. Eh kenapa nggak diangkat? Masih belum sampai di Surakarta? Umi gimana keadannya?" tanya Grahita beruntun. Hal itu membuat Gandhi menyunggingkan senyumannya. Semakin ke sini, sisi manis Grahita semakin terlihat.

Walaupun mereka LDRan, namun mereka tetap lancar berkomunikasi. Memang tak setiap saat, namun mereka saling memberi kabar. Jika Grahita sangat sibuk, pasti gadis itu menghubungi Gandhi dan mengatakan jika ia mungkin tak membalas pesan Gandhi, begitupun sebaliknya. Memang dibutuhkan pengertian ekstra agar salah paham ataupun sebagainya bisa dihindari.

Hubungan LDR juga tak mudah nyatanya. Mereka pernah cekcok perkara komunikasi dan salah paham. Namun kemudian mereka saling mengakui kesalahan dan mengintropeksi diri masing-masing. Untuk masalah setia, mereka saling percaya tentunya. Gandhi percaya Grahita tak akan berpaling darinya. Ia paham dengan gadis itu. Ia juga berjanji tak akan mengkhianati Grahita. Baginya Grahita sudah mengisi seluruh ruang hatinya.

"Alhamdulillah aku udah sampai tadi. Umi udah dapat penanganan. Maaf ya aku baru menghubungi kamu."

"Syukurlah. Iya nggak apa-apa, Ndi. Tadi aku menelpon kamu sebelum naik kereta biar nggak ribet."

"Kamu udah balik?"

"Sudah. Tiga hari lagi aku harus kembali ke institut."

"Gimana acaranya?" tanya Gandhi.

Dua hari lalu Grahita berkunjung ke bibinya yang berada di Groningen. Gadis itu mendapatkan libur satu minggu yang bertepatan dengan Christmas. Saudara Grahita rata-rata berkumpul di Groningen untuk merayakan Natal. Sebagian besar mereka beragama Kristen. Ada sebagian kecil yang Muslim. Sedangkan opanya sendiri masuk islam ketika menikahi omanya.

Selama di Groningen, gadis itu menghabiskan waktu dengan makan bersama, bercengkrama, dan membuat makanan bersama. Dua hari tak begitu berasa, Grahita harus kembali ke Utrecht untuk kembali ke aktivitasnya.

"Seru, Ndi. Aku ketemu sepupu yang belum pernah ketemu. Mereka juga sangat terbuka. Aku juga baru tahu ada saudara yang menikah dengan orang Indonesia."

Grahita tergelak di sana. Gandhi juga ikut senang dengan apa yang dirasakan oleh gadisnya itu.

"Syukurlah. Setelah ini kamu ngapain?"

"Nanti kalau udah sampai di Utrecht, paling aku bersihin teras belakang sama depan. Beberapa hari ini, Belanda dilanda hujan salju yang tebal. Semoga saja aku nggak kena flu. Benar-benar dingin banget di sini."

"Jaga kesehatan, Ta. Kalau dingin pake coat yang tebal trus minum jahe atau rempah yang menghangatkan."

Grahita tergelak pelan. "Duh perhatian banget sih Bapak Loreng ini."

"Oh iya, mama katanya mau kemari besok sore, Ndi. Aku harus gimana?"

Grahita memang sudah berbagi masalah hubungannya dengan sang mama dan Gandhi cukup memahami apa yang terjadi antara ibu dan anak tersebut.

"Kamu bagaimana? Masih marah sama mama? Bukannya kamu juga berbalas pesan dengan mama dan adikmu?"

Grahita di seberang sana tampak menghela napasnya panjang. Perjalanan Groningen ke Utrecht masih panjang. Walaupun masih suasana Natal dan liburan, namun penumpang dalam kereta itu tetap ramai. Memang rata-rata mereka seperti mudik ke tempat keluarga di kota lain.

"Kalau marah sih nggak. Agak awkward tepatnya."

"Lama-lama juga nggak canggung, Ta. Intinya komunikasi aja sama mamamu. Kata kamu mama masih berusaha mencuri hatimu, kan?"

"Iya, Ndi."

"Hmm, aku mau ngomong sesuatu."

"Apa?" tanya Grahita yang tiba-tiba penasaran. Jarang Gandhi berbicara seperti ini.

"Umi tahu jika aku sedang serius sama kamu. Akhirnya aku cerita dikit ke umi tadi. Terus umi juga meminta video call ke kamu, Ta. Bagaimana?"

Grahita tak langsung menyahut. Gadis itu terdiam sejenak.

"Terus maumu gimana?"

"Kok tanya aku sih?" sahut Gandhi dengan mengerutkan dahinya.

"Kamu minta aku video call sama umimu gitu? Ya sudah nggak apa-apa. Apa kamu yang nggak yakin buat ngenalin aku ke umi?"

Gandhi berdecak pelan. "Ngomong apa sih kamu, Ta? Aku pengen juga ngenalin kamu ke umi. Cuma timingnya aja yang kurang pas."

"Jadi kamu mau, kan?"

"Iya, mau. Tapi agak was-was rasanya. Takut aku nggak sesuai apa yang diharapkan sama umimu."

"InsyaAllah umi akan menyambut kamu dengan baik, Ta. Kalau gitu, besok habis ashar ya? Kamu masih kepagian gak?"

"Nggak kok. Di sini nanti jam setengah 9-an. Kalau boleh saran pakai video conference aja, Ndi, asal jangan pake video call biasanya. Biar kualitas videonya bagus."

"Iya nanti kamu enaknya apa, aku ngikutin."

"Tumben ngalah. Kadang nggak mau ngalah," ujar Grahita cepat.

Gandhi mendengus pelan. "Kapan aku nggak ngalah sama kamu?"

Grahita terkekeh pelan. "Peace ya, Pak. Kalau ngambek, nanti aku ikut ngambek."

"Dih anak kecil ngambekan," cibir Gandhi.

"Dih om-om kebelet nikah, ups."

Tak sadar Grahita tertawa dan langsung membekap mulutnya ketika ia sadar masih berada di dalam kereta. Ia menatap sekitarnya yang menatap dirinya aneh. Ia malu.

"Nah 'kan kualat dibayar langsung. Pasti mukamu malu dilihatin orang-orang gara-gara ngakak," sahut Gandhi yang sepenuhnya benar.

"Ndi aku malu," cicit Grahita.

Kini gantian Gandhi yang puas menertawakan Grahita. Rasanya ia penasaran dengan wajah malu Grahita saat ini.

.
.
.

Palar : Menjadi Harapan (bahasa Kawi)

Halo semuanya... Bagaimana kabarnya?
Mau promosi cerita nih. Mungkin saja masuk diselera bacaan kalian😁langsung saja cek di work saya, ya. Judulnya Catatan Amba. Terima kasih

Continue Reading

You'll Also Like

ARIEANNA By Cecans

Teen Fiction

2.8K 394 38
Takdir membuatnya gila. Namanya Arieanna Ananta Gabriela seorang gadis yang hidup layaknya di cerita dongeng. Memiliki paras yang rupawan, harta yang...
694K 59.7K 30
Epilog dihapus! "Kamu pikir melamar sambil menggendong bayi itu romantis?" tanya Ayyara yang menunjuk bayi di gendongan Rey. Cowok itu menundukkan ke...
1M 114K 90
Semua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghi...
29.2K 2.1K 42
"Sa," ucap Xabiru yang membuat gadis di hadapannya itu mendongakkan kepala dan menatapnya. "Kenapa?" "Kamu mau nggak, jadi anggota kartu keluargaku?"...