DELUSI

By northaonie

517K 66.1K 6.5K

SELESAI ✔️ Lusi menghapus air matanya segera dan menyesali keasyikannya yang larut dalam tangis, lupa dengan... More

BOOK
00 - prolog
01 - dewangga bayuzena
02 - lusiana elmira
03 - mainan baru
04 - pertengkaran kecil
05 - think
06 - perpustakaan
07 - terkurung berdua
08 - semalaman
09 - rencana berhasil
10 - rangrang pirang
11 - khawatir
12 - iblis pengganggu
13 - surat dari l
14 - sma phoenix
15 - penculikan
16 - mencoba bersikap biasa
17 - genggaman erat tangan
18 - mulai cemburu
19 - deketin boleh, ganggu jangan
20 - kangen
21 - kaku
22 - cinta lama
23 - pendekatan
24 - dewangga bayurama
25 - surat kontrak
26 - menjaga lusi
27 - kak zena
28 - mata-mata
29 - musuh baru
30 - liontin l
31 - perundungan
32 - pacar
33 - rencana kencan
34 - serena addison
35 - pengakuan
36 - cemburu buta
37 - mission complete
38 - di atas tempat yang tinggi
39 - apa yang menjadi rahasia
40 - waktu yang singkat
41 - aku yakin kamu ada
42 - flashback
43 - bayang-bayang lusiana
44 - anak baru
45 - menolak kenyataan
46 - luna almeera
47 - sengsara
48 - semua menjadi abu-abu
49 - surat rahasia
50 - perasaan kacau
51 - kemunculan seseorang
52 - yang tak mereka ketahui
53 - menarik perhatian
55 - dejavu
56 - belum menyerah
57 - pasti cemburu
58 - masih sama menyebalkannya
59 - 15 hari menjadi lusi zena
60 - pura-pura
61 - membocorkan rahasia
62 - perseteruan
63 - mulai terbiasa
64 - pengakuan diam-diam
65 - jadi luna-ku
66 - pembalasan dendam
67 - penyesalan
68 - sahabat
69 - plin plan
70 - fakta yang terungkap
71 - bermalam
72 - pembohong
73 - sakit hati
74 - terbongkar
75 - bukan akhir segalanya
76 - bukan yang terakhir
77 - masa lalu luna & rama
78 - pulang
79 - takut kehilangan
80 - jauh
81 - trauma
82 - saling jujur
83 - tanpa kata putus
84 - labrak
85 - dia muncul
86 - mawar merah
87 - beberapa tahun kemudian
88 - awal dari masa lalu yang terungkap
89 - Tobias
90 - teror
91 - perintah
92 - kebohongan bertahun-tahun
93 - siapa di balik semua ini
94 - dean caldwell daren
95 - cerita sebelum tidur
96 - rencana gila yang rahasia
97 - sama menyebalkannya
98 - catatan masa lalu
99 - cinta pertama
100 - papa
101 - alasan semua ini
102 - flashback "deal with a possessive boyfriend"
103 - cinta yang tak masuk di akal
104 - surat dari papa
~ - epilog

54 - shaquille cakrawangsa

3.1K 507 32
By northaonie

Setelah keluar dari toilet bersama Jihan, Luna memutuskan untuk ke ruangan lain selain kelas. Mereka berpisah saat Jihan naik ke lantai 2 sementara Luna berjalan menyusuri lorong. Hanya UKS satu-satunya tempat yang terpikirkan saat ini di benaknya. Di tengah perjalanan dia melihat Shaq.

Luna mempercepat langkah. Shaq berjalan pergi dari tengah koridor yang sepi. Sekarang masih proses belajar mengajar dan semua pintu kelas tertutup. Luna melihat Shaq memasuki sebuah ruangan yang tertulis Ruang Musik.

Niat Luna yang tadinya ingin segera mengucap terima kasih menjadi urung karena menganggap saat ini bukanlah waktu yang tepat. Pintu ruangan itu segera tertutup saat Shaq menutupnya dari dalam. Luna berbalik dan kembali menuju ke tujuan awalnya yaitu ruang UKS. Namun, saat mendengar suara pintu terbuka, Luna langsung menatap ke belakangnya dan melihat Shaq berdiri di depan pintu ruang musik sambil memegang sebuah gitar.

Shaq memandangnya dari sana dalam diam. Cowok itu entah kenapa tak juga melangkah dan hanya menatap Luna dengan bingung. Luna memainkan jemarinya sembari melangkah ke hadapan Shaq yang masih tak berpindah tempat.

Saat Luna berhenti tepat di hadapan Shaq, Luna memberikan seulas senyum tipis. "Terima kasih, Kak."

"Terima kasih buat?"

Luna sama sekali tidak menatap Shaq. "Seragam yang aku pakai sekarang."

Tak ada suara. Luna mendongak dan melihat Shaq yang mengangguk. "Sama-sama. Gue duluan."

Luna mengangguk ketika Shaq melewatinya. Dia berbalik menatap punggung cowok itu. Sebelum Shaq menjauh, Luna segera berteriak. "Kak!"

Shaq menghentikan langkah dan berbalik. "Ya?"

"Kakak tahu nggak apa ruang musik ini bakalan digunain murid lain nanti?" tanya Luna, harap-harap cemas.

"Gue nggak tahu, sih. Memangnya kenapa?"

"Enggak, kok." Luna menggeleng. "Permisi, Kak." Luna berbalik, memilih jalan yang berlawanan arah dengan Shaq.

"Mau nebeng di dalam? Ke sana aja. Palingan ruang musik dipakai kalau nggak jam belajar."

Ucapan Shaq membuat Luna berhenti melangkah. Dia tersenyum senang. Ada harapan untuk menghindar dari Zena. Dia sudah meminta Jihan untuk menyimpan tasnya di loker miliknya ketika pulang.

"Nggak dikunci, kan?" tanya Luna sembari melangkah ke arah Shaq. Yang ditanya langsung menggeleng.

"Enggak."

"Terima kasih sekali lagi, Kak." Luna menunduk dan segera membuka pintu ruang musik. Pemandangan menakjubkan ruang musik membuatnya merasa senang. Ada beberapa alat musik di dalam sana yang membuatnya sangat ingin menyentuhnya satu per satu. Terutama piano yang ada di sudut ruangan. Mengingatkannya dengan pioano di apartemennya yang sudah satu bulan ini tidak dia sentuh.

Luna mendengar suara di belakangnya. Dia pun menoleh dan melihat Shaq berdiri di ambang pintu.

"Lo ... keberatan nggak kalau gue gabung?" tanya Shaq.

"Gabung?"

Shaq mengangguk. "Bareng lo. Gue sebenarnya males ke kelas."

Luna menggaruk tengkuknya. Dia akhirnya mengangguk dan Shaq langsung menutup pintu setelah masuk ke ruangan itu.

Awalnya, mereka sama-sama diam. Luna berjalan menuju piano, lalu duduk di kursi dan jemarinya langsung bermain di atas tuts piano. Shaq yang tadi mulai memetik gitar dengan asal karena bosan, akhirnya berhenti. Luna juga langsung berhenti karena mendengar suara gitar yang sudah pasti dimainkan oleh Shaq.

Shaq mendengkus. "Lanjutin aja. Lo bisa main piono? Bisa sambil nyanyiin lagu?"

"Ah, aku nggak terlalu bisa, sih." Luna tertawa kikuk. "Aku paling cuma tahu chord dari lagu Twinkle Twinkle Little Star."

Bahu Shaq naik turun. Luna tak melihat pasti bagaimana raut wajah Shaq sekarang, tetapi dia yakin Shaq sedang menertawainya tanpa suara.

Kembali hening di antara mereka. Luna mengisi keheningan itu dengan menekan tuts piano dengan asal. Beberapa lama kemudian, Shaq bicara lagi.

"Lo baik-baik aja, kan?"

Luna sontak menatap Shaq. "Aku ... baik-baik aja." Luna bingung dengan pertanyaan itu. Dia kembali menekan tuts piano dengan asal.

"Soal kejadian tadi di kantin. Beneran lo baik-baik aja?"

Luna menatap Shaq sekali lagi, kemudian dia mengangguk. "Memangnya kenapa, Kak?"

"Semua yang lihat kejadian itu pasti mikir gimans perasaan lo digituin di depan umum." Shaq berdiri. Dia bersandar di dinding dan menatap Luna lurus-lurus. "Gue nggak tahu kenapa lo nerima Zena sebagai pacarnya, tapi dia sedang mempermainkan lo."

Luna menunduk. "Aku tahu."

"Lo tahu dan lo menerima perlakuan nggak menyenangkan itu dari dia? Pacar mana yang senang mempermalukan pacarnya sendiri di depan umum?" Shaq mendengkus. "Dan satu lagi, gue nggak tahu pasti tentang lo. Tapi, lo tahu kan kalau Zena pernah pacaran dengan Lusi? Gue pernah ketemu Lusi sekali dan lo berdua mirip. Bukan kah Lusi itu sadara kembar lo sendiri?"

Luna mengepalkan tangannya tanpa sadar. "Semua itu bukan urusan kamu."

"Sori." Shaq memalingkan wajahnya ke samping. Tak lagi memandang Luna. "Gue cuma kecewa dengan sikap Zena yang semakin hari semakin gila. Gue nggak percaya dia bisa melakukan hal gila ini ke elo."

Luna menjauhkan tangannya dari tuts piano. Dia tidak menyangka Shaq tahu apa yang terjadi. "Memangnya kenapa kalau Zena pernah pacaran dengan Lusi?" tanya Luna pelan.

Shaq menaikkan alisnya. "Apa perasaan semudah itu direlakan demi saudara sekalipun?" tanya Shaq balik.

Luna diam. Dia memutar duduknya agar bisa menghadap ke Shaq dengan leluasa. "Maksud Kak Shaq?"

Shaq mendekatinya. Cowok itu mengambil sebuah kursi dan duduk di hadapan Luna. "Lo, Lusi, Zena. Apa lo pernah mikir, bagaimana perasaan Lusi tahu kenyataan bahwa saudara kembarnya sendiri pacaran dengan mantannya?"

Luna diam.

"Lo mikir nggak, sih?" tanya Shaq lagi.

"Aku juga udah nolak berkali-kali, tapi dia tetap maksa kalau aku pacarnya." Luna menunduk. "Apa pun yang terjadi, aku yakin Lusi nggak akan marah."

"Kenapa lo seyakin itu?"

"Daripada aku harus jawab pertanyaan Kak Shaq, bagaimana kalau aku yang nanya? Kenapa Kak Shaq terlalu mengurusi urusanku dan Lusi?"

"Lo mau tahu?" tanya Shaq. Luna mengangguk. "Ya, gue memang menyayangkan lo nggak bisa tegas soal Zena yang maksa jadi pacar lo. Tapi alasan yang paling utama, karena Zena sahabat gue dari kecil. Semakin dia besar, semakin sikapnya keterlaluan. Gue selalu melihatnya menindas orang lain atas dasar kesenangan pribadi."

Luna tak menyangka bahwa Zena dan cowok di hadapannya ini adalah sahabat sejak kecil. Shaquille pasti tahu banyak hal tentang Zena. Akan tetapi, kenapa mereka justru jarang terlihat akrab di sekolah?

"Satu tahun yang lalu, untuk yang pertama kalinya gue melihat Zena memperkenalkan pacarnya dengan bangga. Namanya Lusiana. Dari SMA Adi Bakti. Zena nggak pernah sebahagia itu sebelumnya. Dia pun nggak pernah memperlakukan pacarnya dengan baik selain Lusi."

"...."

"Setelah kehadiran lo di sekolah ini, gue jadi bertanya-tanya, Lusi di mana sekarang?"

Pertanyaan Shaq membuat Luna terguncang. Hening di ruangan itu seolah membuatnya terpojok dan semakin membuatnya tak bisa berkata-kata. Kesedihan datang menyelimutinya dalam sekejab mata. Luna memang baru akrab dengan Shaq hari ini dan Luna berpikir tak ada salahnya untuk terbuka kepada Shaquille.

"Dia...." Ada gumpalan air mata yang dia tahan. "Nggak pernah muncul lagi."

"Kenapa?" Satu pertanyaan terlontar dari mulut Shaq, membuat Luna mempersiapkan diri untuk memberikan satu jawaban yang mampu membuat luka di hatinya terbuka lagi.

"Meninggal."

Ada keheningan yang lumayan lama. Shaq memalingkan wajah dan mengusap wajahnya.

"Sori." Ada jeda sesaat. "Gue jadi tahu alasan kenapa beberapa bulan ini Zena nggak kayak biasanya."

Pandangan Luna kosong. Bibirnya terbuka, ingin mengucap sesuatu. "Mayatnya nggak ditemukan karena tenggelam di tengah lautan."

Shaq segera menatap Luna lagi.

"Aku nyesel. Harusnya aku yang ada di sana. Harusnya aku yang ada di kapal itu." Luna berkata dengan tatapan kosong. Shaq terlihat kebingungan karena tak tahu banyak hal dan berakhir dengan menepuk pelan pundak Luna, berupaya menenangkan.

"Gue turut berduka cita."

Luna mengangguk. "Jangan bilang ke siapa-siapa, Kak."

"Soal?"

"Lusi yang udah nggak ada. Karena cuma orang-orang terdekat yang tahu." Luna menatap Shaq lurus-lurus. Dia mengangkat jari kelingkingnya dengan tatapan sendu. "Janji, Kak?"

Shaq melirik jari itu. Dia mengangkat jari kelingkingnya, menautkannya di jari Luna yang menunggu persetujuan.

"Janji."

***


thanks for reading!

love,

northaonie

Continue Reading

You'll Also Like

2.9K 411 27
Kisah lika-liku keluarga Park yang kaya raya dengan Park Jungkook (Si bungsu) sebagai tokoh utama. Keluarga Sempurna "Perfect Family"? "MUNGKIN" JU...
4.5K 832 42
Awalnya semua baik-baik saja. Sebelum Naja mulai menaruh rasa pada Setya, pacar sahabatnya. Berulang kali berusaha melupa, tapi semesta selalu saja m...
1.8M 102K 61
⚠️ PUBLIKASI ULANG SECARA BERKALA Apa yang akan kalian lakukan ketika kekasih kalian memberikan sebuah pengakuan jika dirinya sudah memiliki hubungan...
2.4M 267K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...