Zena tak bisa diam saat di rumah Gayatri. Dia terus memikirkan kata-kata Luna yang ingin ke rumah nenek. Dia menyerah untuk tetap diam. Pada akhirnya, dia mengendarai motornya dan memarkirkan motornya di tempat yang sepi tak jauh dari rumah nenek. Dia menunggu di balik pohon. Zena menghela napas panjang dan mengarahkan kepalanya ke atas dengan mata tertutup. Decakannya keras saat membayangkan Lusi yang ada di dalam. Dia tak bergerak ketika mendengar suara Luna dan Kirana.
"Aku pulang dulu," kata Luna. Zena menatap Luna dari tempat persembunyiannya. Cewek itu kemudian pergi. Zena tak kunjung beranjak. Dia masih menimbang-nimbang untuk mengantar Luna pulang.
Bagaimana pun, dia khawatir.
Setelah Luna lumayan jauh melangkah, Zena baru mengikuti dari belakang. Namun, langkahnya langsung berhenti dan dia mencari persembunyian saat Luna menghampiri sebuah mobil di pinggir jalan.
Zena tak sempat melihat. Dia hanya diam di tempat tanpa mau melirik ke sana.
Yang Zena pikirkan hanya satu; pacar Luna.
***
Zena kesal. Rencananya selalu saja gagal. Semalam dia menunggu di luar rumah nenek, bersembunyi agar Luna tidak melihatnya. Ternyata Luna tidak bohong. Ke rumah nenek bukan hanya sekadar alasan bagi Luna agar Zena tak memaksa Luna pulang bersama. Luna benar-benar ke rumah nenek dan setelah Luna pulang dijemput oleh seseorang. Zena langsung bertemu dengan nenek dan menanyakan apa saja yang Luna lakukan di sana.
Nenek menceritakan kembali apa yang Luna katakan. Saat mendengar apa yang Luna bahas, Zena marah. Dia benar-benar marah karena apa yang dikatakan cewek itu kepada nenek.
"Lo mau ngelakuin apa lagi?" tanya Valdo. Dia menggeleng heran ketika melihat seorang siswi membawa ember berisi bekas pencucian piring kafetaria.
Valdo, Zena, dan Farzan tetap duduk di tempat. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Shaq terlihat enggan berada di sana. Shaq langsung pergi meninggalkan kantin yang langsung dilirik oleh Zena.
Zena menatap Shaq bingung. Dia kemudian mendengkus dan mengambil ponselnya untuk mengirimkan Luna pesan.
Lo di mana? Gue udah nunggu lo dari tadi.
***
Pertemuannya dengan nenek semalam membuatnya sedikit lega. Perasaan yang selama ini dia pendam setidaknya terobati walau tak seberapa. Luna berjalan di koridor, tersenyum.
Dia dan Jihan tiba di depan kantin, lalu seorang siswi yang memegang ember tiba-tiba membuang air kotor di dalamnya tepat pada Luna. Jihan berteriak dan refleks menyingkir saat cipratan air kotor itu lengan dan seragamnya. Sementara Luna tak bisa bergerak di tempat. Terlalu terkejut. Air kotor itu sudah memandikannya.
"Ma—maaf." Siswi yang sedang memegang ember menangis terisak. Tangannya gemetar dan dia menjatuhkan ember itu ke tanah. "Ak—aku minta maaf."
Luna menggeleng pelan. "Kamu dipaksa Zena, ya?" tanyanya serak. "Kamu boleh pergi."
"Kita harus ke toilet, Lun." Jihan berusaha menarik Luna pergi, tetapi Luna tidak pergi sebelum menatap Zena dan ketiga temannya yang sedang menonton di pintu kantin. Zena menatap Luna sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Mau gue bantu mandiin nggak, nih?" teriak Zena di tengah siswa-siswi lain yang penasaran.
"Ayo, Lun." Jihan segera menarik Luna pergi. Luna hanya menatap Zena tanpa ekspresi. Dia terus menatap cowok itu hingga saat jaraknya dengan Zena sudah sangat jauh, Luna baru menatap ke depannya.
***
"Gue minta maaf banget nggak bisa nyelamatin lo...."
Sejak tadi Jihan terus meminta maaf dan benar-benar menyesal karena hanya diam melihat apa yang terjadi. Sepanjang perjalanan menuju toilet yang dia lakukan hanya bergumam penuh penyesalan.
"Nggak apa-apa. Kamu nggak salah apa-apa, kok. Nggak perlu minta maaf." Luna tersenyum tulus. Lama dia diam, sampai kemudian dia berbicara lagi. "Dia aneh...."
Jihan menoleh. "Siapa?"
"Zena," balas Lusi dengan suara pelan.
"Aneh. Mengerikan. Kejam. Keras." Jihan menambahkan. "Iblis. Gue nggak habis pikir dengan orang itu. Terbuat dari apa, sih, hatinya? Ini, dia berhadapan dengan cewek, lho. Kan banci."
Luna hanya bisa menahan senyum mendengar Jihan mengomel. Tatapannya beralih pada seseorang yang berjalan dari arah yang berlawanan. Shaq muncul membawa sebuah tas kartun bertuliskan SMA Phoenix. Cowok itu berhenti tepat di depannya, membuat Luna dan Jihan ikut berhenti.
Shaq lalu mengulurkan tas itu. "Gue udah tahu apa yang bakal Zena lakuin. Jadi, ini buat lo."
"Apa?"
"Seragam."
Luna menerima tas itu sedikit ragu. "Kamu ... maksudku ini beneran, Kak?" Dia mendongak.
Shaq mengangguk. "Buat lo." Dia melangkah lagi dan menepuk kepala Luna satu kali. "Lain kali hati-hati."
Luna menoleh ke belakangnya dan melihat kepergian Shaq.
"Kalau gue lihat-lihat, dia kayaknya merhatiin lo banget," kata Jihan.
Luna terdiam sesaat. Kemudian senyumnya terbit tanpa dia sadari. "Yuk?" Dia menarik Jihan pergi dari sana.
***
"Kamu lagi. Kamu lagi." Bu Clarissa menggelengkan kepala saat melihat Zena muncul di balik pintu.
Kejadian di kantin sudah tersebar dengan cepat. Tak heran, Zena bisa sampai ke ruangan yang sudah lama tidak dia kunjungi.
"Saya lagi gimana? Bukannya saya udah lama nggak masuk sini?" Zena duduk di kursi yang berhadapan dengan Bu Clarissa.
"Terdengar seperti sebuah prestasi, ya, bagi kamu?" Bu Clarissa menyindir halus. Dia mengambil sebuah buku dan membukanya, lalu menatap Zena lagi.
"Kamu bikin anak orang terhina lagi? Dan ... perempuan? Saya nggak tahu apa yang ada di pikiran kamu sampai berbuat seperti itu." Bu Clarissa memijat pelipisnya melihat Zena bersedekap tanpa melihat ke arahnya. "Zena! Dengerin Ibu!"
"Saya denger, Bu." Zena membalas malas-malasan.
"Apa yang kamu pikirin sampai kamu berbuat seperti itu ke Luna?"
"Karena saya pengin aja."
"Zena." Bu Clarissa menutup bukunya. "Mari kita bicara bukan antar siswa dan guru, tapi sebagai dua orang yang sudah saling kenal lama. Kamu tahu kan kalau saya dan Bunda kamu bersahabat banget?"
Zena menghela napas. "Kenapa Bu Cla bawa-bawa nama Bunda? Tumben Ibu bahas ini. Katanya profesional."
"Karena yang kamu hadapi itu Luna, Zena."
Zena memicing. "Terus, kenapa kalau Luna? Apa hubungannya dengan Bu Cla?"
Bu Clarissa menghela napas panjang. "Saya cuma mau minta kamu berhenti berbuat aneh-aneh, apalagi ke Luna. Dia itu yatim piatu. Selama belasan tahun dia belajar di rumah, nggak tahu banyak tentang dunia luar. Saat sekolah di sini untuk menemukan kebebasan, dunia baru, suasana baru, kamu justru membuatnya seperti itu? Kamu pikir apa yang kamu lakukan ke Luna itu nggak meninggalkan efek buruk ke dia?"
"Saya nggak peduli mau itu Luna, atau siapa. Saya nggak peduli dengan dia yang kurang pergaulan dan nggak bisa bersosialisasi."
"Kamu buat Luna menangis, Zena!" bentak Bu Clarissa.
Zena diam sesaat. "Ya terus kenapa? Tapi, perasaan tadi dia nggak nangis, tuh."
"Saya heran kenapa kamu besarnya jadi keras kepala dan berontak seperti ini."
"Intinya apa, sih, Bu?" Zena menghela napas kasar. "Mau manggil ayah atau bunda ke sekolah? Ya udah. Saya dapat hukuman skors? Ya udah. Kasih tahu saya sekarang, Bu. Saya mau keluar dari ruangan ini."
Bu Clarissa menunduk dan menghela napas berat. Saat menatap Zena dengan wajah putus asa, dia kembali berucap. "Saya akan menghubungi bunda kamu setelah ini."
"Ya udah. Ada lagi?" tanya Zena.
"Nggak ada."
Zena melangkah ke pintu. Belum sempat dia memegang gagang, langkahnya berhenti ketika Bu Clarissa mengatakan sesuatu.
"Walaupun kamu sekarang menganggap Luna sebagai orang asing dan berbuat seenaknya ke dia, saya yakin suatu saat kamu menyesal."
Zena menoleh kepada Bu Clarissa. "Saya nggak tahu apa hubungan antara Bu Cla dan Luna, tapi asal Bu Cla tahu, saya nggak akan pernah nyesel atas apa yang selalu saya lakukan."
"Termasuk membuat anak perempuan seperti itu? Kamu tahu kan kamu itu laki-laki?" Bu Clarissa menghela napas, lelah.
Zena mendengkus. Dia menarik pintu. Sebelum dia menutup pintu itu, dia menatap ke dalam mata Bu Clarissa. "Saya yang lebih tahu apa yang saya lakukan, Bu."
***
thanks for reading!
love,