High By The Beach ● HenXiao ●

By jeffrose_

31.2K 5.4K 4.3K

[Completed] Lights, camera, acción Xiao Dejun bingung. Ia selama ini yakin telah menikah dengan wanita baik-b... More

un comienzo
un destino
420
Maria Russel
en alta mar
Oedipus Complex
en el cine
champán
llavero
traición
mahjong
escarlata
ola de mar
posición
acción
bajo el cielo
sepia (un final)
el perro (prima)

pistola

1.3K 243 295
By jeffrose_

●●●

jeffrose_'s present

●●●

JOY membungkukkan tubuhnya sembari mendekatkan wajahnya ke layar komputer. Sore menjelang malam dan petir menggelegar di luar kapal. Gadis itu cepat-cepat membuka ponselnya dan menghubungi seseorang.

"419. Seribut apapun angin tak dapat mengalahkan birunya lautan. Ada yang dapat kami bantu?"

Joy terdiam selama beberapa saat. Matanya masih memicing, menatap penuh selidik foto yang tertera di layar komputernya. Ia lalu menarik nafas dan melantunkan kalimat seperti menarik kokang.

"Apa dia benar-benar ahli mereka?"

●●●

"Pemandangan yang cantik, bukan?" Jeno membenamkan tangan kirinya di saku celana sambil terseok-seok menghampiri Dejun.

Dejun berjengit ketika mendengar suara Jeno. Ia lalu menoleh tak acuh pada lelaki pincang itu. "Aku sedang ingin sendiri."

Jeno menyandarkan tubuhnya ke pagar kaca jembatan itu; membelakangi lautan. "Anggap saja aku tidak ada."

"Tidak bisa. Bunyi nafasmu mengganggu."

Jeno tertawa. "Kau tidak mengharapkan aku berhenti bernafas, 'kan?"

"Memang tidak." Dejun memejamkan matanya. Meskipun berkali-kali dihantam ombak, jembatan kaca itu sama sekali tidak licin. Air asin yang menggenang di sekitar menguarkan bau alami yang menyenangkan. "Tapi aku sangat menghargai apabila kau mau pergi, Tuan Lee."

Kaki Jeno memain-mainkan air di salah satu genangan terdekat. "Apapun yang sedang kau pikirkan, kau tidak boleh mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaanmu, Tuan Xiao. Kau dikirim ke sini untuk bertugas."

"Tidak," Dejun menyanggah. "Aku dikirim ke sini oleh orang paling pribadi yang pernah kumiliki, istriku."

Ekor ombak menghempas dan pecah hanya beberapa senti dari tempat mereka berdiri. Cipratan buihnya membasahi jas Jeno dan merembes ke punggungnya.

"Baiklah," ujarnya mengalah.

Dejun berdecih melihat kepergian Jeno.

●●●

Keremangan lorong semakin tak wajar di sore hari. Seolah sesosok monster sedang bersembunyi di ujung dan menantikan siapapun untuk dimakan. Lampu-lampu mewah yang berjejer bagai kerucut di lapangan sepak bola sama sekali tak membantu. Mereka yang menggemakan derap kaki pasti terburu-buru mencapai tempat yang lebih terang.

Sisi imajiner Hendery membuat keremangan itu tampak berkabut, dan kabut itu adalah arwah penasaran yang siap menyedot nafas mereka yang lewat. Dengan meyakinkan diri bahwa ia adalah seorang lelaki dewasa yang pemberani, Hendery mempercepat langkahnya hingga tampak seperti berlari. Sesampainya di depan ruangan Park Chanyeol, ia langsung membuka pintu tanpa permisi dan menutupnya dengan bantingan.

"Hey, hey. Ada apa ini, anakku?" Park Chanyeol yang sedang membaca koran elektronik di ponselnya langsung bangkit dari ranjangnya.

Hendery menelan ludah dan menyeringai masam. "Tidak apa-apa."

Park Chanyeol mendengus, memaklumi tingkah laku bawahannya yang terkadang luar biasa itu. "Aku ingin kau berjaga malam ini."

Hendery terlihat keberatan. "Malam ini, Tuan?"

"Iya, malam ini. Jangan membantah apapun."

Hendery menelan ludah untuk kedua kalinya. "Apa yang harus saya lakukan?"

"Mengintai kabin khusus awak kapal. Jangan tidur!" Bentakan Chanyeol membuat mata Hendery sontak melebar. "Aku ingin kau mencari tahu dimana senjata itu berada."

"Maaf, Tuan, tapi senjata apa?"

"Star Firestar M43, 9×19 milimeter Parabellum." Chanyeol mengatakan nama senjata selancar menjawab pertanyaan tentang cuaca.

Hendery memiringkan kepalanya. "Tapi saya kiraㅡ"

"Ya, nak," potong Chanyeol. "Lee Jeno memang ditembak oleh pistol peluru 29,69 milimeter. Tapi senjata yang ada di sampingnya malam itu adalah revolver kaliber 50."

Ia lalu memandang datar Hendery yang sedang tersentak. "Betul, nak. Itu berarti masih ada satu pistol lagi di kapal ini."

●●●

Beberapa jam sebelumnya.

Dejun menjunjung plastik yang membungkus sarung pistol itu tinggi-tinggi. Setelah meminta sepasang sarung tangan plastik dari restoran, ia buru-buru pergi ke kamar untuk melakukan pemeriksaan.

Dengan hati-hati, dirobeknya plastik koyak yang membungkus sarung pistol itu dan digeserkannya ke samping meja. Dengan lebih hati-hati, dibolak-baliknya sarung pistol yang terbuat dari kulit sintetis itu. Ia lalu terkekeh.

"Revolver kaliber 50 apanya," ujarnya. "Ini, sih, sarung pistol semi otomatis."

●●●

Atlantik sudah ditenangkan oleh gelapnya malam. Meskipun petir masih banyak bergemuruh, tapi tak ada yang menggelegar. Maria Russel yang telah seharian mati, kini lebih mati. Para awak kapal yang sudah puas bekerja sambil terbanting-banting arus memilih untuk beristirahat sebentar sebelum mengurusi makan malam.

Jeno menggerakkan kruknya dengan pelan-pelan. Di lambung kapal, pramugari banyak berkumpul, menanti posnya digilir oleh pramugara. Seragam-seragam mereka yang berwarna biru cerah beriak seperti kunang-kunang, dan perbincangan mereka terdengar seperti suara gerombolan bebek yang tengah digiring.

Dengan mengandalkan matanya yang baru dioperasi lasik, Jeno mengawasi dari atas, di geladak dua. Dari banyaknya pramugari dan pramugara yang berkumpul di sana, Jeno menangkap tangan yang membentuk sebuah tanda dengan teliti. Pemuda itu bergegas turun melalui tangga.

Di persimpangan tangga gelap tersebut, Jeno mendapati sebuah pintu. Kenopnya ia tekan menggunakan siku tangan kirinya dan pintu pun dengan mudah terbuka.

Ruang penyimpanan Maria Russel amat tidak serasi dengan kemewahan kapal itu. Tak ada akses cahaya matahari dan tak ada pula lampu yang memadai sehingga dindingnya terasa lembap dan berbau apek. Satu-satunya penerangan yang dapat diandalkan adalah bohlam 1 watt yang kadang mati apabila gerak kapal melonggarkannya.

Salah satu dinding ditutupi oleh loker kayu berbentuk kubik. Setiap loker ditutupi seadanya oleh kertas mika berwarna hitam. Mata Jeno meraba setiap sudut loker itu dan berusaha menebak apa kira-kira yang disembunyikan di balik tiap-tiap kertas mika itu.

Dalam keheningan yang hampir absolut, Jeno dapat mendengar derap langkah seseorang menuruni tangga. Pikirannya berputar dengan cepat. Dengan sedikit sekali kemungkinan untuk melarikan diri, Jeno cepat-cepat berjongkok di sebelah jajaran loker.

Pintu dibuka dengan pelan.

"Tuan Lee?" Terdengar suara Dejun memanggil dari ambang pintu.

Jeno mengangkat kepalanya dengan heran. Ia lalu berbisik. "Tuan Xiao!"

Dejun mengarahkan cahaya senter tepat ke mata Jeno sehingga membuat pemuda itu pusing setengah mati. "Sedang apa kau seperti tikus di sudut?"

Jeno bangkit dan mendorong Dejun ke luar dengan susah payah. "Kau yang sedang melakukan apa?!"

"Kukira aku ikut dalam ekspedisimu," jawab Dejun dengan menyesal. "Tapi sepertinya aku malah mengganggu, ya?"

Jeno mengusap wajahnya kasar. "Belum cukup mengganggu." Ia lalu mendorong Dejun ke arah tangga lagi. "Sekarang kau diamlah di kamar. Akan kuberi tahu selanjutnya."

Dejun menggigit bibirnya sebentar. "Baiklah," ujarnya. "Hati-hati."

Jeno mengangguk. Ketika punggung Dejun sudah tak terlihat lagi di atas, ia baru bisa menghembuskan nafas.

"Apa-apaan itu tadi?"

●●●

Dejun menepuk saku di dada jasnya yang sedikit menggelembung dan berlari ke sudut geladak dua. Para awak kapal masih berkerumun seperti bebek ternak di lambung kapal. Meskipun geladak dua begitu sepi, tapi bunyi kaki Dejun teredam oleh kebisingan lantai bawah.

Apabila menengadah dari sudut geladak dua, Dejun dapat melihat balkon kamarnya sendiri yang ia tandai dengan seuntai kain kecokelatan. Digenggamnya kain itu sambil melompat. Dejun hampir berteriak kegirangan karena dapat meraih pagar balkonnya sendiri. Perjuangannya antara hidup dan mati. Kapal bisa saja limbung dan melemparkan Dejun ke lautan lepas.

Tapi keberuntungan ada di pihaknya saat itu. Dengan posisi muka mencium lantai, Dejun berhasil naik dan terjerembap di balkonnya. Tak menghiraukan gigi depannya yang berdenyut, ia buru-buru membuka pintu balkon, masuk, dan menutupnya kembali.

●●●

Hendery terbelalak menyaksikan pertunjukan itu. Ia hanya melihat kaki-kaki Dejun yang menggantung dan lama kelamaan menghilang. Dengan takjub, ia mendongak; mengamati pagar balkon Dejun dari posisi persis lelaki itu melompat.

Hendery lalu berlari ke sudut yang berseberangan. Diamatinya posisi tangga dan sudut geladak dua yang berdampingan. Tangga tersebut memang menukik curam, susah mencari tahu apa yang ada di bawah dari dekat. Tapi dari kejauhan, Hendery dapat dengan jelas melihat sebuah pintu di bawah.

Kualitas langkah kakinya kemudian diturunkan. Ia berjalan menghampiri tangga, kemudian bersembunyi di balik dinding yang menengahi tangga dan sudut geladak dua.

Sambil menahan nafas, Hendery menunggu selama beberapa menit.

Kemudian terdengarlah bunyi langkah terseok-seok dan karet tumpul yang berdecit. Lee Jeno muncul dari bawah dengan keheningan yang sama dengan keheningan Hendery. Di ujung tangga, lelaki pincang itu menatap ke sekitar terlebih dahulu sebelum meneruskan perjalanannya.

Hendery masih menunggu agak lama sebelum akhirnya menuruni tangga itu. Ditekannya kenop menggunakan sikunya dan masuk ke dalam ruang penyimpanan yang sempit itu.

Sambil menyipitkan mata dalam kegelapan, ia berusaha melihat menembus kertas mika hitam yang lumayan transparan di loker. Dijelajahinya satu persatu kubik loker itu dengan teliti, tapi ia tak dapat menemukan apa-apa.

Ia lalu keluar lagi dengan cara yang sama seperti ketika masuk kemudian berlari kembali ke sudut geladak dua.

Dengan mengikuti cara yang dilakukan Dejun tadi, Hendery berhasil naik dan mengetuk pintu balkon Dejun.

●●●

Bukan main terkejutnya Dejun ketika mendapati sosok Hendery berdiri di balkonnya. Dengan marah, ia lalu menggebrak pintu balkon itu.

"Apa-apaan ini?!"

Tanpa aba-aba, Hendery mencium bibir Dejun sekilas dan mencengkeram erat bahunya. "Dimana kau temukan senjata itu?"

Dejun seakan terenggut sebagian nyawanya karena ciuman itu. "Hah?"

"Aku berjanji tidak akan melakukan apa-apa, Dejun. Aku hanya butuh laporan agar Tuan Park tidak membunuhku," ujar Hendery bersungguh-sungguh.

"Apa maksudmu?"

Hendery mengerang dan menyeruduk masuk ke dalam kamar. Dikuncinya pintu balkon dan ditutupnya tirai-tirai itu. "Dengar, Dejun, aku tidak tahu kau ini orang jahat atau bukan. Yang jelas aku amat bersyukur karena kau yang berhasil mendapatkan pistol itu, dan bukannya Lee Jeno. Sekarang katakan padaku, dimana kau menemukannya?"

Dejun memandangnya curiga. "Kau yakin aku tidak akan membohongimu?"

"Persetan," kata Hendery. "Kebohongan berbicara sama banyaknya dengan kebenaran. Aku hanya butuh pernyataanmu sekarang ini."

"Baikㅡlah," ujar Dejun ragu. "Di sudut geladak dua, tergeletak begitu saja di lantai, ditutupi kertas mika hitam."

Mata Hendery melebar seolah tak percaya. Ia lalu jatuh di kursi dan menyeka keringatnya dengan punggung tangan. "Luar biasa!"

"Apanya?"

Hendery menyeringai pada Dejun. "Kau. Kau luar biasa, sayangku."

Dejun sebetulnya masih dikuasai oleh kemarahannya tadi pagi, tapi bagaimanapun wajahnya memerah juga. "Kenapa kau bisa berpikir kalau aku yang mendapatkan pistol itu dan bukan Lee Jeno?"

"Ada sebuah studi yang kupelajari sejak kecil," ujar Hendery. "Aku dapat menerka dengan jelas bahwa Jeno sedang kecewa ketika muncul dari bawah tangga itu. Apa yang dapat membuatnya kecewa? Ia tak dapat menangkap buruannya, yakni pistol itu!"

"Dan kenapa kau bisa yakin kalau aku tak bersekongkol dengannya? Aku bisa saja membohongimu selama ini."

"Tidak," Hendery menggeleng. "Aku percaya padamu seperti kau percaya pada dirimu sendiri. Pengaruhku padamu cukup besar. Kau masih tak percaya pada siapa-siapa sampai sekarang."

Dejun menutup mulutnya kaget. "Kau memanipulasiku?"

"Ini bukan manipulasi," sanggah Hendery. "Ini sebuah bentuk perlindungan psikologis yang kutanamkan padamu."

"Tapi kenapa kau melindungiku?"

Hendery bangun dari kursi dan menggenggam tangan Dejun. "Karena, Dejun." Ditatapnya sungguh-sungguh pemilik tangan itu. "Aku mencintaimu, aku mencintaimu."

●●●

Park Chanyeol menghirup wiskinya sembari mengintip dari lubang pintu. Sosok Lee Jeno muncul beberapa saat kemudian.

"Ini dia pahlawan kita," gumamnya.

Kakinya yang disangga kruk membuat langkah Jeno jadi cukup lamban dan kemunculannya cukup lama untuk diawasi Chanyeol. Setelah pemuda itu sepenuhnya menghilang, Chanyeol berpaling kepada Joy yang tengah mengetik sesuatu di meja.

"Anak itu tak membawa apa-apa," katanya sambil duduk di hadapan Joy. "Aku tidak tahu ini pertanda buruk atau bukan."

Jemari Joy berhenti mengetik. "Saya yakin anjing Anda satu lagi telah menemukan sesuatu."

"Dia cukup lamban ketimbang Lee Jeno," ujar Chanyeol. "Dan juga terlalu berhati-hati."

"Dia berubah nekat akhir-akhir ini."

Chanyeol tertawa. "Rencanaku berantakan."

Joy menatap takut-takut pada atasannya itu. "Tuan Parkㅡapabila saya tidak lancang, saya ingin tahu, apa sebetulnya yang Anda rencanakan selama ini?"

"Sooyoung-ie." Chanyeol meraih tembakaunya di pinggir meja. "Kenapa kau baru menanyakannya sekarang?"

Joy berpikir sebentar ketika pria di hadapannya itu membakar tembakau dan menghirupnya dengan nikmat. "Saya yakin Hendery juga mencium adanya pengkhianatan di sini."

Chanyeol menghembuskan tembakaunya dari hidung. "Dia pasti menyadarinya jauh sebelum dirimu. Karena itulah Carlone memperkerjakannya."

"Kalau begitu kenapa Anda berani setertutup ini pada kami?" tanya Joy, menumpu sikunya di meja.

"Joy." Chanyeol memelintir tembakaunya sambil melamun. "Terkadang seseorang selalu merasa buta apabila diberi cahaya, mereka berjalan dan belajar lebih baik dalam kegelapan. Hendery adalah salah satu dari orang-orang itu..."

"Anda tahu saya tidak seperti Hendery," kata Joy. "Lantas kenapa Anda menyembunyikannya juga dari saya?"

Dengan dramatis, Chanyeol tersenyum miring dan menatap lurus bawahannya itu. "Karena itulah aku bertanya kenapa kau baru menanyakannya sekarang."

●●●

"Aku punya pistol sekarang."

"Lalu?"

"Kau mau kubunuh?"

Hendery melepaskan genggamannya dan merentangkan kedua tangannya. "Ya sudah, bunuh saja."

Dejun berusaha keras untuk tidak tersenyum, tapi gagal. Ia lalu membuat bentuk pistol dengan jari-jarinya dan berpura-pura menembak Hendery. "Dor."

Hendery mengaduh dan terjatuh di kursi. Lidahnya terkulai ke bawah dan matanya setengah menutup. "Aku mati."

Dejun lalu duduk di pangkuan orang mati itu dan mengecup jakunnya. "Lalu aku menjadi duda untuk kedua kalinya."

Hendery kembali hidup. Ia memeluk erat pinggang Dejun dan membenamkan wajahnya di leher lelaki itu. "Kau tak perlu repot-repot, Tuan Park mungkin akan membunuhku nanti jika tahu aku berada di sini."

"Kau sedang bertugas, ya?"

Hendery menjawab dengan gumaman. "Tapi aku sudah tahu dimana pistol itu berada."

Dejun lalu tersadar. "Apa kau akan memberi tahu Tuan Park kalau pistol itu sekarang ada padaku?"

"Itu tergantung," jawab Hendery. "Mungkin saja sebenarnya dia sudah tahu. Dia itu seperti cenayang."

Bagi Dejun, Hendery juga sama saja seperti cenayang. "Kenapa dia bisa tahu?"

"Lee Jeno pasti melewati kamarnya. Sepertiku tadi, dia pasti dapat menerka kalau Lee Jeno pulang tak membawa apa-apa."

"Kalian menyeramkan."

Kekehan Hendery terasa bergetar di dada Dejun. "Memang."

"Tapiㅡ" Dejun mendorong dirinya sedikit menjauh. "Bagaimana jika kita ini berada di kubu yang berbeda? Bagaimana jika sebetulnya aku ini berkhianat pada Lee Jeno?"

"Aku tidak mau memikirkannya." Hendery menarik tubuh Dejun kembali. "Aku takut. Aku tidak mau memikirkannya."

Dejun tersenyum lembut dan membelai rambut Hendery sayang. "Baiklah, kita tidak perlu memikirkannya."

●●●

to be continued.

●●●

cuma mau bilang kalo cerita ini tinggal sekitar 3 chapter lagi.

Continue Reading

You'll Also Like

7.6K 1.9K 10
mata indah itu, hanya mampu melihat dunia dengan satu warna.
81.2K 9.6K 30
《complete!》 sedikit kisah manis antara Hyunjin dan Jaemin. ⚠️warn; crackpair, boyxboy, harshword, and official cheezy
6.7K 417 15
aku bukan siapa siapa tapi sekarang banyak orang mengenaliku setelah aku jadi selingkuhanmu
7.8K 826 11
Kang Daniel Park Woojin BxB