Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 166K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Jantaka

20.4K 2.5K 73
By khanifahda

Untuk Grahita Sembrani Pramonoadmodjo

Maaf jika surat ini terkesan lebay dan aneh. Jujur aku nggak pandai menulis surat. Semoga suratnya bisa dibaca ya. Aku sadar tulisan tanganku memang jelek.

Grahita tersenyum melihat pembuka dari surat Gandhi. Tulisan tangan laki-laki itu tidak terlalu bagus, lebih cenderung acak-acakan namun masih bisa dibaca.

Sebelumnya terima kasih sudah menerima bungkusannya. Semoga suka, ya. Aku nggak bermaksud apa-apa dengan memberikan kamu mukena. Sedikit cerita, aku tiba-tiba tertarik dengan mukena ini ketika mengantar adik bungsuku jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Nggak tahu kenapa tiba-tiba ingin membelikan mukena yang menurutku cantik seperti yang menerima. Aku harap kamu memakainya. Nggak apa-apa ya aku sedikit menggombali kamu.

Grahita tergelak pelan dengan kalimat terakhir yang ditulis oleh Gandhi.

Aku sengaja memberi kamu surat biar ada kenangan bahwa gadis yang aku cintai membaca surat yang aku tulis sendiri. Mungkin jarang sekali laki-laki yang memberikan surat. Aku tak takut dianggap aneh, justru aku bangga dengan hal ini.
Lewat surat ini aku ingin mengatakan bahwa aku benar-benar yakin dengan kamu, Grahita. Walaupun kamu sempat ragu, aku pun tak masalah. Aku tertarik dengan kamu sejak pertama kali kita bertemu. Mungkin bukan pandangan pertama karena pertemuan kita yang kurang mengenakkan. Tetapi entah mengapa seiring kita bertemu, aku langsung tertarik padamu. Walaupun harus ku akui kamu berbeda, maksudnya, kadar cuek, judes, bahkan sinismu termasuk tinggi. Aku yang dulunya suka gadis kalem nan anggun, kini berubah haluan dan justru menaruh hati padamu. Aku bahkan sudah terbiasa dan merasa nyaman denganmu.

Grahita tersenyum haru. Banyak orang yang mengatakan jika ia orang yang menyebalkan, namun Gandhi justru tertarik. Sempat mengira tak ada laki-laki yang tertarik dengannya, tetapi Gandhi malah jatuh cinta padanya. Sungguh tak dinyana olehnya.

Pada saat itulah aku sangat ingin mengenalmu lebih. Pertama kali kamu memang begitu cuek dan cenderung sinis kepadaku. Wajah yang dingin itu ternyata menyimpan luka yang mendalam dan aku perlahan paham. Awalnya sempat ragu untuk memperjuangkan kamu, Ta. Namun ternyata rasa penasaranku berubah menjadi cinta dan rasa ingin melindungi kamu secara penuh. Aku bahkan tak peduli bagaimana kamu dulu. Aku hanya ingin merajut kasih di masa depan dengan kehidupan yang lebih baik. Aku ingin menjadi orang yang membersamai kamu dalam menyembuhkan luka. Aku nggak masalah menunggu kamu hingga sepenuhnya menerima rasa sakit yang ada pada dirimu.

Aku belum pernah seperti ini dalam memperjuangkan cinta. Aku bukannya membandingkan, tetapi ada rasa bangga ketika aku bisa sampai dititik ini. Bisa membantumu untuk yakin akan perasaan dan memaafkan. Aku tahu bagimu ini sulit, tetapi kamu ternyata mampu melewatinya. Kamu ternyata gadis yang kuat. Aku bangga.

Tetaplah tersenyum dan bahagia, Ta. Jaga diri dan aku di sini menunggu dirimu.

Mungkin itu dulu yang bisa aku tulis. Jujur, aku menulis surat ini membutuhkan waktu 2 hari agar yakin dengan apa yang aku tulis. Maaf jika kata-katanya berantakan.

Gandhi

Grahita tergelak pelan dengan kalimat terakhirnya. Padahal paragraf sebelumnya ia terbuai oleh pengakuan Gandhi yang begitu menyakinkan dirinya. Ah sudahlah tidak apa-apa. Ia bersyukur Gandhi berani mengungkapkan sesuatu yang bagi laki-laki kebanyakan itu membuat gengsi.

Grahita lalu tersenyum lega. Ada rasa yang begitu membuncah. Baginya, surat dari Gandhi kelewat manis hingga menggetarkan hatinya.

Grahita lalu menyimpan surat tersebut dengan baik dan duduk dengan nyaman. Perjalanan menuju Amsterdam kurang dua jam lagi. Baginya cukup melelahkan sebab sudah lama ia tak bepergian menggunakan pesawat terbang.
Ia teringat tiga hari yang lalu. Ia sempat curhat pada Lili perihal Gandhi sebelum berangkat ke Belanda.

*****

Lili menatap Grahita aneh karena gadis itu sedari gelisah. Apalagi Grahita tampak sedang menahan sesuatu.

Tadi pagi Grahita ingin bertemu Lili. Alhasil Grahita menghampiri gadis itu di rumah. Kebetulan juga Lili tak sedang ada project keluar kota atau keluar negeri.

"Gue diajak nikah sama Gandhi," ucap Grahita setelah menimang maksud yang hendak ia sampaikan.

Lili yang sedang nyemil kue kering hampir tersedak. Gadis itu menatap Grahita dengan penuh rasa kaget.

"Serius lo??" Lili sampai melotot saking kagetnya.

Grahita mengangguk pelan. Sedangkan Lili langsung bersorak senang. Ah ternyata ucapannya tempo lalu langsung ditindaklanjuti oleh Gandhi. Ia lega karena Gandhi memang pantas untuk Grahita. Laki-laki itu bukan sekedar dewasa, tetapi juga berani mengambil langkah yang tepat. Ia pernah berikrar, jika Gandhi tak kunjung membuat kepastian dalam tempo 2 bulan, Lili tak segan membuat perhitungan dengan Gandhi. Namun di luar dugaannya, Gandhi lebih dulu mengungkapnya. Malahan Grahita langsung diajak menikah. Sungguh luar biasa memang.

"Bukannya lo mau ke Belanda?" tanya Lili kemudian. Ia teringat jika Grahita sebentar lagi akan meninggalkan bumi pertiwi.

"Terus lo menerimanya?"

Grahita terdiam. Ia sedari kemarin menyakinkan dirinya untuk ini.

Lili yang paham dengan suasana hati Grahita lalu menyentuh pundak gadis itu. "Tanya hati lo, apakah lo ada rasa ke dia atau nggak? Apakah lo juga tertarik dengan dia apa nggak. Jangan melibatkan ego terlebih dahulu, Ta. Tanya perasaan lo sejujur-jujurnya."

"Gue masih bingung, Li. Gue juga nggak menolak dia. Gue cuma takut dengan apa yang gue bayangkan selama ini. Hubungan pernikahan itu menyeramkan bagi gue. Gue masih trauma rasanya. Lihat nyokap bokap yang nggak utuh, lihat hubungan asmara gue yang rasanya anji** banget, buat gue mikir ribuan kali. Tetapi gue nyaman ketika bersama dengan Gandhi. Gue merasa terlindungi. Laki-laki itu juga sudah menemani dititik terendah gue. Gue nggak mau perasaan nyaman ini akibat dia yang selalu ada, bukan karena perasaan sayang atau cinta. Gue takut gue egois dengan menerimanya karena kebaikannya. Dia terlalu baik buat gue yang nggak utuh. Gue anak broken home, sedangkan dia dari keluarga utuh yang penuh kasih di dalamnya. Gue takut, Li."

Lili paham dengan apa yang dirasakan Grahita. Tak mudah untuk melewati semuanya. Apalagi Grahita perlu perjuangan yang berat dan panjang untuk bisa dititik ini.

"Coba lo tanyakan ke diri lo. Apakah lo tertarik karena dia yang peduli atau murni karena lo ada rasa sayang? Jangan mencoba untuk melibatkan rasa munafik dalam perasaan yang menyangkut hati lo ini. Coba buang jauh-jauh stigma yang lo pikirkan selama ini. Lo harus bener-bener mikir yang murni, tanpa melibatkan hal-hal yang lo khawatirkan tadi. Dan semisal lo nggak menemukan arti cinta sesungguhnya setelah lo nyoba, lo boleh lepas dia. Sorry gue harus blak-blakan menyangkut hal ini,"

"Lagipula, gue lihat dia tulus banget ke lo, Ta. Dia orang yang nggak ribet, dewasa, dan pastinya ada saat lo jatuh. Jarang banget gue nemuin model laki-laki kayak Gandhi. Dia yang sering nyuri pandang ke lo dengan pandangan teduhnya, membuat gue yakin kalau dia laki-laki yang tulus buat lo."

Grahita menatap Lili dengan pandangan sayunya. Jujur, kali ini ia dalam fase dilema. Perkataan Lili membabat habis sanggahan yang hendak ia lontarkan. Benar, ia tampaknya harus berpikir jernih dan membuang egonya jauh-jauh.

"Ngomong-ngomong, dia pernah marah nggak ke kamu?" tanya Lili kemudian.

Grahita menggeleng. "Nggak pernah."

Lili lalu menatap jam dindingnya. Sekarang sudah pukul 12 malam. Grahita mengatakan jika hari ini ia ingin menginap di rumahnya.

Tiba-tiba Lili teringat sesuatu. "Coba lo telepon Gandhi pake nomor gue. Lo nggak perlu ngomong, lo diam aja. Gue mau nyoba ngetes kesabaran dia. Apa gue pura-pura jadi penipu yang bilang adiknya kena narkoba, ya?" usulnya yang mendapatkan pelototan Grahita.

"Lo gila ya Li?" Grahita mendelik mendengar ide Lili.

Lili terseyum konyol. "Ekstrem banget ya? Haduh gimana buat nguji dia ya? Gue malah ikut bingung."

Lili lalu berpikir sejenak. "Hmm, apa gue telpon tapi gue nggak ngomong ya? 'Kan biasanya orang bakal marah-marah kalau ditelepon malam-malam begini, apalagi kalau cuma diem aja, menjengkelkan pasti. Gimana Ta?"

Grahita menatap Lili dengan pandangan agak ragu. Namun kemudian ia mengangguk. "Terserah lo aja Li. Yang pasti gue nggak setuju kalau pakai ide yang pertama tadi."

Lili mengacungkan jempolnya. "Oke sip. Mana gue minta nomornya."

Selanjutnya, Grahita memberikan nomor telepon Gandhi pada Lili. Segera Lili menelpon Gandhi via telepon biasa.

Lama tak diangkat, membuat mereka penasaran. Tak berselang lama, Gandhi mengangkat teleponnya. Lalu Lili menyuruh Grahita untuk diam.

'Halo ini siapa?'

Lili memberikan kode diam untuk Grahita. Padahal gadis itu anteng di tempatnya.

'Halo? Apa salah nomor?' ucap Gandhi dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Grahita mengerutkan dahinya dan meminta Lili agar mematikan sambungan teleponnya. Namun Lili tak menggubrisnya.

Mereka lalu tetap diam sambil menunggu reaksi Gandhi selanjutnya. Grahita juga penasaran sebenarnya.

Beberapa detik kemudian, panggilan diputuskan Gandhi sepihak. Hal itu membuat Lili berdecak pelan.

"Kok dimatiin sih? Gue telepon lagi," ucap gadis itu seraya menelepon Gandhi kembali.

"Li jangan! Kasihan dia udah tidur, tapi kita gangguin," ujar Grahita dengan tangan yang sudah menahan tangan Lili untuk menghentikan aksi absurdnya itu.

Namun Lili memberi kode agar Grahita diam. Lalu ia langsung menelpon Gandhi kembali.

Panggilan langsung diterima oleh Gandhi. Laki-laki itu kembali berbicara.

'Halo? Kalau boleh tahu ini siapa ya?'

Lili dan Grahita tetap diam tak menjawab. Grahita menatap Lili dengan horor. Namun Lili masih fokus dengan aksinya ini.

Beberapa detik kemudian.

'Baik kalau tidak dijawab saya matikan saja. Semoga anda tidak berniat menipu saya.'

Setelah itu, Gandhi benar-benar mematikan sambungan teleponnya. Sedangkan Lili langsung terbahak. Ia berhasil mengerjai Gandhi.

"Gila! Gue kira marah loh. Padahal ini annoying banget. Udah yakin aja Ta! Jarang nemu kayak gini loh. Orang ditelepon malam-malam pasti marah karena mengganggu tidurnya. Lah ini dia masih sabar dan baik. Artinya memang dia sabar orangnya, Ta. Walaupun cara ini absurd banget. Tetapi udah bisa diambil kesimpulannya."

Grahita menatap Lili. Sedangkan gadis itu menganggukkan kepalanya menyakinkan.

"Gue yakin lo pasti tahu apa yang terbaik buat lo. Intinya ikuti kata hati terdalam lo. Jangan sampai membuat keputusan yang berlainan sama keyakinan lo itu."

Grahita menghela napasnya berat. Ia lalu mengangguk. "Gue bahkan belum pernah nemuin laki-laki yang nggak mandang gue dari apapun, Li. Baru kali ini gue nemuin laki-laki yang mau menerima diri dan masa lalu gue. Bahkan dia yang menyakinkan gue buat belajar dari hal terburuk gue," ujar Grahita pelan sembari menatap Lili yang tersenyum padanya.

*****

Aku sudah sampai di Amsterdam dan masih membutuhkan sekitar 45 menit untuk sampai Utrecht.

Satu pesan berhasil Grahita kirim kepada Gandhi. Gadis itu kini sedang perjalanan menuju rumah yang akan ia tempati selama di Utrecht. Selama di perjalanan, Grahita menikmati suasana Belanda yang lama ia tak rasa. Terakhir ke Belanda adalah 4 tahun yang lalu dimana ia mengunjungi salah satu saudaranya yang berada di Rotterdam.

Grahita menikmati pemandangan luar yang menampakkan salju tipis yang turun. Udara terasa dingin sepanjang perjalanan. Padahal Grahita sudah mengenakan coat yang cukup tebal.

Taksi yang ia tumpangi tak terasa sudah sampai di Utrecht. Sebuah rumah bergaya Eropa klasik akan menjadi tempat singgahnya selama di Belanda. Rumah itu berjejer dengan bangunan yang rata-rata masih bergaya klasik.

Grahita selanjutnya mengucapkan terima kasih kepada supir taksi setelah semua barang-barangnya diturunkan. Ketika hendak masuk ke dalam rumah, sebuah pesan masuk ke gawainya.

'Sudah sampai atau belum, Nak?'

Grahita tersenyum sangat tipis. Lalu ia membalas pesan dari sang mama. Memang akhir-akhir ini ia kerap berkomunikasi dengan sang mama. Walaupun hanya bertukar kabar dan Grahita lebih banyak berkomunikasi dengan Hazal dan Dimitri. Bahkan kedua remaja itu ingin menyusul sang kakak di Negeri Kincir Angin itu.

Marcella yang mengetahui jika sang putri di Belanda hanya bisa memberikan restu dan do'a yang isinya agar Grahita tetap selamat dan sehat. Lagipula banyak saudara di Belanda dan Grahita bukanlah gadis polos yang mudah panik ketika dilepas di negara lain.

Grahita memasukkan kembali gawainya dan kemudian berkacak pinggang melihat rumah yang ia sewa. Rumah berukuran kecil dengan dua kamar itu ia pilih. Alasannya simple, ia enggan capek ketika bersih-bersih sedangkan ia hanya seorang diri.

Tak lama kemudian, datang seorang perempuan berumur sekitar 60 tahun. Perempuan itu mengenakan mantel yang sangat tebal dengan topi rajut yang khas.

"Welcome. Is it true with Miss Grahita?"  tanya wanita itu dan Grahita mengangguk dengan sopan.

Perempuan itu tersenyum lebar. "I'm Emine, the person who owns this house. I hope you feel at home."

Wanita itu mengulurkan tangan kanannya dan disambut baik oleh Grahita dengan senyuman ramah. "Dank je Mevrouw Emine. Leuk je te ontmoeten." (Terima kasih nyonya Emine. Senang bertemu dengan anda).

Nyonya Emine terkejut. "Nona bisa berbahasa Belanda?" katanya dalam bahasa Belanda yang kental dengan aksennya.

Grahita tersenyum kembali. "Opa saya asli Belanda. Sedikit-sedikit saya bisa menguasai bahasa Belanda juga," balas Grahita dengan ramah.

Nyonya Emine tersenyum dan tampak senang. "Bahasa Belandamu sangat bagus. Kapan-kapan kita bisa berbincang lagi. Rumah saya ada di ujung jalan. Jika ada apa-apa bisa menghubungi saya. Oh iya, ada nomor telepon penting kantor di Utrecht yang saya tempel di dekat dapur."

Grahita mengangguk dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Ia beruntung mendapat pemilik rumah yang ramah. Tak salah ia meminta bantuan salah satu saudaranya untuk mencarikan rumah di sekitaran Universiteit Utrecht.

Lalu nyonya Emine menyerahkan kunci rumah pada Grahita. Perempuan itu pamit dan kembali berjalan di trotoar jalanan kota Utrecht yang lumayan ramai. Selanjutnya gadis itu masuk ke dalam rumah.

Grahita tersenyum melihat ruang tamu sekaligus ruang tengah dengan perapian yang cukup unik. Bayangan secangkir teh atau kopi panas yang asapnya mengepul tebal dengan roti jahe ia nikmati ketika badai salju sedang terjadi di luar. Rasanya seperti ia kembali 6 tahun silam dimana masih berada di Eropa.

Kemudian Grahita langsung menuju kamar yang berada dekat dengan dapur. Satu kamar lagi berada di atas dengan tangga kayu yang dekat dengan kamar bawah. Rumah itu cukup kecil namun tak terlihat sesak. Justru hal itulah yang Grahita cari.

Setelah membereskan semuanya. Grahita duduk di sofa ruang tamu. Besok ia harus ke Utrechtse Kookschool untuk menemui Tuan Hendrik.

Gadis itu lalu membalas pesan dari sang eyang, Yessy, Mila, dan sang papa. Walaupun hubungan mereka belum begitu baik, namun Sadewa sudah masif memperbaiki hubungan mereka. Bahkan tadi sebelum sampai, Sadewa sempat mengirimi beberapa pesan ke Grahita dan gadis itu membalas apa adanya.

'Syukurlah. Tidurlah jika lelah.'

Pesan dari Gandhi masuk dan segera ia membalasnya. Sekarang di Utrecht pukul 10 pagi  dan di Indonesia pukul 4 sore.

'Kayaknya nggak dulu, Ndi. Aku mau ke market sebentar buat belanja kebutuhan.'

Setelah itu, Grahita bangkit dan mengambil tas serta kantong belanja yang ia bawa dari Indonesia. Gadis itu mengenakan coat tambahan karena udara tambah dingin. Januari, musim dingin di Belanda dengan suhu rerataan 6 derajat celcius. Namun, bisa menyentuh angka minus jika sedang puncak musim dingin.

Ketika hendak mengunci rumah, gawainya kembali bergetar singkat. Segera ia mengambil gawai dari kantong coatnya.

'Hati-hati di sana. Jaga diri dan kesehatan.'

Pesan singkat itu mampu membuat Grahita tersenyum. Mungkin terlihat sepele, namun kadang berarti untuk beberapa orang, termasuk dirinya.

'Siap Capt! Semangat untuk hari ini.'

Di Indonesia, Gandhi yang hendak melangkah menuju lapangan langsung tersenyum lebar melihat balasan dari sang kekasih. Ah hari ini tampaknya stok senyum Gandhi akan melimpah ruah.

.
.
.

Jantaka : Menjelma

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 249K 31
Ayudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya...
1.1M 93.9K 61
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...
992K 59.4K 54
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
2.8K 216 50
Cinta, seperti apa rasanya dan seperti apa bentuknya, perempuan itu tak pernah mengerti tentang hal yang namanya cinta. Namun ada hal aneh yang muncu...