Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 164K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Gama

19.9K 2.5K 106
By khanifahda

Bukan ke Jerman, tetapi ke Belanda. Grahita memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi masak skala internasional itu. Ia sudah mengambil keputusan dengan mengiyakan tawaran kerja menjadi tenaga pengajar sementara di sebuah sekolah masak milik Tuan Hendrik, mentor sewaktu ia masih di Paris. Ini ibarat Grahita membalas budi mungkin. Tuan Hendrik sudah banyak membantu dirinya. Lewat tangan dingin Tuan Hendrik, ia bisa mengusai berbagai macam teknik memasak. Tuan Hendrik sudah banyak berjasa pada Grahita.

Mengapa Grahita yang ditawari? Bagi Tuan Hendrik, Grahita sudah mumpuni untuk menjadi profesional chef yang cocok untuk mengganti seorang staf pengajar yang sedang cuti untuk menyelesaikan program masternya.

Hal ini bermula ketika Tuan Hendrik datang ke restorannya. Pria asal Belanda itu mampir ke Jakarta setelah sebelumnya pergi liburan ke Jogja. Mereka berbincang mengenai banyak hal serta memasak bersama di kitchen. Bahkan hari itu mungkin hari spesial karena restoran mendapat tamu guru besar Grahita sewaktu di Prancis.

Mereka banyak bertukar pikiran. Grahita yang cerdas di bidang kuliner dan Tuan Hendrik yang menganakemaskan Grahita, membuat pria itu tak sadar telah melewatkan satu hal. Ia lupa jika Grahita adalah gadis yang cerdas. Alhasil buah dari liburannya ke Jogja membuat Tuan Hendrik ingat jika Grahita-lah yang tepat untuk membantunya. Akhirnya pria itu menawari dirinya secara langsung.

Grahita awalnya sempat bingung dengan tawaran tersebut. Namun ia ingat jika semua ini harus ia lakukan. Bukan hanya sebagai balas budi, tetapi juga sebuah keharusan setelah apa yang telah pria itu berikan. Tuan Hendrik sudah memberikan dirinya banyak pengalaman dan ilmu yang luar biasa. Beliau juga sudah menganggap seperti putrinya sendiri, lalu, membantu dalam hal ini tak ada yang salah, bukan?

Saat itu, Grahita sedikit berpikir serta langsung meminta pertimbangan kepada Riska dan perempuan itu mendukung penuh apa yang dilakukan oleh dirinya. Setelah benar-benar yakin, langsung saja di hari itu, Grahita mengiyakan. Ia langsung menandatangani kontrak pengajar selama kurang lebih dua tahun dan berakhir ketika musim panas tahun kedua tiba. Grahita juga seketika berkoordinasi dan meminta bantuan kepada Riska dan orang yang ia percaya untuk mengurus restoran. Begitu mudah ia mengambil keputusan dan mencari solusinya. Namun, sekarang malah terasa berat.

Grahita saat itu yakin bisa karena sekolah masak milik Tuan Hendrik yang didirikan sekitar 10 tahun yang lalu berada di kota Utrecht, tak jauh dari Amsterdam-- tempat dimana keluarga sang opa berasal. Inilah kesempatan baginya agar bisa merekatkan kembali hubungan keluarga yang renggang karena faktor jarak dan komunikasi.

Namun semuanya mendadak buyar tatkala Gandhi mengajaknya menikah. Grahita semakin dilema. Pikirannya dipecah dengan banyak cabang yang membelitnya.

Satu hal yang pasti, ia akan tetap terbang ke Belanda dan meninggalkan Indonesia selama 2 tahun. Entah, apakah ia bisa pulang sementara nanti atau tak pulang sama sekali dalam dua tahun itu? Semuanya serba kemungkinan.

*****

Setelah ucapan Grahita barusan, suasana mendadak hening. Baik Grahita maupun Gandhi, mereka memilih diam. Apalagi Gandhi, laki-laki itu langsung terdiam seketika. Ucapan Grahita bagaikan pukulan yang membuat ia berhenti di tengah jalan. Hendak maju namun tak bisa, apalagi mundur. Bukannya tak ingin mundur, namun ia pantang untuk mundur. Ia akui, mendapatkan Grahita sangat sulit. Bahkan ia harus memangkas egonya habis, belajar bersabar dan mengerti bahkan ikhlas. Ia menerima gadis itu dengan apa adanya. Terlepas omong kosong yang Grahita ucapkan barusan.

"Maaf," lirih Grahita kemudian. Ia merasa sangat bersalah pada Gandhi. Entahlah, ia merasa sesak walaupun keputusannya tetap sama.

Gandhi menghembuskan napasnya berat. Lalu laki-laki itu mengusap wajahnya pelan sambil menyenderkan punggungnya ke kursi mobil. Menyesal? Iya. Ia merasa kurang cepat mengambil keputusan besar ini. Namun apa daya? Sepertinya ujian mendapatkan cinta sesungguhnya harus ia lewati sekali lagi.

"Apa aku gagal lagi?"

Gandhi bergumam pelan, namun Grahita dapat mendengar dengan jelas.

Kemudian Gandhi menoleh ke arah Grahita yang sudah menatapnya. Laki-laki itu tersenyum tipis sebelum meraih sabuk pengamannya.

"Kalau kamu marah, bilang aja, Ndi. Jangan kasih aku senyuman yang justru buat kamu tersakiti," ujar Grahita pelan. Ia tahu ini akan menyakiti Gandhi.

"Aku nggak marah. Konsekuensi mencintai adalah tersakiti. Sudah hukum alam."

"Kamu yakin?" Gandhi mengangguk.

"Apa yang buat kamu yakin?"

"Mungkin kita belum ditakdirkan untuk berjodoh. Kamu juga tidak menjawab tentang rasa yang aku pertanyakan. Jadi, buat apa?"

Grahita tersenyum sinis. "Kamu menyerah?"

Gandhi menatap Grahita serius. "Maksud kamu?"

"Baru 10 menit yang lalu kamu begitu yakin menikahi diriku. Memberikan alasan yang luar biasa hingga aku ingin menyakinkan diriku. Lalu ketika aku tanya kembali kamu tentang hal ini, kamu justru menyerah," ucap Grahita tanpa mau menatap Gandhi.

Gandhi lalu menatap Grahita yang menunjukkan wajah datarnya sembari menatap ke depan. "Memangnya aku sudah memberikan jawaban, Ndi?" tanya Grahita lagi. Gandhi belum menjawab.

"Apa yang membuat kamu yakin dengan diriku? Selain hal-hal yang kamu ketahui tentang diriku, sikap burukku, dan bahkan lainnya. Apa yang buat kamu yakin mencintaiku?" tanya Grahita pelan namun dengan nada yang sama.

"Aku belum pernah seserius ini. Mungkin aku pernah hendak menikah, namun yang paling buat aku yakin adalah saat ingin menikahi kamu, Ta. Aku nggak pernah memperdulikan hal-hal yang menjadi kekurangan kamu. Aku yakin semua orang punya kekurangan, termasuk aku. Jadi, biarkan aku melengkapi dirimu. Aku sadar jika aku juga masih sangat kurang untuk kamu. Tapi aku yakin untuk menjadikan dirimu pasangan seumur hidupku. Terlalu banyak rencana yang aku buat di masa depan hingga aku takut untuk mengatakannya pada dirimu. Kamu memang tidak sempurna di mata manusia lain, tapi kamu sempurna di mataku."

"Benarkah? Apa kamu lupa jika aku pernah hidup di luar negeri. Kamu nggak tahu bagaimana kami hidup," sahut Grahita tenang.

"Benar aku nggak tahu, Ta. Tapi buat apa aku mempermasalahkan hal-hal yang ada di masa lalu? Aku selalu bilang, aku nggak mempermasalahkan apapun itu. Yang mau aku bangun bersama kamu itu tentang masa depan, bukan masa lalu. Jadi kamu masih meragukan hal itu, Ta?"

"Bagiku ini perkara serius, Ndi. Kamu nggak tahu ketakutan yang aku rasakan. Jika aku salah melangkah, bukan tak mungkin aku akan hancur kemudian. Aku takut, sangat takut. Apalagi penghakiman atas norma yang berlaku di masyarakat, tentang stigma perempuan dan bagaimana orang memandang perempuan dari masa lalunya, itu menakutkan bagiku. Tentang masalah mental yang belum bisa diterima masyarakat dengan baik dan masih banyak hal. Aku takut ketika melangkah, orang-orang yang tahu tentang aku, justru menghakimi diriku dan orang yang aku ajak melangkah. Ini bukan tentang aku saja, tetapi tentang orang yang kuajak melangkah bersama,"

"Mungkin selama ini aku cuek, namun aku diam-diam juga tertekan. Mungkin hari ini aku masih bisa menguasainya, tetapi aku nggak tahu besok seperti apa, mungkin bisa lebih parah lagi."

Gandhi sekarang paham. Grahita sudah banyak memendam dan merasakan sakit yang akhirnya menyebabkan gadis itu amat berhati-hati dalam melangkah. Ia sadar jika menyakinkan Grahita itu membutuhkan proses dan perjuangan.

"Menikah adalah ibadah yang saling melengkapi, menyempurnakan, dan menyertai satu sama lain. Jika yang kamu khawatirkan adalah hal itu, lalu apa gunanya aku sebagai suami? Aku tentu nggak akan membiarkan orang lain mengusik dirimu, Ta. Aku nggak akan berjanji untuk menjamin semuanya. Tetapi aku akan berusaha semaksimal mungkin demi keluarga yang aku bentuk nantinya."

Grahita kembali terdiam. Ia kembali dilema atas kata-kata yang dilontarkan oleh Gandhi. Cukup lama Grahita terdiam. Sedangkan Gandhi memilih menunggu gadis itu bersuara.

"Aku tetap nggak bisa--"

"Fine," sela Gandhi cepat.

Gandhi menatap lekat gadis yang memandang dirinya juga. Grahita balik menatap Gandhi dengan pandangan datarnya.

Sedangkan laki-laki itu? Seperti dipukul mundur dengan keras. Padahal ia yakin jika inilah akhirnya. Inilah pelabuhannya. Ia bahkan sangat yakin jika Grahita adalah masa depannya. Namun perkataan Grahita barusan, membuat ia menyerah. Gandhi seperti kehilangan hal yang ia cari selama ini.

Berkali-kali ia menyakinkan diri untuk gadis itu. Berkali-kali ia tetap bertahan atas segala hal yang mungkin bagi orang lain adalah hal buruk. Berkali-kali pula Gandhi menyiapkan dirinya, berharap jika ia menemukan pelabuhan cintanya. Gandhi bukan hanya berharap saja, tetapi ia juga merayu Sang Maha Pencipta agar disatukan bersama Grahita. Namun sekarang? Seakan kandas tak bersisa.

Dengan tetap berusaha tersenyum, Gandhi menatap Grahita dan mengangguk.

"Baik, aku terima keputusamu--"

"Shut up, Ndi! Shut up! Kamu selalu mengambil kesimpulan tanpa menunggu diriku untuk melanjutkan kalimatnya. Apa kamu tidak sabar, huh?"

"Jadi?"

"Jadi kamu bilang? Astaga, kenapa kamu mendadak bodoh buat mencerna kalimatku, Ndi?" ucap Grahita dengan nada kesal. Biarlah ia berkata kasar karena ia sudah geram dengan Gandhi.

"Buktikan kalau kamu serius. Kalau mau, tunggu aku sampai selesai kontrak. Kalau nggak silahkan kamu--"

"Enough. Aku bakal tunggu," sela Gandhi dengan cengirannya yang terlihat konyol di mata Grahita. Sedangkan gadis itu sudah melemparkan tatapan kesalnya.

"Jadi kamu mau 'kan?" tanya Gandhi memastikan.

"Tergantung."

"Kok tergantung sih?"

"Bisa aja kamu berpindah ke lain hati?"

"No, i am promise."

Grahita mengangkat sebelah alisnya, merasa tak percaya tentunya. "Jaminannya?"

"Aku sudah berjanji akan menjaga kamu di hadapan eyangmu, Ta. Bagaimana bisa aku mengingkarinya?"

*****

Tiga puluh menit yang lalu, Gandhi datang ke rumah utama ini. Laki-laki itu datang mengutarakan niat baiknya untuk memperistri Grahita. Di hadapan Tuan Soeroso dan Sadewa, Gandhi menyatakan niat baiknya itu. Mungkin ini sebagai langkah awal sebelum nanti ia memboyong keluarganya untuk melamar Grahita secara resmi.

"Ta, kamu yakin?"

Grahita mengangguk tegas. Sedangkan Yessy hanya bisa melemaskan bahunya. Mereka berdua sedang duduk di ruang tengah dengan ditemani film garapan Disney itu.

"Eyang gimana?"

"Eyang ngijinin," jawab Grahita dengan mata menatap film yang bercerita tentang keberanian seorang gadis asal Tiongkok itu.

Sebelumnya gadis itu sudah izin ke Tuan Soeroso akan pergi ke Belanda selama 2 tahun. Awalnya pria itu kaget, namun setelah dijelaskan oleh Grahita, akhirnya Tuan Soeroso memahami dengan baik dan memberikan izin. Bahkan laki-laki itu menawarkan fasilitas yang terbaik selama di Belanda, namun seperti biasa, Grahita menolaknya.

"Terus Gandhi tadi?"

"Dia minta izin buat serius sama aku Mbak."

Ucapan Grahita mengagetkan Yessy. Gadis itu menatap Grahita tak percaya sebelum akhirnya tersenyum bahagia.

"Akhirnya..."

"Terus gimana? Bukannya kamu mau ke Belanda?"

Grahita lalu menatap Yessy. "Aku tetep ke Belanda. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan terlebih dahulu sebelum aku menikah dengan Gandhi," ucap gadis itu dengan tenang.

Yessy hanya bisa menghembuskan napasnya berat. Ia senang Gandhi bisa merebut hati Grahita. Namun ia juga agak sedih dengan keputusan Grahita.

Selanjutnya Yessy baru paham dengan keputusan Grahita. Ini tentu keputusan terbaik yang diambil oleh gadis itu. Grahita pasti tahu yang terbaik untuk dirinya.

Tiba-tiba Sadewa datang saat mereka berbincang. Yessy yang paham pun memilih menyingkir. Lalu Sadewa duduk di sebelah Grahita yang menikmati teh hangat sembari menikmati film yang masih berputar itu.

"Papa senang," ucap lelaki itu dengan nada canggung.

Sedangkan Grahita langsung menatap papanya itu.

"Papa berharap penuh pada Gandhi. Papa sudah gagal menjadi seorang laki-laki sekaligus figur ayah. Papa sangat berharap kamu bisa bahagia setelah ini. Gandhi adalah laki-laki yang tepat untuk kamu. Bahkan laki-laki itu lebih paham mengenai kamu ketimbang papa,"

"Papa mendukung setiap langkah yang kamu ambil. Jaga diri baik-baik. Papa hanya bisa berdo'a yang terbaik buat kamu," ucap Sadewa pelan. Setelah itu Sadewa langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dalam kamar.

Sementara itu, Grahita hanya mampu menatap punggung Sadewa. Ia tahu ini sangat sulit bagi Sadewa. Ia akui, setelah Sadewa berjanji akan memperbaiki hubungan mereka, laki-laki itu kerap mengirim pesan yang isinya menanyakan kabar setiap harinya. Walaupun singkat dan kaku, namun Sadewa sudah ada usaha.

Setelah melihat ini semua. Tentu ini pilihan berat bagi Grahita. Namun ada satu hal yang ingin ia kejar. Ia ingin menyakinkan bahwa ia menerima segala sesuatu yang ada di hidupnya. Termasuk Gandhi dan masa depan yang hendak diraih.

*****

"Kamu nggak takut bepergian sendirian?"

Grahita menoleh ke arah Gandhi. "Kamu yakin bertanya seperti itu?"

Sekarang mereka berada di bandara Internasional Soekarno-Hatta. Grahita sedang menunggu jadwal keberangkatan yang tinggal dua jam lagi. Mereka sengaja datang lebih awal agar tidak panik di jalan karena mengejar waktu.

Gandhi tergelak. Memang gadisnya ini beda dengan yang lain. Ia sudah terbiasa menghadapi sikap Grahita yang secara alamiah akan menguji kesabaran bagi beberapa pertanyaan dan manusia, termasuk dirinya.

"Bisa aja kamu sebenarnya takut, tapi kamu kuat-kuatin," sahut laki-laki itu.

Grahita mendengus. "Aku nggak takut ya. Hampir seluruh bandara di Eropa pernah aku singgahi," ujar Grahita menyombongkan dirinya.

Gandhi berdecak. "Kayaknya aku salah orang tanya masalah beginian." Ucapan Gandhi barusan membuat Grahita tergelak pelan. Gandhi langsung menunjukkan  wajah pura-pura masamnya.

"Ndi, terima kasih ya sudah repot-repot nganterin aku. Rela izin ke komandanmu biar bisa nganter ke bandara," ujar Grahita kemudian.

Sekarang hari Kamis dan masih hari kerja. Namun Gandhi tetap ingin mengantar Grahita dan rela izin ke komandannya. Entah apa alasan yang dibuat oleh laki-laki itu. Mungkin izinnya mengantar sang kekasih ke Belanda dan harus LDR 2 tahun. Terdengar menyedihkan malahan.

"Sama-sama, Ta. Kamu jaga diri baik-baik. Semoga kita bisa bertemu lagi nanti," balas laki-laki itu.

Grahita tersenyum. "Semua orang terdekat selalu memberikan pesan yang sama. Dan bagiku itu bukan lagi pesan, tetapi perintah. Aku pasti akan menjaga diri dengan baik di sana. Belanda bukan negara asing bagiku. Keluarga besar Opa banyak di sana, jadi aku merasa lebih tenang, Ndi."

"Ndi,"

"Maaf jika keputusanku ini menghancurkan espektasimu. Aku tahu kamu orang baik dan tulus. Rasanya aku ikut sedih. Namun kamu selalu menguatkan aku biar nggak sedih. Aku juga sadar, disaat aku sedih, kamu yang selalu datang menolongku. Kamu yang ada buat diriku. Tuhan emang sebaik itu, persis yang kamu omongin ke aku."

"Justru aku yang harusnya bilang terima kasih, Ta. Nggak apa-apa aku harus menunggu kamu, asalkan kamu sudah memberikan kepastian buat menerima aku. Itu udah cukup."

"Emang aku udah ngasih kepastian ke kamu?" Grahita menaikkan sebelah alisnya.

Sementara itu, raut wajah Gandhi langsung berubah datar. "Jangan sampai aku mengubah keberangkatanmu dari Amsterdam ke Adi Sumarmo buat langsung minta restu ke umi. Gimana?"

Grahita langsung tersenyum geli. "Iya, iya. Galak banget sih, Pak."

"Karena kamu mempertanyakan keseriusanku Ta. Bagi laki-laki, ditanya tentang keseriusan dan wibawa adalah hal yang berkaitan dengan harga diri," sahut Gandhi tenang.

Grahita tersenyum. "Iya, aku percaya. Dah lah. Nanti kamu tambah pede lagi kalau aku akui wibawa laki-lakimu itu."

Gandhi kembali tertawa kecil. Tangannya hendak mengacak rambut Grahita namun ia tahan.

"Kenapa?" tanya Grahita bingung dengan tangan Gandhi yang mengambang di udara.

Gandhi menunjukkan cengirannya. "Nanti kamu marah. Soalnya rambutnya bagus, sayang kalau aku acakin."

"Oh, aku kira apaan," sahut Grahita kemudian.

Sedangkan Gandhi hanya bisa menahan diri. Ia teringat pesan umi untuk menjaga perempuan. Ia tak bisa sembarangan menyentuh tanpa ikatan yang jelas. Mengenai Gandhi yang pernah memeluk gadis itu memang saat itu sedang dibutuhkan dan Gandhi benar-benar tulus melakukannya. Gandhi tak ada niatan untuk hal lain. Setelah itu pun ia berdoa semoga perbuatannya tadi diampuni oleh Yang Maha Kuasa karena menyentuh perempuan secara sembarangan.

*****

Satu jam lalu pesawat telah lepas landas. Grahita kini sudah duduk dengan nyaman dan menantikan perjalanan panjang menuju Belanda. Nanti ia harus transit terlebih dahulu di Dubai, baru kemudian bisa melanjutkan perjalanan menuju Amsterdam.

Grahita tersenyum tipis sambil menatap totebag pemberian dari Gandhi. Katanya boleh dibuka setelah berada di dalam pesawat.

Perlahan Grahita membukanya. Sebuah kotak sedang berwarna hitam tampak mencolok di sana. Segera Grahita mengeluarkanya dari totebag. Kemudian gadis itu membukanya.

Ada sepucuk surat yang diletakkan di atas barang tersebut. Grahita menyimpan surat itu terlebih dahulu. Ia lalu melihat note kecil yang ada di sana.

'Dipakai ya, Ta. Semoga suka.'

Sebuah mukena bermotif bunga-bunga itu menjadi hadiah Gandhi. Grahita tampak terharu. Ia tak menyangka hadiah dari Gandhi itu. Ia berjanji akan memakainya nanti selama di Belanda.

Kemudian, Grahita mengambil potongan mukena yang atas. Gadis itu langsung mencobanya. Ia berkaca pada cermin kecil yang selalu ada di dalam tasnya. Terlihat sangat cantik. Lalu ia mengeluarkan gawainya dan langsung mengambil swafoto.

Setelah mengambil dua gambar, Grahita kembali menyimpan mukena itu dan duduk dengan tenang. Masih butuh berjam-jam untuk sampai ke Belanda. Mungkin opsi terbaik saat ini adalah tidur. Dan benar saja, 10 menit kemudian Grahita sudah tertidur.

.
.
.

Gama : Perjalanan

Continue Reading

You'll Also Like

407K 41.3K 61
"Bagi saya, kamu itu definisi sempurna." ***** Itulah yang dulu Damian Arka Narendra--seorang dokter bedah digestif berusia 35 tahun--sering katakan...
6.3K 608 3
"Mas Nunu~" Hanya satu perempuan yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Sejak pertama kali mendengar panggilan itu, aku tidak menyukainya. T...
2.4M 13K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
23.1K 1.7K 43
"Gue bakal bikin lo suka sama gue setengah mati!" ucap Audrina. "Astaga cewek aneh binti ajaib namanya Nana bikin gue sakit kepala. Dia sempet nyebar...