Nafsu yang Membutakan

By fianei

972 174 100

Di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Setelah hujan, siapa tahu ada pelangi yang datang untuk memberi senyu... More

Prakata
01- Kabar
02-Penolakan
03-Teman Bukan Rahasia
04-Masuk Sekolah
05-Jungkir Balik
06-Diagnosis
07-Ambisi
08-Fashion Show
09 - Lamaran?
10-Pengakuan
11-Kencan Pertama
12-Main Bareng
13-Sensitif
14-Jealousy
15
16
17
18
19
21
22

20

14 3 0
By fianei

SATU botol lagi obat yang berhasil dia habiskan. Delila tersenyum lebar. Dia melempar-lempar botol obat kosong itu ke udara sambil menghela napas lega. Berpikir seandainya dia tidak perlu minum obat lagi karena merasa dirinya telah sembuh.

Namun, tatapannya terhenti pada kantung plastik yang berada di atas meja belajarnya. Dalam hati, dia tahu apa isi bungkusan tersebut, apalagi logo apotek terpampang begitu jelas.

Dengan ngeri, dia menyodok kantung tersebut dengan balpoin yang dikeluarkan dari dalam tas sekolahnya. Gadis remaja itu berharap bungkusan tersebut akan hilang dengan sendirinya, seperti sulap, yang tidak mungkin terjadi.

Delila menjimpit kantung itu dan menemukan lima botol obat yang sama dengan yang tadi dia mainkan. Delila setengah melempar kantung itu kembali ke atas meja belajar, lalu mundur menjauh. Dia menatap botol obat di atas meja dengan ngeri.

Delila mengerang, sakit di kepalanya kembali terasa. Jantungnya berdebar-debar, di dalam perutnya bagai ada ombak yang bergejolak, mual seakan memrotes sesuatu yang bahkan wujudnya belum terlihat. Bersandar ke tempat tidur, gadis itu bernapas dengan cepat lewat mulut.

Namun, serangannya tidak berkurang. Delila mulai merasakan makanan yang tadi sudah aman di perutnya, merangkak naik di tenggorokan. Delila menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, lalu buru-buru berlari ke arah kamar mandi. Air mata mengaburkan pandangannya.

Pintu kamar terbuka tepat ketika Delila hampir memegang gagangnya, menampakkan siluet tubuh Carla.

"Lil, obatmu udah Kakak taruh .... Oh, kamu kenapa? Lila!"

Dengan kasar, Delila mengeban tubuh Carla. Tanpa menjawab, Delila melanjutkan perjalanannya. Tak lama, gadis itu memperdengarkan suara muntah-muntah dari balik pintu kamar mandi yang terkunci.

Delila dapat mendengar ketukan dan teriakan panik sang kakak di balik pintu. Namun, dia tak peduli. Delila bersyukur tiba di kamar mandi tepat pada waktunya. Setelah membersihkan sisa muntahan, gadis itu berjongkok di lantai kamar mandi. Air matanya menyimbahi pipi tanpa henti. Seakan tangisan tanpa suara dapat menjadi pelampiasan keputusasaannya.

***

Suasana rumah sepi, mereka hanya berdua saja. Agus masih di tempat majikan barunya, yang tidak diketahui Carla siapa. Bi Idah dan Mang Didin sedang pergi mengantar catering. Berta masih belum kembali dari pasar.

Carla berjalan mondar-mandir di depan kamar mandi. Tak terdengar suara apa pun dari dalam. Aneka pikiran buruk datang tanpa diundang. Bagaimana kalau di dalam Delila pingsan? Apakah adiknya itu tidak minum obat lagi?

Dengan geram, Carla mengumpati dan memelototi pintu kamar mandi yang masih tertutup. Dia yakin sekali sudah mengawasi kegiatan minum obat Delila dengan ketat. Namun, sepertinya apa yang Carla lakukan belum cukup baik. Tidak peduli seberapa keras pun dirinya berusaha, bekerja, dan mencoba merawatnya, penyakit Delila selalu saja datang kembali dan mengalahkannya.

Carla menggedor pintu kamar mandi dengan kepalan tangan, memanggil-manggil nama adiknya. Ketika kunci pintu terdengar dibuka dari dalam, Carla mendesah lega.

Penampilan Delila acak-acakan. Rambut panjangnya yang dijepit tampak berantakan dengan ujung mencuat ke mana-mana. Wajah Delila dan kaus bagian depan yang dipakainya basah oleh air. Matanya merah, memberikan keyakinan pada Carla bahwa adiknya baru saja menangis.

Carla menyambut uluran tangan Delila yang bergetar. Dia memapah adiknya menuju kursi di meja makan, lalu segera menyodorkan segelas air putih hangat. Melihat kondisi adiknya yang seperti ini, amarah Carla menguap, hanya meninggalkan rasa iba dan khawatir.

Setelah Delila selesai minum, barulah Carla bertanya, "Kamu nggak apa-apa?"

Pertanyaan basa basi yang jawaban sesungguhnya sudah jelas terpampang di depan mata Carla. Mana bisa Delila tak apa-apa setelah semua yang dilaluinya? Namun, Delila tidak langsung memberikan jawaban.

"Lila ..."--Delila akhirnya menaikkan dagunya, menatap Carla dengan pandangan merana--"baik-baik aja."

Di situasi normal, Carla akan menjitak kepala Delila. Seenaknya saja adiknya itu membohonginya. Namun, entah mengapa Carla tidak sanggup melakukannya. Dia akhirnya merengkuh kepala Delila ke dadanya.

Carla dapat merasakan tubuh Delila menegang dalam pelukannya. Hati Carla bagaikan diremas dan dipelintir ketika tak lama kemudian, adiknya kembali menangis sampai sesengguk-sengguk. Tangannya meremas lengan Carla erat-erat. Seakan tangan itulah tempat Delila bergantung.

"Lila udah capek, Kak.

"Jangan paksa Lila minum obat lagi.

"Lila nggak mau minum obat lagi."

Ucapan-ucapan Delila yang diucapkan dengan terputus-putus di sela isak tangisnya membuat Carla terpaku. Rahangnya mengeras. Bagaimana bisa adiknya memperlakukan Carla seperti ini? Setelah semua kerja keras yang dia lakukan untuk membeli obat Delila.

Carla melepaskan pelukannya, tetapi tetap memegang bahu Delila. Menjaga jarak sepanjang lengan, Carla berkata dengan gigi terkatup. "Kamu jangan ngomong yang enggak-enggak! Obat itu wajib kamu minum, Lila," ucap Carla sambil menekankan suaranya pada kata 'wajib', "agar kamu lekas sembuh."

Delila mendengkus. Dengan gaya khas--yang mengingatkan Carla bahwa walaupun bertubuh bongsor, adiknya masih seperti anak-anak--Delila menghapus ingus dan air matanya dengan lengan baju.

"Kalau gitu, kenapa bukan Kak Lala aja yang minum obatnya?"

***

Delila melirik jam, lima menit lagi sebelum dia harus meminum obat. Biasanya alarm akan berbunyi untuk mengingatkannya agar tidak lupa lagi.

Ini semua ide kakaknya. Carla bahkan akan mengecek ke kamar dan menunggui Delila setiap kali memasuki waktu untuk meminum obat.

Delila bertaruh uang jajan selama seminggu, bahwa sebentar lagi, Carla akan muncul.

"Lila, kamu udah minum obatnya?" Pintu terbuka, wajah Carla terlihat di sana.

Dengan senyum lebar tanpa dosa, kakaknya itu mengasongkan botol obat dan segelas air putih, membuat Delila muak.

Nah, kan!

"Ini baru mau minum, kok, Kak."

Delila menghela napas kasar. Dia tidak menerima botol yang diberi Carla, tetapi mengambil salah satu botol lain lalu membukanya. Dengan enggan, Delila memasukkan tablet berwarna merah muda ke dalam mulut kemudian meraih air putih yang diasongkan Carla.

Sembari memamerkan senyum datar, Delila menganggukkan kepalanya. Dia ingin kakaknya segera pergi dari sana. "Udah, nih, Kak."

Carla mengangguk dan tersenyum ramah. Dia pun meninggalkan Delila yang langsung berlari menuju jendela, lalu memuntahkan kembali obat yang baru ditelannya. Dengan puas, Delila menatap tablet merah muda itu menghilang di balik rimbunnya rumpun bunga hortensia yang tumbuh subur di taman rumah kakeknya.

***

Pagi-pagi sekali, Erika sudah ke rumah Hafiz. Hafiz membuka pintu masih dengan menguap lebar serta tangan mengacak-acak bagian belakang rambutnya.

"Pagi, Ka." Hafiz menguap sekali lagi. "Ngapain lo pagi-pagi banget ke sini? Ada sesuatu yang sangat pentingkah, sampai lo nggak bisa nunggu ntar siang?"

Erika menarik napas panjang. Dia menatap Hafiz yang selalu seperti di ingatannya. Laki-laki dengan muka bantal yang tampak menggemaskan dan tidak berdosa saat berhadapan dengan siapa pun di pagi hari.

Apa Erika tega memberitahu Hafiz soal Carla?

Semalaman suntuk Erika tidak bisa memejamkan mata, alhasil kelopak matanya menghitam, tatapannya sayu. Dia selalu memikirkan soal laki-laki yang kini berdiri di hadapannya.

Tentang Hafiz, Carla, dan Irfan. Tentang hubungan baik persahabatan yang rawan karena seseorang berani menyulut api untuk mulai menghancurkan.

"Erika, lo kenapa malah bengong sendiri?" Hafiz melirik jam tangan yang lupa dia lepaskan semalam. Semoga tidak sampai rusak, karena dia tidak mau membuat Carla kesal.

Masih pukul lima, terlalu pagi untuknya bangun di hari libur. Padahal biasanya, dia baru bangun pukul sembilan. Kecuali tentu saja apabila sudah ada janji dengan Carla, dia akan membela-bela bangun sangat pagi. Hanya demi bisa berdandan cakep agar tidak malu-maluin pacarnya itu. Hafiz menyengir memikirkan Carla.

"Fiz," panggil Erika ragu.

"Kenapa?" Hafiz menggumam sambil menggaruk-garuk pinggangnya dengan kedua tangan seperti orang utan, kebiasaan sejak kecilnya setiap bangun tidur.

Erika menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan perlahan. "Carla nggak sebaik apa yang lo lihat selama ini."

"Maksud lo?" Hafiz menyipitkan mata. Dia bahkan kehilangan mood ngantuknya begitu nama Carla disebut-sebut.

"Dia deketin lo, karena dia mau kepopuleran lo aja. Dia punya tujuan lain waktu ngedeketin lo, Fiz. Dia nggak beneran tulus suka sama lo."

Hafiz mendengkus sambil bersedekap di depan dada. "Kenapa lo bisa mikir begitu? Kalaupun memang iya dia nggak serius sama gue dan cuma mau ketenaran gue doang, gue nggak masalah."

"Lo ... lo udah gila? Saking cintanya lo sama dia sampai lo pura-pura buta dan menikmati perhatian palsu dia ke lo?" Erika menggelengkan kepalanya tidak mengerti. "Kalau begitu, gue bilang lagi ke lo. Dia nggak suka sama lo, dia nggak serius sama lo, dia bahkan ada main di belakang lo."

"Main?" Hafiz mengernyitkan dahi.

"Dia selingkuhin lo, Hafiz! Dia ada main sama Irfan di belakang lo!" Erika berbicara dengan lambat, ingin memastikan laki-laki tidak peka di depannya ini mengerti arti ucapannya.

Dia mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan screenshoot yang ia ambil beberapa jam yang lalu. "Lo lihat ini? Mereka main bareng di belakang lo. Farah bahkan bilang, Carla selalu pamer isi chat mesranya sama Irfan ke dia, dan lo masih mau sama cewek kayak gitu?"

Hati Hafiz memanas. Dia tidak tahu apa saja yang sebenarnya terjadi, tapi menelan mentah-mentah semua kalimat Erika sama saja cari mati.

Yang membuatnya lebih sakit hati bukanlah apa yang telah Carla lakukan di belakangnya, tapi teman baiknya, Erika.

Dia tidak menyangka, perempuan yang selama ini menjadi sahabatnya ternyata memiliki sifat seperti ini. Hafiz tertawa pelan.

"Gue nggak nyangka," gumamnya, sembari menatap Erika, "kalau lo aslinya kayak gini."

Erika mengatupkan bibirnya. "Maksud lo gimana?"

"Iya gini, suka banget lo ngegangguin hubungan gue sama Carla. Apa Carla ada bikin salah sama lo, sampai lo mau gangguin hubungannya sama gue?" Hafiz terkekeh pelan, lalu, menggelengkan kepalanya. "Gue bener-bener kaget."

"Gue bilang gini, karena lo temen gue! Gue nggak mau lo sakit hati karena cewek nggak bener itu."

"Cukup, Er! Gue sakit hati sekalipun itu urusan gue, bukan urusan lo. Apa pun yang terjadi sama gue dan hubungan gue, lo nggak berhak ikut campur."

Erika mengertakkan giginya. Sambil mengepalkan kedua tangan, dia mengentakkan kaki ke lantai dengan suara keras. "Lo emang bego, tolol, buta, nggak peka! Dasar berengsek!"

Erika berbalik, pergi meninggalkan Hafiz yang menganga mendapat umpatan sepanjang itu dari orang yang dia pikir ... sangat mengenal baik dirinya.

Continue Reading

You'll Also Like

STRANGER By yanjah

General Fiction

260K 29K 34
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
48.3K 5.3K 42
Chava, terbiasa sendiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan, membentuknya menjadi cewek yang tangguh. Nathan, terbiasa hidup di tengah-tengah kehang...
Cafuné By REDUYERM

General Fiction

88.2K 8.5K 32
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

89.7K 14.1K 41
hanya fiksi! baca aja kalo mau