Gerimis Yang Ungu

By sastrasatria

163 23 12

"Cinta adalah tempat tersendiri di dalam hati. Setiap hari kita memasukinya dan merenung di dalamnya. Dan ren... More

Bab 1 - Aldy
Bab 3 - Sinta
Bab 4 - Aldy
Bab 5 - Larasati

Bab 2 - Larasati

21 5 0
By sastrasatria


"Aku telah lama tahu tentangmu," ujarku kepada Aldy saat masih di resepsi pernikahan Sinta kemarin. "Sinta sering bercerita tentang kehebatan-kehebatan pacarnya, dengan sedikit pamer tentu saja."

Aku tertawa kecil mengingat bagaimana semangatnya Sinta ketika menceritakan tentang Aldy dulu. Sinta begitu bangga dan bahagia, apalagi saat itu dia adalah satu-satunya orang dalam persahabatan kami yang sudah punya pacar. Sementara aku, tidak pernah diizinkan untuk pacaran oleh orangtuaku.

Kedua orangtuaku adalah seorang muslim yang selalu berusaha untuk taat. Pacaran jelas dilarang dan sejak kecil aku selalu diajarkan untuk mengenakan hijab. Meski begitu, aku bergaul dengan teman-teman sebaya yang tak selamanya taat agama. Seperti Sinta contohnya. Dan pergaulan dalam sekolah formal kami itulah yang membuatku sedikit bisa mengerti sudut pandang mereka.

Sementara Aldy yang kutahu berdasarkan cerita Sinta adalah seorang yang shaleh. Dia aktif di ROHIS SMA, menjabat sebagai Ketua OSIS, dan berprestasi di setiap jenjang kelas. Sebagian besar diantara kami memang sudah kenal Aldy dari awal, karena popularitasnya. Tapi sebagai pacarnya Aldy, Sinta lebih banyak tahu tentangnya.

Bagaimana Aldy dan Sinta bisa pacaran? Aku sering bertanya-tanya sendiri. Aldy memang tampan, cerdas, dan shaleh. Disamping itu dia juga pemberani, percaya diri, dan memiliki karakter pemimpin yang kuat. Wibawa bisa terasa ketika kita berdialog dengannya langsung. Ia juga pandai berbicara. Sinta sendiri mengaku bahwa Aldy sangat pintar mengajar.

Aku sendiri sudah kenal Aldy sejak kelas satu SMA. Aku mengenalnya ketika kami pernah dikumpulkan oleh para pengurus OSIS saat itu, agar kami mau menjadi calon pengurus OSIS selanjutnya. Semua itu karena selama SMP kami pernah menjadi pengurus OSIS. Saat itu kulihat Aldy memperkenalkan dirinya dengan penuh percaya diri dan wibawa, membuat beberapa orang di antara kami terpesona. Mungkin aku juga. Tapi karena dilarang oleh orangtuaku, aku memilih untuk tidak melanjutkan pencalonan itu. Sejak itu aku hanya melihat Aldy dari jauh, sementara dia tidak mengetahuiku sedikitpun.

Ketika kami kelas dua, aku terkejut ketika Sinta dengan gembira mengaku bahwa sekarang ia dan Aldy resmi berpacaran. Aku terkejut dan ikut senang. Dan hari-hari bahagia mereka berlangsung seterusnya, hingga kelas tiga, hingga lulus SMA. Lalu kami semua berpisah, menempuh pendidikannya masing-masing.

Kami kuliah di universitas yang berbeda-beda. Aku tak pernah lagi melihat Aldy setelah itu. Tapi aku masih sering kumpul bersama Sinta dan saling bercerita. Hingga suatu hari, Sinta bercerita kalau dia sudah tidak lagi bersama Aldy. Tapi Sinta tidak pernah menceritakan kenapa semua itu bisa berakhir. Sampai sekarang akupun tidak pernah tahu.

Lalu tamat kuliah, Sinta pun menikah. Dan dalam pernikahan itulah kami semua bertemu kembali.

Aku jelas terkejut ketika melihat Aldy di toilet perempuan sebuah masjid. Dia jelas salah masuk. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah karena kehadirannya sendiri dalam pernikahan itu. Sepertinya dia memang sangat gentle.

Sejak pertemuan yang tak disengaja itu, aku terus memperhatikan gerak-geriknya yang sangat canggung dan gugup. Aku semakin terkejut ketika tahu bahwa dia datang kepernikahan ini seorang diri. Melihat bagaimana dia di meja tamu, bagaimana dia berjalan ke pelaminan, hingga ketika dia sambil tersandung berjalan pulang. Aku rasa aku harus menyapanya. Dan percakapan itupun terjadi.

Aku tak tahu apa yang ada dipikiran Sinta, hingga dia bisa putus dengan Aldy. Padahal menurutku Aldy punya segalanya. Dari percakapan di pernikahan itu aku tahu, bahwa Aldy sekarang sedang merintis karir dan bisnis yang mulai sukses. Dia adalah seorang CEO untuk startup yang ia dirikan sendiri. Sebuah startup yang menyediakan jasa komunikasi antara penjual dan pembeli. Semacam marketplace tapi dalam lingkup kecil, seperti perumahan atau kelurahan. Berkat startup nya, beberapa pembeli tak perlu lagi menunggu barang terlalu lama karena pembelian online yang terlalu jauh. Membuat sebuah perumahan misalnya, menjadi mandiri. Para penduduknya tak perlu beli barang ke pasar atau ke marketplace. Dengan aplikasinya setiap rumah bisa berdagang dan setiap pedagang bisa mengantar barang tanpa hambatan. Setiap pembeli hanya tinggal menunggu di rumah, untuk apapun yang mereka beli. Mulai dari makanan, pakaian, bahkan bahan bangunan.

Aldy mengaku bahwa dia sedang berjuang karena persaingan yang ketat. Para marketplace raksasa telah mencium aksinya dan hendak melakukan hal yang sama. Bahkan perusahaan jasa pengiriman barang mulai cemas karena semakin sebuah perumahan atau kelurahan menjadi mandiri, penggunaan jasa mereka pun akan semakin berkurang.

Aku mempelajari itu semua dengan menarik. Aku bisa menjadikan inovasi bisnis semacam ini sebagai salah satu ide tesisku. Ya, setelah lulus sarjana aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke pascasarjana pemasaran. Pertemuan dengan Aldy hari itu, bagiku benar-benar sebuah anugerah.

Tapi sayangnya Aldy tetap terburu-buru. Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Selesai makan, ia segera pergi.

***

Aku melanjutkan hari-hariku seperti biasa, yang semakin hari semakin sepi. Rasanya mungkin sudah waktunya aku menikah. Tapi aku ingin agar pendidikanku selesai terlebih dahulu. Begitu juga yang kedua orangtuaku inginkan.

Pascasarjana ini baru saja dimulai. Aku sudah tidak sabar untuk segera membuat tesis. Aku pun sudah memikirkan tema-temanya dari sekarang. Bahkan kalau perlu, mulai membuat dari sekarang juga. Tapi aku tetap harus sadar bahwa masih ada sekitar dua tahun lagi untuk sampai pada akhirnya.

Dalam siang yang sepi ini, aku tumpahkan kebosananku dengan membuka media sosial. Smartphone ku terasa dingin, sepertinya hampir dua jam tak kusentuh karena sibuk belajar.

Kulihat disana ada beberapa pesan masuk pada aplikasi chatting dan beberapa notifikasi pada media sosialku. Kubuka aplikasi chatting terlebih dahulu, seperti biasa. Tak ada yang penting. Sebagian besar adalah pesan-pesan pada group yang tak melibatkanku sama sekali. Aku hanya menjadi pendengar yang pasif saja disana. Ya, sesekali bicara dan bertegur sapa. Usai membuka satu persatu pesan chat agar notifikasinya hilang, aku pun beranjak ke media sosial.

Kusandarkan punggung dan kepalaku pada lazybag ungu, kawan setiaku selama di kamar. Aku ingin scrolling media sosial dan bersantai-santai. Kubuka aplikasi itu, kutunggu splash screen yang muncul beberapa detik sebelum petualangan kecil ini kulakukan. Ketika sudah terbuka, aku bisa lihat ratusan notifikasi yang muncul pada aplikasi itu. Kubuka seluruh notifikasi itu dan aku scroll satu persatu.

Hingga akhirnya aku langsung bangun dan terkejut ketika melihat salah satu notifikasi yang ada. Kuraih kaca mataku yang kuletakkan di atas meja, untuk memastikan bahwa aku memang tak salah baca. Dan memang benar, aku tak salah baca. Beberapa detik kemudian ketika pikiran ini kembali normal, aku seperti bisa merasakan darah yang mengalir kembali dalam diriku. Hangat. Dan juga bahagia.

Aku senyum tersipu malu, memejamkan mata, menatap langit-langit. Dan merasa aneh dengan semua ini. Pengalaman pertama yang kurasakan. Entah, seperti apa sebenarnya ekspresi yang patut kukeluarkan? Semuanya berjalan begitu saja. Ku dekap smartphone ku di dada, dan kutatap langit-langit dengan tersenyum penuh.

Semua itu gara-gara ada notifikasi yang menunjukkan bahwa Aldy mengajakku berteman. Padahal aku tidak pernah memberitahukan akun media sosialku. Itu artinya, dia pasti mencariku secara sengaja di list teman-teman Sinta.

Setelah beberapa saat meredam kegembiraan yang mencuat tanpa kuduga itu, aku kembali memeriksa seluruh notifikasi itu. Dan hingga pada akhirnya bagiku itu semua tidak penting. Sekarang, aku sadar, tak selayaknya aku gembira begini. Itu hanya ajakan pertemanan yang langsung ku confirm. Tapi tetap tak selayaknya aku terlalu percaya diri atau gembira. Hal itu bisa berarti banyak hal. Aku tekankan dalam hati. Jangan sampai hatiku terasuki oleh seseorang yang belum tentu menjadi suamiku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menegaskan segalanya.

Sekarang giliran kotak masuk media sosialku itu yang kuperiksa. Tak banyak, hanya beberapa. Sepertinya tak ada yang penting.

Tapi ternyata tidak begitu. Mataku langsung tertuju dan terpana pada satu pesan.

"Aku boleh minta nomormu?" begitulah yang Aldy katakan dalam pesan itu.

***

"Bagaimana harimu?" tanyaku dengan ceria kepada Aldy yang baru saja tiba. Ia melepaskan tas dan jaketnya terlebih dahulu sebelum menjawab.

Dan ia memang tak langsung menjawab. Tas ia letakkan di atas meja dengan rapi, jaket ia lipat terlebih dahulu, lalu ia duduk. Merapikan rambutnya yang sedikit basah oleh gerimis yang turun selama perjalanannya dari parkiran ke meja ini. Ya, meja dari kayu mahoni disebuah restoran yang romantis. Suara gemericik air terdengar dari kolam tak jauh dari meja ini. Sementara hijaunya tanaman hias, menghias hampir diseluruh penjuru ruangan. Membuat kesan sejuk dan syahdu. Apalagi ditemani hujan diluar.

Kuperhatikan dia yang tampak sedikit berfikir menyusun kata-kata.

"Hari yang indah," jawabnya tersenyum. Akupun tersenyum.

Tak pernah kusangka momen seperti ini benar-benar terjadi. Tentu pernah kubayangkan, tapi aku tak pernah tahu jika rasanya seindah ini. Sejak Aldy meminta nomor teleponku, kami menjadi lebih sering chatting dan saling bertukar pikiran. Hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk bertemu. Aku ragu menggunakan istilah kencan.

"Maaf aku terlambat. Ada beberapa masalah di kantor yang harus segera diselesaikan. Dan semua itu diluar dugaan."

"Nggak masalah. Disini nyaman. Aku jadi punya waktu untuk menenangkan diri."

"Bagaimana kuliahmu?"

"Alhamdulillah, sejauh ini berjalan lancar. Aku berusaha menyelesaikannya secepat mungkin."

"Syukurlah. Tapi kenapa terburu-buru?"

Pertanyaan itu, membuatku memutar pikiran mencari jawaban lain. Karena jawaban yang sebenarnya adalah ingin cepat menikah. Dan aku tak ingin mengatakan itu kepadanya.

"Ya.. lebih cepat lebih baik," jawabku terputus. "Mungkin setelah ini aku ingin bekerja dulu. Mungkin bisa kerjasama dalam bisnis kita nanti."

Aldy tampak senang mendengarnya. Sepertinya ia adalah seorang yang memiliki minat yang luar biasa dalam karir dan bisnisnya. Padahal aku tak terlalu begitu. Mungkin aku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang baik jika menikah nanti. Aku bukan wanita karir. Aku menyukai pendidikan dan suka untuk sharing tentang itu. Mungkin aku suka menjadi guru. Atau aku suka mendidik anak-anakku nanti.

"Sudah mau merintis bisnis apa?" tanya Aldy bersemangat.

"Belum kepikiran," jawabku malu. "Tapi sedang diusahakan. Bagaimana perkembangan startup mu?"

Aku segera bertanya balik.

Aldy mengerutkan keningnya. Dia tampak berpikir.

"Ya begitulah. Selalu banyak masalah," jawab Aldy. "Tapi alhamdulillah. Masalahnya adalah masalah yang menunjukkan perkembangan signifikan."

"Maksudnya gimana?"

"Pagi ini seluruh layanan aplikasiku mati, gara-gara servernya rusak secara tiba-tiba. Berdasarkan catatan penggunaan kemarin dan tadi malam, teknisiku melihat penggunaan yang luar biasa tinggi, jauh di atas kapasitas dan prediksi kami. Sehingga jam empat pagi kuterima pesan bahwa sebagian besar service pada server kami mati, karena kehabisan memory. Lalu jam enam pagi, ketika aku sedang buru-buru ke kantor, aku dapat laporan bahwa server kami mati. Overheat. Ruangan kami kurang dingin dan server kami terlalu cupu. Perlu banyak yang di upgrade," Aldy bercerita panjang lebar.

Aku mendengarkan semua itu dan berusaha mencernanya. Sebagian besar aku tak paham sama sekali. Tapi sepertinya sangat menarik. Penuh perjuangan dan menegangkan.

"Lalu tidak ada orang yang bisa memakai aplikasi mu dong?"

"Iya. Komplain yang kami terima pagi tadi jumlahnya sudah ribuan. Ada banyak konsumen ataupun pedagang yang mengeluhkan layanan kami. Sekarang, kami sedang berusaha mengaktifkan kembali layanan kami dengan menggunakan cloud service. Hmm... maksudnya, server kami tidak kami kendalikan secara langsung lagi. Kami menyewa jasa penyedia server via internet."

"Ooouh..." aku berjuang untuk paham. "Pasti butuh biaya yang lebih besar ya?"

"Betul. Dan sekarang aku dan beberapa temanku, sedang berjuang untuk mencari investor lebih ekstrim lagi dari biasanya. Aku yakin pasti banyak yang tertarik. Sebab semua ini benar-benar menunjukkan perkembangan yang pesat."

"Berarti seperti berjualan juga ya?"

"Iya memang. Persis. Kamu kan anak pemasaran. Pasti paham betul. Bahkan sekarang kami sudah membuka tiga lowongan IT marketing, agar kami bisa mencari investor lebih cepat lagi."

"Ouh jadi kamu hendak mengajakku bergabung?" untuk sejenak aku merasa kecewa, karena kenyataan yang tampak tak seromantis yang kukira.

"Oh nggak. Sama sekali nggak," syukurlah Aldy menjawab cepat dengan sedikit panik. Bahkan ia secara refleks menggaruk-garuk belakang kepalanya.

Aldy tersenyum malu. Raut wajahnya penuh kebingungan. Semua itu membuatku tegang. Sepetik bersitan berkelebat dalam pikiran. Aku seperti tahu apa alasan sebenarnya. Dan semua itu membuatku sangat tegang, tapi juga senang.

"Aku hanya..." kalimatnya terputus. Aldy kehabisan kata-kata.

Perlahan kudekatkan wajahku, penasaran dengan jawaban yang akan keluar selanjutnya.

"Aku hanya ingin mengenalmu, lebih dekat lagi."

Aldy menjawab dengan tertunduk. Ia menyembunyikan wajahnya yang memerah dan rasa malunya yang tak tertahan lagi. Tapi ia berani. Ia gentle. Sebagaimana yang telah kuketahui.

***

Kami semakin dekat. Chatting setiap hari. Bertegur sapa setiap pagi dan malam. Saling bercerita tentang pekerjaan atau kuliah. Bahkan hampir setiap siang, ia rela ke kampusku dan makan siang bersama.

Kian hari, kami semakin akrab, semakin terbuka, semakin mengenal satu sama lain. Semakin jauh mengenal, kami semakin merasa asyik. Semakin merasa cocok. Ia lebih baik dari yang pernah Sinta ceritakan. Dan entah seperti apa aku dimatanya. Apakah aku lebih baik dari Sinta?

Terkadang aku memikirkan itu. Mungkinkah aku jatuh cinta kepada mantan sahabatku? Dan dia jatuh cinta kepada sahabat mantannya? Hal buruk apa yang akan terjadi terhadap persahabatanku dengan Sinta? Tapi Sinta kan sudah menikah. Harusnya ia senang jika kami benar-benar berhubungan.

Tak hanya itu. Aku juga berfikir. Bahwa segala pertemuan ini, sudah seperti orang pacaran saja. Padahal pacaran atau tidak itu hanya kata. Padahal perbuatan kamilah yang sesungguhnya diperhitungkan.

Berminggu-minggu kemudian, ketika kami telah lebih dari sekedar akrab. Lebih dari sekedar teman. Lebih dari sekedar dekat. Ketika kami tahu, bahwa masing-masing kami saling menyukai. Atau bahkan saling mencintai. Aku ingin berterus terang dengannya.

"Aku tak mau begini terus," kataku. "Orangtuaku melarang berpacaran. Padahal yang kita lakukan sudah tak ada bedanya."

Suasana saat itu sangat tegang. Aku takut kehilangannya. Takut jika ia memutuskan untuk tak pernah menemuiku lagi.

Siang itu, di restoran tempat kami biasa bersama. Kesyahduan hilang dan ketenangan tak dapat ditemukan.

Kulihat Aldy tampak berfikir keras. Ia mengigit bibirnya, meremas jemarinya, menahan suatu kata yang mungkin akan terlontar begitu saja. Sementara aku memutuskan menerawang jauh ke luar jendela, menanti jawaban yang sangat kukhawatirkan.

Dan saat itu, aku memilih pasrah. Jika jodoh, pasti tidak akan kemana.[]

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 141K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
238K 1.1K 13
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
725K 73.9K 25
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
328K 25.7K 36
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini βš οΈβ›” Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. πŸ”žβš οΈ. ...