Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 163K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Adicandra

20.6K 2.6K 84
By khanifahda

"Hai Ta?" sapa seorang laki-laki yang mengenakan kemeja abu-abu dengan tatanan ala parlente muda zaman sekarang.

Grahita yang sedang mengarahkan timnya di dapur seketika menoleh. Gadis itu membulatkan matanya lebar ketika melihat laki-laki itu yang sudah masuk ke dapur.

"Dirga!"

Grahita lalu cepat-cepat melepas apronnya dan menghampiri Dirga. Kemudian ia menarik laki-laki itu ke dalam pantry bar di samping dapur. Setelah sampai di pantry bar, mereka duduk saling berhadapan dengan meja sebagai pemisahnya.

"Kok lo ada di sini? Siapa yang ngijinin lo masuk? Kemana aja lo kemarin?" tanya Grahita beruntun yang membuat Dirga meringis.

"Kalau nanya satu-satu dong! Gue tamu di sini padahal. Kenapa nggak disambut dengan cara yang baik sih? Nyesel gue bela-belain capek datang kemari," gerutu laki-laki itu, sama beruntunnya.

Grahita terkekeh di tempatnya. Hal itu membuat Dirga terperanjat tak terpercaya. Kemana muka datar gadis itu? Apakah Grahita sudah dirukyah?

"Ta, kok gue ngeri lihat lo yang sekarang," gumam Dirga yang masih didengar oleh gadis itu.

Grahita mendengus pelan. "Lo nggak suka lihat gue begini?"

"Suka lah! Ngaco lo," sahut Dirga cepat. Laki-laki itu tersenyum konyol kemudian.

"Baru nyadar lo pacarable sekarang kalau lihat lo senyum," ucap Dirga kemudian yang mendapatkan tatapan tajam Grahita.

"Kalau mau ngajakin gue ribut, mending lo balik aja. Kita lanjutin kalau gue nggak sibuk," ucap Grahita kemudian yang mendapatkan gelengan cepat Dirga. Ah ternyata ia salah, Grahita tetap gadis judes yang menyebalkan.

"Sorry kalau gue main masuk aja. Gue ke sini mau ngasih tahu lo sesuatu."

"Kan pake WA bisa. Kenapa dibawa ribet sih?" sahut Grahita enteng.

Dirga mendengus, "Lo nggak suka gue main? Gue kangen sama lo, udah lama nggak ketemu. Emang lo nggak kangen gue?"

"Nggak," sahut Grahita cepat dan yakin.

Hal itu membuat Dirga menghembuskan napasnya pasrah. Kalau Grahita bukan sahabatnya sejak zaman masih remaja, Grahita sudah ia musnahkan bersama dengan kenangan mantan.

"Yaudah terserah lo deh, Ta," sahut Dirga pasrah.

"Gue bisa aja pake WA. Tapi masalahnya, gawai gue hilang pas gue di Kentucky sebulan yang lalu. Semua nomor dan data gue lenyap bareng gawai gue yang hilang. Akhirnya gue beli gawai baru dan nggak ada backup nomor. Terpaksa gue lost kontak dengan kalian sementara waktu sebelum gue balik ke Indo lagi."

Dirga memang sedang melakukan perjalanan bisnis ke Benua Merah. Ia rela meninggalkan bisnis restorannya demi memenuhi permintaan sang papa untuk mengurus bisnis di negeri Paman Sam itu.

Dirga kemudian menunjukkan sebuah email kepada Grahita. Grahita membaca baik-baik email tersebut.

"So?"

"So? Lo mau ambil nggak?" tanya Dirga.

"Jadi ini tujuan lo ke sini?"

Dirga mengangguk malas, "Apalagi Ta? Sekalian gue main lah. Gue udah lama nggak ke restoran lo. Lo juga nggak pernah main ke restoran gue lagi. Si Gerald noh nanyain lo mulu. Lo orangnya judes, tapi kok orang-orang pada kangen lo ya?"

Grahita tergelak pelan. "Ya emang gue orangnya ngangenin," sahut Grahita dan dibalas cibiran malas oleh Dirga.

"Jadi gimana? Ambil nggak? Kesempatan nggak datang dua kali. Kalau pun iya, bisa jadi lo nggak ngambil nanti. Kita nggak tahu ke depannya gimana 'kan?" ucap Dirga yang berusaha menawarkan opsi terbaik menurut versinya.

"Kok lo bisa dapat informasi semacam itu sih?" tanya Grahita penasaran.

"Jangan meremehkan kekuatan relasi," ucap Dirga membanggakan dirinya. Hal itu membuat Grahita memutar bola matanya malas. Memang Dirga punya sifat yang tidak disukai oleh Grahita yaitu narsis tingkat dewa.

"Gue mau mempertimbangkan dulu kayaknya," sahut Grahita kemudian. Ia masih bimbang.

"Are you sure?" tanya Dirga sekali lagi. Ia kira Grahita langsung mengiyakan ketika melihat kesempatan ini.

"Why?"

"Coba lo scroll ke bawah lagi."

Segera Grahita menscroll isi email ke bawah lagi. Mimik wajahnya berubah kaget ketika gadis itu melihat sebuah kalimat bercetak tebal di sana.

"Da*n! Are you kidding me?"

"Oh my God! The top five will be contracted by Diamond Restaurant milik chef Jackson Diamond?" ucap Grahita tak percaya. Bahkan dirinya sampai menajamkan matanya untuk membaca baik-baik kalimatnya.

Dirga melipat tangannya di depan dada seraya mengangguk. "Yakin mau ngelewatin? Dari dulu bukannya lo ngincer restoran itu ya, Ta?"

Diamond Restaurant adalah salah satu restoran terbaik milik masterchef Jackson Diamond. Banyak chef yang menginginkan bekerja di sini karena berkali-kali mendapatkan penghargaan dan validasi yang memuaskan dari konsumen mancanegara yang datang dari kalangan konglomerat.

Grahita mengembalikan gawai Dirga dan mengangguk. "Iya, dari gue keluar pendidikan, tetapi gue nggak masuk kualifikasinya, ya sudah gue cari restoran yang gradenya di bawahnya dikit dan alhamdulillah ada yang tembus."

"Lumayan, Ta. Kalau lo hanya di posisi 10 besar pun sudah dapat sertifikat sakti. Gue jamin restoran lo bisa naik level. Kesempatan nggak datang dua kali," ucap Dirga dengan menyakinkan. Baginya, kesempatan ini layak untuk Grahita.

Grahita terdiam di tempatnya. Ini adalah sebuah kesempatan namun juga tantangan. Di lain sisi ia baru merintis karir di Indonesia, namun sekarang ada kesempatan yang sudah lama ia idamkan. Benar kata Dirga, kesempatan nggak datang dua kali. Namun mengapa ia masih ragu rasanya?

"Tapi setelah baca keterangannya, kontrak bisa sampai 2 tahun, Ga. Dan ini kompetisi 2 tahun sekali. Gue masih mikir-mikir buat ninggalin restoran dan seleksi di Jerman. Belum lagi gue harus bersaing dengan teman-teman di Indonesia terlebih dahulu sebelum gue ke Jerman. Ini kompetisi yang ditunggu-tunggu sama para chef dunia yang pastinya sudah persiapan sejak lama. Gue kayak belum yakin karena belum banyak persiapan yang matang,"

"Ikut kompetisi ini artinya gue harus siap dengan segala konsekuensi yang ada. Kerja antara restoran Indonesia dengan luar agak berbeda. Kontrak di sana memang nggak main-main salarynya. Tetapi, peraturannya nggak main-main juga. Beberapa alasan gue menghindari sesuatu setelah gue balik ke Indonesia, lo tahu lah maksud gue."

Dirga mengerti. Ini tentu pilihan dan perjuangan yang sulit bagi Grahita. Namun kembali lagi, keputusan ada di tangan Grahita.

"Kalau lo yakin, masih ada waktu dua bulan buat lo bangun konsep sebelum bertarung dengan sesama chef di Indonesia. Dari Indonesia juga diambil dua orang doang. Gue harap lo ambil keputusan yang terbaik buat diri lo, Ta."

"Tumben banget lo bijak," sahut Grahita yang mendapat decakan Dirga.

Lalu laki-laki itu meminta dibuatkan squash karena haus dan kembali larut dalam pembicaraan yang banyak didominasi oleh bisnis kuliner.

*****

Setelah pulang dari restoran, Grahita harus segera menuju sebuah venue di Jakarta Selatan, lebih tepatnya hotel berbintang. Gadis itu menyusul Yosi dan beberapa orang di sana untuk membahas konsep pernikahan dari Yosi yang tinggal satu bulan lagi.

Grahita melirik jam yang berada di dashboard mobilnya. Sekarang menunjukkan pukul 8 malam. Seharusnya ia masih di restoran sampai pukul 10, namun Grahita izin pulang lebih dulu karena hal ini.

Gawainya berdering, Grahita melirik dan menggeser icon telepon berwarna hijau itu.

"Ciao," ucap Grahita refleks.

'Assalamu'alaikum,'

Grahita meringis pelan. Ia lupa memberikan salam.

"Wa'alaikumussalam, sorry."

Terdengar suara gelak tawa di seberang. Namun hanya sebentar. 'Yosi menikah?'

"Heem, sorry aku kasih undangan online ya, Ndi," ucap Grahita yang sebenarnya tak enak dengan Gandhi.

'Oke nggak masalah.'

Grahita membelokkan mobilnya terlebih dahulu menuju venue yang akan digunakan untuk pernikahan Yosi sebelum menyahut ucapan Gandhi. Ia tiba-tiba teringat sesuatu.

"Astaga aku lupa. Aku dapat pesan dari eyang buat baju nikah. Eyang menitipkan kain batik buat resepsi nanti ke kamu. Apa kamu ada ukuran baju buat dijahitkan sekalian?"

'Hei kenapa repot-repot pak Soeroso memberikan diriku baju?'

"Tidak apa-apa. Oh iya kirim segera ya ukurannya," ucap Grahita sembari mencari tempat kosong di basement karena penuh dengan mobil di sana.

'Bagaimana kalau aku yang jahit sendiri? Aku nggak enak merepotkan kalian.'

"Beneran? Apa nggak sekalian aja? Nggak masalah kok sekalian."

'Iya nggak masalah kok."

"Hmm kalau gitu besok pagi aku antar kain ke tempatmu sekalian aja. Share lock ya," kata Grahita memutuskan.

'Biar aku aja yang ambil," tolak Gandhi halus.

"Udah nggak apa-apa, Ndi. Aku sekalian besok ada urusan kok. Udah dulu ya?" Grahita memilih mengakhiri panggilannya karena sudah sampai di tujuan.

Sementara di seberang sana, Gandhi hanya bisa pasrah. Ia membiarkan gadis keras kepala itu untuk mengantarkan barangnya.

Grahita lalu menuju ballroom. Gadis itu bahkan masih mengenakan baju kerjanya tadi. Ia belum sempat berganti baju.

"Bang Yos!" panggil Grahita pada Yosi yang tampak berbicara dengan seorang WO.

Grahita lalu mendekat. Tak lupa ia menyapa calon istri Yosi, Zoya. Grahita sudah bertemu beberapa kali dengan perempuan itu.

"Kamu tahu, abangmu marah gara-gara kamu datang terlambat," ucap Zoya dengan nada menyindir Yosi yang berlebihan. Sedangkan Grahita tertawa kecil.

"Biarkan saja Mbak, dia memang nggak sabaran. Ayok, kita sekalian konsultasi masalah katering."

Grahita lalu menarik Zoya, sedangkan Yosi tampak agak kesal dengan Grahita. Namun tak ayal laki-laki itu tersenyum melihat adiknya itu. Rasanya melegakan ketika melihat Grahita seperti ini. Apalagi Grahita yang sudah akrab dengan calon istrinya.

Yosi lalu melipat tangannya di atas dada melihat interaksi Grahita dan calon istrinya. Laki-laki itu sudah selesai membahas beberapa hal dengan WO di ruangan yang berada di ballroom tersebut. WO yang dipercaya Yosi sudah pamit, kini tinggal Grahita, Zoya, dan satu orang yang dipercaya bertanggung jawab terhadap masalah katering nanti. Yosi hendak mendekat, namun tiba-tiba ia mendapat telepon. Segera lekaki itu mengangkatnya.

"Mbak, pilihannya memang Indonesia semua apa ada tambahan dari barat? Misalnya Croquembouche, salad, atau lainnya?"

Zoya nampak mempertimbangkan usulan Grahita. "Misalnya yang lain?"

"Jordan Almonds dari Italia. Biasanya orang Italia memberikan souvenir roti kacang almond itu, tetapi semisalnya kita letakkan didessert nggak masalah juga. Nanti pencuci mulutnya ada salad buah, buat appetizer bisa lumpia atau surabi kalau mau manis. Atau nggak jajanan khas Bugis juga nggak masalah, Mbak. Pokoknya Tata nyerahin ke Mbak, biar Tata nanti menghubungi tim buat handle semuanya."

Grahita secara sukarela menawarkan diri untuk meng-handle masalah katering dengan melibatkan orang dapurnya. Tentu hal ini juga bekerja sama dengan WO terkait.

"Iya Ta, mbak juga masih bingung padahal tinggal sebulan. Ya sudah besok kasih finalnya."

"Saya setuju dengan usulan Mbak Tata. Nanti kita bisa memberikan berbagai varian makanan yang ada supaya bisa masuk selera tamu," sahut perempuan yang menjadi penanggung jawab masalah katering itu.

Mereka lalu kembali berbincang masalah katering yang ternyata rumit. Mereka berbincang hingga pukul 10 malam. Akhirnya mereka mengakhiri sesi rapat itu karena sudah malam.

"Capek?" tanya Yosi ketika mereka berjalan menuju basement. Sementara Zoya sudah dijemput oleh kakaknya di depan lobi hotel.

"Lumayan."

Yosi tersenyum dan mengacak pelan rambut Grahita. "Wajahmu nggak bisa membohongi, habis ini istirahat, ya. Eyang bilang, kamu terlalu sibuk akhir-akhir ini."

"Namanya juga merintis, Bang. Kalau nggak kerja keras, nggak bisa sukses."

Yosi terkekeh pelan, "Nggak kamu nggak Yessy, sama-sama doyan kerja. Padahal kalian tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah pun bisa tanpa lelah kerja. Tiap minggu bisa check out Chanel, Gucci, Hermes bahkan Louis Vuitton pun bisa. Tapi nggak apa-apa sih, biar kita tambah kaya," ucap Yosi sambil tertawa kecil.

"Oh gitu?" Grahita menyipit menatap Yosi.

"Kalau gitu, boleh dong Louis Vuitton satu. Sepatu boot jenis Star Trail Ankle Boot ya, Bang?"

Yosi menaikkan sebelah alisnya. Mereka berhenti di lorong dekat basement. Lalu Yosi mengeluarkan gawainya.

"1.750 dollar?" ucap Yosi setelah mengecek harganya di situs resmi Louis Vuitton.

Grahita mengangguk. Ia tahu karena sepatu itu adalah impiannya. Ia ingin membeli tetapi rasanya sayang saja jika tidak begitu penting. Namun mendengar ucapan Yosi, membuat dirinya memancing. Dan ternyata diacc oleh lelaki itu.

"Oke."

Grahita menatap Yosi intens. Apakah benar? Padahal ia hanya main-main saja untuk membuktikan ucapan Yosi. Lagipula harganya kurang lebih 25 juta jika dikonversikan dalam rupiah. Dan bagi Yosi pun tergolong murah pastinya.

"Iya, mumpung aku baik, Ta. Nggak tas sekalian?"

Grahita mendengus mendengar narsisnya Yosi. "Oke nanti aku kirim gambarnya."

Yang namanya rezeki memang nggak kemana dan nggak boleh ditolak. Grahita tak menyangka jika celetukannya berujung rezeki. Padahal ia juga bisa membeli sendiri, namun jika dibelikan? Siapa yang menolak?

*****

Grahita mengerutkan dahinya ketika melihat tempat di depannya itu. Pagi ini ia menepati janjinya untuk mengantarkan kain kepada Gandhi. Gadis itu bingung mengapa hanya ada portal yang sepi? Namun akhirnya ia menepikan mobilnya dan turun untuk bertanya.

"Permisi, cari siapa nona?" tanya seorang prajurit muda yang tiba-tiba menghampiri Grahita di dekat pos penjagaan Batalyon. Prajurit itu penasaran melihat seorang gadis yang tampak kebingungan.

Grahita kaget dengan kehadiran laki-laki di depannya itu. Sedangkan sang prajurit hanya bisa melihat Grahita kagum. Baru kali ini ada perempuan cantik yang menghampiri pos.

"Gandhi ada?"

Prajurit itu tampak bingung karena tidak menyebutkan nama lengkapnya. Akhirnya prajurit itu bertanya lagi ke Grahita.

"Nama lengkapnya siapa?"

Grahita meringis. Ia tak tahu nama lengkap Gandhi. Namun otaknya bekerja dengan cepat. Ia mengeluarkan gawainya dan menunjukkan foto profil WA Gandhi. Semoga saja menyakinkan.

Prajurit itu melihat seksama dan memang benar jika ada yang namanya Gandhi. "Ada nona. Tunggu sebentar di pos ya?" sahut prajurit itu kemudian

Grahita lalu diajak masuk ke dalam pos. Beberapa Prajurit yang berjaga langsung menatap mereka berdua.

"Nona tunggu di sini dulu ya? Saya mau panggil Kapten dulu. Sebelumnya maaf, apakah nona sudah mengabari Kapten Gandhi?"

Grahita dipersilahkan terlebih dahulu untuk duduk di kursi. Grahita lalu mengangguk untuk menjawab pertanyaan prajurit tadi. "Sudah Pak, tetapi tidak ada balasan."

Langsung saja prajurit itu cepat-cepat memanggil Gandhi dan mengabaikan tatapan penasaran rekannya di sana.

Sempat tadi Grahita menghubungi Gandhi via telepon, namun tak kunjung dijawab oleh laki-laki itu. Kemungkinan Gandhi memang sibuk.

Beberapa prajurit tampak mencuri pandang ke arah Grahita. Mereka tak berani berbicara lebih. Hal itu menyebabkan Grahita agak kurang nyaman berada di antara para prajurit itu.

Kemudian Gandhi datang setelah dipanggil. Grahita langsung bangkit dari duduknya.

"Ya Allah repot-repot banget si, Ta. Maaf ya aku nggak pegang gawai tadi," ucap Gandhi menerima goodie bag dari Grahita.

"Iya nggak apa-apa. Aku juga mau ke Depok habis ini."

"Kalau gitu, aku langsung pamit ya?" ucap Grahita pada Gandhi. Gadis itu juga menyapa prajurit yang sudah membantunya tadi. Ia belajar untuk menjadi orang yang 'ramah'.

"Terima kasih, Ta. Hati-hati." Grahita mengangguk pelan. Lalu kembali ke mobilnya.

Gandhi melambaikan tangannya pada Grahita yang sudah berada di dalam mobil. Gandhi menatap Grahita hingga gadis itu melajukan kembali mobilnya di jalan.

"Pacar Kapten?" tanya salah satu di antara mereka.

"Kenapa?"

Mereka kaget. Sejak kapan Gandhi punya pacar? Begitu batin mereka.

"Nggak kenapa-napa, Kapt. Cantik banget pacarnya," celetuk salah satu dari mereka yang langsung mendapat sikutan temannya dan bonus tatapan tajam Gandhi. Setelah itu, bujangan yang sedang dimabuk asmara itu kembali bekerja dengan membawa goodie bag dari Grahita.

Baru dua langkah keluar dari pos, ia merasa bingkisan itu berat. Lalu Gandhi berhenti dan memeriksanya.

Gandhi mengambil sebuah kotak makanan yang dibungkus rapi di dalam goodie bag tersebut.

'Kemarin aku lihat kamu menikmati Ratatouillenya. Ini aku buatkan agak banyak. Bisa dimakan 2 sampai 3 orang. Selamat makan.'

Gandhi tersenyum menatap kotak makanan itu. Hah, jantungnya berdebar cepat sekarang. Ternyata Grahita juga bisa bersikap manis dan membuatnya seperti abege yang sedang jatuh cinta.

.
.
.

Adicandra : Rembulan yang indah

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 87.7K 32
[SUDAH PERNAH DIBUKUKAN, CERITA MASIH BISA DIBACA DENGAN SISA PART YANG ADA] Ada di sini yang orang Jawa? Pernah mendengar mitos yang bunyinya 'Anak...
30.6K 1.9K 38
Taruna merasa dongkol karena Bos di kantornya begitu semena-mena mengatainya jelek karena satu insiden. Bukan hanya di kantor, tetangga sebelah kamar...
47.9K 5.5K 30
Gwen Stevanzka mendapat tawaran ke New York untuk menjadi penyanyi sekaligus penulis lagu oleh seseorang. Ternyata sampai di New York ia ditipu. Alam...
77.9K 3.7K 26
yang dibawah umur harap menjauh dosa tanggung sendiri! Oh iya, ini cerita pertama saya jadi maklumin yaa kalo ada salah² sedikit JANGAN LUPA VOTE DAN...