ATLANTAS || END

By badgrik

276K 21.9K 2K

[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam m... More

Prolog
01. Permulaan
02. SMA Delton
03. Insiden
04. Tawuran dan Pencarian
05. Jaket
06. Jalan-Jalan Ke Mall
07. Abel Hilang
Cast + Nama + karakter Pemain
08. Markas Vagos
10. Bertemu Kembali
11. Apartemen
12. Berangkat Bersama
13. Penasaran
14. Turnamen Futsal
15. Atlantas Dan Alex
16. Bimbang
17. Gosip Sekolah
18. Simpang Siur
19. Gudang Sekolah
20. Fakta Yang Sebenernya
21. Syndrome Sandi
22. Senja Di Rumah Sakit
23. Antara Abel, Atlantas & Alex
24. Orang Tua Abel
25. Hal Indah Di Rumah Atlantas
26. Penyerangan
27. Antara Bandung Dan Jakarta
28. Cerita Di Dufan
29. Malam Minggu
30. Setan
31. Kotak Bekal
32. Tentang Atlantas
33. Mimpi Abel
34. Meniti Ke Akhir Cerita
35. (Bukan) Akhir Segalanya
Ucapan Terima kasih
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3 • Special POV Atlantas
Cerita Baru
Grub Atlantas
Info Bahagia?
Atlantas Versi Baru?

09. Berlalu

6.4K 556 48
By badgrik

“Cintai yakultmu, minum usus tiap hari,” —Cassia.

🏍️🏍️🏍️

Tiga bulan kemudian ....

Semuanya kembali berangsur-angsur normal, setidaknya itu berlaku buat Abel sendiri. Selama berbulan-bulan ia berusaha menjalani kehidupan normal seperti yang lainnya.

Perihal masalah tiga bulan silam pun perlahan-lahan udah bisa ia lupakan. Walau masih sangat membekas di memori, sangat.

Ia dan Banu juga sepakat untuk merahasiakan hal tersebut. Itu semua demi kebaikan bersama. Merek tidak ingin masalah ini diketahui lebih banyak orang lagi.

Ya, seperti itulah ia sekarang. Sekolah dengan damai dan tetap menjaga jarak dengan Atlantas, sesuai permintaan cowok tersebut. Abel benar-benar tidak pernah lagi menampakkan diri didepan anak Bandidos, terkecuali Banu. Sebisa mungkin ia menjaga jarak. Pun masalah jaket, kali ini ia menurut. Selama tiga bulan ia benar-benar memakainya setiap pulang sekolah. Pada awalnya, Naida memang sempat heboh, tapi ia hanya bilang kalau jaket tersebut adalah milik Banu. Selebihnya, ia tidak mau buka mulut. Dan perlahan-lahan Naida tidak menanyakannya lagi.

Hari-hari yang cukup sulit untuk di lewati. Tapi, untung saja semuanya sudah berlalu. Ia hanya butuh ruang untuk menata semuanya seperti semula. Ini tidak terlalu sulit.

Tapi, selama itu pula terkadang ia merasa aneh. Sesekali mimpi aneh datang menghampiri malamnya. Ya, mungkin hanya bunga tidur. Bukan masalah serius, iya kan?

Dan hari ini, Abel berserta Banu sepakat untuk pergi ke salah satu toko buku di pusat perbelanjaan terbesar Jakarta. Malam ini mereka tampak serasi. Meraka berdua sengaja memakai baju couplean berwarna hitam. Abel yang menggunakan dress selutut, dan Banu yang menggunakan kemeja berlengan panjang dengan celana berwarna serupa.

Banu menatap ke arah Abel dengan napas capek. “Bel, lo jangan nyiksa gue gini napa, dah. Ini malam minggu, lho, lo nggak ada niatan untuk pergi ke luar gitu? Maksud gue selain toko buku.”

“Hm, nggak ada. Lagian Abang, kan, sudah sepakat buat nemenin Abel ke mari.”

“Buset dah.”

Abel tertawa pelan. “Lagian, siapa suruh kalah main kartu.”

Banu mendengkus kesal. Yang dikatakan Abel benar apa adanya. Saat itu ia kalah bermain kartu remi, dan sebagai hukumannya ia wajib menemani Abel ke toko buku sampai selesai. Tau gini, mendingan ia tidak bermain kartu saja sejak awal. Tapi apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur.

Banu mencoba untuk memahami Abel. “Lama nggak lagi? Gue laper, Bel.”

“Yaudah makan sana. Ribet banget, sih, Bang.”

“Ye, si anjir. Gimana gue mau makan kalau dari tadi di toko buku. Lo kita gue makan kertas?!”

Abel terkekeh pelan, lalu membalikkan badannya. “Yaudah, ayo. Abang mau makan apa?”

“Eh, serius? Lo susah selesai emangnya?”

“Sudah. Ayo, kita mau makan di mana?” tanya Abel dengan empat buku di tangannya. Melihat itu, dengan gesit Banu mengambilnya. Membuat Abel tersentak kaget, namun setelahnya tersenyum tipis.

“Makasih.”

Banu hanya bergumam pelan. Setelah selesai membayar buku-buku Abel, mereka bergegas menuju Mcdonald's dan memesan dua cheeseburger with egg, satu paket nuggets dan dua ice cream sebagai penutup.

“Gimana Jakarta? Seru?” tanya Banu di sela-sela makannya.

“Ya, seperti itu. Tapi, semakin ke sini, semakin seru, kok.” Abel memakan burgernya dengan potongan besar. “Banyak teman, jadi seru.”

“Baguslah, gue lega dengarnya.”

Abel hanya mengangguk-angguk. Memilih untuk menghabiskan makanannya dengan cepat.

“Setelah ini Abang sibuk, nggak?”

“Iya, gue ada kegiatan sama Bandidos. Kenapa?”

“Sa—sama Kak Atlantas?” tanya Abel jadi sedikit gugup.

“Hm, emangnya siapa lagi.”

“Ya—yasudah kalau begitu! ABANG KUDU CEPAT SAMPERIN, KAK ATLANTAS!” seru Abel tidak santai. Banu tersedak.

“Lo apa-apan, sih, Bel. Lo pikir ini hutan?!” Banu melap mulutnya mengguna tissue, Abel hanya tersenyum kikuk. Baru sadar kalau sedari tadi ia menjadi pusat perhatian karena berteriak.

“Tapi, Bang, seriusan. Abang pergi duluan aja ke Kak Atlantas.”

“Acara gue sama lo belum selesai.”

Abel menghela napas. “Nggak papa. Abel bisa panggil Alex buat nemenin di sini.”

“Alex? Okelah, gue percaya sama tuh bocah. Lo telpon dia dulu, kalau sudah sampai baru gue cabut.”

Abel mengangguk patuh. Langsung mendial nomor Alex. Cowok yang tiga bulan ini selalu berteman dengannya setiap weekend.

Ada apa, Bel?” tanya Alex di seberang sana saat telpon sudah tersambung.

“Bisa jalan keluar, nggak? Abel lagi di mall, nih.”

Bisa-bisa, gue ke sana segera. Lokasinya kirim via whatsapp aja, ya.

“Okeee!” ucap Abel semangat, lalu mematikan telpon tersebut dengan senyuman yang merekah.

“Dia mau?” tanya Banu. Abel mengangguk. “Demen kayaknya tuh bocah sama lo.”

“Ha, gimana?” tanya Abel.

“Bukan apa-apa, lupain saja.”

Walaupun penasaran, Abel memilih untuk menghabiskan makanannya dengan cepat sebelum Alex datang.

🏍️🏍️🏍️

“Mau nonton?” tanya Alex. Saat ini mereka berada di lantai dua.

Abel menyeruput bobanya, lalu mengangguk dengan antusias. “Ayo, udah lama Abel nggak nonton. Abel mau nonton frozen 2, boleh?

Alex mengacak-acak rambut Abel dengan gemas. “Of course, anything for you,” ucapnya pelan. Lalu menggandeng tangan kosong Abel dengan erat.

Abel hanya bersenandung ria di sepanjang jalan. Sesekali mengayunkan kedua genggaman tangan mereka. Diam-diam Alex tersenyum, rasa senang di dalam dadanya terasa sangat membuncah hebat.

“Abel seneng karena Alex suka boba juga dan mau nemenin Abel nonton Frozen 2, padahal itu kan film anak-anak.”

“Gue suka frozen dari awal kali, Bel, jadi gue mau-mau aja diajak nonton.”

“Nah, itu! Jarang banget lho Abel nemu cowok yang suka frozen, Abel merasa sefrekuensi gitu sama Alex. Jadi sukaaa,” ucap Abel dengan senyuman lebarnya.

Abel terus mengoceh di sepanjang jalan menuju bioskop. Namun, sesekali berhenti saat menyeruput bobanya, atau mendengarkan ocehan Alex.

Tanpa sadar tiga jam berlalu. Seetalah selesai menonton Frozen 2, mereka memutuskan untuk berkeliling mall, membeli beberapa barang, dan terkahir berselfie.

Abel menarik unjung baju Alex. “Alex, bagaimana kalau kita putar-putar Jakarta dulu? Masih jam sepuluh lewat. Nggak terlalu malam banget, Bang Banu juga pasti belum pulang.”

Alex tersenyum tipis. “Ini usah malam, lho  Tapi, kalau lo mau boleh juga, tuh. Lagian, kalau gue kalau di rumah jadi babu mulu.” Alex menyerahkan sebuah helm berwarna hitam kepada Abel, Abel menerimanya.

“Ah, masa?”

“Iya, beneran. Nggak nipu gue. Udah, naik buruan, pegangannya yang berat, gue nggak mau kena omel Banu kalau tiba-tiba lo terbang ke bawa angin.”

“Haish! Abel nggak seringan itu tau.” Abel duduk dengan manis di belakang Alex, merapihkan posisi jaket yang diberikan oleh cowok tersebut di atas pahanya.

“Udah siap, kan?”

Abel mengangguk. “Udah. Ayo, berangkat!”

“Siap, Tuan Puteri.”

Setelah motor besar milik Alex bergabung di jalan raya, Alex beberapa kali membuka obrolan. Bertanya-tanya hal random yang malah membuat Abel tergelak pelan.

“Oh iya, Bel, gue baru ingat. Dua hari lagi sekolah gue bakal tanding futsal dan basket sama sekolah lo.”

“Ha? Seriusan?” Alex mengangguk. “Wahh, Abel harus nonton, nih! Semangat ya, Alex.”

“Iya, jangan lupa nonton, awas aja enggak.”

“Siap! Abel pasti nonton, kok. Eh, tapi Alex ikutan lomba apa?”

“Futsal doang.”

“Aaa, pokonya semangat ya, Alex. Abel pasti dukung!”

“Hahaha, iya. Makasih, Abel.”

“Sama-sama, Alex.”

🏍️🏍️🏍️

Sean menghela napas. Sejak kapan Atlantas berpindah profesi menjadi stalker seperti ini? Banu di sisinya hanya diam dengan tangan yang terkenal kuat.

“Lo jangan bercanda, Tas.” Banu menatap Atlantas nyalang.

“Lo pikir gue bercanda?” tanya Atlantas sengit, lalu kembali memandang layar monitor yang menampilkan pergerakan seseorang. “Hm, dia ke mana?”

“Ya, lo tanya aja sendiri sana!” Banu menegak habis air mineralnya. Merasa tidak habis pikir dengan kelakuan orang sinting di depannya tersebut. Berhadapan dengan Atlantas saja sudah membuatnya emosi, ditambah lagi berbicara seperti ini, sungguh hanya akan membuat ia cepat-cepat gila saja.

“Hm,” gumam Atlantas tidak jelas.

Ck! Gue nggak masalah ya kalau lo masang cctv di mana-mana, sampai di jalan raya sekalipun. Tapi, kalau lo udah nguntit dia kayak gini gue nggak bisa diam aja! Lo tau privasi, kan, Tas?” tanya Banu kesal. “Lo pikir gue nggak risih liat kelakuan lo yang kayak gini?!” sentak Banu dengan keras. “Keganggu banget, sialan!”

Atlantas tetap acuh. Emangnya sejak kapan ia mendengarkan ucapan Banu? Ah, bukan Banu saja. Ralat, ucapan semua orang.

“Gue rasa ucapan Banu kali ini benar, Tas. Lo udah kelewatan, kalau dia tau, dia bisa saja marah besar,” ucap Sean. Ia memainkan botol minum ditangan kanannya. “Lagian, lo kurang kerjaan banget nguntit dia.”

“Gue nggak perduli,” sahut Atlantas cuek.

“Si anjir,” umpat Banu benar-benar kesal. “Gue nggak mau tau ya, Tas, perduli setan sama tujuan lo buat beginian! Tapi, gue benar-benar nggak terima kalau lo masang cctv sampai ke dalam kamar Abel! Lo pikir lo bapaknya, hah?!” Napas Banu berburu cepat. Ingin sekali rasanya ia memutilasi otak cowok tersebut. “Lepas cctv-nya atau gue bilang ke Abel-nya sendiri kalau selama tiga bulan ini lo nguntit dia 24 jam tanpa henti!”

Atlantas menggebrak meja. Menatap tajam ke arah Banu. “Lo bahkan nggak ada hak buat larang gue, Banu!”

“Gue Abangnya kalau lo lupa!” sarkas Banu membuat Atlantas terdiam. “Permintaan gue mudah, Tas. Cukup lo lepas tujuh cctv di kamar Abel, maka gue bakalan diam.”

Sean tersentak kaget. Tujuh? Setahunya ada 10 cctv di kamar Abel, dan 20 cctv mini lainnya yang terpasang di seluruh penjuru rumah. Ternyata, Banu tidak seteliti itu.

“Oke,” putus Atlantas santai yang malah buat Banu berpikir keras. Apa lagi yang cowok tersebut ia pikirkan. Atlantas bukan orang yang mudah menurut. Pasti ada sesuatu yang ia rencanakan lagi.

Banu mencoba untuk mencerna ucapan ambigu Atlantas dengan berfikir keras. Ia mengangkat wajah dan menatap Atlantas dengan datar.

“Lo nggak terobsesi sama Abel, kan? Atau lo hanya ingin menjaga dia dengan label tanggung jawab akibat insiden tiga bulan yang lalu?” tanya Banu. Atlantas diam.

“Kalau lo melakukan ini semua hanya karena ingin bertanggung jawab, sudah cukup. Gue bisa jaga Abel sendirian. Lo nggak perlu sampai berbuat nekat kayak gini.”

“Dan gue udah suruh Abel buat jauhin anak Bandidos, persis seperti yang lo minta. Jadi, nggak ada alasan lagi buat lo nguntit Abel kayak gini.”

“Jangan mancing emosi gue terlalu jauh lagi, Tas. Udah cukup. Gue udah terlalu sabar sama lo,” kata Banu, lalu meraih jaketnya yang tergeletak di meja. Namun, dwring ponsel atas nama Abel menghentikan pergerakannya. Ia langsung melirik ke arah Atlantas, dan benar saja, cowok tersebut menatapnya dengan raut penasaran.

Cih, cowok puber.

“Abaaanggg, Abel izin nginap di rumah Alex, ya. Malam ini adiknya Alex rewel banget. Tadi, Abel udah mau pulang, tapi adiknya Alex malah makin nangis. Abel nggak tega. Jadi, Abel putusin buat nginap semalam. Nggak papa kan, Bang? Tenang aja, orang tua Alex ada, kok, di rumah. Malah banyak sepupu-sepupu Alex di sini.”

Banu berdehem pelan. “Hm, gue izinin. Tapi, kalau ada apa-apa langsung kabarin gue.”

“Okey, siap pak bos! Kalau begitu, Abel matiin, ya. Abel mau bobo. Good night Abang!”

Too, Abel.”

Banu mematikan ponselnya, lalu memasukannya ke dalam saku celana dan memasang jaket dengan santai. “Gue pulang duluan. Gue mau mastiin Abel beneran ada di rumah Alex.”

Atlantas diam. Berarti saat ia melihat Abel keluar dari pagar rumah barusan ialah mau ke rumah Alex? Sedekat apa hubungannya mereka? Memikirkannya membuat kepala Atlantas berdenyut kencang. Rasa-rasanya semua urat dalam otaknya mau putus.

Apa sebenernya yang ia lakukan. Sekarang ia bergerak sesuai keinginan hati, bukan logika.

“Gue ikut!”

Dengan cepat Atlantas menyambar jaket dan kunci motornya, menyusul Banu yang sudah keluar dari ruangan khusus mereka.

Sean mendesah pelan. “Goblok, kan.”

🏍️🏍️🏍️

Keadaan rumah Alex sangat ramai malam ini, banyak sepupu-sepupu Alex yng berdatangan karena akhir weekend nanti mau mengadakan syukuran atas keberhasilan ibunya yang sudah membuat cabang toko kue di dua kota, Bandung dan Semarang.

“Lo tidur duluan gih,” kata Alex. Abel menggeleng.

“Nggak mau. Masih rame gini, nggak enak tidur duluan. Lagipula, seru liat-liat sepupu Alex yang banyak gini, jadi damai.”

“Jadi damai pala lo. Mau putus nih urat-urat gue ngurusin mereka.” Abel terkekeh pelan.

Sepupu-sepupu Alex memanglah lebih dominan anak cowok, dan semua itu baru berusia lima atau delapan tahun.

“Seriusan dah, sakit pala gue liat mereka.”

“Anak kecil, kan, emang gitu, Lex.”

Alex hanya bergumam. “Lo tidur duluan deh, Bel, nggak baik anak cewek begadang.”

“Aaa, nanti, deh.”

“Sekarang, Bel.”

“Haish, nggak mau. Abel masih mau main sama sepupu-sepupu Alex. Lagian, ini baru jam sebelas tau. Mereka aja belum pada bobo, tuh, mana masih anak kecil lagi.”

“Ya, wajar. Lo, kan, masih balita.” Alex terbahak keras. Abel merenggut kesal.

“Aleeexxx, ihhh!”

“Hahaha.”

”Nyebelin banget, sih, parah!”

Alex masih saja tertawa. Abel menghela napas. Namun tiba-tiba saja bel rumah berbunyi. Ia dan Alex refleks saling melempar pandangan.

Alex bangun dari posisi duduknya. “Biar gue yang buka.”

“Oke.”

Sepeninggal Alex, Abel mendekati Zian—salah satu sepupu Alex yang masih berumur enam tahun. Ikut bermain menyusun logo dan sesekali melemparkan obrolan ringan.

Dan lima menit pun berlalu. Abel jadi penasaran. Siapa tamu yang bertandang malam-malam seperti ini? Dan kenapa Alex belum balik juga.

Setelah meminta izin kepada Zian untuk pergi, Abel bergegas menuju ruang depan. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat Banu dan Alex yang malah saling tertawa. Namun, bukan itu masalahnya. Di sana—di satu sofa, seorang cowok duduk santai dengan wajah yang terlampau datar.

“Ka—kak Atlantas?” cicit Abel tidak percaya.

Seseorang tolong dia. Tolong lenyapkan saja Abel saat ini. Dan demi seluruh cowok-cowok tukang ghosting dimuka bumi ini, ia berani bersumpah. Kalau Atlantas versi tiga bulan sekarang ini sangatlah memukau. Ditambah lagi dengan seringai tipis seperti saat ini ia liat.

Cakep ya Allah, tapi sereemm.

🏍️🏍️🏍️

Continue Reading

You'll Also Like

29.4K 1.8K 57
(⚠WARNING⚠) • Cerita fiksi ini dibuat untuk hiburan saja, dan tidak ada sangkut pautnya dikehidupan nyata! • Alurnya masih acak dan banyak typo bert...
30.3K 1.1K 59
©2022 FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!!! JANGAN LUPA VOTE DAN TINGGALIN JEJAK, HAPPY READING GENG!!! ••• Ini tentang hidup seorang Brian Aryanta, si ket...
8.6M 547K 67
Aksa Baskara, seorang cowo yang bersekolah di Sma Kartika sekaligus ketua geng motor bernama Harlex. Cowo yang tak pernah mengenal ampun, sekali menc...
29.1K 2.6K 62
💖 FOLLOW DULU YUK SEBELUM BACA 💖 💥💥💥 Gavriel Davin Pradipta seorang siswa kelas dua belas yang terkenal sebagai trouble maker dan begitu dingin...