ATLANTAS || END

By badgrik

266K 21.6K 2K

[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam m... More

Prolog
01. Permulaan
02. SMA Delton
03. Insiden
04. Tawuran dan Pencarian
05. Jaket
06. Jalan-Jalan Ke Mall
07. Abel Hilang
Cast + Nama + karakter Pemain
09. Berlalu
10. Bertemu Kembali
11. Apartemen
12. Berangkat Bersama
13. Penasaran
14. Turnamen Futsal
15. Atlantas Dan Alex
16. Bimbang
17. Gosip Sekolah
18. Simpang Siur
19. Gudang Sekolah
20. Fakta Yang Sebenernya
21. Syndrome Sandi
22. Senja Di Rumah Sakit
23. Antara Abel, Atlantas & Alex
24. Orang Tua Abel
25. Hal Indah Di Rumah Atlantas
26. Penyerangan
27. Antara Bandung Dan Jakarta
28. Cerita Di Dufan
29. Malam Minggu
30. Setan
31. Kotak Bekal
32. Tentang Atlantas
33. Mimpi Abel
34. Meniti Ke Akhir Cerita
35. (Bukan) Akhir Segalanya
Ucapan Terima kasih
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3 • Special POV Atlantas
Cerita Baru
Grub Atlantas
Info Bahagia?
Atlantas Versi Baru?

08. Markas Vagos

6.3K 571 22
By badgrik

“Hidup itu mudah. Kalau ada yang pergi, relakan. Ada yang datang? Sambut saja. Tapi, terkadang manusianya sendiri yang membuat sulit.”

🏍️🏍️🏍️

Sebenernya ini sangat menyusahkan untuk Atlantas. Ia sudah menduga, kalau cewek tersebut—Abel, tidak akan menuruti perkataannya dan beruntung, ia sudah memasang alat pelacak di jaket tersebut. Hanya Sean yang tau akan hal itu, karena alatnya terhubung ke ponsel cowok tersebut.

Atlantas mengguyur rambutnya ke belakang, lalu turun dari motor hitam besarnya dengan wajar datar. Di depannya, Markas Vagos—tempat Abel di sekap.

Lo sudah sampai, kan? Yakin lo sendirian?” tanya Sean dari seberang sana. Suara tersebut membuat Atlantas berdecih. Ia membenarkan letak earphonenya di sebelah telinga kiri.

“Bacot!”

“Sialan! Gue cuman nanya doang.”

“Nggak mutu.”

“Ck, gue cuman mau bilang, anak-anak bandidos lainnya gue suruh kumpul di rumah Anji. Gue bilang masalah Abel lo yang bakal kelarin. Tapi Banu malah nggak setuju. Nggak ada pilihan lain, gue kasih tau lo ada ada di markas Vagos. Kayaknya bentar lagi Banu bakalan sampai ke sana.”

Atlantas menghela napas pelan. “Terserah!” setelah itu ia tidak memperdulikan lagi suara-suara Sean dari seberang sana. Dengan perasaan yang diliputi rasa amarah, Atlantas melepas earphone tersebut dan memasukannya ke dalam kantung celana.

Langkahnya yang panjang dan wajah yang datar, membuat beberapa orang yang berjaga di depan markas Vagos seketika bergemetaran. Desas-desus kekalahan Geng Hunter beberapa hari yang lalu sudah menyebar luas. Membuat semua orang semakin merasa takut dengan kedua geng Bandidos tersebut.

Brak

Atlantas mendendang salah satu kursi yang terbuat dari plastik hingga terpental jauh, membuat Ferdi—salah satu cowok yang berjaga depan pintu, mendesis.

“LO?!”

“Mana cewek yang di bawa Vagos?“ tanya Atlantas tanpa basa-basi.

Ferdi terkekeh sinis. “Hubungannya sama lo apa, heh? Cewek lo? Mantab juga, sih, udah di apa-apain sama Boss.

“Keparat!” Tanpa aba-aba Atlantas langsung menyerang Ferdi, memukul telak pada wajah cowok tersebut hingga babak belur. Tapi Atlantas belum puas. Dengan kasar ia mengangkat kerah baju Ferdi lalu mencengkeramnya erat dan menjambak rambut Ferdi kasar hingga membuat sang empu menjerit kesakitan.

“Di mana cewek itu, hah?!” tanya Atlantas tajam. Kedua matanya menyorot dingin, membuat Ferdi meneguk saliva keras.

“G—gu,”

Bugh

Atlantas menampar keras pipi Ferdi. Cengkeraman di kerah baju Ferdi semakin erat. “Katakan, atau lo gue bunuh!”

”D—di belakang!” Ferdi tidak bisa berkutik lagi. Rasanya, ia akan remuk di cengkraman Atlantas.

Dengan rasa tanpa bersalah, Atlantas menghempaskan tubuh Ferdi hingga membentur dinding. Ferdi punggung-punggungnya akan remuk karena bersentuhan dengan lantai keramik yang kasar dan dingin.

Setelah menyelesaikan dengan satu anak buah Vagos, dengan kasar Atlantas membuka pintu. Ah, tidak, lebih tepatnya menentangnya hingga engselnya lepas.

Keributan yang diciptakan oleh Atlantas, lantas membuat beberapa anak Vagos lainnya merasa terganggu. Dengan wajah memerah padam, mereka tidak menyangka akan kedatangan Atlantas secepat ini.

“Minggir, atau kaki lo semua gue patahin!”

Justin, cowok dengan jaket denim tersebut merasa tidak terima. “LO?! Lo sudah hancurin pintu markas Vagos! Lo mau mati, hah?!”

“Mati?" Atlantas terkekeh pelan, yang malah tersengat seperti alunan musik pengantar mayat ke kuburan. Ia mengangkat wajahnya, menatap satu persatu orang di depannya. Hanya ada empat orang.

Sangat mudah.

“Ada yang mau lo semua ucapin sebelum gue kirim ke kuburan?”

Justin benar-benar merasa direndahkan. Dengan aba-aba dadakan, ia beserta ketiga temannya langsung menyerang Atlantas.

Cowok blasteran tersebut hanya tersenyum miring. Menghabisi ke empat orang tersebut sangatlah mudah untuknya. Dan benar saja, tak lama setelah itu satu persatu mereka berguguran. Justin mencoba untuk bangkit, namun punggungnya diinjak oleh kaki Atlantas.

“Kasih tau di mana posisi cewek yang kalian bawa itu, atau Li pilih rumah terkahir sendiri. Mau kuburan atau neraka.” Atlantas semakin kuat menekan kebawah injakannya, sehingga membuat Justin tidak bisa bergerak lagi. “Rumah terakhir lo itu ... rumah sakit jiwa dan kuburan,” bisik Atlantas mematikan.

“Arrgghh, Lepasin kaki kotor lo itu dari punggung gue, sialan!” teriak Justin.

Atlantas tertawa keras. “Kaki gue emang kotor, dan akan semakin kotor setelah ini!”

Tak perduli dengan erangan Justin, Atlantas mengeluarkan pisau lipat yang selalu tersimpan rapi di dalam jaket. Menusuk-nusuk punggung Justin cukup dalam dan setelah itu menendang tubuh lemah tersebut hingga membuat lantai basah karena darah.

Justin tidak sadarkan diri.

Atlantas tertawa pelan. “Ah, baru mulai saja sudah seseru ini,” gumamnya. Lalu mulai berjalan menuju ke belakang markas dengan memutar-mutar pisau lipat di tangan kiri. “Bagaiman kalau hari ini kita ganti cat Markas Vagos jadi warna merah?” Ia menyeringai.

🏍️🏍️🏍️

Marco dan Rian duduk tidak jauh dari posisi Abel yang tengah diikat di sebuah kursi. Meraka tidak menduga kalau membawa cewek tersebut ternyata sangatlah mudah. Bahkan, bisa dibilang seperti membawa bayi, walaupun sempat pusing lantaran Abel yang cerewet.

Sudah empat jam berlalu semenjak penculikan tersebut dan Abel masih diam. Sesekali ia malah melemparkan senyuman kepada Rian ataupun Marco atau kadang bernyanyi pelan.

Rian menggaruk tekuknya yang tidak gatal. “Kok, tuh cewek nggak takut ya, anjer? Kayak biasa aja gitu wajahnya. Jangan-jangan kita salah culik orang lagi?”

“Ngawur lo!" sahut Marco yang sebenernya juga sepemikiran dengan Rian. Ia menghela napas. “Biarin aja. Yang penting tugas kita sudah selesai.”

Rian mengangguk setuju. Hingga dobrakan pintu terdengar membuat ia dan Marco refleks mengumpat.

“LO?!" belum habis Marco berteriak, suara bunyi pecahan-pecahan kaca terdengar dari dalam rumah. Ia menuntut penjelasan dari Bara.

Bara, cowok yang mendobrak pintu tadi semakin pucat. Dengan napas tersengal-sengal, ia berkata tegas. “ATLANTAS DATANG!”

Marco mengepalkan kedua tangannya. Berbeda dengan Rian yang malah melirik ke arah Abel. Masih sama, cewek tersebut malah melemparkan senyuman lebar. Ia berdecak pelan.

Cewek sinting!

“Yan! Rian!”

Rian tersentak. “Apa woi?! Apa?” tanyanya saat Bara berteriak.

“NGIKUT MARCO KE DEPAN SANA!”

Rian terkesiap kaget. Dengan langkah seribu ia cepat menyusul Marco. Namun, sebelum sepenuhnya ia pergi, ia sempat melemparkan pandangan ke arah Abel, lagi. Kali ini ekspresinya tidak bisa terbaca.

“LEMOT, LO KEONG! BURUAN!” Bara segera menyeret Rian. Dan sekarang tinggallah Abel sendirian.

Huft, akhirnya,” gumam Abel pelan. Ia mencoba untuk memindai seluruh isi ruangan tersebut. Ia yakin, ini adalah gudang. Soalnya, tidak ada jendela ataupun penerangan dari luar selain ventelesi. Lembab, pengap, dan kotor itulah ia yang rasakan.

Abel melepaskan sepatu dan kaos kakinyanya dengan sedikit kesusahan. Salah kalau kalian berpikir ia tidak bisa lolos dari belitan ini, ia yakin ia pasti bisa. Walaupun kedua tangannya terikat tali ke belakang.

Tidak salah ia menyelipkan pisau lipat di dalam sepatunya sejak pertama masuk sekolah.

Menggunakan kedua kakinya guna mengambil pisau tersebut dari dalam sepatu cukuplah banyak memakan waktu dan tenaga. Setelah yakin kalau pisau lipat tersebut sudah terjepit di antara sela-sela kakinya, ia langsung mengarah kakinya ke belakang. Tangannya dengan siap menyambut dari belakang kursi.

Beberapa kali gagal dan di percobaan ke empat kalinya ia berhasil memegang pisau tersebut. Ketahuilah, hal seperti ini sudah sering ia alami dulu. Jadi, tidak usah kaget. Ia sudah terlatih. Dan benar saja, dalam hitungan menit ia telah berhasil memotong tali yang melilit tangannya tersebut.

“Ish, kurang kenceng ikatannya," kata Abel sempat-sempatnya. “Huft, capek juga tenyata.” Abel menunduk, dan memasang kembali kaos kaki serta sepatunya. Setelah itu, ia langsung berdiri, melangkah menuju pintu.

Salah perkiraan Abel kalau di luar tempat barusan adalah rumah. Ternyata, malah sebuah halaman luas dengan dua kolam di dekatnya. Tak mau memperlambat waktu, Abel segera berlari dengan perasaan was-was. Bisa saja, kan, ia ketangkap lagi?

Tujuan hanya satu, segera keluar dari rumah besar ini dan pulang ke rumahnya sendiri sebelum Banu tau. Langit yang mulai menjingga, dan kicauan burung terdengar, membuat Abel sedikit merinding. Ia tidak terlalui menyukai senja.

“Ayo-ayo, Abel! Kita harus segera pulang!” gumamnya pada diri sendiri.

Namun, belum sempat ia melangkah kembali. Kehadiran seseorang di depan sana membuat tubuh Abel seketika menegang. Bukan setan, bukan raja, tapi auranya sangat kuat.

Tanpa sadar Abel melangkah mundur. Kedua kakinya langsung bergetar hebat. Ia merasa ketakutan.

Atlantas.

Entah apa yang membuat cowok tersebut ada di sini. Tapi, kehadiran cowok tersebut cukup membuat nyali Abel seketika raib entah kenapa. Tidak ada lagi perasaan menggebu untuk melarikan diri. Yang menguasainya sekarang hanyalah perasaan ingin lenyap seketika saja. Tapi, itu tidak mungkin.

Atlantas memiringkan kepalanya dengan seulas senyuman tipis. Sungguh, demi apapun di dunia ini seringai Atlantas terlihat sangatlah menakutkan.

“A—Abel ....”

Atlantas berjalan mendekat. Tanpa Abel sadari ia memilih untuk mundur. Tidak ada alasan untuk ia memajukan langkah. Memajukan langkah sama saja seperti mengantar diri ke lembah kematian.

Tatapan Atlantas seolah-olah sudah terkunci di dalam netra milik Abel. Dengan sekali hentakan, ia berhasil menangkap sebelah pergelangan tangan Abel hingga membuat sang empu terpekik kaget.

“Tau kesalahan lo di mana?” Cengkraman tangan Atlantas di lengannya menguat. Abel meringis kesakitan.

“Tau apa salah lo, hah?!” bentak Atalantas membuat kedua mata Abel berkaca-kaca. “Kenapa diam? Bisu lo! Jawab gue, sialan!”

Atlantas menarik lengan Abel kasar hingga tubuh mereka hampir tertempel. Abel hanya bisa menahan jerit ketakutan. Bendungan air matanya sudah tidak bisa di tampung lagi. Atalantas lebih menakutkan dari Ayahnya.

Atlantas itu penuh penekanan.

“Jawab gue, sialan!”

Abel tidak bisa membuka mulutnya. Ketakutan lebih menguasai dirinya dari apapun.

Atlantas merunduk, mengangkat dagu Abel dengan jari-jarinya. Menatap dalam bola mata hitam milik cewek tersebut dengan rahang yang mengeras. Ada sesuatu yang mendesak dari dalam dirinya, yang meronta segera ingin dibebaskan. Tapi, ia tidak tau. Perasaan menggebu-gebu seperti mendapatkan sesuatu yang berharga.

Atlantas tersenyum miring. Memainkan tangannya di pipi kanan Abel, mengusapnya pelan, namun penuh penekanan.

Ada kilatan amarah dari bola mata Atlantas yang bisa Abel tangkap.

“Kak ....”

“Lo sebenarnya siapa?” tanya Atlantas yang tidak bisa dimengerti oleh Abel.

“Ma—maksudnya?”

“Berhenti kayak orang bodoh!” Atlantas mencengkram kuat dagu Abel, mengangkat sedikit hingga bisa bertatap muka dengannya. Bisa dilihat asa jejak-jejak ari mata di pipi mulus tersebut.

Lagi, tatapan jernih itu membuat Atlantas merasa hanyut. Tapi, ia tidak boleh terbawa arus, ada yang harus ia pastikan terlebih dahulu di sini.

Jantung Abel serasa sedang dugem. Ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya walaupun ketakutan setengah mati. Seperti ada magnet di dalam diri Atalantas yang malah membuatnya tertarik kian mendekat.

Abel hanya bisa mengepalkan kedua tangannya di sisi rok. “Kenapa?” tanyanya lirih. “Aku Abel. Sepupu Bang Banu dan siswi pindahan dari Kalimantan,” papar Abel. “Cukup itu yang Kak Atalantas tau.”

Atalantas diam. Ia merasa tidak puas. Tapi, ia tidak bisa berkata-kata lagi. Bukan kah saat ini ia malah terlihat sangat bodoh? Menghampiri cewek yang membuat mimpi-mimpi aneh dari sekian lamanya yang sudah terkubur kian mencuat kembali dalam tidurnya.

Mimpi buruk itu semuanya di mulai saat ia melihat wajah Abel pertama kalinya di Markas. Ia merasa Abel bersangkutan dengan mimpi-mimpinya tersebut.

Konyol. Mana mungkin. Ia terlalu berpikir pendek dan bertingkah gegabah.

Iya, sepertinya ada yang keliru di sini. Dugaannya mungkin saja tidak benar. Abel tidak ada sangkut pautnya dengan mimpi-mimpi itu.

Atlantas melepaskan cengkramannya dan langsung pergi. Meninggalkan Abel yang kembali menangis.

Sesak.

“Jangan pernah tunjukkan lagi muka lo di depan gue.”

“Dan pastikan lo pakai jaket yang gue kasih.”

Abel tidak bisa merespon. Dadanya sesak. Ada yang aneh.

Kenapa?

Kepalanya pun kian merasa pusing.

“Sekali lagi lo abaikan ucapan gue, siap-siap neraka bakalan menjemput lo.”

Dan itu adalah ucapkan Atlantas terkahir kalinya. Sebelum kesadarannya hilang dan ambruk ke tanah.

“Tuhan, ada apa dengan Abel?” lirihnya sebelum kegelapan menyambutnya.

🏍️🏍️🏍️

Bukankah itu sebuah Benua?”

Atlantis.”

Cowok dengan tongkat sebagai penopang tubuhnya itu meralat, lalu menatap seorang gadis di sisinya. Tampak samar-samar. Tidak jelas. Yang terdengar hanya suara tawa lembut dari gadis tersebut.

“Aku ingin ke Atlantis.”

“Akan aku antar, kelak.”

“Sungguh?”

”Tentu.”

Gadis tersebut tampak bertepuk tangan kesenangan, lalu memeluk anak laki-laki disampingnya dengan rentetan kata-kata penenang.

“Baiklah. Sembuhkan kakimu dulu, baru kita ke Atlantis.”

“Itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Berbulan-bulan. Kakiku mengalami cedera parah.”

Gadis tersebut mengeratkan pelukannya. “Tidak apa-apa. Aku berjanji akan menunggumu sampai sembuh ....”

“Serius?”

“Tentu saja! Aku serius dan aku berjanji,” ucap gadis tersebut dengan seulas senyuman yang benar-benar manis. Membuat cowok tersebut ikutan tersenyum.

Namun, tiba-tiba saja semuanya jadi aneh. Ia tidak lagi berada di satu  kursi dengan gadis tersebut, ia malah berada di tengah jalan raya dengan perasaan linglung.

Teriakan dari seseorang yang membuatnya membalikkan badan. Dan betapa kagetnya ia saag melihat kejadian di depan sana. Kedua kakinya terasa seperti jelly. Tanpa sadar, ia bersimpuh di jalan raya dengan derai air mata.

“HEI, AWASSSS ADA MOBIL!!”

Bruk

“ARRGGGHHHH!" napas Atlantas tampak memburu. Mimpi sialan itu lagi. Dengan hidung yang kembang kempis, Atlantas mencengkram kuat-kuat selimutnya. Peluh membasahi tubuhnya.

Mimpi ini, selalu menyiksanya. Mimpi yang selalu berkahir dengan bunyi tabrakan.

Tanda sadar Atlantas mengambil gelas di atas nakas dan melemparkannya ke dinding hingga terpecah belah.

“SIAPA LO, HAH, SIAPA?! BRENGSEK!”

🏍️🏍️🏍️

Continue Reading

You'll Also Like

34.1K 3.3K 44
"Gue akan selalu percaya sama lo Al" "Jangan pernah percaya sama gue" Alvaero ketua Xezagron yang terjebak dengan cinta Aurora si cewek Bar-bar dan p...
6.2K 3.3K 50
"Ketika tawamu menjadi kebahagiaanku." -Reyno Daimend- Sudah bertunangan dan hampir mau menikah sih, tapi tunangannya malah dibunuh. Miris memang. Se...
3.9K 263 13
[ANGKASA S2] BIASAKAN FOLLOW DULU!! BARU BACA!! -Benci dan Cinta aku belajar banyak darinya- Siapa yang tidak kenal dengan Langit Dewantara Putra. ...
1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...