Intoxicate [TERBIT]

By skyzafnia

4.6M 465K 60K

[COMPLETED] "Apa rasanya?" tanya Chiara spontan. Theodoric menoleh, cowok itu mengapit rokoknya di jemari, la... More

Intoxicate 1: Those Eyes
Intoxicate 2: Her Boyfriend
Intoxicate 3: Nancy
Intoxicate 4: Scared
Intoxicate 5: Playing Victim
Intoxicate 6: Impression
Intoxicate 7: Dead Tree Tattoo
Intoxicate 8: Something Has Changed
Intoxicate 9: Lost in His Own Thoughts
Intoxicate 10: Smells Like Him
Intoxicate 11: He Can't Sleep
Intoxicate 12: Object of Desire
Intoxicate 13: Sleep with Me
Intoxicate 14: Blurrin' All The Lines
Intoxicate 15: Small Talk
Intoxicate 17: Then Don't
Intoxicate 18: Smoke Rings
Intoxicate 19: Ultimatum
Intoxicate 20: Balcony
Intoxicate 21: Broken-hearted
Intoxicate 22: Two Strangers
Intoxicate 23: I Do Care About Her
Intoxicate 24: Hurt In Silence
Intoxicate 25: Loving Can Hurt Sometimes
Intoxicate 26: Elevator Kiss
Intoxicate 27: A Girl That Gives A Shit
Intoxicate 28: Gotta Get Back
Intoxicate 29: Girl In My Bed
Intoxicate 30: Aggressive Kisser, Theodoric
Intoxicate 31: She's Mine
Intoxicate 32: Slap or Kiss
Intoxicate 33: "Smoking"
10 JUNI ADA APA?!
VOTE COVER
REVEAL HARGA
OPEN PO
PO 2 THEO BULAN AGUSTUS?!
PO 2
PO 2 Bulan Depan!
HARI INI PO 2
PO LAGI?!
PO-4!
Info PO 5
Theo di Karyakarsa

Intoxicate 16: Caught A Cold

116K 13.3K 903
By skyzafnia

VOTE DAN SPAM KOMENTAR YA!

𝕴𝖓𝖙𝖔𝖝𝖎𝖈𝖆𝖙𝖊

Efek dari beberapa obrolan kecil yang dimulai Chiara beberapa hari terakhir rasanya cukup nyata, Theodoric sama saja seperti Hana dan teman-temannya, tapi cowok itu adalah versi yang lebih irit bicara. Pelan-pelan rasa takut Chiara pada cowok itu juga terkikis, tapi dia tetap merasa ada batasan di antara mereka, Theodoric tentu masih sangat benci padanya. Chiara tidak pernah tahu bahwa melihat teman-temannya—geng Hana dan Nancy—bahagia ternyata juga bisa membuat sesuatu di hatinya berubah, dia tidak pernah benar-benar tahu arti “kamu akan bahagia jika melihat orang yang kamu sayangi bahagia”.

Hana beserta gengnya dan Nancy, adalah satu-satunya yang Chiara punya. Dia berharap tidak akan ada sesuatu yang buruk menimpa pertemanan mereka, Chiara berharap mereka bisa cukup baik untuk saling percaya. Tiba-tiba saja Chiara menikmati lagu Dusk Till Dawn yang mengisi atmosfer di mobil Theodoric, dia sampai bernyanyi kecil sambil menatap jalanan; memperhatikan setiap hal kecil yang dulu luput dari pandangan.

“Ini mobil lo?” Chiara menoleh pada Theodoric, menatap side profile cowok itu dengan alis terangkat. Theodoric mengangguk sebagai jawaban. “Belinya pake duit lo juga?”

“Dari kakek gue.”

Oh, wow. Seberapa kaya keluarga besar cowok ini?

“Ooooh.” Chiara memutar kepala seratus delapan puluh derajat, melihat jalanan kota dan gedung-gedung pencakar langitnya, lagi. Kemudian hening sampai mobil terparkir di basement, Chiara mengikuti langkah Theodoric sambil berhitung. Dia mulai kehabisan topik untuk dibicarakan, ternyata berinteraksi dengan lawan bicara yang sama-sama irit bicara itu cukup melelahkan. Bedanya, kalau Theodoric memang tipe manusia yang membatasi berapa kata yang harus dia keluarkan per hari, sedangkan Chiara adalah si manusia kuper yang tidak tahu bagaimana memulai obrolan dengan baik.

Setelah memijakkan kaki di apartemen, Theodoric melempar tas ke sofa, lalu duduk dan melepas satu per satu kancing kemejanya. “Lo ngapain?” tanya Chiara, cewek itu berkedip cepat beberapa kali, lalu menatap mata Theodoric tepat, sebelum beralih pada kening cowok itu. Menatap mata Theodoric dalam waktu lebih dari tiga detik masih tetap adalah kelemahan Chiara.

Cowok itu berdecak, kesal pada pertanyaan yang terdengar sangat bodoh. Theodoric tidak menjawab, dia masuk ke kamar, untuk kemudian kembali lagi dengan celana jeans biru muda penuh sobekan, masih dengan keadaan shirtless.

Apa, sih, maksud cowok itu?

“Kenapa lo suka nggak pake baju?” Chiara menyipit, dia yakin pertanyaannya ini sudah cukup jelas.

Theodoric berdiri di belakang Chiara, cowok itu mengambil selai cokelat untuk dioleskan pada beberapa lembar roti. Tidak cukup sabar untuk memesan gofood. “Memangnya kenapa?” tanya cowok itu tenang. Dia mengoleskan selai pada dua lembar roti, lalu menumpuk roti-roti itu sebelum mengambil satu gigitan besar. Theodoric bersandar pada meja, menatap Chiara masih seperti tatapannya kemarin-kemarin.

Chiara mengedikkan bahu, dia hanya merasa agak terganggu karena takut tangannya lepas kendali. Dia bahkan selalu curi kesempatan untuk melirik pada tato Theodoric di kulit cowok itu yang putih bersih. Oh, Tuhan, Chiara pasti bisa dituduh cabul. Dia berniat meninggalkan dapur setelah menumpuk dua roti dengan selai cokelat yang sama, tapi Theodoric lebih dulu menarik pergelangan tangan Chiara sampai dia menabrak cowok itu.

Hampir saja Chiara tersedak, dia menelan satu gigitan yang tadi diambilnya, lalu menatap Theodoric sesaat sebelum kembali menatap kening cowok itu. Chiara pikir Theodoric akan mengatakan sesuatu, tapi setelah menunggu beberapa detik dalam posisi yang kurang mengenakkan ini, cowok itu tidak mengeluarkan satu kata pun dari mulutnya. Chiara mengerutkan alis bingung, dia berusaha pergi, tapi Theodoric justru semakin mempererat cekalannya.

“Sabtu malem, delapan tiga puluh, gue jemput,” kata cowok itu akhirnya.

“Hah? Gimana?” Chiara bahkan tidak bisa mengerti ke mana arah pembicaraan mereka.

“Ulang tahun kakek gue.”

“Oooh.” Chiara mengangguk pelan, kemudian menatap Theoodric lagi dengan alis berkerut satu detik. “Kok gue? Sama Hana, aja.” Hana sudah jelas kenal dekat dengan keluarga Theodoric, sedangkan Chiara sendiri tidak sama sekali, untuk apa kenal dekat dengan keluarga musuh sendiri.

“Gue gak mau tau.”

The hell. Chiara berdecak, dia menarik tangannya dari cekalan Theodoric, memberi jarak karena posisi mereka sebelumnya benar-benar dekat. “Ya udah. Tapi cuma sekali ini, gue gak mau terlibat apa pun sama lo atau keluarga lo,” katanya ketus. Chiara rasa, perihal Glory saja sudah cukup, lalu tiba-tiba Theodoric ingin membuatnya pamer tampang di hadapan keluarga cowok itu. Yang benar saja, Chiara tidak ingin terlibat sesuatu yang rumit dengan cowok mata laser itu.

Theodoric berdecih, cowok itu maju dan menyipit pada Chiara. “Gue nggak sudi bawa lo ketemu keluarga gue kalo bukan karna disuruh Nyokap.” Cowok itu mengurung Chiara di antara lengannya yang bertumpu pada meja pantry, urat-urat yang muncul di sepanjang lengan Theodoric juga merupakan sesuatu yang sejak dulu paling Chiara hindari.

Theodoric mungkin ingin memaki Chiara, tapi cowok itu hanya diam dengan tatapan penuh kebencian seperti kemarin-kemarin. Chiara menggertakkan giginya, entah bagian mana dari perkataan cowok itu yang membuat dia tersinggung. Harusnya memang Chiara tidak perlu menuruti perkataan Hana, Theodoric tetap saja akan jadi musuh untuknya sampai kapan pun, jadi berusaha untuk bicara dengan cowok itu, atau berniat mengurangi kecanggungan di antara mereka, itu sangat tidak perlu.

Setelah mendengkus kesal, Theodoric pergi begitu saja. Chiara bergeming dengan tatapan kosong, mata cewek itu berkaca-kaca. Dia mulai merasa bahwa Theodoric memang manusia tanpa hati dan perasaan, padahal Chiara sudah berbaik hati untuk tidak terlalu ketus pada cowok itu. Chiara benci pada tatapan itu, pada setiap kalimat yang Theodoric ucapkan, cowok itu bahkan tidak menghargai usahanya untuk bersikap manis.

Kenapa harus Theodoric? Kenapa Hana harus dekat dengan cowok itu dan mempercayakan Chiara untuk dijaga? Kenapa bukan Jennifer atau Bella saja?

Tidak ada hal baik dari Theodoric, cowok itu tidak bisa menjaga anak 16 tahun, menjaga ucapannya supaya tidak menyakiti orang lain pun tidak bisa.

𝕴𝖓𝖙𝖔𝖝𝖎𝖈𝖆𝖙𝖊

“Gimana? Udah akrab, ya, sama Theo? Dia baik, ‘kan?” Adalah pertanyaan Hana saat dia melihat Chiara ke luar kamar malam itu.

Chiara melirik Hana sekilas, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Dia mengedikkan bahu, sambil duduk di hadapan Hana, dia mengambil satu gelas lain cokelat panas yang sudah di sana sejak tadi. Chiara mengusap pinggiran gelas, lalu mengangkat tatapannya pada Hana. “Gue mau naik taksi aja mulai besok, kalo lo mau pemotretan,” ungkapnya pelan dan agak ragu.

Hana berhenti mengunyah pocky green tea yang ke sekian bungkus, cewek itu menatap Chiara serius. “Kenapa? Lo diapain sama Theo?” tanyanya pengertian.

Andai saja Chiara tidak perlu peduli pada pertemanan mereka, dia pasti sudah berteriak kesal karena Theodoric itu seperti iblis. “Pengen sendiri aja, Kak. Nggak enak ngerepotin orang terus.”

“Hm .., gitu ya.” Hana mengangguk paham, cewek itu lalu tersenyum. “Ya udah, nggak pa-pa kalo mau sendiri, nanti gue bilang sama Theo.”

Chiara juga ingin bergaul dengan temannya yang lain, setelah acara ulang tahun kakek Theodoric, dia akan benar-benar menjauhi monster itu. Mungkin juga Nancy, Chiara tidak ingin punya urusan apa pun lagi dengan Theodoric. Terserah saja kalau Hana akan marah, atau kalau semua orang memusuhinya, toh Chiara juga tidak punya teman sejak kecil.

Sudah cukup malam untuk punya alasan kembali ke kamar. Chiara berterima kasih untuk cokelat panas dari Hana, lalu dia kembali ke kamar untuk duduk di ranjang sambil mencoret-coret beberapa lembar kertas di buku harian. Cewek itu menoleh pada meja di samping ranjang, lalu merangkak untuk mengambil foto orang tuanya. Dulu Mama yang selalu mengatakan hal-hal baik padanya, Papa selalu menuruti apa pun yang dia minta. Lagi-lagi merasa kehilangan arah, Chiara merasa jalan yang sudah dibuat sangat rapi oleh Papa dan Mama sekarang justru tertutup kabut. Chiara tidak tahu ingin melangkah ke mana, dia merasa seperti terbuang, seperti barang lama.

Cewek itu cepat-cepat mengusap air mata yang hampir jatuh ke pipi. Kepala Chiara terlalu sakit sampai dia tidak bisa terlelap, meskipun sudah mematikan lampu, bahkan memeluk foto Papa dan Mama tidak bisa menenangkan pikirannya yang berisik. Sedetik kemudian, Chiara tidak merasakan apa pun lagi, mungkin menangis bisa menimbulkan efek mati rasa. Namun, dia terbangun di tempat asing, dan terpeleset jatuh pada jurang yang tidak tampak sebelumnya.

Chiara tersentak, dia langsung duduk, kepalanya sakit, dan dia bermimpi. Dia terkejut saat menyadari sedang tidak berada di kamar yang gelap, melainkan masih di ruang tengah, dan Theodoric. Cowok itu duduk di sana, di tempat Hana duduk sebelumnya. Bahkan Chiara tidak bisa lagi melihat perbedaan dari mimpi dan kehidupan nyata. Theodoric bersidekap dengan tatapannya yang dingin, Chiara tidak tahu sejak kapan cowok itu di sana, sejak kapan dia tidur, di mana Hana, dan siapa yang mengambilkan selimut untuknya.

Berusaha tidak membuat interaksi apa pun, Chiara bangkit tanpa mempedulikan Theodoric. Cewek itu minum sangat banyak air karena rasanya seperti habis berlari puluhan kilometer. Dia duduk, menekan pelipis berusaha mengurangi sakit. Chiara meletakkan pipi pada lipatan tangannya di atas meja, pasrah pada pusing yang melanda. Chiara benci saat dia masih bisa menyadari ada yang datang ke dapur, dan aroma parfum itu milik Theodoric, dia tidak ingin bertatap muka dengan cowok itu.

Sampai kemudian, Chiara merasakan napas berat terdengar jelas di telinganya, disusul suara Theodoric dalam nada rendah. “Anak ini sakit?”

Chiara tidak tahu cowok itu bicara pada siapa, lalu tahu-tahu saja tubuhnya terangkat. Kepala Chiara bersandar pada dada Theodoric yang keras, aroma parfum cowok itu membuat sakit di kepalanya hilang sesaat. Lalu badannya menyentuh ranjang yang lembut, Chiara merasakan tangan Theodoric memperbaiki posisi kakinya, dan cowok itu duduk di tepi ranjang. Hal yang terjadi setelah itu hampir saja membuat Chiara membuka mata; Theodoric mengusap bibirnya. Tangan besar cowok itu menempel di kening Chiara beberapa saat, lalu yang dia rasakan adalah usapan pelan.

“Halo.” Suara Theodoric rendah, cowok itu mungkin menelepon seseorang. Chiara berusaha tidak mengintip dan itu sulit. “Hana bego. Pulang lo, bucin mulu. Anak ini demam, mukanya pucet banget. Kok jadi gue? Hah, Axel anjing. Ya udah trus di mana? Apa namanya? Iya, bacot.” Hening lagi, Chiara menebak cowok itu baru saja menelepon Hana yang mungkin sudah pergi kencan untuk yang ke sekian kali.

Selain itu, Chiara hanya merasakan dingin, dia tidak tahu kalau badannya demam dan pucat. Theodoric bangkit, dan benar-benar hening seperti tidak ada siapa pun setelah bunyi pintu tertutup. Tidak cukup lama, pintu berbunyi lagi dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang dingin menempel di kening Chiara, benda itu beraroma dan Chiara yakin merupakan plester penyerap demam yang dibeli Hana beberapa waktu lalu. Keheningan yang satu ini membuat jantung Chiara berisik, dia tahu Theodoric masih di sana, tapi dia tidak tahu apa yang cowok itu lakukan.

Terdengar helaan napas berat, dan itu bukan berasal dari Chiara. Sentuhan di kelopak mata Chiara membuat cewek itu mencengkram kecil pada selimut. Suara Theodoric terdengar sangat berat dan dekat saat cowok itu berkata, “Tukang ngambek bisa sakit juga?”

Apa katanya? Apa dia pikir Chiara bukan manusia? Dan apa-apaan tukang ngambek?

Usapan Theodoric berpindah ke pipi Chiara, hanya beberapa saat sebelum cowok itu berdecak dan menghentikan kelakuannya. Lagi-lagi merasa terpengaruh.

Look what the hell you have done to me.” Sumpah, Theodoric merasa telah diracuni untuk jadi sangat peduli pada Chiara seperti ini.

𝕴𝖓𝖙𝖔𝖝𝖎𝖈𝖆𝖙𝖊

Mulai sekarang Intoxicate bakal update setiap 2 hari ya. Maap ga bisa setiap hari lagi. 🥺

Chiara: *sakit*

Theo:

Continue Reading

You'll Also Like

45.2K 5.8K 7
>>> Lanjutan dari cerita berjudul; Sherlock ... Sudah hampir tiga tahun Starla tinggal di luar negeri, kini ia memutuskan untuk kembali ke Tanah Air...
1.8M 26.6K 44
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
BAD GAMES By 🌙

Teen Fiction

3.1M 234K 62
[SEGERA TERBIT] [PART MASIH LENGKAP] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Rencana Valletta untuk hidup damai di sekolah barunya hancur berantakan. Semua bermula...
2.6M 290K 76
[HARAP FOLLOW DULU, SEBELUM MEMBACA!] || END ... "Bangun, bisu!" "Bego, kena bola sedikit aja pake segala nangis." "Tatap mata gue sekarang, cewe...