WIRO SABLENG

By dlwshe

119K 861 20

More

01. Empat Berewok Dari Goa Sanggreng
02. Mau Bernyanyi Di Pajajaran
03. Dendam Orang-Orang Sakti
04. Keris Tumbal Wilayuda
05. NERAKA LEMBAH TENGKORAK
06. Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
08. Dewi Siluman Bukit Tunggul
09. RAHASIA LUKISAN TELANJANG
10. Banjir Darah Di Tambun Tulang
11. Raja Rencong Dari Utara
12. Pembalasan Nyoman Dwipa
13. Kutukan Empu Bharata
14. Sepasang Iblis Betina
15. Mawar Merah Menuntut Balas
16. HANCURNYA ISTANA DARAH
17. Lima Iblis Dari Nanking
18. Ki Ageng Tunggul Akhirat
19. Hidung Belang Berkipas Sakti
20. Pendekar Pedang Akhirat
21. Neraka Puncak Lawu
22. Pendekar Dari Gunung Naga
23. Siluman Teluk Gonggo
24. Cincin Warisan Setan
25. Penculik Mayat Hutan Roban
26. Cinta Orang-orang Gagah
27. Iblis Iblis Kota Hantu
28. Khianat Seorang Pendekar
29. Petaka Gundik Jelita
30. Dosa Dosa Tak Berampun
31. Bencana Di Kuto Gede
32. Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi
33. Bajingan Dari Susukan
34. Panglima Buronan
35. Munculnya Sinto Gendeng
36. Telaga Emas Berdarah
37. Dewi dalam pasungan
38. Maut bermata satu
39. Iblis Berjanggut Biru
40. Kelelawar Hantu

07. Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin

3.6K 19 2
By dlwshe

WIRO SABLENG 

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 

Karya: BASTIAN TITO 

TIGA SETAN DARAH DAN CAMBUK API ANGIN 

SATU 

PEMUDA baju biru itu berdiri dengan gagahnya di puncak 

bukit. Angin dari timur bertiup melambai-lambaikan rambutnya yang 

gondrong menjela bahu. Sepasang matanya sejak tadi hampir tiada 

berkesip memandang lekat-lekat ke arah utara di mana berdiri 

dengan megahnya pintu gerbang Kotaraja. 

Sudah hampir setengah hari dia berada di puncak bukit itu. 

Sudah jemu dan letih matanya memandang terus-terusan ke arah 

pintu gerbang. Namun manusia-manusia yang ditunggunya belum 

juga kelihatan muncul. 

Sebetulnya dia bisa menuruni bukit itu dan langsung 

memasuki Kotaraja. Tapi dia ingat pesan gurunya, di Kotaraja penuh 

dengan hulubalang-hulubalang Baginda, bahkan tokoh-tokoh silat 

kelas satu pentolan-pentolan Istana, banyak orang sakti berilmu 

tinggi sehingga menyelesaikan perhitungan di dalam Kotaraja sama 

saja mencemplungkan diri ke dalam jebakan dimana dia tak mungkin 

lagi akan keluar. Kalaupun ada jalan ke luar maka itu ialah jalan 

kepada kematian! 

Dia menunggu lagi. 

Sekali-sekali dia memandang ke jurusan lain untuk 

menghilangkan kejemuan dan kelesuan matanya. Kemudian bila dia 

memandang pada dirinya sendiri, memperhatikan tangan kirinya 

yang buntung sebatas siku maka disaat itu ingatlah dia akan ucapan 

gurunya sewaktu dia hendak meninggalkan pertapaan. 

"Hari ini kuperbolehkan kau meninggalkan tempat ini, 

Pranajaya. Tapi kelak dikemudian hari kau musti kembali kemari 

untuk menuntut satu ilmu baru yang sekarang ini kugodok. Kau 

pergi dari sini dan musti berhasil mencari ketiga manusia yang telah 

membunuh kau punya bapak.... Tempo hari aku sudah pernah 

terangkan. Kau masih ingat siapa nama julukan ketiga manusia itu?" 

"Mereka adalah Tiga Setan Darah, guru," jawab Pranajaya. 

"Betul," kata sang guru. "Ketiganya berada di Kotaraja. Sudah 

sejak lama kuketahui hidup di sana sabagai bergundal-bergundalnya 

Baginda. Tapi ingat Prana! Sekali-kali jangan selesaikan perhitunganmu 

dengan mereka di dalam Kotaraja. Itu barbahaya besar karena Kotaraja 

penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu yang menjadi kaki tangan 

Baginda..." 

"Dengan bekal ilmu yang guru, wariskan serta pedang Ekasakti 

yang guru berikan tak satu lawanpun yang saya takutkan di atas bumi 

ini. Apalagi saya tahu bahwa saya berada di atas kebenaran!" 

Empu Blorok tersenyum dan rangkapken kedua tangannya dimuka 

dada. 

"Aku sedang mendengar ucapan jantanmu," kata Empu Blorok 

pula. "Tapi walau bagaimanapun membuat kegaduhan di dalam 

Kotaraja sangat berbahaya bagi keselamatan jiwamu. Di samping itu aku 

mengingat pula akan tugas yang hendak kuberikan padamu. Jadi Prana, 

ringkas kata kau musti membereskan Tiga Setan Darah di luar Kotaraja, 

bagaimana caranya terserah kau." 

Sang murid manggut-manggutkan kepalanya. "Tadi guru 

menyebutkan satu tugas untukku... Mohon penjelasan lebih lanjut," kata 

Pranajaya. "Bila perhitunganmu dengan Tiga Setan Darah telah selesai 

maka kau harus pergi ke Pulau Seribu Maut." 

Pranajaya tak pernah mendengar tentang pulau itu dan tidak pula 

tahu di mana letaknya. Maka diapun menanyakannya. 

"Pulau itu," menjawab Empu Blorok, "terletak diujung timur 

pulau Jawa. Di situ bercokol seorang manusia bernama Bagaspati. 

Dulunya dia adalah kawan baikku. Tapi kemudian mencuri sebuah 

senjata mustikaku dan melarikan diri. Dengan senjata mustika itu dia 

membuat keonaran di mana-mana dan berbuat kejahatan! Kau harus 

mengambil senjata muutika itu kembali dari tangannya Pranajaya. KaIau 

dia banyak rewel, kau tahu apa, yang musti dilakukan!" 

"Baik guru," kata Pranajaya lalu tanyanya. "Senjata apakah yang 

telah dicuri oleh Bagaspati itu?" 

"Sebuah cambuk, Prana. Cambuk Api Angin namanya!" 

"Tugas dari guru akan aku jalankan. Mohon doa restu," kata 

Pranajaya. 

Ketika dia hendak pamitan Empu Blorok berkata, "Tunggu 

sebentar Prana. Masih ada yang hendak kuterangkan padamu." 

"Soal apa guru?." 

"Soal dirimu. Kau lihat tangan kirimu yang buntung itu...?" 

Prana memperhatikan tangan kirinya lalu mengangguk. Aneh 

terasa baginya kalau saat itu gurunya bicara soal tangan itu, padahal 

sudah sejak belasan tahun dia berada bersama Empu Blorok dan sang 

guru tak pernah bicara apa-apa soal tangannya yang buntung itu. 

"Waktu bapakmu dibunuh," berkata Empu Blorok. "Dia 

sedang tidur di atas balai-balai di sampingmu. Tiga Setan Darah 

menyerbu masuk dan salah seorang diantara mereka segera 

membacokkan sebilah pedang! Bapakmu seorang yang berilmu 

tinggi. Begitu dia merasakan sambaran angin senjata maut itu 

dia segera melompat. Dia berhasil mengelakkan bacokan pedang 

namun akibatnya ujung pedang terus menyambar lenganmu dan 

membabat putus sikumu. Kau saat itu masih orok, Prana... 

Bapakmu kemudian dikeroyok bertiga dan menemui ajalnya. 

Sebelum Tiga Setan Darah mencincangmu, kakakku Empu 

Krapel berhasil menyelamatkanmu dan menyerahkanmu 

kepadaku. Sayang kakakku itu sudah menutup mata, kalau 

tidak tentu dia gembira melihat kau sudah dewasa dan gagah 

begini!" 

Pranajaya terdiam seketika. Dendam membara di lubuk 

hatinya. Lalu tanyanya. "Yang manakah diantara Tiga Setan 

Darah yang telah membacok bapakku sewaktu beliau sedang 

tidur itu. Empu...?" 

"Aku kurang tahu, Prana" sahut Empu Blorok. 

"Keterangan kakakkku waktu membawa kau ke sini kurang 

jelas." 

Karena tak ada lagi yang akan dibicarakan maka 

Pranajaya berkata, "Murid minta diri, guru. Muhon, doa 

restumu...." 

Empu Blorok mengangguk. Dipandanginya muridnya itu 

sambil akhirnya Pranajaya hilang dikejauhan. 

Pranajaya memandang lagi untuk kesekian kalinya ke 

arah pintu gerbang Kotaraja. Suasana tidak berubah seperti 

tadi-tadi. Dua pengawal berdiri di sisi-sisi pintu gerbang, 

masing-masing memegang sebatang tombak. Tak ada yang lalu 

lalang. Pintu gerbang itu diselimuti kesunyian. 

"Sampai berapa lama lagi aku musti menunggu?" tanya 

Pranajaya pada dirinya sendiri. Hatinya kesal. Sebenarnya dia 

tidak takut memasuki Kotaraja untuk lekas-lekas membuat 

perhitungan dengan Tiga Setan Darah. Malah ini adalah satu 

permulaaan baginya untuk menjajaki sampai di mana ketinggian 

ilmu silat dan kesaktiannya ysng dimilikinya serta sampai di 

mana pula kehebatan tokoh-tokoh silat di Kotaraja itu! Namun 

dia musti patuh pada pesan gurunya dan tidak boleh bertindak 

gegabah. Empu Blorok lebih berpemandangan luas. Dan dia 

musti menunggu terus. Manunggu sampai Tiga Setan Darah 

keluar dari pintu gerbang Kotaraja. 

Menurut keterangan yang didapat Pranajaya dari seorang 

pengawal istana yang disogoknya dengan sekeping emas, hari 

itu Tiga Setan Darah akan meninggalkan Kotaraja, pergi ke satu 

tempat di selatan untuk satu keperluan penting. Atau mungkin 

pengawal istana itu telah menjual keterangan dusta kepadanya? 

Letih berdiri akhirnya Pranajaya duduk di tanah, 

bersandar ke sebatang pohon. Sepasang matanya senantiasa 

ditujukan ke pintu gerbang Kotaraja itu. 

SEMENTARA itu di Kotaraja .......... 

Orang itu berdiri di halaman belakang istana. Dia telah 

menyelidik ke kandang kuda dan tiga ekor kuda yang kulit serta 

bulu tengkuk dan ekornya dicelup merah telah dilihatnya di 

dalam kandang kuda istana yang besar itu. Hatinya lega. Ini 

satu pertanda bahwa Tiga Setan Darah masih berada di dalam 

istana. Orang ini menunggu siambil membayangkan hadiah apa 

yang kira-kira bakal diberikan Tiga Setan darah kepadanya 

kelak. 

Dua pengawal di pintu belakang Istana menjura hormat 

sewaktu tiga orang berjubah merah, berambut dan bermuka 

yang dicat merah melewati pintu itu, melangkah cepat menuju 

kandang kuda. 

Orang laki-laki tadi segera mendekati Tiga Setan Darah. 

Setelah menjura dia berkata, "Bolehkah aku bicara dengan 

kalian...?" 

Tiga Setan Darah yang paling tua menghentikan 

langkahnya dan hendak mendamprat. Saat itu bersama dua 

orang kawannya dia hendak berangkat untuk satu urusan 

panting tapi kini ada seseorang yang mengganggu. Ini sangat 

menggusarkannya. Sewaktu melihat bahwa laki-laki yang 

berkata tadi itu adalah seorang pengawal Istana yang 

dikenalnya, Tiga Setan Darah tertua ini surut jugs sedikit 

amarahnya. 

"Ada perlu apa kau?!" tanyanya kasar. 

"Ada keterangan panting yang bakal kusampaiken Tiga 

Setan Darah." 

"Hemm... Coba katakan cepat," kata Setan Darah tertua 

sambil mengerling pada dua orang kawannya. 

"Seorang asing hendak berbuat jahat tarhadap kalian 

bertiga...." 

"Hah... apa?!" 

"Malam tadi aku tengah makan di kedai," menuturkan 

pegawai Istana itu. Namanya Camar Pawang. "Lalu ada seorang 

asing mendekatiku dan berkata jika aku bisa kasih keterangan 

tentang Tiga Setan Darah dia akan memberikan hadiah sekeping 

emas. Aku segera maklum bahwa orang asing itu bukan 

bermaksud baik-baik terhadap kalian bertiga. Kuambil emas itu 

dan kuberikan sedikit keterangan kepadanya. Keterangan 

palsu!" 

"Apa yang itu orang asing tanya dan apa yang kau 

terangkan padanya?" tanya Tiga Setan Darah kedua. 

"Dia tanya kalau-kalau aku tahu bila kalian bertiga 

meninggalkan Istana dan keluar dari Kotaraja." 

"Apa, jawabmu?" tanya Setan Darah Ketiga. "Kuberikan 

keterangan dusta. Kukatakan bahwa Tiga Setan Darah hari ini 

akan pergi ke satu tempat di selatan untuk satu urusan 

penting..." 

Setan Darah pertama melototkan mata. Saat itu dia dan 

kawan-kawannya memang hendak berangkat ke satu tempat 

untuk menjalankan tugas Baginda, tapi bukan ke selatan 

melainkan ke daerah barat Kotaraja. 

"Aku tidak percaya!" kata Setan Darah pertama, "Coba, 

mana emas itu, aku mau Iihat!" 

Camar Pawang mengeruk sakunya dan mengeluarkan 

sekeping kecil emas yang diterimanya dari orang asing itu. 

Setan Darah pertama mengambil kepingan emas itu, 

memperhatikannya lalu sambil menimang-nimang emas itu dia 

bertanya, "Bagaimana ciri-ciri orang asing itu?!" 

"Dia masih muda, Tampangnya cakap, berbaju biru dan 

tangan kirinya buntung. Di balik baju birunya, di sebelah 

punggung menyembul ujung gagang pedang...." 

"Hem..." Setan Darah pertama menggumam. Dia anggukanggukkan 

kepala beberapa kali. "Ada lagi yang hendak kau 

katakana?" 

Camar Pawang menggeleng. 

"Kalau begitu kau tunggu apa lagi?! Cepat berlalu dari 

hadapan kami!" bentak Setan Darah pertama. 

Camar Pawang mundur satu langkah dan memandang pada 

kepingan emas yang masih ditimang-timang Setan Darah Pertama. 

"Emas itu..," kata Camar Pawang. 

"Emas bapak moyangmu!" semprot Setan Darah Kedua, "Sudah 

untung kau tidak kami gebuk, masih mau minta emas! Pergi!" 

Camar Pawang memandang pada Setan Darah Pertama. 

Manusia bermuka merah ini tertawa mengekeh daw membalikkan 

badannya sambil memasukkan kepingan emas ke dalam saku 

jubahnya. 

Camar Pawang menelan ludah. Sudah dibayangkannya dia 

bakal mendapat hadiah dari Tiga Setan Darah, tapi malah emas yang 

diterimanya dari si orang asing kini diambil oleh manusia bermuka 

merah itu! Camar Pawang menyumpah habis-habisan dalam hatinya 

dan meninggalkan tempat itu. 

Di depan pintu kandang kuda, Setan Darah Pertama hentikan 

langkah dan bertanya pada kedua orang kawannya. 

"Apa pendapat kalian?" tanyanya. 

Setan Darah kedua mengusap dagunya lalu berkata, "Jika 

keterangan kunyuk kepala dua itu betul pastilah orang asing itu 

menunggu kita di satu tempat di daerah selatan..." 

"Aku merasa heran juga," membuka mulut Setan Darah Ketiga, 

"seingatku kita tak pernah bikin urusan dengan seorang pemuda 

bertangan buntung. Apa maksud manusia itu mencari keterangan 

tentang kita sebenarnya?" 

Setan Darah Pertama merenung sejenak. "Kalau mau, kita 

masih ada waktu untuk menyelidik ke selatan." Dua orang kawannya 

menyetujui hal itu. Ketiganya segera mengambit kudanya masingmasing. 

-- == 0O0 == -- 

DUA 

ANGIN dari timur bertiup lagi melambai-lambaikan rambut dan 

lengan kiri baju biru yang dikenakan Pranajaya. Bila untuk kesekian 

kalinya pemuda ini memandang lagi ke arah utara maka membesilah 

parasnya. Air muka dan hatinya menjadi tegang. Tiga penunggang 

kuda kelihatan ke luar dari pintu gerbang Kotaraja. Kuda-kuda dan 

penunggangnya berwarna merah. Meski jauh sekali, namun melihat 

kepada jumlah penunggang-penunggang kuda itu dan melihat kepada 

warna pakaian mereka, Prana segera maklum bahwa mereka bukan 

lain daripada Tiga Setan Darah yang memang sedang dittunggutunggunya 

sejak tadi! Tiga manusia yang telah membunuh ayahnya! 

Waktu penantian berakhir sudah! Saat pembalasan kini tiba! 

Tanpa menunggu lebih lama Pranajaya segera berdiri. Kemudian 

sekali dia gerakkan kedua kakinya, maka pemnda ini sudah lenyap 

dari puncak bukit. Tubuhnya laksana angin topan berlari kencang menuruni 

lereng bukit ke arah liku jalan yang kelak bakal dilalui Tiga 

Setan Darah. Demikian cepat larinya hingga kedua kakinya laksana 

tak pernah menginjak bumi! ltu adalah berkat ilmu lari dan ilmu 

mengentengi tubuh hebat yang telah dikuasainya! 

Pranajaya sampai diliku jalan lebih dahulu dari Tiga Setan 

Darah. Pemuda ini menunggu dengan hati tegang tapi tetap tenang. 

Dia maklum Tiga Setan Darah manusia-manusia berilmu tinggi 

karenanya dia tidak boleh bertindak ceroboh. Suara derap kaki kuda 

terdengar semakin dekat akhirnya muncullah penunggangpenunggang 

kuda itu satu derni satu di tikungan jalan. 

"Berhenti!"teriak Pranajaya sambil angkat tangan kanannya. 

Tiga Setan Darah sama-sama hentikan kuda masingmasing 

dan memandang menyorot pada pemuda yang berdiri di 

tengah jalan dihadapan mereka. Keterangan Camar Pawang 

tidak dusta. Benar pemuda yang diterangkan ciri-cirinya itulah 

yang saat ini menghadang mereka. Parasnya cakap, rambut 

gondrong, berpakaian biru dan tangan kirinya buntung sebatas 

siku sedang dibalik punggurig kelihatan menyembul gagang 

pedang. 

"Pemuda tangan bunting!," kata Setan Darah pertama 

dengan suara keras. "Apa-apaan ini?!" 

Pranajaya menyapu tampang-tampang ketiga manusia itu. 

Lalu tanyanya dengan membentak, "Kalian Tiga Setan Darah?!" 

Prana bertanya untuk meyakinkan. 

"Sompret!" maki Setan Darah Kedua. "Sipa kau yang 

berani menghalangi perjalanan kami! Apa sudah bosan hidup?!" 

"Aku Pranajaya!" memberitahu si pemuda. Setan Darah 

tertua menyeringai dan mengeluarkan suara mengekeh. "Orang 

muda, kami memang Tiga Setan Darah yang terkenal itu. Ada 

maksud apa kau menghadang kami! Dari pegawai Istana yang 

kau sogok dengan sekeping emas itu kami mendapat keterangan 

yang kau mau cari urusan! Apa betul!" 

Sebelum Pranajaya menjawab, Setan Darah Ketiga sudah 

membuka mulut, "Orang hina! Lekas angkat kaki dari sini 

sebelum kupuntir kepalamu!" 

"Rupanya dia tidak tahu tengah berhadapan dengan 

siapa..!" kata Setan Darah Kedua. 

Pranajaya berdiri dengan sepasang kaki terkembang. Sinar 

di matanya semakin menyorot sedang di air mukanya 

membayangkan kebencian dan dendam yang meluap! 

"Tiga Setan Darah! Kalian tentunya betum melupakan 

peristiwa beberapa belas tahun yang silam. Ingat waktu kalian 

mengeroyok dan membunuh secara pengecut seorang bernama 

Wijaya?! " 

Tentu saja Tiga Setan Darah terkejut. Ketiganya saling 

mengerling kemudian Setan Darah Ketiga menjawab, "Manusia 

buntung, kami masih ingat. Apa sangkut pautmu dengan 

peristiwa itu?!" 

"Aku adalah anak orang yang kau bunuh itu!" jawab 

Pranajaya tanpa tedeng aling-aling. 

"Oh... begitu?!," desis Setan Darah Pertama. 

"Kawan-kawan!" seru Setan Darah Kedua, "tentunya 

pemuda buruk ini adalah bayi yang kita bacok buntung 

tangannya dulu itu!" 

"Betul!" sahut Prana. Dia maju satu langkah. "Yang mana 

diantara kalian yang membacokku?!" 

Setan Darah Pertama tertawa bekakakan. 

"Pemuda ingusan, apakah kemunculanmu kali ini hendak 

menuntut balas atas kematian kau punya bapak dan karena 

kehilangan lengan kirimu itu?!!" 

Pranajaya menggeleng perlahan. 

"Lahtas?!" tanya Setan Darah tertua dengan heran. 

"Aku datang bukan buat menuntut balas," kata Pranajaya, 

"tapi untuk, meminta jiwa busuk kalian!" 

Tiga Setan Darah sama-sama tertawa membahak. 

"Pemuda buntung," ejek Setan Darah kedua, "kau mimpi 

di siang bolong!" 

Setan Darah Pertama menimpali, "Bapakmu Yang punya 

dua tangan kami bikin mampus! Kau yang punya satu mau jual 

tampang!" 

Setan Darah Ketiga tidak tinggal diam "Mungkin kau kepingin 

cepat-cepat ketemu bapakmu di neraka?" tanyanya. 

Dan ketiga manusia bermuka merah itu tertawa lagi terbahakbahak. 

"Manusia-manusia muka kepiting rebus," sentak Pranajaya 

dengan geram, "silahkan turun dari kuda kalian. Atau mungkin kalian 

mau mampus di atas kuda masing masing"? 

Merahlah Tiga Setan Darah mendengar ucapan Pranajaya itu 

Setan Darah Pertama kebutkan lengan jarbah sebelah kanan. 

Serangkum sinar merah menyarnbar dahsyat ke arah Pranajaya. Pasir 

dan debu jalanan beterbangan saking hebatnya serangan ini. 

Pranajaya cepat menghindar ke samping dan begitu sinar merah 

lewat di sebelahnya segera pula pemuda ini hantamkan tinju 

kanannya ke arah Setan Darah Pertama. Satu gelombang angin yang 

padat dan keras menggumpal menyerang ke arah tenggorokan Setan 

Darah pertama. Ini adalah pukulan "angin sewu" 

Setan Darah pertama tidak mengelak sebaliknya tetap berdiri di 

tempat dan lambaikan tepi jubah sebelah kiri. Sekali pukul saja maka 

buyarlah angin pukulan jarak jauh Pranajaya! Tapi betapa kagetnya si 

muka merah ini karena begitu buyar, buyaran angin pukulan itu 

kembali menyerangnya. Malah kini lebih dahsyat lagi dari yang 

pertama tadi karena kali ini pecahan angin pukulan itu sekaligus 

menyerang ke arah dua belas jalan darah yang mematikan ditubuhnya! 

Setan Darah Pertama berseru nyaring lalu melompat tiga 

tombak ke udara. Laksana seekor alap-alap tubuhpya menukik ke 

arah Pranajaya dan sedetik kemudian kedua orang itu sudah 

berhadapan dalam jarak tiga langkah. 

"Setan Darah Pertama, biar aku yang kermus pemuda keparat 

itu!," teriak Setan Darah Ketiga. Setan Darah Pertama tidak ambil 

perduli. Dengan ganasnya dia menyerang. Jari telunjuk dan jari 

tengah tangan kanannya menusuk ke muka. 

"Makan jariku ini, laknat!" teriaknya. 

Serangan ilmujari "pencungkil karang" memang hebat dan 

ganas. Jangankan tulang atau daging manusia, batu karang yang atos 

sekalipun akan berlobang dan hancur kalau ditusuk oleh sepasang 

jari itu! Dan kini sepasang jari itu menyerang ke mata kiri kanan 

Pranajaya! 

Pranajaya hanya melihat lawan menggerakkan tangan 

kanannya sedikit dan tahu-tahu sepasang jari lawan sudah di depan 

hidungnya! 

Pemuda ini cepat rundukkan kepala. Dia berhasii melewatkan 

tusukan dua jari yang berbahaya itu dan di saat yang bersamaan 

sekaligus pukulkan tinju kanannya ke muka! 

Setan Darah Pertama melihat serangannya yang mematikan tadi 

dapat dilewati segera pergunakan tepi telapak tangan kanannya uatuk 

menghantam bahu Pranajaya! 

Kedua orang itu sama-sama mempunyai kesempatan untuk 

mengelak. Namun keduanya lebih menginginkan untuk meneruskan 

serangan masing-masing dan menghindar secara ambilan saja. 

Maka dalam kejap yang bersamaan tinju kanan Pranajaya melanda 

dada lawan sedang tepi telapak tangan kanan Setan Darah Pertama 

mendarat dengan kerasnya di bahu kiri Pranajaya! Kedua orang ini 

sama-sama mengeluh sakit. Pranajaya terguling di tanah. Setan 

Darah Pertama terjajar beberapa langkah ke belakang den jatuh 

duduk! Mukanya pucat pasi. Dadanya sakit dan serasa melesak ke 

dalam membuat sesak nafasnya. Cepat-cepat manusia muka merah 

ini bersila di tanah dan kerahkan tenaga dalamnya serta atur jalan 

nafas. Diam-diam dia terkejut melihat Pranajaya dapat berdiri 

kembali meskipun dengan tubuh termiring-miring! Pukulan telapak 

tangan kanannya tadi mengandalkan lebih dari separo tenaga 

dalamnya, tapi si pemuda masih sanggup berdiri dan masih hidup 

Di lain pihak Pranajaya merasakan tuang bahunya laksana 

patah! Badannya miring ke kiri sewaktu berdiri. Kalau saja dia tidak 

memiliki kekuatan tenaga dalam yang sempurna pastilah jiwanya 

sudah melayang! Prana memperhatikan Setan Darah Pertama yang 

saat itu tegak kembali dengan pandangan mata menyorotkan maut! 

Manusia ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi sekali! Pukulan jotos 

sewu yang disangkakannya akan merenggut nyawa lawan kiranya 

cuma membuat manusia muka merah itu terhampar jatuh duduk di 

tanah! 

Dua orang Setan Darah lainnya yang sudah gatal-gatal tangan 

mereka untuk segera turun tangan mengurung Pranajaya dari kiri 

kanan. 

"Biar aku yang pecahkan kepala bangsat ini sendirian!" teriak 

Setan Darah Pertama beringas. "Ah! Kunyuk buntung ini terlalu 

bagus untuk mampus ditanganmu sendirian," jawab Setan Darah 

Kedua. "Biar kami bantu!" 

Maka tanpa menunggu lebih lama kedua orang itu segera 

menyerbu. Setan Darah Pertama tidak berkata apa-apa. Meski 

hatinya beringas tapi dia memaklumi dan melihat kenyataan sendiri 

bahwa pemuda rambut gondrong berbaju biru itu tidak berilmu 

rendah. Karenanya sewaktu dua kawannya itu menyerbu Setan 

Darah Pertama diam saja. 

Menghadapi tiga lawan tangguh begitu rupa membuat 

Pranajaya harus bergerak dengan cepat dan berlaku lebih hati-hati. 

Tubuhnya hampir lenyap dalam telikungan bayangan jubah merah 

ketiga lawannya. Tiada terasa lima belas jurus telah berlalu. Setan 

Darah Pertama mengkal bukan main. 

"Kawan-kawan ternyata tikus buntung ini punya ilmu yang 

diandalkan juga!" dia berseru. "Bagaimana kalau kita bentuk barisan 

tiga bayangan siluman?!" 

Setan Darah yang dua orang lainnya menyetujui. Dan pada 

jurus yang keenam belas itu maka ketiganya segera melancarkan 

serangan hebat yang dinamakan barisan tiga bayangan siluman. 

Setan Darah Pertama setengah merunduk. Seranganserangannya 

selalu mengarah bagian kedua kaki lawan sedang Setan 

Darah Kedua menyerang bagian tengah tubuh Prana dan Setan 

Darah Ketiga seperti seekor burung elang melompat ke atas, menukik 

ke bawah dan selalu melancarkan serangan ke bagian kepala 

Pranajaya. Dalam setiap saat ketiganya bisa berganti tempat dan 

mengambil alih kedudukan masing-masing, terutama bila salah 

seorang dari mereka diserang oleh lawan! Begitulah, setiap Pranajaya 

mengelak atau menyerang salah seorang dari mereka, maka yang dua 

lainnya dengan cepat sekali datang memburu mengirimkan seranganserangan 

maut! Lima jurus pertama setelah bertempur dengan segala 

kehebatan yang ada maka sedikit demi sedikit mulai kendurlah 

perlawanan Pranajaya. Pemuda bertangan satu itu kini bertahan 

mati-matian, namun tetap dia terkurung rapat dan terdesak hebat! 

Tiba-tiba Prana ingat pedang dipunggungnya. Dia adalah 

seorang pemuda berhati jantan kesatria, yang akan menghadapi lawan 

bertangan kosong dengan tangan kosong pula. Namun menghadapi 

pengeroyokan tiga musuh besar itu, di dalam keadaan yang kepepet 

pula, dia merasa bahwa mencabut pedangnya saat itu bukanlah suatu 

tindakan yang pengecut. 

Sambil berteriak, "Lihat pedang!" maka Pranajaya cabut 

pedangnya. Sedetik kemudian satu sinar putih menggebu membabat 

ketiga jurusan, membuat dengan serta merta buyarnya barisan tiga 

bayangan siluman! 

Sambil bersurut mundur Tiga Setan Darah memperhatikan 

pedang Ekasakti yang memancarkan sinar putih di tangan Pranajaya. 

Setan Darah Kedua berbisik pada kawan-kawannya, "Heh, 

pedang itu pasti senjata mustika! Kita musti dapat merampasnya !" 

"Jangan pikir soal senjata itu dulu" jawab Setan Darah Pertama. 

"Yang penting tangkap bangsat ini hidup-hidup. Aku ada rencana 

tersendiri untuk menamatkan riwayatnya. Kalian...." 

Setan Darah Pertama tidak sempat mengakhiri ucapannya. Saat 

itu Pranajaya sudah menyerbu. Sinar putih dari pedang bertabur 

ganas. Ketiga manusia itu cepat menghindar dan masing-masing 

mereka segera cabut senjata. Setan Darah Pertama mengeluarkan 

sepasang tombak bermata dua. Setan Darah Kedua mengeluarkan 

sepasang gada sedang Setan Darah Ketiga mengeluarkan sepasang 

golok. Kesemua senjata ini berwarna merah dan kesemuanya 

merupakan senjata-senjata mustika sakti ! 

Percaya akan kehebatan pedang Ekasaktinya, Pranajaya 

teruskan menyerang ketiga lawan itu. 

Trang.... trang.... trang....! 

Tiga kali pedang putih itu beradu dengan senjata-senjata lawan. 

Bunga api bertebaran dan Pranajaya terkesiap kaget! Senjata-senjata 

lawan mempunyai kehebatan yang luar biasa. Untung saja pedang 

Ekasakti dipegangnya erat-erat, kalau tidak dalam bentrokan tiga kali 

berturut-turut tadi itu pastilah senjatanya akan terlepas! 

Sementara itu Tiga Setan darah sudah tegak memencar. Satu 

lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan Setan Darah Kedua. 

Maka, tiga manusia muka merah itu dengan serta merta menyerbu ke 

arah Pranajaya ! 

-- == 0O0 == -- 

TIGA 

PERTEMPURAN manusia tiga lawan satu itu, kecamukan enam 

senjata lawan satu pedang berlangsung penuh kehebatan dan 

mendebarkan. Sedikit saja seseorang membuat gerakan yang salah 

pastilah salah satu bagian tubuh mereka akan dimakan senjata. 

Sinar merah jubah dan senjata-senjata Tiga Setan Darah 

bergulung-gulung membungkus tubuh dan senjata Pranajaya. 

Berkali-kali pemuda ini nyaris kena tebasan golok atau tusukan 

tombak atau hantaman gada ketiga lawannya. Jika saja Pranajaya 

tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang sempurna serta 

kegesitan yang luar biasa, sudah sejak tadi-tadi mungkin dia akan 

mienjadi pecundang. 

Prana berkelebat laksana bayang-bayang. Pedang putihnya 

membabat kian kemari dalam rangkaian jurus-jurus lihai yang 

dipelajarinya secara sempurna dari Empu Blorok. Sepuluh jurus telah 

berlalu. Kemudian lima jurus lagi dan Tiga Setan Darah masih belum 

sanggup membuktikan kehebatan nama baser mereka selama ini. 

Malah pada jurus keduapuluh satu, Setan Darah Ketiga berseru 

tertahan dan menyurut mundur! 

Ternyata jubah merahnya robek besar disambar ujung pedang 

lawan! Masih untung kulit dadanya tidak kena diserempet ! 

"Bedebah!" rutuk iaki-laki itu. "Jangan harap kau bisa bernafas 

sampai tiga kali kejapan mata!" Dengan amarah yang meluap Setan 

Darah Ketiga memutar sepasang goloknya dalam jurus yang aneh dan 

menyerbu Pranajaya. 

"lngat Setan Darah Ketiga!" teriak Setan Darah Pertama. 

"Pemuda ini aku mau tangkap hidup-hidup!" 

"Lebih bagus kalau dicincang lumat saja!" sahut Setan Darah 

Ketiga. 

"Aku yang jadi pemimpin kalian!" teriak Setan Darah Pertama 

marah. "Kau harus ikut apa yang ku katakan!" 

Setan Darah Ketiga menindas kemarahannya sedapat-dapatnya. 

Menekan luapan amarah karena dia menyadari bahwa dia musti 

tunduk pada Setan Darah Pertama. 

Pertempuran seru berkecamuk lagi. Agaknya kini Tiga Setan 

Darah telah mengeluarkan pula jurus-jurus ilmu silat mereka yang 

lihai dan banyak tipu-tipu liciknya. Lima jurus berlalu maka 

Pranajaya mulai pula terdesak. 

Trang! 

Pranajaya tak bisa mengelakkan peraduan senjatanya dengan 

senjata Setan Darah Pertama. Sebelum bunga api yang bergemerlap 

lenyap, sebelum murid Empu Blorok itu sempat menarik senjatanya 

maka sepasang gada dan golok Setan Darah lain-lainnya sudah 

datang menjepit pedang Ekasakti di tangan Pranajaya. 

Prana kerahkan tenaga dalamnya. Dengan sekuat tehaga 

dicobanya melepaskan pedang dari jepitan enam senjata lawan! Tapi 

sia-sia! Pedang Ekasakti meskipun pedang mustika namun tiada 

berdaya di jepit oleh enam senjata mustika lawan! Pedang itu laksana 

lengket. Prana keluar keringat dingin. Dia tahu, tak ada jalan lain 

baginya kecuali melepaskan pedangnya pada gagang pedang, 

menyerahkan bulat-bulat senjatanya ke tangan lawan! 

Setan Darah Pertama tertawa mengekeh. 

"Sekarang kau baru tahu siapa kami hah?!" 

"Tikus buntung hendak bernyali besar beginilah jadinya!" ejek 

Setan Darah Ketiga. 

Tiba tiba, tiada terduga dengan bergantungan pada gagang 

pedang yang dijepit lawan, tubuh Pranajaya melesat ke muka. Kaki 

kanannya menendang dan karena tidak menyangka, Setan Darah 

Pertama tidak keburu menghindar! 

Setan Darah Pertama mengeluh tinggi. 

Tubuhnya mencelat beberapa tombak, terguling di tanah. Dua 

tulang iganya telah patah dilanda tendangan Pranajaya! 

"Anjing buduk!" maki Setan Darah Kedua begitu melihat 

kawannya kena dihantam lawan. Tanpa menunggu lebih lama 

manusia ini segera hantamkan gagang gadanya yang di tangan kanan 

ke pangkal leher. Ini adalah satu totokan yang dahsyat. Karena tak 

keburu menghindar tak ampun lagi Pranajaya rebah ke tanah dalam 

keadaan tubuh kaku laksana patung! 

Setan Darah Pertama melangkah tertatih-tatih ke hadapan 

Pranajaya. 

"Bagaimana lukamu?" tanya Setan Darah Kedua. 

"Bangsat ini telah mematahkan dua tulang igaku," jawab Setan 

Darah Pertama setengah menggeram. "Detik ini juga dia akan terima 

balasannya!" 

Habis berkata begitu Setan Darah Pertama lancarkan satu 

tendangan ke arah tulang rusuk Pranajaya. Pemuda ini menggelinding 

beberapa tombak jauhnya. Tiga tulang iganya patah! Meski tubuhnya 

tertotok tiada berdaya namun perasaan masih tetap ada dan 

mulutnya masih bisa mengeluarkan suara erangan kesakitan! 

Setan Darah Pertama masih belum puas. 

"Ini satu lagi!" katanya dan untuk kedua kalinya.kaki kanannya 

mengirimkan satu tendangan. Kali ini yang jadi sasaran adalah muka 

Pranajaya. Pemuda ini berusaha menahan jeritan yang hendak 

melesat dari tenggorokannya meski bibirnya pecah, dua buah giginya 

patah dan hidungnya mengucurkan darah kental panas ! 

Setan Darah Pertama memburu lagi. Ketika dia hendak 

menendang sekali lagi, Setan Dareh Kedua memegang bahunya. "Kali 

ini dia bisa mampus! Apa kau lupa akan rencanamu sendiri?!" 

Setan Darah Pertama menarik pulang kaki kanannya. 

Dirabanya sebentar tulang rusuknya yang patah kemudian dia 

berteriak, "Setan Darah Ketiga, ambil tali!" 

Setan Darah Ketiga melemparkan seutas tali kepada laki-laki 

itu. 

"Pemuda edan!" kata Setan Darah Pertama sambil belutut 

dihadapan Pranajaya yang saat itu megap-megap. "Sebentar lagi kau 

akan rasakan bagaimana enaknya meluncur di tanah! Kalau 

tubuhmu kuat kau akan hidup sampai ke Kotaraja. Tapi kalau tidak, 

kau akan mampus di tengah jalan!" 

Habis berkata begitu Setan Darah Pertama segera mengikat 

pergelangan tangan kanan Pranajaya dengan tali. Ujung tali yang lain 

diikatkannya ke leher kudanya. 

Pranajaya keluarkan keringat dingin. Dia tahu nasib apa yang 

bakal diterimanya! Pemuda ini berteriak, "Setan Darah keparat! Bunuh 

aku sekarang juga!" 

Setan Darah Pertama tertawa. 

"Kau memang akan mampus, kunyuk buntung!" jawab Setan 

Darah Pertama. "Akan mampus, tapi dengan cara perlahan-lahan! 

Sepanjang jalan menuju ke ajalmu kau dapat saksikan keindahan 

pemandangan daerah sekitar sini! Bukankah enak mati cara begitu?!" 

Setan Darah Pertama naik ke atas kudanya. Tiba-tiba dia ingat 

sesuatu dan memandang berkeliling. "Mana pedangnya?!" 

"Aku sudah ambil!" jawab Setan Darah Ketiga. "Bagus!" 

Setan Darah pertama tepuk pinggul kuda merahnya dengan 

keras. Binatang itu meloncat ke muka siap untuk berlari kencang dan 

menyeret tubuh Pranajaya mulai dari liku jalan itu sampai ke Kotaraja. 

Namun disaat itu dari muka kelihatan berkelebat sesosok bayangan 

putih disertai dengan suara tertawa lantang yang bernada mengejek. 

"Kekejamanmu sangat keterlaluan Tiga Setan Darah!" kata 

pendatang baru ini dengan membentak. Tiga Setan Darah Pertama dan 

kedua kawannya dengan serta merta mengehentikan kuda masing-masing. 

Sepasang mata Tiga Setan Darah Pertama memandang ke muka 

dengan menyorot. Mulutnya terkatup rapat-rapat dan kedua 

rahangnya mengatup menonjol! 

"Cindur Rampe!" hardik Setan Darah Pertama. "Setahuku kau 

ada tugas di sselatan yang harus kau jalankan! Silahkan berlalu dan 

jangan ikut campur urusan kami!" 

Cindur Rampe, seorang resi golongan hitam yang juga menjadi 

kaki tangan pembantu Baginda. Kekejamannya tiada banyak beda 

dengan Tiga Setan Darah namun antara resi ini dengan ketiga Setan 

Dorah sejak lama terdapat perselisihan-secara diam-diam. Perselisihan 

ini sebenamya adalah akibat bersaing ingin menjilat Baginda. Dalam 

satu pertemuan pernah Cindur Rampe menantang Tiga Setan Darah. 

Hampir terjadi pertempuran hebat namun tokoh-tokoh istana lainnya 

berhasil mencegah mereka. Namun sejak itu pula diantara mereka 

semakin memuncak permusuhan, laksana api dalam sekam yang sewaktu- 

waktu bisa meledak! 

Cindur Rampe mengelus-elus janggutnya yang pendek macam 

janggut kambing. Sambil sunggingkan senyum mengejak dia berkata, 

"Tentu pemuda malang itu akan kau seret ke Kotaraja. Semua orang 

akan melihat kekejamanmu. Kau akan dapat nama dan kira-kira 

berapa puluh ringgit pula kau akan dapat upah dari Baginda?!" 

Setan Darah Kedua penasaran sekali. Dia majukan kudanya satu 

langkah. 

"Soal kekejaman kau tidak lebih baik dari kami resi muka 

kambing!" sentak Setan Darah Kedua. 

Cindur Rampe tertawa dingin. 

"Cindur Rampe, kuharap segera berlalu. Aku muak melihat 

tampangmu!" menyambungi Setan Darah Ketiga. 

Resi itu tertawa lagi. Lalu katanya, "Aku sendiri sudah sejak 

lama kepingin muntah melihat mukamu yang macam kepiting rebus!" 

Setan Darah Pertama kertakkan geraham. "Cindur Rampe, 

agaknya kau sengaja mencari-cari perselisihan terbuka! Mungkin 

masih belum puas dengan pertengkaran dalam pertemuan tempo 

hari?!" 

"Ah... rupanya kau masih belum lupakan hal itu!" kata Cindur 

Rampe. Dia melirik sebentar pada Pranajaya yang megap-megap 

hampir kehabisan nafas. 

"Selama matahari masih terbit di timur, selama air sungai 

Masih mengalir ke laut. Tiga Setan Darah tak pernah melupakan hal itu!" 

"Bagus sekali jika demikian!" menyahuti Cindur Rampe. 

"Kuharap di lain kesempatan kita bisa menyelesaikannya!" 

Setan Darah Pertama mengekeh. "Menentang kami sama 

dengan menentang angin topan! Menentang Tiga Setan Darah sama 

dengan menentang gunung karang! Jangan terlalu pongah dan buta 

resi muka kambing!" 

"Nama kalian memang sudah kesohor, apalagi kebejatan dan 

kekejaman kalian! Tapi kalau cuma cecunguk-cecungkuk macammu, 

sepuluh orangpun aku akan layani!" 

Naiklah darah Tiga Setan Darah. 

"Rupanya kau mau mampus sekarang juga, resi keparat!" 

bentak Setan Darah Kedua. Dia melompat ke muka dan kirimkan 

satu serangan tangan kosong! 

Cindur Rampe melompati ke samping sambil tertawa. 

"Jangan terlalu kesusu monyet muka merah! Ini hari aku masih 

ada urusan. Di lain ketika aku tak akan sungkan-sungkan lagi untuk 

menerabas batang lehermu dan dua kambratmu itu! Ini 

kukembalikan seranganmu!" 

Habis berkata begitu Cindur Rampe kebutkan lengan jubahnya. 

Selarik angin panas mengebu ke arah Setan Darah Kedua. 

Pukulan yang dilepaskan Cindur Rampe adalah pukulan ireng 

weliung yang kehebatannya sudah dimaklumi oleh Tiga Setan Darah. 

Karenanya Setan Darah Kedua melompat dua tombak ke atas. 

"Wuss !" 

Angin pukulan menghantam pohon kayu di tepi jalan. Kejap itu 

juga batang kayu itu hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya! 

Terkejutlah Tiga Setan Darah. Rupa-rupanya resi Cindur Rampe 

betul-betul inginkan jiwa mereka! Setan Darah pertama dan ketiga 

segera melompat dari kuda masing-masing, siap untuk mengeroyok 

resi itu. Tapi Cindur Rampe sudah berkelebat cepat dan meninggalkan 

tempat itu sambil berseru, "Sampai nanti Tiga Setan 

Darah. Kuharap kalian suka bersabar menunggu saat kematian 

kalian!" 

"Anjing buduk! Jangan lari!" teriak Setan Darah Kedua. 

Tapi Cindur Rampe sudah lenyap dari pemandangan. 

Setan Darah Pertama memaki dan menyumpah nyumpah. "Lain 

hari kita tak perlu kasih hati pada si muka kambing itu!," katanya. 

Dia melompat kembali ke atas kudanya diikuti oleh dua orang kawankawannya. 

Ketika kuda Setan Darah Pertama bergerak, maka tubuh 

Pranajaya mulai terseret. Tubuh pemuda murid Empu Blorok ini akan 

terseret sepanjang perjalanan menuju Kotaraja. Bila Pranajaya 

bernasib baik, dia akan tetap hidup sampai di Kotaraja. Jika tidak 

nyawanya akan lepas di tengah jalan dan dia akan menemui kematian 

dalam keadaan yang mengerikan. 

Sampai di manakah kekuatan tubuh manusia menahan siksaan 

yang kejam luar biasa itu? 

-- == 0O0 == -- 

EMPAT 

KALI WELANGMANUK telah dua hari yang lalu mereka 

seberangi. Lembah Manukwilis di mana terletak Gedung Biara 

Pensuci Jagat telah jauh di belakang mereka. Kedua orang itu 

Berlari dalam kecepatan yang luar biasa. Kadangkala 

menyeberangi kali-kali kecil, kadangkala mendaki dan menuruni 

bukit dan saat itu keduanya barusan saja keluar dari sebuah 

rimba belantara. 

Matahari telah sampai ke ubun-ubun mereka tatkala keduanya 

sampai di satu persimpangan jalan. 

Pemuda rambut gondrong hentikan larinya. Orang yang 

disampingnya juga melakukan hal yang sama. Ketika pemuda itu 

membalikkan badannya maka sepasang mata merekapun saling 

bertemu. 

Si pemuda mengukir senyum dibibirnya dan berkata, 

"Agaknya kita terpaksa berpisah di sini, Sekar." 

Si gadis berpakaian ringkas kuning tidak menjawab. Kedua 

matanya yang bening masih balas menatap pandangan si 

pemuda. Dan si pemuda segera bisa memaklumi. Dari sinar 

mata gadis itu diketahuinya bahwa perpisahan itu 

merupakan satu hal yang berat bagi si gadis. 

Sambil tertawa si pemuda berkata, "Di lain ketika aku 

berharap kita bisa bertemu loagi, Sekar." Dia menjura sedikit 

dan berkata lagi, "Jangan lupa sampaikan salam hormatku 

pada gurutnu Empu Tumapel...." 

"Wiro..," si gadis membuka mulut untuk pertama kalinya. 

Suaranya perlahan, setengah berbisik. "Kau sendiri mau terus 

ke manakah?" tartyanya. 

"Aku... ah... Manusia macamku ini pergi membawa kakinya 

saja. Mengembara tiada tentu tujuan." 

"Mengembara adalah satu hal yang kucita-citakan sejak 

aku berhasil menuntut balas kematian ibu bapak dan saudarasaudaraku," 

kata Sekar pula. 

"Tapi kau musti kembali ke tempat gurumu! Kau pernah 

bilang waktu di tepi sungai tempo hari. Ingat..." 

Sekar ingat. Dalam perjalanan mereka meninggalkan Biara 

Pensuci Jagat suatu malam mereka berkemah di tepi sungai 

yang banyak sekali ikannya. Sambil menikmati ikan panggang, 

mereka bicara-bicara dan Sekar telah menceritakan tentang 

gurunya di Goa Blabak, tentang segala hal mengenai dirinya. 

Malam sejuk di tepi sungai itu tak akan pernah dilupakan oleh 

Sekar. Semenjak hidup, semenjak turun ke dunia luar pada 

malam itulah dia benar-benar merasakan bahwa dirinya adalah 

seorang gadis. Seorang gadis yang disaat itu untuk pertama 

kalinya merasakan betapa indahnya berada di samping seorang 

pemuda. Betapa romantisnya. Dan Sekar ingat sewaktu Wiro 

memegang dan meremas-remas jari tangannya. Waktu, 

Pendekar 212 itu memeluknya, merangkulnya erat-erat dan 

sewaktu pemuda itu melumas bibirnya dengan ciuman yang 

mesra, hangat menyentak-nyentakkan darahnya! Ingat pula 

bagaimana dia bergayut dan tak mau melepaskan tubuh si 

pemuda dan seperti orang mabuk anggur mereka melakukan 

apa yang mereka bisa lakukan. Semuanya itu kemudian 

berakhir tanpa penjelasan karena semua itu dimulai dengan 

kesadaran yang berapi-api! 

"Aku bisa menunda kembali kepertapaan," kata Sekar 

"Keberatan kalau aku ikut sama-sama dengan kau....?" 

Wiro Sableng tertawa. "Tentu saja tidak," kata Pendekar Kapak 

Maut Naga Geni 212 ini meskipun hatinya tidak menyetujui hal itu. 

"Tapi kau musti ingat Sekar. Mengembara dalam dunia persilatan 

bukan berarti berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan! 

Pengembaraan di dunia persilatan adalah persoalan hidup atau mati!" 

"Aku toh juga orang persilatan, Wiro." 

"Betul. Namun kini belum masanya kau memulai 

pengembaraan. Yang penting kau musti kembali ke tempat gurumu 

dulu." 

Sekar menggeleng. 

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. 

Kemudian katanya, "Sekar, jangan jadi anak kecil. Salah-salah 

kita bisa bertengkar. Aku berjanji akan menyambangimu di Goa 

Blabak. Nah, sekarang kau tempuh jalan yang sebelah kanan dan aku 

yang sebelah kiri, yang menuju ke Kotaraja." 

"Aku ikut dengan kau ke Kotaraja," berkata Sekar. 

"Busyet!" kata Wiro Sableng dalam hati dan digaruknya lagi 

kepalanya. "Bisa berabe Sekar. Bisa berabe!," katanya pada gadis itu. 

"Gadis secantikmu ini kalau masuk ke Kotaraja pasti semua mata 

laki-laki akan melotot! Kalau terjadi apa-apa dengan dirimu 

bagaimana...?!" 

"Aku tidak takut," kata gadis sembilan belas tahun itu. 

Wiro menghela nafas dalam dan angkat bahu. "Kotaraja penuh 

dengan tokoh-tokoh silat kelas satu! Aku tak ingin terjadi apa-apa 

dengan kau..." 

"Kalau kita tidak berbuat kejahatan kenapa musti takut masuk 

ke Kotaraja?," ujar si gadis. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi dia 

melangkah memasuki jalan sebalah kiri. 

Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Segera dia hendak 

berlalu dari persimpangan jalan itu menempuh jalan sebelah kanan. 

Tapi hatinya menjadi bimbang. Dipandangnya punggung Sekar. Gadis 

itu melangkah dengan langkah tetap bahkan kini mulai berlari. Wiro 

Sableng akhirnya membalikkan langkah dan berlari menyusul Sekar. 

PENDEKAR 212 dan Sekar baru saja keluar dari sebuah kedai 

sehabis mengisi perut sewaktu di jalan dihadapan mereka menderu 

derap kaki tiga ekor kuda merah. Tiga penunggangnya laki-laki 

mengenakan jubah merah, berambut panjang merah dan bermuka 

merah. Yang membuat kedua orang ini terkejut bukanlah karena 

memandang muka-muka yang aneh serta lucu itu tapi adalah sewaktu 

menyaksikan bagaimana dibelakang kuda yang paling depan ikut 

terseret sesosok tubuh laki-laki bertangan buntung! Pakaian birunya 

hancur robek-robek. Kulitnya mengelupas, mukanya tiada dapat 

dikenali lagi. Keseluruhan tubuh manusia itu bergelimang darah dan 

debu. Tak dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau sudah mati! 

"Biadab!" desis Sekar sewaktu ketiga penunggang kuda itu 

berlalu. "Aku tak bisa membiarkan kekejaman itu, Wiro!" Sekar segera 

hendak melompat ke muka dan mengejar. Tapi Wiro Sableng cepat 

memegang lengan gadis ini. 

"Jangan bodoh, Sekar!" katanya. "Kita tidak tahu siapa tiga 

manusia bermuka merah itu. Juga tidak kenal siapa itu laki-laki yang 

diseret. Mungkin laki-laki ini seorang jahat!" 

"Aku tidak yakin, justru manusia-manusia muka merah itulah 

yang bertampang buas kejam!" 

"Aku tahu, tapi jangan bertindak gegabah, Sekar. Ini Kotaraja!" 

"Persetan dengan Kotaraja!" tukas si gadis. 

"Sudah tak usah ngomel. Mari kita ikuti mereka!" ujar Wiro 

pula. Keduanya segera meninggalkan tempat itu. 

Tiga penunggang kuta itu memasuki sebuah gedung tua tak 

berapa jauh dari Istana. Laki-laki yang diseret dengan kuda tadi 

dibawa ke dalam. Kemudian gedung itupun sunyi senyap. 

"Kita masuk ke dalam Wiro," bisik Sekar. "Kataku jangan 

gegabah," kata Pendekar 212 dengan pelototkan mata. Di 

seberanginya jalan dan ditemuinya seorang pejalan kaki di seberang 

jalan itu. "Saudara kau lihat tiga penunggang kuda tadi?" tanya Wiro. 

Orang itu mengangguk. Bulu tengkuknya masih meremang 

mengingat apa yang disaksikannya tadi. "Siapa ketiga manusia itu?" 

tanya Wiro Sableng lagi. 

"Mereka adalah Tiga Setan Darah." 

"Tiga Setan Darah...?" ujar Wiro. Pasti itu nama julukan 

mereka pikir Wiro. Dan dari nama julukan ini nyatalah bahwa 

memang mereka bukan manusia baik-baik! 

Kemudian tanpa ditanya orang tadi berkata lagi. "Mereka 

adalah kaki tangan pembantu-pembantu Baginda. Manusia kejam 

luar biasa...!" 

"Kenapa Baginda memelihara setan-setan macam mereka?!" 

tanya Wiro. 

"Untuk menjaga keamanan Istana dan Kerajaan. Tapi Baginda 

tidak tahu kebejatan pembantu-pembantunya itu..." 

"Kenapa rakyat tidak mau kasih tahu?" 

"Kalau mau mampus boleh saja!" jawab laki-laki itu. 

"Kau kenal siapa itu orang yang diseret dengan kuda?" 

Laki-laki itu menggeleng. 

Wiro Sableng kembali menyeberang jalan menemui Sekar. "Kau 

bicara apa dengan dia?" 

Wiro menerangkan dengan cepat lalu kedua orang ini segera 

hendak menyeberang memasuki halaman gedung tua tapi mereka 

segera berlindung cepat-cepat di balik sebatang pohon besar karena 

dari samping gedung ketiga penunggang kuda tadi kelihatan memacu 

kudanya masing-masing meninggalkan gedung! Begitu mereka lenyap 

di kejauhan, Wiro dan Sekar segera memasuki halaman gedung. 

Mereka menuju ke samping dan berhenti dihadapan sebuah pintu 

kayu. 

Wiro memandang berkeliling. Suasana sepi sunyi. Tanpa raguragu 

Pendekar 212 ulurkan tangan mendorong pmtu kayu itu. Aneh 

sekali! Meski pintu itu terbuat dari kayu namun Wiro tak berhasil 

mendorongnya dengan sekuat tenaga luar! Setelah mengerahkan 

seperempat dari tenaga dalamnya baru pintu kayu itu berkereketan 

dan terbuka sedikit demi sedikit. 

Begitu daun pintu kayu itu terbuka lebar maka tiba-tiba dari 

hadapan mereka berdesing lima buah senjata berbentuk anak panah 

berwarna merah! 

"Sekar! Awas!" teriak Pendekar 212. Cepat-cepat pemuda ini 

menarik lengan si gadis ke samping. 

Lima senjata rahasia berbentuk panah berdesing di atas kepala 

dan di muka hidung mereka. Dua dari panah merah itu menancap 

dibatang sebuah pohon. Sesaat kemudian batang pohon itu sampai 

ke cabang-cabang, ranting dan daun-daunnya menjadi merah! 

Nyatalah bahwa senjata-senjata ratiasia itu mengandung racun 

yang amat jahat! Paras Sekar berubah pucat sedang Pendekar 212 

dengan leletkan lidah berkata pelahan, "Keparat betul! Tempat ini 

pasti penuh dengan senjata rahasia. Kita harus hati-hati Sekar." 

Wiro menyuruh gadis itu berdiri lebih ke samping. Kemudian 

dengan kaki kirinya pendekar ini menendang pintu kayu itu sekuat 

tenaga. Pintu bobol hancur berantakan dan pada detik itu pula 

selusin senjata rahasia yang sama bentuknya dengan tadi melesat di. 

depan mereka. Beberapa diantaranya menancap lagi dibatang pohon 

yang sama! 

Pendekar 212 menyeringai. 

"Lihai juga," katanya pelahan. "Sebaiknya kau tunggu di sini 

Sekar..." 

"Aku ikut bersamamu!" kata Sekar tegas. 

"Di dalam gedung tua ini pasti lebih banyak bahaya. Jangan jadi 

orang tolol!" 

Gadis berbaju kuning ini tidak ambil perduli ucapan si pemuda 

melainkan tanpa tedeng aling-aling terus masuk melewati pintu yang 

tadi telah ditendang bobol. Mau tak mau Wiro juga melangkah 

mengikuti. 

Seperti suasana di luar, dibagian belakang gedung itupun 

diselimuti kesunyian. Keseluruhan gedung tidak terpelihara. Tembok 

hijau berlumut. Halaman ditumbuhi semak-semak dan rumput liar. 

Dengan sikap berhati-hati kedua orang ini melangkah menuju ke 

tangga yang berhubungan dengan pintu belakang gedung. Wiro 

berjalan di depan. Ketika salah satu kakinya menginjak tanah di dekat 

anak tangga yang terbawah tanah itu dirasakannya mencekung aneh 

dan lembut. Wiro cepat tarik kakinya dan melangkah mundur! 

"Ada apa?" tanya Sekar dengan berbisik. Pendekar 212 tidak 

menjawab melainkan melangkah menghampiri sebuah pot bunga 

besar yang bunganya sudah mati karena tak pernah disiram. Pot 

bunga yang besar itu dilemparkannya ke tanah di kaki anak tangga 

yang tadi dipijaknya. 

Pada detik itu juga terdengar satu ledakan. Tanah di kaki anak 

tangga bermuncratan ke atas. Anak tangga terbawah hancur 

berkeping-keping. Wiro meraih pinggang Sekar dan menjatuhkan diri 

ke tanah. Tubuh mereka kotor tersembur tanah dan kepingan batu 

tangga! 

"Gedung setan apa ini?!" rutuk Wiro sambil berdiri dan 

membersihkan pakaiannya. Dia berpaling pada Sekar dan berkata, 

"Aku sudah bilang kau tak usah ikut-ikutan ke Kotaraja. Kini kau 

lihat sendiri!" 

"Tak usah bertengkar terus-terusan, Wiro" menyahuti murid 

Empu Tumapel itu. "Kita harus cepat mencari laki-laki tangan 

buntung berbaju biru yang tadi dibawa ke sini!" 

Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia memandang ke pintu di bagian 

belakang gedung itu dan berpikir-pikir bahaya apa lagi yang bakal 

dihadangnya bila dia menaiki anak tangga dan membuka pintu itu! 

Dalam dia berpikir-pikir demikian tiba-tiba dilihatnya Sekar 

mengirimkan satu pukulan jarak jauh ke arah pintu belakang gedung. 

Angin pukulan menderu dahsyat dan... 

Braak! 

Pintu itu pecah berantakan. 

Sekar dan Wiro menunggu. Tak ada terjadi apa-apa. 

"Aku tak percaya kalau pintu itu tidak menyembunyikan 

rahasia maut!" kata Wiro Sableng. Dijangkaunya sebuah arca kecil 

yang sudah puntung di dekat tangga sebelah kanan. Arca itu 

kemudian digelindingkannya di atas lantai yang menuju ke pintu. 

Begitu arca mencapai pintu, lantai di muka pintu itu terbuka, arca 

lenyap jatuh ke dalam sebuah lobang dan lantai kembali menutup! 

"Gedung edan!" rutuk Wito Sableng. "Kau masih punya nyali 

untuk masuk kedalamnya?!" 

"Mengapa tidak?!" ujar Sekar. 

"Aku kagum dengan keberanianmu," puji Wiro sejujurnya. 

"Bersialplah, kita melompat ke dalam lewat pintu itu. Kerahkan 

seluruh ilmu mengentengi tubuhmu. Lantai di dalam gedung itu 

bukan mustahil perangkap semua!" 

Kedua orang ini bersiap-siap untuk menerobos pintu yang 

sudah bobol. Mendadak pada saat itu pula di halaman depan 

terdengar derap kaki kuda. Keduanya terkejut. 

"Mereka kembali!" bisik Sekar. Gadis ini segera keluarkan 

senjatanya yaitu besi berantai yang ujungnya diganduli bola besi 

berduri. Inilah senjata "Rantai Petaka Bumi" yang dahsyat. 

Wiro berpikir cepat. Dia mendapat satu akal lalu menggamit 

dan berbisik pada Sekar, "Cepat lompat ke atas genteng!" 

Si gadis melotot. 

"Apa kau tidak punya nyali menghadapi mereka? Manusiamanusia 

terkutuk semacam itu harus dilenyapkan dari muka bumi, 

Wiro! Kalau kau takut pergilah sendiri ke loteng sana!" 

Wiro menggerendeng. 

"Kita belum tahu siapa yang datang itu! Kalau benar mereka, 

dari atas genteng kita bisa mengintai bagaimana mereka masuk ke 

dalam gedung!" 

Sekar hendak mengatakan sesuatu. Tapi Wiro Sableng sudah 

membetot lengannya dan melompat ke atas genteng bersama-sama! 

Keduanya menunggu. Suara kaki-kaki kuda berhenti sebentar, lalu 

terdengar lagi memasuki halaman samping. 

"Bukan mereka," desis Wiro dan Sekar memalingkan kepalanya 

ke halaman samping. 

-- == 0O0 == -- 

LIMA 

YANG DATANG ternyata seorang penunggang kuda berkepala 

gundul. Sepasang matanya juling. Hidungnya sangat pesek, hampir 

sama rata dengan pipinya yang gembrot. Tangan dan kakinya sangat 

pendek sedang tubuhnya katai sekali. Yang lucunya manusia ini cuma 

memakai cawat, kulitnya hitam legam dan pada ketiak sebelah kirinya 

terkempit sebilah bambu berbentuk pikulan! 

"Monyet terlepas dari mana ini?!" bisik Wiro Sableng. 

"Dia bukan manusia sembarangan Wiro," desis Sekar. 

"Kau kenal dia?" tanya Wiro. 

"Guruku pernah bilang manusia yang berciri-ciri macam dia. 

Melihat pada senjata yang dikempitnya aku yakin dia mustilah Si 

Setan Pikulan!" 

"Buset! Apa tidak ada gelaran yang lebih jelek dari Setan Pikulan 

itu?!" seringai Wiro. 

Penunggang kuda yang datang itu memang Setan Pikulan. Nama 

sebenarnya Munding Sura. Dia hentikan kuda di depan lobang besar di 

muka tangga pintu belakang. Diperhatikannya lobang itu sebentar lalu 

dia memandang berkeliling. Diangguk-anggukannya kepalanya. 

Kemudian diperhatikannya pintu belakang yang hancur sambil 

mengusap-usap kepalanya yang botak. 

"Tiga Setan Darah!" Setan Pikulan berteriak. "Apa kalian ada di 

dalam?!" Suara teriakan Setan Pikulan kerasnya bukan main, 

menggetarkan seantero halaman belakang gedung tua itu, 

menggetarkan genteng di mana Wiro dan Sekar berada. 

"Tenaga dalarnnya hebat sekali," bisik Wiro pada Sekar. 

"Ah, rupanya kalian tak ada di rumah!" terdengar Setan Pikulan 

berkata. 

"Sayang sekali! Sayang sekali! Ada dua orang tamu dari jauh, tuan 

rumah tidak ada! Sayang sekali!" 

Wiro dan Sekar sama terkejut dan saling berpandangan Mereka 

yakin dua orang tamu yang dimaksudkan oleh manusia kate itu 

pastilah diri mereka sendiri. Belum habis kejut kedua orang ini di 

bawah terdengar bentakan Setan Pikulan. 

"Cecunguk-cecunguk yang di atas genteng, lekas turun! Mataku 

yang juling tak bisa ditipu! Ayo turun!" 

Sekar segera bergerak hendak melompat turun. Tapi Wiro menarik 

bajunya kuningnya. "Biar aku yang turun," kata murid Eyang Sinto 

Gendeng ini. Kemudian murid Eyang Sinto Gendeng ini dengan cepat 

melompat turun. Mata juling Si Setan Pikulan memperhatikan cara 

dan gerakan melompat si pemuda dan juga memperhatikan ketika 

sepasang kaki Wiro menginjak tanah. Telinganya yang tajam sama 

sekali tiada mendengar sedikit suarapun dari beradunya kaki dan 

tanah. 

Wiro Sableng menjura sewajarnya dan dengan senyum ramah dia 

berkata, "Kalau aku tak salah, bukankah saat ini aku berhadapan 

dengan orang gagah yang dijuluki Setan Pikulan?" 

Setan Pikulan menyeringai. "Rupanya matamu tajam juga orang 

muda. Harap beritahu siapa kau." 

"Ah..., aku ini seperti yang kau katakan tadi, cuma cecunguk 

biasa saja..." jawab Wiro. 

"Kenapa sembunyi di atas atap dan kenapa kawanmu cecunguk 

yang satu lagi itu tidak mau turun?!" 

Wiro tertawa dan berseru, "Sekar, turunlah." Sewaktu Sekar 

turun dan berdiri di samping Wiro Sableng maka menyeringailah 

Setan Pikulan. 

"Ternyata seorang gadis cantik!" katanya. Dibasahinya bibirnya 

dengan ujung lidah sedang kedua matanya yang juling semakin juling 

karena memandang dekat-dekat pada paras Sekar yang cantik jelita. 

"Melihat kepada tindak tandukmu pastilah kalian datang ke sini 

bukan dengan maksud baik. Apa lagi penghuni rumah tidak ada. 

Kalian tahu apa yang bakal dilakukan Tiga Setan Darah jika mereka 

mengetahui ada cecungkuk-cecunguk yang sembunyi dan membuat 

kerusuhan di rumahnya?" 

"Harap jangan salah sangka Setan Pikulan. Kami ke sini 

sebetulnya mengejar seorang pencuri. Tapi dia lenyap entah ke 

mana...!" kata Wiro berdusta. 

Setan Pikulan tertawa mengekeh. 

"Sama aku tak usah bicara dusta! Lekas terangkan siapa kalian 

dan apa maksud kalian ke sini!! Kalian musti tahu bahwa Tiga Setan 

Darah adalah kambratku dan aku berhak turun tangan menghukum 

kalian bila kalian ternyata bersalah!" 

"Kalau kau kawannya Tiga Setan Darah, tentu kau juga seorang 

tokoh Istana!" ujar Wiro. 

"Apa aku tokoh Istana atau bukan tak perlu tanya!." sentak 

Setan Pikulah. "Lekas jawab pertanyaanku tadi!" 

"Kami cecunguk!" sahut Wiro. "Kau sendiri tadi sudah bilang!" 

Marahlah Setan Pikulan. 

"Seharusnya kubetot putus lidahmu, pemuda hina dina!" hardik 

Setan Pikulan. "Tapi dengar... kalau kau mau tinggalkan gadis cantik 

ini buatku, aku tak mau bikin panjang urusan. Aku tak akan 

laporkan pada Tiga Setan Darah bahwa kalian telah mongobrak-abrik 

rumahnya ini...!" 

Mendengar ini Sekar menjadi naik pitam. 

"Biar aku betul-betul monyet sekalipun, aku tidak sudi menjadi 

mangsa bejatmu!" 

Setan Pikulan tertawa. 

Wiro berpikir sebentar lalu dengan ilmu menyusupkan suara dia 

berkata pada si gadis, "Sekar, aku ada akal. Kita tipu setan kate ini 

menunjukkan di mana laki-laki buntung itu disekap. Kau musti purapura 

marah..." 

Pendekar 212 memandang pada Setan Pikulan lalu berkata, 

"Aku akan tinggalkan gadis ini padamu. Dia memang tidak berguna. 

Tapi harus ada imbalannya...!" 

"Wiro! Apa kau sudah gila?!" teriak Sekar pura-pura marah dan 

melototkan mata. 

Wiro tak ambil perduli. "Bagaimana?" tanyanya pada Setan 

Pikulan. 

"Katakan maumu!." 

"Seorang kawanku telah dilarikan oleh Tiga Setan Darah dan 

disekap di gedung tua ini. Aku tak tahu di bagian mana. Gedung ini 

penuh senjata senjata rahasia dan perangkap-perangkap! Kalau kau 

mau menunjukkan di mana kawanku itu dan mengeluarkannya dari 

sini, gadis tak berguna ini kuserahkan padamu...!" 

"Baik!" Setan Pikulan terima syarat itu. Untuk kesekian kalinya 

dibasahinya lagi bibirnya sebelah barah. Sementara itu Sekar 

memaki-maki Wiro Sableng tiada hentinya. 

Setan Pikulan melompat dari kudanya. "Bagaimana aku yakin 

kalau kalian tidak menipuku?!" tanya manusia kate berkepala gundul 

ini. 

"Kau terlalu curiga, Setan Pikulan! Kalau aku menipumu berarti 

aku tak bisa menyelamatkan kawanku yang disekap oleh Tiga Setan 

Darah." jawab Wiro Sableng. 

"Betul juga," kata Setan Pikulan. "Tapi untuk benar-benar 

meyakinkan biar kulakukan ini dulu..." 

Dan dengan satu gerakan cepat luar biasa Setan Pikulan 

menusukkan jari telunjuknya ke urat dipangkal leher Sekar. Saat itu 

juga tubuh si gadis menjadi kaku tegang tak bisa bergerak. Wiro 

memaki dalam hati. 

"Ikut aku!" Setan Pikulan berkata. Lalu melesat memasuki pintu 

belakang yang tadi sudah didobrak dengan pukulan jarak jauh oleh 

Sekar. 

"Ruangan dalam ini penuh dengan alat dan senjata rahasia. 

Perhatikan langkahku!" kata si kate kepala gundul. Dia melangkah 

enam tindak ke kanan. lalu menyusuri tepi dinding hingga akhirnya 

sampai dihadapan sebuah pintu berwarna hitam. Pada tepi pintu itu 

terdapat sebuah titik putih besar setengah kuku jari kelingking. 

Dengan ujung jarinya Setan Pikulan menunjuk. 

"Cepat masuk!" teriak Setan Pikulan. 

Wiro Sableng melompat masuk ke dalam kamar itu. Begitu 

masuk begitu pintu di belakangnya menutup kembali. Manusia kate 

itu berpaling pada Wiro. "Kau lihat pintu dinding sana?" 

Wiro mengangguk. 

"Kalau kau melangkah sepanjang lantai ini ke sana, kau akan 

kejeblos masuk ke dalam liang batu! Kita harus bergerak sepanjang 

tepi dinding sebelah kiri! Mari..." 

Sambil menyusuri lantai di tepi dinding sebelah kiri Wiro Sableng 

bertanya, "Mengapa Tiga Setan Darah memasang demikian banyak 

alat dan senjata rahasia serta perangkap di gedung tua ini?!" 

"Itu tak perlu kau tanyakan. Bukan urusanmu!" sahut Setan 

Pikulan. 

Setan Pikulan membuka pintu dihadapannya. Kamar kedua itu 

kosong lagi. Dan dinding sebelah muka mereka kelihatan sebuah 

pintu lain. 

"Kali ini kita musti menyusuri tepi lantai di samping kanan," kata 

Setan Pikulan. Wiro mengikuti tanpa banyak bicara. Kamar ketiga, 

keempat dan kelima dalam gedung itu kosong semua. 

"Mungkin sekali kawanmu itu disekap di ruang batu karang di 

bawah tanah!" kata Setan Pikulan. 

"Apakah kau tahu tempat itu?" tanya Wiro Sableng. 

Si kate merenung sejenak. "Ikuti aku," katanya. 

Mereka ke luar dari kamar nomer lima itu. Di kamar nomer enam 

mereka berhenti. Setan Pikulan meneliti lantai kamar dengan 

sepasang matanya yang juling. Kemudian dia mendangak ke atas. 

Pada langit-langit kamar kelihatan tergantung sebuah kawat yang 

ujungnya diganduli lampu minyak yang besar sekali. Setan Pikulan 

melompat ke atas dan menarik kawat itu satu kali. Aneh sekali tibatiba 

lantai di samping kanan ruangan membuka dan sebuah tangga 

batu kelihatan. 

Keduanya melangkah ke tepi liang itu. Ruang di bawah sana 

agak gelap hanya diterangi oleh sebuah pelita. Samar-samar Wiro 

Sableng melihat sesosok tubuh menggeletak di lantai ruangan. 

Pakaiannya tak kelihatan apa warnanya tapi tangan kirinya buntung. 

"Itu kawanmu?" tanya Setan Pikulan. 

"Betul." 

"Lekaslah turun, sebelum Tiga Setan Darah kembali ke sini kita 

musti tedah meninggalkan tempat ini!" 

Tanpa pikir panjang Wiro Sableng segera menuruni anak tangga. 

Begitu dia menginjakkan kaki di lantai ruangan batu karang dia 

terkejut sewaktu di atas didengarnya suara tertawa bergelak Setan 

Pikulan. 

"Manusia tolol geblek! Aku tahu kau mau menipu! Sekarang kau 

sendiri yang masuk perangkap! Kau akan mampus di ruang batu 

karang itu! Mayatmu akan busuk!" 

"Bedebah keparat!" teriak Wiro. Dia melompat kembali ke atas. 

Tapi secepat kilat Setan Pikulan melesat ke udara, menarik kawat 

gantungan lampu dan dengan serta merta lantai di ruangan itu 

tertutup kembali! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 masuk 

perangkap sudah! 

-- == 0O0 == -- 

ENAM 

SETAN PIKULAN melesat dari pintu menuju ke halaman 

belakang gedung. Ketika dia melangkah kehadapan Sekar, gadis ini 

yang tubuhnya masih kaku tegang karena ditotok segera bertanya, 

"Mana kawanku?" 

Munding Sura alias Setan Pikulan tertawa buruk. "Kalian kira 

aku ini kambing tolol yang bisa ditipu mentah-mentah?" ujarnya. Dia 

berdiri dekat-dekat dihadapan Sekar. Kepalanya cuma sampai 

kepinggang gadis itu. "Dengar gadis molek," kata Setan Pilarlan 

seraya usap perut Sekar dengan tangan kirinya. 

"Manusia kurang ajar!" maki Sekar. "Lepaskan totokanku, 

cepat!" 

Setan Pikulan tertawa gelak-gelak. 

"Gadis molek, siapa-siapa manusia yang berani menipuku pasti 

kukirim ke akherat! Kawanmu telah kujebloskan ke dalam ruang 

batu karang...!" Setan Pikulan tertawa lagi. 

Sekar kaget bukan main mendengar keterangan ini. Dia tahu 

sendiri bahwa Wiro Sableng bukan pemuda sembarangan. Ilmu Silat 

dan kesaktiannya tinggi sekali. Dia bahkan telah menyaksikan 

kehebatan pemuda itu di Biara Pensuci Jagat sewaktu bertempur 

melawan Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga, tapi kenapa kini dia 

bisa terjebak dan masuk ke dalam perangkap ruang batu? Apakah 

ilmu Setan Pikulan jauh tebih tinggi dari Wiro? Atau mungkin 

manusia kate bermuka buruk ini telah membokong dan menipu Wiro 

secara pengecut? 

"Terhadapmu gadis molek...," berkata lagi si kate kepala 

gundul, dia berjingkat dan mengulurkan tangannya mengelus dagu 

Sekar. Gadis ini memaki habis-habisan. Setan Pikulan tertawa 

bergelak. Dan akhirnya Sekar meludahi muka manusia buruk itu. 

"Sompret kau!" bentak Setan Pikulan. Tapi dia tidak sebenarbenarnya 

marah. Dengan tertawa-tawa ditariknya ujung baju kuning 

Sekar dan disekanya mukanya yang disembur ludah itu. 

"Kalau kau tidak secantik ini pasti sudah kuremas hancur kau 

punya, muka! Kau kuampuni tapi musti ikut ketempatku! Untuk 

selanjutnya kau akan jadi perempuan peliharaanku!" 

"Bedebah keparat. Lekas lepaskan totokanku kalau tidak kelak 

jiwamu tak akan kuampuni!" Setan Pikulan tertawa gelak-gelak. 

"Kau galak sekali. Aku mau lihat apakah di tempat tidur kau 

juga akan segalak ini.... He... he...he...?!" 

Sekar memaki dan meludahi lagi muka laki-laki kate itu. Setan 

Pikulan tak menunggu lebih lama. Dilakukannya lagi satu totokan 

yang membuat mulut Sekar menjadi bungkam bisu tak bisa 

mengeluarkan suara lagi! Kemudian secepat kilat manusia kate itu 

meraih pinggang Sekar, melompat ke atas kudanya dan meninggalkan 

tempat itu. 

SEMENTARA itu di ruang batu karang di bawah gedung 

kediaman Tiga Setan Darah.... 

Begitu Wiro Sableng melompat dan sampai di anak tangga 

teratas, lantai di atasnya tertutup dengan cepat! Pendekar ini memaki 

habis-habisan. Diterjangnya lantai di atas tangga itu dengan satu 

tendangan keras yang disertai aliran tenaga dalam. Jangarrkan bobol, 

berbekaspun tendangannya itu tidak! 

Penasaran sekali Wiro Sableng alirkan separoh dari tenaga 

dalamnya ke kaki dan untuk kedua kalinya dia menendang lagi. 

Lantai karang yang merupakan langit-langit ruang batu itu keras dan 

atosnya bukan olah-olah. Tendangan Wiro Sableng hanya senggup 

membuat langit-langit itu tergetar sedikit saja! 

"Sialan!" gerutu Pendekar 212. 

Kini seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke kaki. Dengan 

bentakan dahsyat pendekar ini menendang ke atas. Ruang batu itu 

bergoncang! Tapi bagian yang ditendang tidak mengalami perobahan 

sedikitpun! Wiro menghela nafas dalam. Keringat dingin mengucur 

dikeningnya. Penuh penasaran pemuda ini salurkan seluruh tenaga 

dalamnya ke tangan kanan sampai tangan itu tergetar. Kedua kakinya 

merenggang. Dalam keadaan seperti itu, bila dia berdiri di tanah 

pastilah kedua kakinya akan melesak sedalam lima atau sepuluh 

senti. Tapi di atas lantai karang yang atos itu, hal itu tidak terjadi. 

Perlahan-lahan jari-jari tangan pendekar 212 menekuk membentuk 

tinju. 

"Ciaaat!" 

Didahului dengan bentakan menggeledek itu Wiro Sableng 

pukulkan tangan kanannya ke atas. Jari-jari yang terkepal membuka. 

Satu gumpalan angin keras laksana batu besar bergulung-gulung dan 

melesat menghantam bagian atas ruangan batu didekat kepala tangga! 

Inilah pukulan kunyuk melempar buah! 

Ruang batu itu bergoncang dahsyat. Angin pukulan memantul 

kembali, memadamkan pelita yang terletak di lantai. Dan ruangan 

batu kurang itu dengan serta merta menjadi gelap gulita. Tangan di 

depan matapun tak kelihatan ! 

Wira Sableng menggerendeng, memaki diri sendiri, memaki akan 

ketololannya sendiri. Seharusnya dia memperhitungkan bahwa 

pukulannya itu tadi akan dapat memadamkan pelita di ruang 

batu itu. Dia berpikir-pikir untuk melepaskan pukan sinat 

matahari. Tapi Wiro khawatir kalau-kalau pukulannya itu juga 

tidak mempan dan akan membalik menghantam dirinya sendiri 

serta manusia yang menggeletak di ruangan itu! 

Sejak masuk ke dalam ruang batu karang itu baru Wiro 

ingat pada laki-laki bertangan buntung yang tadi hendak 

ditolongnya. Wiro melangkah perlahan-lahan sampai akhirnya 

kedua kakinya menyentuh tubuh laki-laki itu. Dia berlutut. 

Digoyang-goyangnya tubuh laki-laki itu. Tiada suara. Tubuh itu 

basah oleh keringat dan gelimangan darah. Wiro meletakkan 

telapak tangan kanannya di dada laki-laki itu. Lama sekali baru 

dia berhasil merasakan degupan jantung yang sangat halus dan 

pelahan! Ternyata manusia itu masih hidup. Dengan cepat Wiro 

Sableng salurkan tenaga dalamnya melalui dada dan 

pergelangan tangan kanan laki-laki itu. Seperempat jam berlalu. 

Masih tak ada reaksi apa-apa. Mungkin manusia itu tak ada 

harapan lagi untuk diselamatkan jiwanya, pikir Wiro. Tubuhnya 

sudah keringatan. Mengerahkan tenaga dalam selama 

seperempat jam tanpa terputus-putus merupakan hal yang 

sangat berat, kurang hati-hati salah-salah bisa membuat diri 

sendiri menjadi rusak di dalam! 

Ketika sepeminuman teh lewat maka baru terasa laki-laki 

itu memberikan reaksi. Tubuhnya bergerak sedikit. Kemudian 

terdengar suara erangannya. Erangan yang hampir tak 

kedengaran. Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya sampai 

tubuhnya menjadi lemas. Dia tersandar kedinding dan mengatur 

jalan nafas serta darahnya. 

Kemudian telinganya mendengar erangan laki-laki itu 

lebih keras. Erangan kesakitan yang mengeriken! 

"Di mana aku?" lapat-lapat Wiro mendengar laki-laki itu 

bertanya. 

"Sobat, kau sudah siuman?" 

"Kau siapa...?" desis laki-laki itu. 

"Apa kau bisa membuka matamu?" 

"Ya, sedikit. Tapi semua gelap sekali!" 

"Ya, ruangan ini memang gelap. Ruang batu karang yang 

tak beda dengan liang kubur! Kita sama-sama bernasib sial! 

Disekap di tempat terkutuk ini..." 

"Kenapa kita bisa disekap di sini..... Siapa yang 

menjebloskan kita...?" 

"Ya. Namaku Pranajaya..." 

"Meski kau terkurung di sini, nasibmu sebenarnya masih 

untung Prana," kata Wiro. 

Pranajaya menghela nafas dalam. 

"Kau kuat sekali. Kurasa jarang ada manusia yang 

sanggup bertahan dan masih hidup diseret dengsn kuda seperti 

kau." 

"Aku... aku diseret dengan kuda...?" tanya Prana. 

"Ya. Sudahlah, sebaiknya kau duduk bersila. Atur jalan 

nafas, aliran darah dan tenaga dalammu..." 

"Tidak mungkin...," desis Prana. "Seluruh tubuhku tidak 

punya tenaga sedikitpun. Tulang-tulangku serasa remuk!" 

"Kau begitu berbaring sajalah sementara aku mencari akal 

bagaimana kita bisa ke luar dari tempat terkutuk ini!" kata 

Pendekar 212. 

"Kau masih belum menerangkan namamu," ujar Pranajaya. 

"Panggil aku Wiro....." 

"Kau juga seorang dari dunia persilatan?" 

"Sudah, aku bilang berbaring sajalah," potong Wiro. "Aku musti 

berpikir. Kita musti ke luar dari tempat celaka ini!" 

Pranajaya menutup mulutnya. Sekujur tubuhnya sakit tiada 

terkirakan. Sedikit demi sedikit dalam keadaan berbaring itu 

dicobanya mengatur jalan nafas, darah dan tenaga dalamnya. 

"Plaak!" Wiro memukul keningnya sendiri. Tangan kanannya 

mengeruk saku pakaiannya. Dari dalam saku ini diambilnya sebuah 

kantong kecil berisi beberapa buah pil. Diambilnya sebutir "Aku 

sampai lupa Prana, ngangakan mulutmu. Telan obat ini. Seperempat 

jam mungkin kau bisa lebih kuatan......" 

Dalam gelap itu Pranajaya mengangakan mulutnya dan Wiro 

mencari-cari dengan tangannya mulut pemuda itu. Bila bertemu 

maka dimasukkannya pil itu ke dalam mulut Pranajaya. 

Beberapa menit kemudian...... 

"Rasa sakitku agak berkurang..." kata Prana pelahan. 

"Syukur......" 

"Saudara Wiro bagaimana..." 

Pranajaya tidak meneruskan pertanyaannya. Di dalam gelap itu 

dirasakannya Wiro berdiri. Kemudian tubuhnya didukung den 

dibawa ke salah satu sudut ruangan. 

"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya Pranajaya. 

Wiro tak menjawab. Dia melangkah ke tengah ruangan 

kembali. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya sebuah batu hitam 

yang bertuliskan angka 212 serta Kapak Maut Naga Geni 212. 

Senjata sakti ini memancarkan sinar yang menerangi ruang batu itu. 

Meski tidak cukup terang tapi Wiro dapat melihat di mana pelita yang 

tadi padam terletak. Mata kapak dan batu hitam diadu satu sama 

lain. Lidah api menyembur ke arah pelita dan pelita itupun menyala 

kembali. Ruang batu karang menjadi terang benderang. Kini kedua 

manusia itu baru bisa meneliti paras dan diri masing-masing. 

Paras Pranajaya mengerikan untuk dipandang. Kulit mukanya 

hampir keseluruhannya mengelupas, demikian juga kulit sekujur 

badannya. Salah satu telinganya hampir sumplung, hidung lecet. 

Pakaian robek-robek. Kulit kepala ada yang mengelupas dan darah, 

keringat serta debu membungkus tubuh Pranajaya mulai dari ujung 

rambut sampai ke kaki! 

Pendekar 212 kertakkan rahang menahan hatinya yang seperti 

terbakar melihat keadaan tubuh laki-laki bertangan buntung itu. 

Kesalahan apakah yang telah dibuatnya sampai disiksa demikian 

biadabnya? Wiro tak mau berpikir lebih lama. Saat itu yang musti 

dilakukan ialah mencari jalan ke luar. 

Dengan Kapak Naga Geni 212 ditangan Wiro Sableng 

melangkah menuju ke tangan batu paling atass. Dia memandang 

pada Pranajaya dan berkata, "Kalau senjataku ini tiada sanggup 

menghancurkan langit-langit ruangan batu karang ini berarti kita 

akan mampus di sini sobat." 

Pranajaya tak berkata apa-apa. Hatinya kecut, dan sedingin es. 

Wiro mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kapak Naga Geni 

di putar-putar di atas kepala. Senjata itu mengeluarkan angin yang 

deras dan suara mengaung laksana deru ribuan tawon. Angin senjata 

membuat api pelita mati lagi. 

Pada saat itu terdengar bentakan menggeledek dan di saat 

yang bersamaan pula terdengar suara "buumm!" 

Ruang batu bergoncang keras. Wiro terhuyung-huyung, 

tubuhnya dihujani oleh guguran dan puing-puing batu karang. 

Pranajaya terpelantihp dan terhampar di lantai ruang betu. 

Ketika Wiro memandang ke atas dia berseru girang, "Prana, kita 

berhasil!" 

Ternyata batu karang tebal yang atos keras yang menjadi 

atap ruang batu itu tiada sanggup menghadapi Kapak Naga 

Geni 212. Sekali Wiro menghantamkan senjata pemberian 

gurunya itu maka hancur leburlah atap batu karang. Lobang 

baser terbuka tepat di atas anak tangga paling atas. Pendekar 

212 memasukkan kapaknya ke balik pinggang kemudian turun 

ke bawah kembali, mendukung tubuh Pranajaya dan 

mepinggalkan ruangan batu karang itu dengan cepat. Tapi 

sewaktu mereka sampai di halaman belakang, seorang 

penunggang kuda bermuka merah, berambut dan berjubah 

merah tahu-tahu muncul menghadang mereka. Setan Darah 

Pertama! 

-- == 0O0 == -- 

TUJUH 

PADA WAKTU Setan Pikulan keluar dari pekarangan 

gedung tua membawa lari Sekar, maka di ujung jalan di 

belakangnya tiga penunggang kuda muncul. Mereka bukan lain 

Tiga Setan Darah yang baru saja kembali dari luar Kotaraja. 

"Hai, kalau aku tak salah lihat itu si kepala gundul Setan 

Pikulan!" seru Setan Darah Pertama. 

"Betul!" menyahut Setan Darah Kedua. "Dia memboyong 

perempuan dan keluar dari rumah kita! Apa yang telah 

terjadi?!" 

Tiga Setan Darah sama memacu kuda masing-masing 

lebih cepat namun Setan Pikulan sudah lenyap dari 

pemandangan mereka sewaktu ketiganya sampai di depan pintu 

halaman gedung tua. 

"Kalian berdua kejar manusia itu," perintah Setan Darah 

Pertama. "Aku akan menyelidiki tempat kita. Pasti terjadi apaapa 

yang tak diingini!" 

Setan Darah Kedua dan Ketiga segera meninggalkan 

tempat itu sedang Setan Darah Pertama dengan cepat memasuki 

halaman gedung kediamannya. Apa yang disangkakannya 

ternyata betul! Pintu samping ditemuinya melompong bobol. 

Belasan senjata rahasia berbentuk panah bertebaran di tanah 

dan beberapa lainnya menancap di batang pohon Setan Darah 

Pertama memaki dalam hati. "Apa ini si kate kepala gundul itu 

yang melakukannya?" manusia bermuka merah ini membathin. 

"Kalau betul kelak aku akan kasih pelajaran pada manusia 

Keparat itu!" Dilewatinya pintu yang telah bobol itu dan ketika 

sampai di halaman belakang kekagetannya bertambah-tambah 

sewaktu menyaksikan tanah dari anak tangga sebelah bawah pintu 

belakang hancur berantakan sedang pintu belakang itu sendiri juga 

bobol pecah! 

"Setan alas! Setan alas!" maki manusia muka merah itu. Dia 

memandang berkeliling dan merasa heran karena dia tidak melihat 

arca yang seharusnya berada di halaman itu! 

Siapa yang melakukan ini semuanya? Apa yang sebenarnya 

telah terjadi. Dan Setan Pikulan yang tadi dilihatnya ke luar dari 

pintu halaman, memboyong seorang perempuan?! Sudut mata Setan 

Darah Pertama menangkap satu gerakan. Cepat-cepat dia palingkan 

kepala. Sepasang mata Setan Darah Pertama melotot. Dihadapannya 

berdiri seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian putih-putih. 

Dia tidak kenal dengan pemuda ini. Yang membuat Setan Darah 

Pertama begitu terkejut ialah karena pemuda ini memanggul 

Pranajaya yang sebelumnya telah disekapnya dalam ruang batu 

karang! 

Setan Darah Pertama berpikir cepat. Jika si pemuda asing ini 

adalah kawan Pranajaya dan menolong Prana keluar dari ruang batu 

karang, pastilah dia yang telah menghancurkan pintu samping dan 

pintu belakang gedung kediamannya. Dan di dalam gedung pasti 

pula dia telah membuat kerusakan yang lebih hebat lagi. Lantas, apa 

pul a hubungan S eta n Pikulan yang tadi dilihatnya ke luar dari 

halaman gedung dengan memboyong seorang perempuan?! Setan 

Darah Pertama jadi bingung sendiri! Matanya menatap tajam. Kalau 

betul pemuda belia ini yang telah membebaskan Pranajaya dari 

dalam ruang batu maka ini adalah hal yang sangat tak bisa dipercaya 

oleh Setan Darah Pertama. 

Untuk masuk ke dalam gedung tua saja seseorang harus 

melalui rintangan-rintangan senjata rahasia yang bisa membawa 

maut! Kalaupun dia sanggup masuk ke dalam, belum tentu dia tahu 

rahasia bagaimana membuka pintu ruang batu karang. Mungkin dia 

mempergunakan ilmu kesaktian dan membobolkan pintu ruang 

batu? Selama bertahun-tahun tak ada satu kekuatanpun yang 

sanggup mendobrak pintu ruang batu karang itu. Apalagi manusia 

muda bertampang dogol seperti yang saat itu berdiri memanggul 

tubuh Pranajaya dihadapannya. 

Di lain pihak Pendekar 212 Wiro Sableng memandang pula 

tepat-tepat kepada Setan Darah Pertama. Dia ingat manusia inilah 

yang telah menyeret Pranajaya tadi sepanjang jalan. Dia tenangtenang 

saja dan tidak perlu terkejut melihat si muka merah ini. 

Cuma yang diam-diam membuat dia khawatir ialah karena saat itu 

dia sama sekali tidak melihat Sekar! Tak ada dugaan lain selain 

bahwa gadis itu pasti sudah dilarikan oleh si kate Setan Pikulan! 

"Pemuda asing, siapa kau?!" bentak Setan Darah Pertama 

dengan suara menggeledek. Sekaligus dia hendak menunjukkan 

bahwa dia bukan manusia sembarangan. 

Wiro Sableng cengar cengir seenaknya. 

"Jangan cengar cengir tak karuan! Cepat beritahu siapa kau 

dan mengapa nyalinu begitu besar membuat keonaran di sini?!" 

"Wiro....," Pranajaya berbisik. "Manusia muka kepiting rebus ini 

adalah musuh besarku! Salah satu dari Tiga Setan Darah...." 

Wiro tertawa mendengar ucapan "kepiting rebus" itu. 

"Setan alas!" sentak Setan Darah Pertama. "Kau kira kau 

berhadapan dengan siapakah berani tertawa seenak perutmu?!" 

"Masakah orang tertawa saja tidak boleh!" sahut Wiro Ssbleng. 

Darah Setan Darah Pertama naik ke kepala "Kalau kau masih 

bicara bertele, nyawamu akan kukirim menghadap setan neraka!" 

ancam Setan Darah Pertama dan tangan kanannya dinaikkan ke 

atas, siap untuk melancarkan satu pukulan tangan kosong! 

"Sabar... sabar sobat!" kata Wiro. "aku adalah kawan pemuda 

ini. Sebagai kawan, sepantasnya aku menolong bila dia mendapat 

kesukaran.... Bukan begitu Tiga Setan Darah?!" 

"Hemm... manusia buruk macammu rupanya sudah tahu juga 

berhadapan dengan siapa saat ini!" ujar Setan Darah Pertama. 

"Karena kau kawan pemuda itu, terpaksa kalian berdua kuseret 

kembali ke ruang batu karang!" 

Habis berkata demikian Setan Darah Pertama lentingkan 

kelima jarinya ke muka. Lima larik sinar merah menyambar ke arah 

lima bagian tubuh Wiro Sableng! Inilah ilmu totokan jarak jauh 

bernama totokan lima jari yang sangat lihai sekali! 

Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Sekali 

melompat ke samping, lima sinar totokan itu dapat dihindarkannya 

sekaligus! 

Ini membuat Setan Darah Pertama menjadi gusar. 

"Punya sedikit ilmu saja hendak diandalkan!" ejeknya. "Aku 

mau lihat sampai di mana kedikjayaanmu bocah konyol!." Serentak 

dengan itu Setan Darah Pertama melompat dari kudanya. 

"Silahkan turunkan dulu kunyuk dibahumu itul" kata Setan 

Darah Pertama. 

"Tiga Setan Darah, meski kau seorang bejat yang sebenarnya 

tidak pantas hidup di dunia ini, tapi aku tak punya permusuhan 

denganmu. Harap minggir beri jalan....!" 

"Kentut bapak moyangmu!" teriak Setan Darah Pertama. "Lekas 

turunkan pemuda itu, dalam satu jurus nyawamu pasti akan 

minggat dari badan!" 

Sebenarnya Wiro bukan tak mau baku hantam dengan 

manusia terkutuk ini, tapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan 

Sekar dan musti mencari gadis itu maka sekali ini diusahakannya 

untuk menghindari pertempuran. Tapi agaknya si muka kepiting 

rebus tak memberi kesempatan terhadapnya. Dan ini membuat 

murid Eyang Sinto Gendeng itu mulai luntur pula kesabarannya. 

"Iblis muka merah!" bentak Wiro Sableng. "Untuk menghadapi 

kau kenapa musti susah-susah turunkan tubuh kawanku ini 

segala?" 

Mendidihlah darah Setan Darah Pertama. Seumur hidupnya 

tak pernah dia mendapat hinaan demikian. 

"Kalau begitu kalian akan mampus sama-sama!" teriaknya 

lantang. 

Setan Darah Pertama kebutkan kedua lengan jubahnya. Dua 

angiri merah yang amat dahsyat menderu ke arah Wiro Sableng. 

Dalam jarak dua tombak saja panasnya sudah memerihkan kulit. 

"Awas Wiro, pukulan itu beracun!" membisik Pranajaya. Lalu 

tambahnya "Manusia ini bukan sembarangan, ilmunya tinggi. Lebih 

baik kau sandarkan aku ke pohon sana....!" 

"Ah, tak usah khawatir sobat..," jawab Wiro. Satu tombak dua 

larikan sinar merah itu menyambar kearahnya dengan membentak 

nyaring Pendekar 212 berkelebat. Tubuhnya lenyap dari hadapan 

Setan Darah Pertama. 

Kaget Setan Darah Pertama bukan main-main. Tak tahu dia 

gerakan kilat apa yang dipergunakan oleh si pemuda lawannya 

hingga lebih cepat dari kejapan mata pemuda itu sudah lenyap dari 

pemandangannya. 

Cepat-cepat dia membalik. Wiro dan Prana dilihatnya sudah 

berada di pintu samping. 

"Kau mau lari ke mana bedebah?!" bentak Setan Darah 

Pertama dan memburu dengan cepat seraya lancarkan satu jotosan 

jarak jauh yang hebat. Serangan ini membuat murid Eyang Sinto 

Gendeng melompat ke samping lalu membalik. 

"Iblis muka merah, kali ini aku tidak ada waktu untuk 

melayanimu. Kelak di lain hari kita bakal berhadapan kembali!" 

"Cuma nyawamu yang bisa pergi dari sini keparat!" teriak 

Setan Darah Pertama. Dia memburu lagi. Tapi langkahnya terhenti. 

Wiro telah melepaskan satu pukulan yang mendatangkan angin yang 

amat hebat, membuat pasir di halaman itu menggebu laksana kabut 

tebal menderu ke arah Setan Darah Pertama membuat 

pemandangannya tertutup. Ketika dia menerobos kabut pasir itu 

dengan cepat, Wiro Sableng dan Pranajaya sudah lenyap! Setan 

Darah Pertama menyumpah habis-habisan. 

Orang-orang yang berada di tengah jalan cepat-cepat 

menghindar ke tepi sewaktu Setan Pikulan memacu kudanya dengan 

kecepatan yang luar biasa. Debu beterbangan di belakang diterpa 

oleh keempat kaki kuda tunggangan manusia bertubuh kate itu. 

Seorang pejaian kaki berkata pada kawannye di tepi jalan. 

"Lihat, si kate kepala gundul itu membawa seorang perempuan 

lagi!" 

"Ya, parasnya cantik sekali!" Sahut kawannya. Diangkatnya 

bahunya lala berkata lagi, "Manusia dajal itu rupa-rupanya tak 

pernah bosan dengan perempuan. Di gedungnya sudah belasan 

perempuan yang jadi peliharaannya! Kini satu lagi bakal menjadi korban 

kebejatan nafsunya. Kasihan perempuan itu..." 

"Aku sangat menyesalkan Baginda. Beliau..." Laki-laki itu tak 

meneruskan kata-katanya karena di belakangnya terdengar derap 

kaki-kaki kuda. Keduanya berpaling. 

"Ini lagi...," kata laki-laki tadi pelahan. "Bergundal-bergundal 

Baginda. Mereka tidak ada beda dengan Si Setan Pikulan!" 

Dua penunggang kuda itu berlalu dengan cepat. Mereka bukan 

lain dari Setan Darah Kedua dan Ketiga yang tengah mengejar Setan 

Pikulan! 

Di sebuah gedung kecil di pinggiran Kotaraja, Munding Sura 

alias Setan Pikulan menghentikan kudanya. 

"Ah, manisku. Kita sudah sampai!" katanya seraya mendukung 

Sekar dan melompat dari kudanya. 

Di ruang dalam tiga orang perempuan muda yang cantik-cantik 

tengah duduk berbicara Mereka adalah sebagian dari peliharaanpeliharaan 

Setan Pikulan. Ketiganya memandang pada Setan Pikulan 

dan perempuan yang ada dalam dukungannya. Mereka tak berkata 

dan tak berbuat apa-apa selain hanya memandang. Dan di dalam 

hati masing-masing, mereka sudah tahu apa yang bakal dialami 

parempuan yang dibawa Setan Pikulan itu ketika mereka melihat 

laki-laki itu melangkah menuju ke kamar di ujung ruangan! 

Kemudian pintu kamar itupun tertutuplah. 

Di dalam kamar....... 

Setan Pikulan menutupkan pintu dengan tumit kakinya. 

Dengan tertawa mengekeh-ngekeh manusia ini membaringkan Sekar 

di atas tempat tidur. Kemudian dia melangkah ke meja dan meneguk 

tuak dari dalam sebuah kendi. Minuman keras ini dengan serta 

merta menghangati tubuh dan menambah gelora nafsu terkutuk 

Setan Pikulan. Dengan memegang kendi itu di tangan dia melangkah 

kembali ke tempat tidur dan duduk di samping Sekar. 

"Ah, parasmu yang cantik basah oleh keringat dan debu. Biar 

aku bersihkan.... kata Setan Pikulan. Lalu dengan tangan kirinya 

diusapnya kening serta pipi Sekar. Gadis ini memaki dalam hati. 

Hanya itu, yang bisa dilakukannya. Dia tak bisa membuka mulut 

ataupun menggerakkan anggota badannya karena telah ditotok. 

Cuma mimik mukanya yang menyatakan demikian. 

Setan Pikulan meneguk tuaknya kembali. 

"Eh, kau tentu haus" Setan Pikulan mengedipkan matanya 

beberapa kali. Lalu dibukanya totokan pada tubuh Sekar. Gadis itu 

kini bisa bicara dan mendengar tapi tubuhnya tetap kaku tak bisa 

digerakkan. 

"Ini, minumlah, kau tentu haus manisku!" 

"Manusia biadab! Lepaskan totokanku! Keluarkan aku dari 

sini!" teriak Sekar. 

"Kau masih saja galak," desis Setan Pikulan dan mencubit 

dagu Sekar. "Ini minum!," katanya. Bibir kendi didekatkannya ke 

bibir gadis itu. Sekar mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tapi 

kemudian dia mendapat akal. Dibukanya mulutnya sedikit. Tuak di 

dalam kendi itu diteguknya dua kali. Setan Pikulan tertawa gembira. 

Tapi tiba-tiba ! 

Tuak yang sudah diteguk tadi tiba-tiba disemburkan kembali 

oleh Sekar dan karena tidak diduga sama sekali oleh Setan Pikulan, 

laki-laki ,ini tak sempat lagi menghindar! Dia berteriak kesakitan dan 

melemparkan kendi di tangannya ke dinding. Kendi pecah 

berantakan isinya membasahi lantai! Untung saja Sekar dalam 

keadaan ditotok sehingga dia tak bisa mengalirkan darah dan tenaga 

dalamnya! Jika saja semburan tuak tadi disertai dengan aliran 

tenaga dalam niscaya hancur dan butalah mata Setan Pikulan. 

Namun demikian semburan tadi sudah cukup membuat matanya 

sakit sekali dan untuk beberapa saat lamanya tak bisa membuka 

kedua matanya itu! 

Sambil mengeringi mukanya yang basah dan mengucakngucak 

kedua matanya Setan Pikulan memaki habis-habisan! 

"Gadis gila! Kalau kau tidak sekurang ajar itu terhadapku pasti 

aku akan perlakukan kau baik-baik. Tapi kini kau akan rasakan sendiri !" 

Setan Pikulan mengucak lagi kedua matanya. Pemandangannya sudah terang kini. 

Kedua matanya yang juling memandang dengan berapi-api. Tiba-tiba dibungkukkannya 

kepalanya. Maka habislah seluruh tubuh Sekar diciuminya. Gadis itu 

menjerit tiada henti. 

"Menjeritlah sampai lidahmu copot!" kata Setan P,kulan dengan 

tertawa mengekeh. Ciumannya datang lagi bertubi-tubi. Kemudian 

bukan hanya ciuman saja lagi. Sepasang tangan manusia kate ini 

membuat dua kali gerakan. 

"Breet!" 

"Breet!" 

Pakaian kuning yang dikenakan Sekar robek besar. Dadanya 

tersingkap lebar! 

"Dadamu bagus dan putih sekali!" seru Setan Pikulan seperti 

gila. Dan kemudian betul-betul macam orang gila muka dan bibirnya 

melumasi dada Sekar yang sampai saat itu masih menjerit-jerit. Sekar menjerit 

lagi lebih keras sewaktu sepasang tangan Setan Pikulan 

menggerayang meremasi dadanya ! 

"Braak !" 

Pintu kamar terpentang lebar. Salah satu papannya pecah! 

Kaget Setan Pikulan bukan olah-olah! Sebelum dia berpaling, dari 

pintu sudah membentak satu suara . 

"Munding Sura! Hentikan perbuatan kotormu itu!" 

-- == 0O0 == -- 

DELAPAN 

BEGITU berpaling begitu Setan Pikulan alias Munding Sura 

hendak mendamprat marah. Tapi sewaktu melihat siapa yang berdiri 

dihadapannya dia hanya mengeluarkan suara menggerendeng. Di 

belakang laki-laki yang masuk ke dalam kamar itu masih ada 

seorang lainnya. 

Setan Pikulan bangkit dari tempat tidur. 

"Kalau tidak memandang kepada nama besar serta hubungan 

kita sesama tokoh-tokoh pembantu Baginda, pasti aku sudah 

tendang kau ke luar dari kamar ini Setan Darah Kedua!" 

Setan Darah Kedua tertawa bergumam. Dia rangkapkan tangan 

di muka dada sementara kawannya melangkah ke sampingnya. 

Sepasang mata Setan Darah Kedua menatap tubuh yang tergeletak di 

atas tempat tidur. Hatinya terkesiap juga memandangi paras cantik 

dengan tubuh dalam keadaan setengah telanjang itu! Seperti Setan 

Pikulan, diapun seorang yang suka perempuan! 

"Setan Darah, lekas katakan apa maksud kedatangan kalian !" 

"Sewaktu memasuki ujung jalan kau kelihatan ke luar dari 

tempat kediaman kami membawa perempuan itu!" kata Setan Darah 

Kedua. Kepalanya digoyangkannya sedikit ke arah Sekar. "Ada perlu 

apa kau ke tempat kami dan siapa ini perempuan?!" 

"Siapa ini perempuan bukan urusanmu!" jawab Setar Pikulan. 

"Kalau kau memandang mukaku, aku juga matih mau 

memandang muka padamu, Setan Pikulan," kata Setan Darah Kedua. 

"Kuharap kau tak usah bicara kasar!" 

Setan Darah Kedua tertawa dingin. 

Setan Darah Ketiga buka mulut, "Melihat caramu ke luar dari 

gedung kami dan melarikan perempuan ini jelas sudah kau membuat 

apa-apa yang tak diingini di tempat kami!" 

Setan Pikulan meludah ke lantai. 

"Aku ke sana sebetulnya untuk menyambangi kalian..." 

"Itu satu kehormatan." memotong Setan Darah Kedua dengan 

nada sinis. 

"Kalian tidak ada. Pintu samping kutemui dalam keadaan 

hancur. Senjata-senjata rahasia bertancapan di pohon dan 

bertebaran di tanah. Halaman belakang kacau balau dan pintu 

belakang gedung kalian juga , kutemui dalam keadaan terpentang 

bobol...." 

"Hemmm...," gumam Setan Darah Ketiga. "Siapa yang 

melakukannya?!" 

"Mana aku tahu!" sahut Setan Pikulan. 

"Jangan dusta Munding Sura!" sentak Setan Darah 

Kedua.'"Hanya beberapa orang saja yang tahu rahasia masuk ke 

gedung itu, diantaranya kau!" 

"Jadi kau menuduh aku membuat kerusakan di gedung itu?" 

"Aku tanya siapa yang melakukan, bukan menuduh!" sahut 

Setan Darah Kedua ketus. 

"Aku sudah bilang tidak tahu! Dan sekali tidak tahu, tetap 

tidak tahu. Sekarang silahkan angkat kaki dari sini!" 

"Baik Munding Sura. Tapi ingat..." ujar Setan Darah Ketiga. 

"Bila nanti terbukti kau berbuat..." 

"Tak usah mengancam sompret!" maki Setan Pikulan. 

Setan Darah Ketiga melangkah maju. Setan Darah Kedua 

menarik lengan jubahnya dan berkata pada Setan Pikulan, "Sekarang 

memang baru cuma ancaman. Kelak kalau kami tahu bahwa kau 

betul-betul telah membuat keonaran di tempat kami, ancaman itu 

akan menjadi kenyataan, Munding!" 

Munding Sura yang bergelar Setan Pikulan tertawa 

mencemooh! 

"Dasar manusia-manusia tidak tahu diri!" katanya. 

"Kalian tahu, sewaktu aku datang ke sana ada dua cecunguk yang sembunyi 

di atas genteng! Satu diantaranya gadis ini, yang lain seorang 

pemuda! Aku paksa mereka turun dan paksa agar memberi keterangan. 

Mereka menerangkan tengah mencari seorang kawan yang 

kalian seret ke tempat kalian! Mereka bermakpud membebaskannya! 

Aku pikir kalau manusia itu adalah musuhmu maka pasti yang dua 

lainnya adalah kambratnya juga. Si gadis, kutotok dan kawannya 

kutipu kujebloskan dalam ruang batu karang di dasar gedung! Kalian 

dengar semua itu?! Seharusnya kalian berterima kasih padaku dan 

bukan mengoceth tak karuan! Sekarang berlalu dari hadapanku 

sebelum kesabaran habis!" 

Setan Darah Kedua menarik lengan baju kawannya. Keduanya 

sama-- sama melangkah ke pintu. Tapi tiba-tiba Sekar berseru. 

"Setan Darah! Jangan kena ditipu oleh bangsat kepala botak 

ini!" 

Tentu saja kedua Setan Darah itu sama hentikan langkah dan 

balikkan badan! 

"Apa yang diterangkannya semua adalah dusta!" 

"Heh, begitu...?!" 

"Gadis edan apa mulutmu mau kupecahkan?!" bentak Setan 

Pikulan. "Berani kau bicara lagi betul-betul kupecahkan mulutmu!" 

"Biarkan dia bicara, Munding Sura!" kata Setan Darah Kedua. 

"Tapi kau lepaskan dulu totokanku!" kata Sekar. "Aku akan 

terangkan apa yang telah diperbuatnya ditempatmu! Dan bukan itu 

saja, aku akan bersedia ikut dengan kalian!" 

"Ah...," Setan Darah Kedua mengusap-usapkan kedua telapak 

tangannya satu sama lain. "Satu usul yang baik! Memang kau telah 

pantas bersamaku daripada kambratku yeng kate buruk ini!" 

Marahlah Setan Pikulan. 

"Saat ini aku tidak memandang nama besar atau mukamu lagi 

Setan Darah keparat! Tidak perduli meski kita sama-sama orang 

Istana!" 

"Gadis itu sudah membuka kedok kedustaanmu!" 

"Dia yang dusta! Bohong besar!" 

"Dusta atau tidak tapi aku percaya omongannya. Dan aku 

dengar dia sendiri yang mau ikut bersamaku!" Setan Darah Kedua 

mengekeh. 

Mulut Setan Pikulan komat kamit. "Boleh," katanya. "Silahkan 

bawa gadis itu. Tapi begitu tanganmu menyentuh tubuhnya, 

kepalamu akan hancur lebih dulu!" 

Setan Darah Kedua tertawa bergelak. 

"Nama besar Setan Pikulan memang sudah lama kami dengar, 

Tapi hendak manantang Tiga Setan Darah yang kesohor sama saja 

seperti biduk kecil yang hendak melawan gelombang sebesar gunung!" 

Kini Setan Pikulan yang tertawa mangekah. 

"Orang sombong memang terlalu sering lupa diri! Kita walau 

bagaimanapun masih sama sama manusia. Aku bukan biduk dan 

kalian bukan gunung! Bicara jangan ngaco!" 

"Agaknya jalan kekerasan tak bisa dihindarkun, Setan Pikulan!" 

kata Setan Darah Ketiga sambil usut-usut lengan jubahnya. 

"'Kukira demikian, Lagi pula memang sudah sejak lama aku 

ingin membuktlkan sampai di mana kehebatan nama Tiga Setan 

Darah itu. Jangan-jangan cuma bangsa kroco bau terasi saja! Apalagi 

sekarang cuma ada dua orang!" 

"Kita akan saksikan siapa yang kroco manusia buruk!" sahut 

Setan Darah Kedua. Dia berpaling pada kawannya dan berkata, "Kau 

lepaskan totokan gadis itu, biar aku yang kasih pelajaran pada 

manusia jenis kacoak ini!" 

Setan Darah Ketiga melompat ke arah tempat tidur. Dua jari 

tangannya siap untuk melepaskan totokan di tubuh Sekar, tapi dari 

samping Setan Pikulan tidak tinggal diam. Tubuhnya yang kate melasat 

ka muka satu tendangan yang dahsyat dilancarkannya ke arah 

tangan Setan Darah Ketiga. Tentu saja Setan Darah Ketiga tidak mau 

ambil risiko hancur tangannya. Cepat-cepat dia tarik pulang 

tangannya, menggeser kaki dan kebutkan lengan jubahnya sebelah 

kiri! 

Selarik sinar merah menyambar ke arah selangkangan Setan 

Pikulan! Ini adalah satu serangan yang benar-benar mematikan! Tapi 

si kate kepala gundul bukan manusia kemarin. Dia membentak dan 

melompat ke atas. Dari atas dia kirimkan satu jotosan dan satu 

tendangan! Setan Darah Ketiga merunduk sementara sinar 

pukulannya tadi telah melanda dan menghancurkan tembok kamar! 

Di ruang sebelah terdengar pekikan beberapa orang perempuan! 

Serangan gencar Setan Pikulan menjadi batal sewaktu dari 

samping Setan Darah Kedua tusukkan dua jari tangannya ke rusuk. 

Setan Pikulan yang tahu betul kehebatan dua jari itu cepat 

menghindar dan sekaligus dua tangannya dipukulkan ke muka! 

Setan Darah Kedua cepat-cepat buang diri ke samping sewaktu 

melihat dua gelombang angin hitam ke luar dari jotosan-jotosan 

lawannya. 

"Ilmu pukulan sepasang tinju hitammu tiada berguna 

terhadapku manusia buruk!" ejek Setan Darah Kedua. 

Sementara kawannya baku hantam dengan Setan Pikulan. 

Setan Darah Ketiga pergunakan kesempatan untuk membebaskan 

Sekar dari totokan. Namun kali yang kedua inipun tidak berhasil 

karena saat itu Setan Pikulan sudah menyambar senjatanya yang 

ampuh yang menyebabkan dia sampai dijuluki Si Setan Pikulan 

dalam dunia persilatan. Senjatanya itu bukan lain ialah sebuah 

pikulan dari bambu! Meskipun dari bambu tapi karena merupakan 

senjata sskti maka kekuatannya lebih hebat dari baja! 

Setan Darah Ketiga cepat-cepat buang diri ke samping sewaktu 

ujung pikulan menusuk ke kepalanya. Setan Darah Kedua 

mengomel. 

"Tolol!," makinya, "lepaskan dia dengan totokan jarak jauh!" 

Habis berkata begitu Setan Darah Kedua segera keluarkan 

sanjatanya yaitu sepasang gada. 

Dalam ilmu mengentengi tubuh dan tenaga dalam serta 

kegesitan bergerak Setan Pikulan tidak di bawah kedua Setan Darah 

itu, apalagi saat itu pikulan saktinya sudah berada di tangan. Namun 

menghadapi dua lawan yang berada dalam jarak terpisah di mana dia 

musti pula melindungi Sekar agar jangan sampai gadis itu berhasil 

dibebaskan lawan dari totokannya maka ini adalah satu hal yang 

cukup menyulitkan bagi Si Setan Pikulan! Setiap saat dia harus 

membagi serangan pada kedua lawan dan melindungi Sekar! 

Setan Pikulan putar senjatanya laksana titiran.Pikulan itu 

dimainkan dalam jurus-jurus silat toya. Angin deras dan suara 

mengaung memenuhi kamar itu. Namun senjata lawan yang dihadapi 

Setan Pikulan bukan pula senjata biasa! Bagaimanapun dia 

mempercepat gerakannya dan mendesak Setan Darah Kedua dengan 

hebat namun pada jurus kesembilan belas Setan Pikulan tak berhasil 

menghalangi Setan Darah Ketiga melepaskan satu pukulan tangan 

kosong jarak jauh yang membuat terlepasnya totokan di tubuh 

Sekar! 

Begitu bebas secepat kilat gadis itu merapikan pakaiannya. 

"Saudari, kau menghindarlah ke sudut sana! Tunggu sampai 

kami membereskan monyet kontet ini!," kata Setan Darah Kedua. 

Sekar merasa syukur bahwa hasutannya termakan oleh kedua 

Setan Darah sehingga kini dia lepas dari totokan. Dia tahu baik 

Setan Pikulan maupun manusia-manusia bermuka dan berjubah 

merah itu tiada beda satu sama lain. Dia berpikir-pikir apakah akan 

masuk ke gelanggang pertempuran untuk turut mengeroyok Setan 

Pikulan yang telah membuat kekejian terhadapnya atau lebih baik 

menyingkir dulu dari situ sebelum timbul pula urusan baru dengan 

manusia-manusia iblis bermuka merah itu! 

Si gadis mengambil keputusan yang terakhir. Apa lagi dia ingat 

bahwa sewaktu dibawa lari oleh Setan Pikulan dari gedung kediaman 

Tiga Setan Darah tadi, sahabatnya Wiro Sableng masih tertinggal di 

sana, dikurung dalam ruang batu karang. Maka gadis ini cepat-cepat 

melompat ke pintu. Namun apa lacur! Bersamaan dengan itu sesosok 

tubuh melompat pula dari luar dan cepat berhadap-hadapan dengan 

Sekar diambang pintu itu ! 

-- == 0O0 == -- 

SEMBILAN 

MANUSIA ini berambut gondrong, bermuka dan berjubah merah 

parsis seperti yang dikenakan dua orang Setan Darah yang tengah 

bertempur di dalam kamar. Pasti tidak manusia ini adalah kawan dari 

dua Setan Darah lainnya itu pikir Sekar. Di lain pihak manusia yang 

berdiri diambang pintu yang memang Setan Darah Pertama adanya 

menduga keras bahwa Sekar adalah perempuan yang tadi terlihat 

dilarikan oleh Setan Pikulan dari gedungnya. Meskipun dia tertarik 

sekali akan kecantikan si gadis dihadapannya namun saat itu Setan 

Darah Pertama masih diliputi kemarahan yang meluap yaitu sesudah 

dia menyaksikan kerusakan-keruasakan di gedungnya serta dibikin 

seperti main-mairan sewaktu bertempur melawan Pendekar 212. 

"Kalian tolol semua!" bantak Setan Darah Pertama sewaktu 

menyaksikan dua kawannya yang mengeroyok Setan Pikulan tapi 

mendapat tekanan-tekanan yang hebat bahkan sesungguhnya sudah 

mulai terdesak. "Menghadapi si kate keling ini saja tidak mampu!" 

Di saat itu Setan Pikulan mengamuk dengan hebatnya. 

Senjatanya bersiur-siur. Dua ujung pikulan menyambar dan memapas, 

kadang-kadang menusuk ganas dalam jurus-jurus gencar yang penuh 

dengan tipu-tipu yang membahayakan keselamatan kedua Setan 

Darah. 

Mendengar bentakan Setan Darah Pertama, Setan Darah Ketiga 

segera cabut sepasang goloknya. Pertempuran dalam kamar itu 

bertambah hebat. Tapi sepasang mata Setan Darah Pertama bisa 

melihat bahwa kedua kambratnya itu masih berada di bawah angin, 

Si kate kapala gundul berkelebat ganas hampir tak kelihatan. 

Pikulannya menderu-deru bahkan anginnya sampai mengibarngibarkan 

jubah yang dipakainya! 

Tanpa tunggu lebih lama Setan Darah Pertama segera bergerak 

ke tengah ruangan. Kasempatan ini lekas dipergunakan olah Sekar 

untuk meninggalkan tempat itu. Tapi Setan Darah Pertama berseru. 

"Hai gadis manis! Tunggu dulu! Kau mau ke mana?!" 

Sakar tak menyahuti malah tancap gas larikan diri tapi satu 

sambaran angin menyapu kedua kakinya, membuat kaki gadis itu 

menjadi kaku tegang dan laksana dipakukan ke lantai tak dapat 

bergerak lagi! 

Setan Darah Petema telah melepaskan totokan jarak jauh yang 

lihai sekali, Sekar sendiri tak tahu kalau dirinya akan diserang dari 

belakang begitu rupa maka kini dia terpaksa tegak di lantai tak 

berdaya! Dikerahkannya tenaga dalamnya ke kaki untuk membuyarkan 

totokan Setan Darah Pertama, tapi sia-sia belaka! 

"Tahan dulu! Aku mau bicara!" Setan Darah Pertama berseru. 

Kedua orong kawannya segera melompat ke tepi kamar. Dengan 

pandangan berapi- api Setan Derah Pertama memanndang pada Setan 

Pikulan. "Munding Sura kaukah yang membuat keonaran di 

tempatku?!" 

Munding Sura alias Setan Pikulan tertawa tawar. "Kau dan dua 

kambratmu ini sama saja menuduh seenaknya. Kau kira....." 

"Setan Darah Pertama," ujar Setan Darah Kedua. "Kita tak perlu 

banyak bicara dengan kunyuk hitam ini. Kami sudah tahu memang dia 

sengaja mencari urusan terhadap kita, Dia telah menyelundup ke 

tempat kita!" 

Setan Pikulan tertawa lagi. "Tentu saja nyalimu tambah besar 

karena satu kambratmu telah datang, lagi ke sini," katanya. "Sebelum 

terlambat apakah kalian masih mau teruskan urusan gila ini?!" 

"Kunyuk hitam!" hardik Setan Darah Pertama. "Tiga Setan 

Darah tak pernah bikin urusan setengah-setengah! Kawan-kawan, 

bersiap membentuk barisan tiga bayangan siluman!." 

Maka Tiga Setan Darahpun segera membentuk barisan yang 

sangat diandalkan mereka itu. Di lain pihak Setan Pikulan yang sudah 

memaklumi kehebatan ilmu silat lawan-lawannya itu segera pasang 

kuda-kuda baru. Dan sebelum barisan tiga bayangan siluman 

bergerak Setan Pikulan sudah berteriak-keras dan berkelebat bersama 

senjatanya! 

Setan Darah Pertama bergeser ke samping mengelakkan 

sambaran senjata Setan Pikulan yang melanda ke arah pinggangnya. 

Manusia bermuka merah ini kemudian merunduk dengan cepat dan 

kirimkan serangan berantai ke arah kedua kaki lawan. Setan Darsh 

Ketiga melesat ke atas, menukik lagi dan laksana seekor .burung elang 

tiada hentinya melancarkan pukulan-pukulan maut ke kepala Setan 

Pikulan! 

Barisan tiga bayangan siluman ini memang cukup terkenal 

dikalangan tokoh-tokoh Kotaraja. Setan Pikulan sendiri juga sudah 

tahu tapi baru kali ini menyaksikannya dan disaat itu dirinya pula 

yang menjadi bulan-bulanan! Namun Setan Pikulan bukan pula tokoh 

silat kemarin. Tubuhnya berkelebat laksana bayang-bayang, 

menerobos dan mengelak diantara hujan serangan lawan sedang 

senjatanya menderu kian kemari. Kegesitan ditambah dengan 

keampuhan jurus-jurus silat yang dimainkannya banyak sekali 

menolong Setan Pikulan sehingga meski dikeroyok tiga dalam sepuluh 

jurus dia masih bisa bertahan bahkan dua tiga kali berturut-turut 

membagi serangan pada ketiga lawannya. Lambat laun Tiga Setan 

Darah dibikin sibuk. Barisan tiga bayangan siluman tiada berarti 

lagi. Ketiganya kini mulai terdesak! 

Setan Darah Pertama memaki dalam hati! 

Untung saja pertempuran itu tidak terjadi di tempat terbuka, 

tidak disaksikan umum! Kalau saja orang luar tahu, pasti nama besar 

Tiga Setan Darat akan menjadi luntur! 

Setan Darah Pertama keluarkan sepasang tombak bermata dua 

dari balik jubahnya. Melitat ini dua Setan Darah yang lain yang tadi 

sewaktu membentuk tiga bayangan siluman telah memasukkan 

senjata mereka, kini segera pula mengeluarkan senjata masing-masing 

kembali! 

Setan Pikulan kertakkan rahang. Tiga pasang senjata di tangan 

musuh-musuhnya itu adalah senjata-senjata mustika sakti. Dia 

bersangsi apakah kini dia akan sanggup menghadapi manusiamanusia 

bermuka merah itu! Setan Pikulan coba memancing dengan 

ucapan agar musuhnya tidak bertempur secara mengeroyok. Maka dia 

pun berkata, "Nama Tiga Setan Darah memang tersohor! Tapi hari ini 

aku sendiri menyaksikan bahwa mereka cuma bangsa bunglonbunglon 

bernyali rendah bangsa pengecut kelas wahid! Tokoh-tokoh 

silat yang beraninya main keroyok!" 

"Mengocehlah seenakmu manusia kontet! Sebentar lagi gadaku 

ini akan membuat otakmu bertaburan." hardik Setan Darah Kedua 

serayra putar-putarkan gadanya. 

"Setan Darah Pertama, tunjukkanlah bahwa kau bukan seorang 

pengecut! Mari kita bertempur satu lawan satu sampai seribu jurus!" 

Setan Darah Pertama tertawa gelak-gelak. "Sampai seribu jurus 

katamu?! Tiga juruspun kau belum tentu bisa bertahan manusia 

kacoak!" 

"Huh! Betapa memalukan kalau dunia persilatan mengetahui 

bahwa Tiga Setan Darah beraninya cuma main keroyok! Persis macam 

anjing-anjing kurap yang mengeroyok seekor kucing yang ditakutinya!" 

Marahlah Setan Darah Pertama mendengar cacian anjing kurap 

itu. Dia berikan isyarat pada dua kawannya. Serentak dengan itu 

ketiganya segera menyerbu Setan Pikulan. Enam senjata laksana 

taburan hujan menderu mencari sasaran ditubuh Setan Pikulan. Yang 

dikeroyok mempertahankan diri dengan sebat. Sepuluh jurus berlalu. 

Keringat telah membasahi tubuh Setan Pikulan yang cuma mengenakan 

cawat itu! Gerakan dan putaran pikulannya semakin sebat 

namun sesungguhnya daya pertahanan manusia ini jurus demi jurus 

semakin lemah. Beberapa kali ujung-ujung pikulannya beradu dengan 

salah satu senjata lawan membuat senjata itu kadang-kadang hampir 

terlepas dan genggamannya yang licin oleh keringat! 

"Ha... ha... ha...! Sampai berapa lama lagikah kau akan sanggup 

bertahan Munding Sura?!" Mengejek Setan Darah Pertama. 

"Sampai batok kepalamu hancur oleh ujung senjataku ini!" 

sahut Setan Pikulan seraya tusukkan ujung pikulannya ke kepala 

lawan. Setan Darah Pertama sampokkan tombaknya yang ditangan 

kanan untuk menangkis tapi senjata lawan berputar cepat dan kini 

ujung yang lain menotok ke dadanya dengan sangat cepat! 

Setan Darah Pertama kertakkan rahang! Dia bersurut satu 

langkah dan dibantu oleh Setan Darah Kedua, keduanya menangkis 

serangan Setan Pikulan. Tiga senjata bentrokan satu sama lain 

mengeluarkan suara keras. Tiga tangan tergetar! Begitu senjatanya 

membentur senjata lawan, Setan Darah Pertama cepat pergunakan 

ujung tombaknya yang bermata dua untuk menjepit ujung pikulan. 

Dia berhasi! Segera tombak hendak diputarnya. Tapi Setan Pikulan 

tidak bodoh! Pikulan digerakannya dari atas ke bawah. Ujung yang 

lain menderu ke bawah perut Setan Darah Pertama. Di saat yang 

sama pula Setan Pikulan melompat ke atas karena kedua kakinya! 

Genap dua puluh jurus sudah! Setan Pikulan benar-benar 

sudah mandi keringat. Tiba-tiba dia menjerit keras. Senjatanya 

menyapu membuat satu lingkaran sedang dari balik cawatnya 

dikeluarkannya sejenis senjata rahasia berbentuk paku rebana! 

"Awas paku rebana beracun!" teriak Setan Darah Pertama. 

Tiga Setan Darah masing-masing kebutkan lengan jubah 

mereka. Sinar merah yang keluar dari ujung lengan jubah itu 

membuat mental sembilan buah paku-paku rebana yang dilepaskan 

Setan Pikulan! 

"Licik!" maki Setan Darah Pertama. 

"Kalian kunyuk-kunyuk muka merah yang pengecut kelas 

wahid!" semprot Setan Pikulan. Dan kembali diputarnya senjatanya 

dengan sebat. Namun serangan-serangannya tiada berarti. Daya 

tahannya semakin kendur. Pada jurus ke duapuluh sembilan kedua 

ujung senjatanya sekaligus beradu dengan gada serta tombak lawan. 

Di detik itu pula sepasang golok Setan Darah Ketiga membabat dari 

atas ke bawah hendak menetak pangkal lehernya dari dua jurusan. 

Tak ada cara lain yang paling baik untuk menghindarkan diri dari 

pada menjatuhkan badan kebawah. Dan memang inilah yang 

dilakukan oleh si kate Munding Sura. Sambil jatuhkan diri manusia 

yang berjuluk Setan Pikulan ini kirimkan satu tendangan ke arah 

bawah perut Setan Darah Ketiga! 

Setan Darah Ketiga keliwat yakin bahwa bacokan sepasang 

goloknya akan berhasil sehingga dia melupakan pertahanan dirinya 

sendiri! Kecepatan turun golok-golok itu tak dapat rnendahului 

kecepatan jatuhnya tubuh Setan Pikulan. Golok Setan Darah Ketiga 

beradu satu sarna lain sebaliknya tendangan Setan Pikulan cuma 

sedikit saja dapat dilaksanakannya. 

"Buuk!" 

Tendangan Setan Pikulan mendarat di pinggul kiri Setan Darah 

Ketiga. Manusia ini terpelanting beberapa tombak dan untuk beberapa 

lamanya tergelimpang di lantai kamar merintih kesakitan! 

Meski berhasil mengelakkan serangan gotok-golok maut tadi 

dan mernbuat Setan Darah Ketiga melingkar di lantai namun posisi 

Setan Pikulan sendiri di saat itu tidak menguntungkan sama sekali! 

Salah satu ujung pikulannya telah dijepit sepasang tombak 

bermata dua dan dalam keadaan tubuh masih membungkuk di lantai 

begitu rupa sukar bagi Setan Pikulan uratuk melepaskan jepitan 

senjata lawan atas senjatanya. Hanya ada dua keputusan yang harus 

diambil oleh Setan Pikulan. Melepaskan senjatanya atau memutar 

Pikulan itu sambil mengerahkan tenaga dalam! 

Setan Pikulan merasa lebih baik memutar senjatanya sekalipun 

pikulan itu akan patah daripada menyerahkan senjata tersebut 

mentah-mentah ke tangan lawan! 

Setan Pikulan gerakkan kedua tangannya ! 

"Kraak!" 

Pikulannya benar-benar patah! 

"Bedebah!" maki Setan Pikulan. 

Salah satu dari patahan pikulan itu dihantamkannya ke arah 

Setan Darah Pertama tapi dapat dielakkan. Patahan yang kedua 

ditusukkannya ke muka Setan Darah Kedua, namun dia keliwat 

kesusu! Di saat melemparkan patahan senjata yang pertama kepada 

Setan Darah Pertama, Setan Pikulan tak dapat mengontrol posisinya, 

tak dapat melihat posisi lawan lainnya. Justru diwaktu dia 

menyodokkan patahan pikularn maka Setan Darah Kedua lebih cepat 

dari itu setan Darah Kedua hantamkan ujung gadanya ke dada Setan 

Pikulan. 

"Buuuk!!" 

" Setan Pikulan mengeluh tinggi. 

Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. tersandar ke dinding 

lalu melosoh duduk ke lantai, muntahkan darah segar! Mukanya 

menjadi pucat laksana kain kafan dan nafasnya megap-megap! 

Setan Darah Pertama tertawa terkekeh-kekeh. Perlahan-lahan 

dia melangkah mendekati Setan Pikulan. 

"Ha... ha... Nyatanya memang kau cuma manusia jenis kacoak! 

Apakah saat ini kau masih sanggup memperlihatkan kehebatanmu 

huh!" 

"Setan alas mampuslah!" teriak Setan Pikulan. Tangan 

kanannya memukul ke muka. Seberkas sinar hitam menyambar ke 

arah Setan Darah Pertama, membuat manusia muka merah ini 

memaki dan cepat-cepat menghindar ke samping. Setan Pikulan 

sendiri kembali muntahkan darah segar. 

Dengan beringas Setan Darah Pertama angkat salah satu 

tombaknya tinggi-tinggi, siap untuk ditancapkan ke batok kepala 

Setan Pikulan! 

"Tunggu dulu!," Setan Darah Ketiga berseru. 

Penasaran Setan Darah Pertama membentak 

"Tunggu apa lagi, sompret!" 

"Kematian yang begitu cepat terlalu bagus baginya, Setan Darah 

Pertama!" 

"Hem, kau punya rencana apa?!" 

"Kau bisa merasakan dan membayangkan bagaimana seorang 

jago silat yang ditakuti cacat seumur hidup, tak bisa lagi memainkan 

silat dan ilmu kesaktiannya?! Cacat seumur hidup! Lebih mengertikan 

dari kematian sobat!" 

"Cepat bilang terus terang rencanamu!" tukas Setan Darah 

Pertama penasaran. 

Setan Darah Ketiga tertawa sedingin es. Dia melangkah ke 

hadapan Setan Pikulan yang tersandar di dinding antara sadar dan tiada. 

"Inilah rencanaku Setan Darah Pertama!" seru Setan Darah Ketiga. 

Serentak dengan itu sepasang goloknya berkelebat. 

"Craas!" 

Buntunglah kedua tangan Setan Pikulan. Dacah muncrat. Setan 

Pikulan meraung keras lalu rubuh di lantai bermandikan darah! 

Setan Darah Ketiga tertawa panjang-panjang. Dia memandang 

pada kedua koleganya dan berkata, "Dia akan hidup terus! Tapi 

hidupnya akan dirongrong oleh rasa kenyerian! Dendam kesumat yang 

membara! Namun tak satu apapun yang akan bisa dilakukannyal 

Karena dia cacat selama-lamanya!" 

Meledaklah tawa Tiga Setan Darah itu. 

Setan Darah Pertama menepuk-nepuk bahu Setan Darah Ketiga. 

"Betul! Betul sekali katamu! Dia tidak marnpus, tapi hidupnya lebih 

mengerikan dari pada benar-benar mampus! Sekarang mari kita 

tinggalkan tempat sialan ini! Di luar ada seorartg gadis jelita 

menunggu kita. Kita bawa dia ke gedung dan suruh dia membuka 

bajunya satu demi satu! Kalau tidak mau kita yang tolong 

membukanya....!" 

Suara tertawa ketiga manusia itu meledak lagi di dalam kamar 

itu! Ketiganya menuju ke pintu! Setan Darah Pertama tanpa banyak 

cerita segera menotok tubuh Sekar, sehingga tubuh gadis ini kaku 

tegang tak bisa bergerak tak bisa buka suara! Tiba-tiba Setan Darah 

Kedua hentikan langkah. 

"Tunggu dulu"", katanya. "Kita semua tahu dirumah ini Setan 

Pikulan punya banyak, perempuan peliharaan! Cantik-cantik! Di mana 

mereka semua?!" 

"Heh?!" Setan Darah Pertama yang memanggul tubuh Sekar 

kerenyitkan kening. 

"Terserah kalau kau mau cari perempuan-perempuan itu Aku 

tetap yang ini!," kata Setan Darah Pertama pula kemudian. 

Setan Darah Kedua memandang pada kambratnya yang seorang 

lagi. "Kau bagaimana?," tanyanya. "Aku tetap tinggal bersamamu di 

sini," jawab Setan Darah Ketiga. 

Setan Darah Pertama tertawa. "Puaskan dirimu di sini sobatsobat, 

tapi jangan lupa untuk datang ke gedung kita. Kita masih ada 

tugas, mencari Pranajaya, anak si Wijaya keparat itu!" 

Kedua Setan Darah anggukkan kepala. Begitu Setan Darah 

Pertama berlalu bersarna Sekar, mereka segera memeriksa kamarkamar 

di dalam rumah itu. Dalam kamar yang paling belakang 

akhirnya mereka menemui juga perempuan-perernpuan peliharaan 

Setan Pikulan. Semuanya rnasih muda-muda dan berparas rata-rata 

cantik, bertubuh rnontok molek! Kedua Setan Darah berdiri diambang 

pintu, memandag kepada rnereka dengan hidung kembang kempis 

dan mata bersinar-sinar. Perempuan-perempuan muda itu berjumlah 

empat orang semuanya. Mereka memandang dengan ketakutan pada 

manusia-manusia diambang pintu itu. 

Setan Darah Kedua menyengir. 

"Kalian tak usah takut pada kami. Kami jauh lebih baik 

daripada si kate kepala gundul itu!" 

Setan Darat Ketiga yang sudah tak sabaran berbisik, "Masingmasing 

kita kebagian dua orang. Kau pilih yang mana...?" 

Setan Darah Kedua meneliti sebentar lalu menjawab, "Yang 

baju ungu dan baju biru itu...." 

"Sompret kau pilih yang cantik semua!"° desis Setan Darah 

Ketiga. "Begini saja, kau boieh ambil si baju ungu dan salah seorang 

lainnya, aku si baju biru dan satu orang lainnya pula. Atau 

sebaliknya!" 

"Baik," Setan Darah Kedua mengangguk. Dia, melompat ke 

muka. Empat perempuan itu menjerit. Setan Darah Kedua segera 

merangkul perempusn baju ungu dan salah seorang kawannya 

sedang Setan Darah Ketiga menarik si baju biru bersrama kawannya 

yang keempat. 

"Di sini saja, sobat?!" tanya Setan Darah Kedua 

"Sinting kau! Kau pindah ke kamar sebelah sana!" 

Dengan tertawa-tawa Setan Darah Kedua memboyong dua 

orang perempuan cantik itu dan membawanya ke kamar sebelah! 

-- == 0O0 == -- 

SEPULUH 

PENDEKAR 212 wiro sableng membawa Pranajaya keluar 

Kotaraja sebelah tenggara. Dia berhenti di tepi sebuah telaga dan 

membaringkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan. Dia sudah 

sejak lama siuman tapi keadaannya masih menyedihkan. Wiro 

memberikan sebutir pil lagi kepada pemuda itu kemudian 

menyandarkannya ke sebatang pohon. Dengan sehelai sapu tangan 

yang sudah dibasahkan dengan air telaga dibersihkannya seluruh 

luka-luka di tubuh Pranajaya. 

Setengah jam kemudian disuruhnya pemuda itu mengatur 

jalan nafas serta darah. Ketika disuruhnya mengatur tenaga dalam 

Pranajaya masih tak mampu. Wiro Sableng berlutut di belakang 

pemuda itu. Kedua telapak tangannya ditempelkannya di punggung 

pemuda itu. Lalu perlahan-lahan Wiro mulai alirkan tenaga 

dalamnya. Lima menit kemudian. 

"Coba kerahkan lagi," kata Wiro. 

Pranajaya kerahkan tenaga dalamnya, memusatkannya 

kepertengahan perut! Dia berhasil berseru gembira! 

"Wiro Tenaga dalamku telah pulih!" 

Murid Empu Blorok ini melompat ke udara berjundgir balik 

beberapa kali lalu turun kembali dengan kedua kaki lebih dahulu 

mencapai tanah! 

"Gerakan dan ilmu mengentengi tubuhmu hebat sekali Prana,"puji Wiro. 

Pranajaya tersenyum jumawa. "Ini semua adalah berkat 

pertolonganmu. Kalau kau tidak ada pasti aku sudah mampus! Aku 

berhutang budi dan berhutang nyawa padamu!" 

Wiro Sableng bersiul. 

"Hutang budi dan hutang nyawa itu sebetulnya tak pernah ada 

di dunia ini, saudara Prana," sahut Wiro Sableng. "Kau tahu, budi 

baik itu Tuhan yang memasukannya ke dalam hati nurani kita. Dan 

nyawa itu Tuhan yang punya! Jadi kepada Tuhanlah kita semua 

berhutang!" 

Pranajaya tertawa. 

"Walau bagaimanapun aku tetap merasa berhutang besar 

sekali padamu. Kuharap Tuhan memanjangkan umurku dan bisa 

membalas semua pertolonganmu..." 

Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Ditepuknya bahu 

Prana dan berkata, "Di samping nasib baik dan pertolongan Tuhan, 

tentunya kau seorang tokoh silat yang sakti, Prana." 

"Ah, aku cuma manusia biasa saja. Pemuda gunung yang tak 

tahu apa-apa...!" jawab Pranajaya rendahkan diri. 

Wiro tertawa. "Seorang pemuda gunung yang dogol pasti sudah 

mampus diseret dengan kuda! Kau tidak dan masih hidup!" 

Prana angkat bahu. 

"Sekarang terangkan kenapa sampai kau mengalami nasib 

demikian," kata Wiro Sableng pula. 

"Aku dilepas oleh guruku untuk mencari Tiga Setan Darah. 

Mereka telah membunuh bapakku dan salah seorang dari mereka 

membacok buntung lengan kiriku ini! Di samping itu. Empu Blorok 

juga menugaskanku mencari senjata mustika miliknya yang dicuri 

oleh seorang sahabatnya bernama Bagaspati." 

"Senjata apa yang dicuri itu?" kepingin tahu Wiro. 

"Sebuah cambuk bernama Cambuk Api Angin." 

"Namanya hebat, pasti itu senjata dahsyat sekali," ujar Wiro. 

"Kau sudah tahu di mana itu si Bagaspati bercokol?" tanya 

Wiro kemudian. 

Pranajaya mengangguk. 

"Di Pulau Seribu Maut," jawab pemuda tangan buntung itu. 

"Pulau Seribu Maut? Di mana itu? Aku tak pernah dengar!" 

"Menurut guruku terletak di ujung timur Pulau Jawa..." 

"Cukup jauh dari sini," kata Wiro. 

Prana mengangguk lagi. "Aku bernasib sial," katanya. "Tiga 

Setan Darah ternyata sangat tinggi ilmunya dan belum apa-apa aku 

sudah kena disikat mereka. Tapi demi arwah ayah, sampai serahkan 

jiwapun aku tetap musti bisa membereskan ketiga bangsa itu!" 

Prana berdiri dari duduknya. 

"Kau mau ke mana?!" tanya Wiro. 

"Kembali ke Kotaraja untuk-mencari Tiga Setan Darah!" 

Wiro berdiri pula. "Dengan pakaian macam ini kau mau masuk 

ke Kotaraja?" 

Prana memandang ke dirinya. Seluruh pakaian birunya sudah 

hancur robek-robek, kotor oleh darah dan debu. Pemuda ini 

menggigit bibir. Wiro tertawa. 

"Aku ada satu stel persediaan pakaian," katanya. Dari balik 

punggungnya Pendekar 212 mengeluarkan sebuntal pakaian. "Ini, 

pakailah," Wiro melemparkan pakaian itu. 

Prana menyambutnya. "Terima kasih," kata pemuda ini lalu 

cepat-cepat berganti pakaian di balik semak belukar. 

"Aku juga akan ke Kotaraja," kata Wiro "Seorang sahabatku 

lenyap tak tentu entah ke mana. Aku musti cari dia!" 

"Kalau begitu kita pergi sama-sama," ujar Pranajaya. "Tiga Setan 

Darah musti mampus ditanganku!," murid Empu Blorok ini kepalkan 

tinju tangan kanannya. "Salah seorang dari mereka telah merampas 

pedang warisan guruku! Mereka musti benar-benar mampus!" 

Wiro menepuk bahu Pranajaya. "Sudah sobat, mari kita 

berangkat!" 

Kedua pendekar itu meninggalkan telaga. Dengan ilmu lari cepat 

masing-masing keduanya menuju kembali ke Kotaraja. Di saat itu 

matahari telah menggelincir ke ufuk barat. Diam-diam Pranajaya 

memperhatikan gerak dan cara lari Wiro Sableng. Pemuda ini bermata 

tajam dan berpikiran cerdas. Dia segera mengetahui kalau saat itu 

Wiro hanya mengeluarkan setengah bagian saja dari kecepatan ilmu 

larinya sedang dia sendiri sudah mempergunakan keseluruhan 

kecepatan ilmu lari warisan Empu Blorok! Jika Wiro mau pastilah dia 

akan ketinggalan jatuh di belakang. Diam-diam Pranajaya membathin 

siapa dan murid guru sakti dari manakah sesungguhnya Wiro? Empu 

Blorok pernah menerangkan tentang tokoh-tokoh silat ternama di 

rimba persilatan. Tapi tak pernah menyebut-nyebut seorang pendekar 

muda bernama Wiro. Dalam berpikir dan berlari itu akhirnya mereka 

telah sampai di pintu gerbang Kotaraja. 

Wiro Sableng memperlambat larinya. 

"Kulihat ada kelainan di pintu gerbang saat ini," kata Wiro. 

Pranajaya memperhatikan ke arah pintu gerbang. Apa yang 

diucapkan Wiro memang betul. Pada pintu gerbang Kotaraja kelihatan 

sepuluh orang pengawal, padahal sebelumnya cuma ada dua orang 

yang berdiri di situ. 

"Aku mendapat firasat mereka hendak membuat urusan dengan 

kita..," kata Pranajaya. 

"Kita lihat saja. Jika betul tak usah ragu-ragu untuk memberi 

sedikit hajaran pada mareka, Prana!" Begitu sampai di pintu gerbang 

Kerajaan ke sepuluh pengawal pintu gerbang berjejer rapi, masing-- 

masing memalangkan tombak. Salah seorang dari mereka maju 

membentak. 

"Berhenti!" 

Wiro Sableng dan Pranajaya hentikan lari masing-masing. 

Mereka memperhatikan, rata-rata tampang pengawal-pengawal itu 

bengis semua. 

Yang tadi membentak berpaling pada salah seorang kawannya 

dan bertanya, "Apakah ini kunyuk-kunyuk yang tadi kau lihat 

melarikan diri dari Kotaraja?!" 

Pengawal yang ditanya mengangguk. Meski sudah berganti 

pakaian namun pengawal itu masih dapat mengenali Pranajaya dan 

juga Wiro Sableng. 

Pengawal yang tadi bertanya palingkan kepala kembali pada 

Wiro dan Prana. Dia segera hendak buka mulut berikan perintah 

namun Wiro Sableng dengan cengar cengir mendahului. 

"Pengawal, omongmu seenaknya saja! Kau kira kami ini apa 

pakai memaki kunyuk segala?! Coba kacakan mukamu di telapak 

kakiku ini dulu, baru nanti kau tahu apa kami yartg kunyuk atau kau 

yang monyet!" 

Habis berkata begitu Wiro Sableng angkat tinggi-tinggi kaki 

kanannya dan diajukan tepat-tepat ke muka si pengawal yang tadi 

memaki. Tentu saja marah pengawal ini bukan alang kepalang! 

"Bangsat rendah! Kau lebih pantas mampus dari pada ditangkap 

hidup-hidup!" Pengawal ini secepat kilat tusukkan tombaknya kepada 

Wiro Sableng. 

Pendekar 212 ganda tertawa. "Sompret betul!," makinya 

kemudian. "Orang suruh berkaca malah menyerang! Ini makan 

kakiku!" 

Hampir tak kelihatan bagaimana cepatnya gerakan kaki murid 

Eyang Sinto Gendeng itu, tahu-tahu tendangannya sudah mendarat 

didagu si pengawal!.Pengawal itu terpelanting jauh, tombaknya 

mental, mulutnya berdarah dan tubuhnya melingkar di muka pintu 

gerbang tanpa kabarkan diri! 

Melihat ini sembilan pengawal lainnya segera menyebar 

mengurung! 

"Bedebah laknat!," kata salah seorang dari mereka, "lebih baik 

kalian serahkan diri. Kalau tidak nyawa kalian pasti tidak ketolongan!" 

"Siapa yang minta tolong soal nyawa padamu tikus pintu 

gerbang!" damprat Wiro. 

"Ulurkan kedua tangan kalian!" perintah pengawal yang seorang 

itu sambil mengeluarkan segulung tali besar. "Kalian harus kami seret 

kehadapari Tiga Setan Darah!" 

"Oh, jadi manusia-manusia muka kepiting rebus itu yang 

menyuruh kalian menghadang kami di sini?!" bentak Pranajaya. 

"Tak usah banyak bacot! Ulurkan kedua tangan kalian!" 

Wiro Sableng, palingkan kepala pada Prana dan kedapkan 

matanya. Lalu pada pengawal itu dia berkata, "Kalau betul Tiga Setan 

Darah yang memerintahkan kalian untuk menangkap kami, kami tak 

bisa berbuat apa-apa selain serahkan diri..." Dan Pendekar 212 

ulurkan kedua tangannya pada pengawal itu seraya berkata, "Tapi 

saudara, kawanku cuma punya satu tangan, apakah kau akan ikat 

juga dia....?!" 

"Aku bilang tak usah banyak mulut!" sentak si pengawal. Tali 

yang ditangannya dengan cepat digulung dan mengikat kedua 

pergelangan tangan Wiro Sableng erat-erat. 

Mendadak sepasang lengan yang sudah terikat itu bergerak. 

Terdengar satu pekikan. Tubuh si pengawal mental ke udara, 

terbanting ke atas atap pintu gerbang Kotaraja, mengeluh sebentar 

lalu merosot jatuh ke tanah dengan mengeluarkan suara bergedebuk! 

Delapan pengawal bergerak cepat ke arah Wiro Sableng. 

Delapan tombak berkiblat, berkilau kuning dibawah sorotan sinar 

matahari sore! 

Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa aneh. Kedua tangannya 

bergerak cepat tiada henti. Disekitarnya terdengar suara, "plak... 

plak... plak" dan hanya dalam tempo lebih dari sekejapan mata saja 

kedelapan pengawal itu sudah bertumpukan di tanah, pingsan 

dihantam tamparan Wiro Sableng! 

Pranajaya, si murid Empu Blorok hampir, tak percaya melihat 

apa yang disaksikannya itu. Delapan orang sekaligus dibikin roboh 

pingsan dalam tempo demikian singkatnya! Benar-benar dia kagum 

sekali! Dia berdiri terlongong-longong! 

"Sobat!," Wiro menepuk bahunya. "Jangan jadi patung. Mari! 

Kau tokh mau buru-buru ketemu dengan Tiga Setan Darah?!" 

Prana baru sadar. Tanpa banyak bicara segera dia berlari 

menyusul Wiro Sableng. Tiba-tiba Wiro hentikan larinya. "Kita bodoh," 

katanya, "di Kotaraja ini kita tak boleh berlari. Semua orang tentu 

akan menujukan perhatiannya pada kita." 

Keduanya meneruskan perjalanan dengan melangkah cepat. 

Mereka sampai dihadapan gedung tua kediaman Tiga Setan Darah. 

Dan di saat itu pula Wiro Sableng ingat sesuatu. Dia berpaling pada 

Pranajaya. 

"Sobat, aku baru ingat. Kawanku itu pasti tidak berada di sini! 

Waktu aku mendukungmu ke luar dari ruang batu, dia telah lenyap. 

Musti si Setan Pukulan yang telah melarikannya! Keparat betul!" 

"Kau tahu ke mana kira-kira kawanmu itu dilarikan?" tanya Prana. 

Wiro gelengkan kepala dan menggerendeng, "Aku akan cari 

keterangan," katanya. "Sementara itu coba kau selidiki dulu gedung 

tua ini. Dalam waktu kurang sepeminum teh aku pasti kembali kesini!" 

Prana menyetujui usul Wiro. 

"Hati-hati," memperingatkan Wiro. "Gedung tua ini banyak 

jebakan dan senjata rahasianya!" 

Pranajaya mengangguk lalu cepat-cepat memasuki halaman 

gedung kediaman Tiga Setan Darah. Di pintu samping yang 

sebelumnya telah didobrak Wiro, Pranajaya berhenti dan merenung 

sejenak. Kalau gedung tua itu banyak jebakan dan alat-alat 

rahasianya, maka menurut dia jalan yang seaman-amannya untuk 

masuk ke dalam gedung itu ialah lewat genteng! Maka tanpa pikir 

lebih jauh lagi, murid Empu Blorok ini dengan ilmu mengentengi 

tubuhnya yang cukup sempurna segera melompat ke atas atap gedung 

tua! Kedua kakinya menginjak genteng gedung tanpa menimbulkan 

suara sedikitpun! 

"Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal 

manusia tapi juga laknat terkutuk tukang rusak kehormatan perempuan!" 

Habis berteriak begitu Pranajaya menyerbu turun ke dalam. 

Genteng pecah bertaburan, beberapa papan panglari patah! 

-- == 0O0 == -- 

SEBELAS 

SEPERTI telah dituturkan Setan Darah Pertama dengan 

memboyong murid Empu Tumapel meninggalkan tempat kediaman 

Setan Pikulan. Manusia bermuka merah ini langsung membawa Sekar 

ke gedungnya, membaringkan gadis itu di lantai salah sebuah kamar. 

Gedung tua itu hampir tidak berperabotan bahkan satu tempat 

tidurpun tak terdapat di sana! 

Saat itu Sekar masih berada dalam keadaan tertotok. Tak 

satupun yang dapat dibuat Sekar sewaktu dengan nafas kembang 

kempis dan nafsu menggelegak Setan Darah Pertama sambil 

menyeringai buruk membuka pakaian gadis itu satu demi satu! Gadis 

itu tertelentang di lantai kamar tanpa sehelai pakaianpun menutupi 

tubuhnya yang mulus itu kini. Senjata pemberian Empu Tumapel 

"Rantai Petaka Bumi" yang ditemui Setan Darah Pertama melilit di 

pinggang Sekar, diletakkan Setan Darah Pertama di sudut kamar. 

Setan Darah Pertama membasahi bibirnya dengan ujung lidah. 

Sepasang matanya laksana dikobari api, memandang tak berkedip 

pada tubuh Sekar yang menggeletak di lantai. 

"Tubuh bagus... tubuh bagus! He... he... he... he....!" Setan 

Darah Pertama menyeringai. Kemudian tanpa menunggu lebih lama 

manusia bermuka merah ini membuka jubahnya. Jubah itu 

dilemparkannya ke sudut kamar! Sepasang tombak bermata dua dan 

pedang milik Pranajaya diletakkannya dekat kepala Sekar. Manusia ini 

baru saja berbaring dan menggelungi tubuh Sekar dengan kaki dan 

tangannya sewaktu laksana halilintar di siang hari bolong dia 

mendengar suara bentakan menggeledek dan bobolnya genteng di atas 

kamar itu! 

"Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal 

manusia tapi juga laknat terkutuk tukang rusak kehormatan 

perempuan!" 

Seperti seekor singa Setan Darah Pertama melompat dan 

menyambar pedang Ekasakti di atas lantai. Berdiri bulu kuduk 

Pranajaya menyaksikan manusia yang berdiri tanpa pakaian 

dihadapannya itu! Berdiri bulu kuduk bukan karena ngeri tapi karena 

merasa sangat geramnya ! 

Di lain pihak Setan Darah Pertama tidak pula kurang geramnya. 

Ternyata manusia yang menerobos masuk lewat genteng kamar bukan 

lain Pranajaya, pemuda tangan buntung yang memang tengah dicari-carinya! 

"Budak bedebah! Dicari-cari tidak ketemu, sekarang datang 

sendiri antarkan nyawa!" 

"Iblis bejat!" balas membentak Pranajaya. "Bertiga dan mengeroyok 

kau memang unggul, tapi sekarang kita satu lawan satu!" 

Setan Darah Pertama tertawa buruk! Diacungkannya pedang 

Ekasakti yang ditangan kanannya. "Kau lihat pedang ini huh?! Senjata 

milikmu ini sendiri yang akan menebas kau punya batang leher!" 

Habis berkata begitu Setan Darah Pertama menerjang ke muka. 

Tangannya bergerak, pedang menderu ke arah Pranajaya. Cepat-cepat si 

pemuda bertangan buntung melompat ke samping dan lepaskan 

pukulan angin sewu! Setan Darah Pertama yang tahu kehebatan ilmu 

pukulan tangan kosong ini buru-buru menyingkir dan menyambar jubah 

merahnya di sudut kamar! Kesempatan ini dipergunakan oleh Pranajaya 

untuk mengirimkan pukulan jotos sewu, satu ilmu pukulan yang 

diwarisinya dari Empu Blorok yang tak kalah hebatnya dengan ilmu 

pukulan angin sewu tadi! Angin keras pukulan Pranajaya membuat 

jubah Setan Darah Pertama mental sehingga pemiliknya tak berhasil 

mengambilnya! Dengan memaki terpaksa Setan Darah Pertama 

melompat lagi ke samping! 

Sewaktu Pranajaya mengintip di atas genteng dan menginjakkan 

kaki di lantai kamar itu sekaligus dia mengetahui bahwa gadis yang 

menggeletak di lantai kamar berada dalam keadaan tertotok. Karenanya 

ketika Setan Darah Pertama melompat ke samping, pemuda ini cepatcepat 

pergunakan tangan kirinya untuk melepaskan totokan di tubuh Sekar! 

Begitu tubuhnya lepas dari totokan begitu Sekar berteriak, 

"Saudara awas!" 

Pranajaya mendengar suara sambaran angin dibelakangnya. 

Secepat kilat pemuda ini jatuhkan diri ke muka. Pedang Ekasakti 

membabat setengah jengkal di atas bahu kanannya! Prana terus 

menggulingkan diri dan dalam gerakan yang sudah diperhitungkan 

pemuda ini dalam berguling berhasil menyambar sepasang tombak 

bermata dua milik Setan Darah Pertama! 

Di lain pihak Sekar dengan sangat cepat segera mengenakan 

pakaiannya yang tadi sudah dipereteli Setan Darah Pertama. Dia merasa 

heran melihat pemuda bertangan buntung itu masih hidup malah dalam 

keadaan segar bugar. Apakah Wiro telah berhasil menolong pemuda ini? 

Tapi Wiro sendiri di mana sekarang?! Sekar tidak bisa berpikir lamalama. 

Begitu mengenakan pakaian, gadis ini segera mengambil Rantai 

Petaka Bumi miliknya yang diletakkan Setan Darah Pertama di sudut 

kamar! 

Sementara itu si pemuda tangan buntung terdengar membentak, 

"Iblis muka merah!" Prana acungkan sepasang tombak bermata dua 

yang keduanya sekaligus digenggamnya di tangan kanan. "Kita samasama 

bersenjata sekarang! Mungkin senjata yang ditanganku ini yang 

akan lebih dulu mengambil nyawa pemiliknya sendiri!" 

Setan Darah Pertama kertakkan geraham. Tubuhnya berkelebat. 

Pedang di tangan manusia ini menabur sinar putih. Jurus yang 

dikeluarkan Tiga Setan Darah hebatnya luar biasa sekali karena 

dalam saat itu juga Pranajaya segera terbungkus serangan-serangan 

pedang Ekasakti miliknya sendiri! 

Pranajaya membentak keras. Gerakan murid Empu Blorok ini 

tak kalah sebat. Tubuhnya lenyap laksana bayang-bayang saja kini 

dan dua tombak bermata dua di tangannya menderu-deru. Dalam 

jurus pertama yang luar biasa hebatnya itu, senjata-senjata mereka 

beradu sampai empat kali berturut-turut dan memercikkan bunga api 

yang menyilaukan mata! 

"Saudara! Kuharap kau suka mundur!" tiba-tiba Pranajaya 

mendengar seruan gadis yang tadi dilepaskannya totokannya. 

"Manusia iblis laknat terkutuk ini harus mampus ditanganku!" 

Pranajaya mengerling dan melihat Sekar berdiri sambil 

memutar-mutar sebuah senjata berbentuk rantai yang ujungnya 

diganduli bola besi berduri! 

Tanpa perdulikan seruan si gadis Prana terus kirimkan 

serangan-serangan gencar terhadap Setan Darah Pertama. Dalam 

pertemuannya pertama kali di luar Kotaraja, Pranajaya memang tiada 

sanggup menghadapi Setan Darah Pertama, karena dia dikeroyok tiga. 

Namun,kali ini pertempuran jauh berbeda, satu lawan satu! Dan 

keluar biasaannya lagi ialah karena mereka bertempur dengan 

memegang senjata milik lawan masing-masing! 

"Saudara! Mundurlah!" seru Sekar tidak sabar sewaktu 

pertempuran gencar itu memasuki jurus ke tiga. Gadis ini sudah tak 

dapat menahan kesabaran den dendam kesumatnya terhadap Setan 

Darah Pertama, manusia yang telah menelanjangi dan hampir saja 

merusak kehormatannya! 

"Tidak bisa saudari!" seru Pranajaya membalas. "Bangsat yang 

satu ini musti mampus ditanganku!" 

"Nyawanya miliku!" teriak Sekar dan dia melompat ke muka 

sambil menyabetkan Rantai Petaka Bumi. Senjata itu menderu 

laksana angin topan, membuat kedua orang yang bertempur terpaksa 

sama melompat mundur ! 

Pranajaya penasaran sekali. Dia berpaling. "Saudari kuharap, 

kau jangan mencampuri urusan ini. Kau telah selamat, sebaiknya 

lekas-lekas berlalu tinggalkan tempat ini!" 

"Berlalu?!" sahut Sekar ketus! "Sebelum kupecahkan kepala 

bangsat bermuka iblis ini aku tak akan tinggalkan tempat ini!" 

"Aku tahu kebejatan yang telah dilakukannya yang membuat 

kau begitu inginkan jiwanya," kata Pranajaya. "Tapi itu tak 

seberapa...." 

"Tak seberapa katamu?!" sentak Sekar dengan mata melotot! 

"Manusia macam apa kau ini?! Perbuatan mesum terkutuk kau 

katakan hal yang tak seberapa!" 

Sementara kedua orang itu berdebat, Setan Darah Pertama 

memutar otak. Dia cuma seorang diri di situ, menghadapi dua lawan 

yang sama-sama inginkan jiwanya. Meski kedua lawan itu kini saling 

bertengkar namun bukan tidak mustahil keduanya akan sama-sama 

menggempurnya bersirebut cepat mencabut jiwanya! Dalam 

pertempuran beberapa jurus tadi Setan Darah Pertama telah pula 

dapat mengukur kehebatan Pranajaya. Satu lawan satu memang 

sukar juga baginya untuk menghadapi pemuda tangan buntung itu ! 

Satu-satunya jalan yang paling baik bagi Setan Darah 

Pertama saat itu ialah kabur dari situ dan kembali lagi bersama 

dua orang konco-konconya! 

Tanpa pikir panjang manusia bermuka merah ini segera 

menyambar jubahnya dan melompat ke atas genteng! Tapi kejut 

Setan Darah Pertama bukan olah-olah sewaktu dari atas genteng 

dari mana Pranajaya menerobos tadi bersiur angin laksana badai, 

melanda ke arahnya membuat tubuhnya terhempas hampir jatuh 

duduk di lantai kamar jika dia tidak cepat melompat ke samping 

dan jungkir balik dua kali berturut-turut. Sebelum dia 

mendongak ke atas sepasang telinga Setan Darah Pertama 

mendengar suara tertawa gelak-gelak! Sesosok tubuh muncul di 

atas atap dan duduk di palang kayu! 

"Dua muda mudi bertengkar rebutkan jiwa manusia busuk! 

Si busuk cari kesempatan untuk larikan diri! Ha.... ha.... ha....ha!" 

Prana dan Sekar menengadah ke atas genteng dan kedua 

orang ini sama-sama berseru, "Wiro!" 

Sekar terkejut sewaktu melihat Pranajaya kenal pada Wiro Sableng. 

Setan Darah Pertama memandang penuh amarah meluap ke 

atas genteng itu. Orang yang tertawa dan bicara serta duduk di 

atas itu bukan lain dari pemuda rambut gondrong yang 

sebelumnya telah membebaskan dan melarikan Pranajaya dari 

ruang batu karang yang kemudian bertempur sebentar dengan dia 

lalu larikan diri! 

Sambil kenakan jubahnya dengan cepat Setan Darah 

Pertama yang sebenarnya sudah semakin menciut nyalinya 

melihat kemunculan lawan baru ini, membentak keras, "Bagus 

sekali! Semua musuh-musuhku sudah lengkap di sini! Silahkan 

turun pemuda sedeng!" 

"Mulutmu terlalu besar! Apakah kambrat-kambratmu yang 

dua orang lainnya juga ada di sini heh?!" 

"Tak usah banyak mulut! Jika punya nyali silahkan turun. 

Kalau tidak lekas minggat dari sini!" 

Mendengar ini Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. Penasaran 

sekali Setan Darah Pertama berteriak memancing. "Kalau kau tak 

berani baku hantam di sini, aku masih bersedia melayanimu di 

halaman luar!" 

"Bertempur di halaman luar lalu cari kesempatan untuk 

larikan diri lagi...?!" Wiro Sableng tertawa lagi gelak-gelak! 

Setan Darah Pertama mendamprat dalam hati karena 

pancingannya diketahui lawan. Agaknya dia tak punya 

kesempatan lain daripada harus menghadapi ketiga musuhmusuhnya 

itu atau sekurang-kurangnya salah seorang dari 

mereka! 

Diam-diam Setan Darah Pertama salurkan seluruh tenaga 

dalamnya pada kedua ujung tangannya. Tiba-tiba dia membentak 

garang! Satu tangan meninju ke atas, tangan yang lain menjentik 

ke arah Pranajaya dan Sekar! Selarik besar sinar merah yang 

sangat panas menderu ke arah Pendekar 212 yang duduk 

ongkang-ongkang di atas atap kamar sedang lima larikan kecil 

sinar merah yang merupakan totokan-totokan beracun 

menyambar laksana kilat ke arah Sekar dan Pranajaya. Sekar 

putar Rantai Petaka Bumi, Prana menghindar ke samping sambil 

kiblatkan sepasang tombak bermata dua milik Setan Darah Pertama! 

Di atas genteng Wiro kelihatan gerakkan tangan kirinya. 

Satu angin dingin menderu memapasi angin merah panas Setan 

Darah Pertama dan membuat buyar serangan manusia muka 

merah itu. Penuh beringas Setan Darah Pertama melompat ke 

atas dan menyerang dengan pedang Ekasakti milik Pranajaya! Kini Wiro 

Sableng gerakkan tangan kanannya. Gumpalan angin keras menyambar 

ke arah Setan Darah Pertama. Inilah pukulan kunyuk melempar buah 

yang tak asing lagi dari Pendekar 212. Meski cuma mempergunakan 

setengah bagian saja dari tenaga dalamnya dalam melancarkan pukulan 

ini, namun tak urung Setan Darah Pertama terkejut hebat dan cepatcepat 

menyingkir ke samping dan kembali turun ke lantai. 

Keringat dingin memercik di muka manusia yang berwarna merah 

itu. Nyalinya benar-benar menciut! Ilmu pukulan apakah yang dimiliki 

dan telah dilepaskan tadi oleh si pemuda di atas genteng itu yang 

demikian hebatnya sehingga dia tiada sanggup menerimanya?! 

"Setan muka merah, apakah kau betul-betul tidak tahu di mana 

dua kambratmu yang lain berada?!" tanya Wiro Sableng dari atas. 

"Dimana mereka berada itu bukan urusanmu!" jawab Setan 

Darah Pertama keras sekedar untuk melenyapkan rasa bergidiknya. 

Wiro tertawa. 

"Rupanya kau sendiri kurang begitu tahu. Biar aku tunjukkan di 

mana mereka berada!," kata Pendekar 212 pula. Kedua tangannya 

kelihatan ke luar dari lowongan genteng. Sesaat kemudian bila tangan 

itu bergerak turun maka dua sosok tubuh manusia berjubah merah 

laksana dua batang pisang melesat ke bawah, jatuh dengan keras di atas 

lantai kamar dihadapan Setan Darah Pertama ! 

Muka Setan Darah Pertama berubah pucat. Bulu kuduknya 

berdiri. Kedua kambratnya itu menggeletak di lantai dengan kepala 

pecah, darah dan otak bermuncratan ! 

Sewaktu meninggalkan Pranajaya tadi, Wiro berhasil mencari 

keterangan di mana letak tempat kediaman Setan Pikulan. Karena lebih 

mengawatirkan keselamatan Sekar maka Pendekar 212 memutuskan 

lebih baik saat itu saja dia langsung ke tempat si Setan Pikulan. Tapi apa 

yang ditemuinya di situ mengejutkannya. Setan Pikulan menggeletak di 

sebuah kamar! Kedua tangannya buntung putus. Manusia ini tiada 

bergerak-gerak tapi masih hidup megap-megap. Dalam berpikir-pikir apa 

yang telah terjadi dengan Setan Pikulan dan terus mencari di mana Sekar 

berada akhirnya dia mendobrak sebuah kamar dan menemui Setan 

Darah Kedua tengah merusak kehormatan dua orang perempuan muda! 

"Setan alas benar!" teriak Wiro. Hanya dalam dua jurus saja Setan 

Darah Pertama dibikin tak berdaya di makan totokan Wiro. Mula-mula 

manusia ini tak mau menerangkan di mana kawannya yang lain berada 

tapi setelah dipaksa akhirnya Wiro mengetahui juga dan mendapatkan 

Setan Darah Ketiga di kamar sebelah, juga tengah merusak kehormatan 

dua orang perempuan muda! Nasib Setan Darah Ketiga tidak beda 

dengan kawannya yang terdahulu. Satu jurus bertempur manusia ini 

segera kena ditotok oleh Wiro dan sekligus keduanya dibawa oleh Wiro 

ke gedung tua tempat kediaman Tiga Setan Darah. Kedatangannya di 

sana disambut oleh suasana yang tak terduga pula! Sekar dan Prana 

dilihatnya saling bertengkar sedang Setan Darah Pertama dalam 

keadaan telanjang bulat siap-siap hendak melarikan diri! 

Untuk beberapa lamanya muka Setan Darah Pertama masih 

memucat dan kedua lututnya goyah menyaksikan kematian dua orang 

koleganya itu di muka hidungnya sendiri. 

Putus asa karena mengetahui tak ada jalan untuk lari serta kalap 

melihat kematian kawan-kawannya, maka Tiga Setan Darah Pertama 

kiblatkan pedang Ekasakti dan mengamuk menerabas Sekar serta Pranajaya! 

Maka pertempuran seru segera terjadi. 

"Sekar sebaiknya kau mundur saja!" Wiro berseru dari atas genteng. 

"Tidak bisa Wiro. Bangsat ini hampir saja merusak 

kehormatanku!," jawab Sekar seraya putar senjatanya dengan sebat. 

"Aku mengerti. Tapi kau telah diselamatkan oleh Prana sedang 

Prana mempunyai dendam kesumat belasan tahun terhadap bangsat itu! 

Ayahnya dibunuh oleh Setan Darah Pertama itu!" 

Akhirnya Sekar mengalah juga dan ke luar dari kalangan pertempuran. 

Keputusaan, kekalapan dan nyali yang telah melumer itulah 

yang bersarang di diri Setan Darah Pertama. Laksana banteng terluka 

manusia berjubah merah ini mengamuk hebat dan ganas sekali. 

Serangan-serangannya berbahaya dan penuh tipu-tipu licik. Namun itu 

semua tiada arti bagi Pranajaya yang menghadapi musuhnya itu dengan 

hati panas pula tapi kepala dingin penuh ketenangan ! 

Sembilan belas jurus berlalu cepat. 

Wiro bersiul-siul seenaknya. "Pertempuran hebat!" seru pemuda 

dari gunung Gede itu. "Ayo Prana! Lawanmu sudah mulai kewalahan! 

Satu dua jurus di muka pasti senjata milik iblis yang ditanganmu itu 

akan merenggut nyawanya!" 

Apa yang dikatakan Pendekar 212 menjadi kenyataan. Dalam 

jurus keduapuluh satu laksana seorang penari Pranajaya meliuk 

mengelakkan sambaran pedang Ekasakti yang dibabatkan Setan Darah 

Pertama kepinggangnya. Pedang itu membalik lagi dengan ganasnya. 

Prana geser kedua kaki dan tusukkan sekaligus kedua tombak yang 

dalam genggamannya ke muka Setan Darah Pertama. Iblis bermuka 

merah ini rundukkan kepala! Tapi tusukan tadi cuma tipu belaka, 

karena begitu pedang lawan lewat dan tusukan tombaknya tersorong ke 

muka dengan serta merta Pranajaya gebukkan sepasang tombak itu ke 

kepala Setan Darah Pertama! 

Setan Darah Pertama melompat ke samping! Tapi betapapun 

cepatnya dia tetap terlambat. Meski bisa selamatkan kepala namun dia 

tak sanggup menghindarkan bahunya dari hantaman senjata miliknya 

sendiri itu ! 

"Kraak!" 

Tulang bahu Setan Darah Pertama yang sebelah kanan hancur 

remuk! Setan Darah Pertama melolong macam anjing! Tubuhnya miring 

dan terjerongkang ke lantai. Dalam keadaan seperti itu dia masih hendak 

menyapukan pedang di tangan kanannya ke kaki Prana, tapi senjata itu 

terlepas dari tangannya yang sudah tak ada daya kekuatan lagi! 

Empat mata tombak ditekankan oleh Pranajaya ke batang leher 

Setan Darah Pertama. Tenggorokan manusia muka merah ini kelihatan 

turun naik. Muka nya mengerenyit dan keringat membasahi sekujur 

tubuhnya. 

"Setan Darah!," desis Pranajaya. "Apa kau masih ingat saat-saat 

sewaktu kau membunuh ayahku dulu?! Apa kau masih ingat sewaktu 

tangan kiriku ini kau buntungkan dulu?!" 

"Orang muda..," ujar Setan Darah Pertama, "kasihani diriku yang 

buruk ini! Kalau kau ampunkan jiwaku, kelak aku akan berikan hadiah 

besar serta jabatan tinggi di Istana !" 

Prana tertawa. Wiro Sableng mengekeh. "Jangan dengar mulut 

kentut iblis itu, Prana!" memperingatkan Wiro. Pranajaya mengangguk. 

"Manusia macam dia siapa yang mau percaya!," menyahuti 

pemuda bertangan buntung itu. Prana lemparkan ke samping dua 

tombak milik Setan Darah Pertama dan membungkuk cepat 

mengambil pedangnya! 

Setan Darah Pertama gerakkan tubuhnya sedikit tapi ujung 

pedang kini menggantikan empat mata tombak yang menekan batang 

lehernya ! 

"Apa yang dulu kau lakukan terhadap bapakku, kini akan kau 

rasakan sendiri, Setan Darah!" 

"Craas!" 

Setan Darah Pertama meraung setinggi langit. Pedang Ekasakti 

membabat buntung mengerikan! Setan Darah Pertama melejang-lejang! 

Dia berteriak, "Bunuh aku! Bunuh saja segera !" 

"Rupanya kunyuk muka merah itu tidak takut mampus, Prana!" 

ejek Wiro dari atas genteng. 

"Ya, karena dia akan ketemu dengan setan-setan yang jadi 

kambrat-kambratnya di neraka!" sahut Pranajaya. Kemudian dengan 

tak ampun lagi pemuda itu tusukkan ujung pedangnya ke batang 

leher Setan Darah Pertama. Manusia ini mengeluarkan suara seperti 

ayam disembelih. Tubuhnya masih melejang-lejang beberapa lama 

kemudian diam tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya sudah lepas 

meninggalkan tubuh! 

"Sobat-sobat, urusan kita di sini sudah selesai. Mari segera 

tinggalkan tempat sialan ini!" seru Wiro Sableng. 

Sekar dan Prana saling berpandangan sebentar, kemudian si 

gadis melompat ke atas genteng disusul oleh Pranajaya. Namun baru 

saja ketiga orang itu sampai di halaman luar, terkejutlah mereka. 

Kira-kira lima puluh orang prajurit Kerajaan telah mengurung tempat 

itu dan delapan manusia aneh berdiri memencar, memandang dengan 

pandangan yang menggidikkan ke arah mereka. 

Salah seorang dari yang delapan ini berteriak. Suaranya 

melengking macam perempuan. "Tikus-tikus bermuka manusia! 

Jangan harap kalian bisa berlalu hidup-hidup dari sini!" 

-- == 0O0 == -- 

DUA BELAS 

MANUSIA yang berteriak itu adalah seorang laki-laki 

berkepala sangat besar dan botak tapi berbadan kecil dan pendek. 

Namanya Gonggoseta. Pandangannya bengis dan membayangkan maut! 

Pranajaya, Sekar dan Wiro Sableng memandang berkeliling 

memperhatikan manusia-manusia itu satu demi satu. 

"Celaka sobat," bisik Pranajaya. "Mereka pastilah tokohtokoh 

silat kelas satu, orang-orangnya Istana!" 

"Kita memang lagi sialan," gerendeng Pendekar 212. 

Sepasang matanya dengan tenang menyapu delapan sosok tubuh 

manusia-manusia aneh yang terpencar mengurung mereka. Orang 

kedua sesudah Gonggoseta ialah seorang kakek-kakek yang hanya 

mengenakan cawat dan keseluruhan tubuhnya mulai, dari kaki 

sampai ke muka dicoreng moreng dengan sejenis cat berbagai 

warna. Tampangnya mengerikan untuk dipandang. Namanya 

Bagulpraksa tapi dia lebih dikenal dengan julukan Harimau Siluman. 

Manusia ketiga bernama Sangaji, bertubuh tinggi langsing 

kurus dan berjanggut biru. Di dunia persilatan dia dikenal dengan 

gelar Si Janggut Biru. Yang ke empat, yang berdiri di ujung kanan 

sendirian agak terpisah dari lain-lainnya ialah seorang neneknenek 

tua keriput bertelinga lebar. Telinganya yang lebar ini 

membuyut ke bawah dan kelihatan jadi tambah lebar karena 

diganduli oleh anting-anting aneh yang besar luar biasa dan 

berbentuk arit. Dia bukan lain tokoh silat Istana yang dikenal 

dengan nama julukan Si Telinga Arit Sakti. 

Wiro sapukan pandangannya pada tokoh silat lain yang 

berada di sebelah kiri ini berdiri memencar empat orang lainnya. 

Yang pertama seorang laki-laki berjubah hitam tapi yang mukanya 

dicat putih sehingga tampangnya cukup menggidikkan untuk 

dipandang! Jika tidak salah menduga, menurut keterangan yang 

pernah didengar Pendekar 212 maka manusia ini adalah Hantu 

Hitam Muka Putih tokoh silat golongan hitam yang berhati sejahat iblis! 

Orang yang selanjutnya berdiri dengan tubuh terbungkukbungkuk. 

Sepuluh kuku-kuku jarinya panjang sekali dan berwarna 

hitam legam. Dialah Si Cakar Iblis tokoh silat yang merajai daerah 

selatan Jawa Timur! 

Manusia ke tujuh adalah satu-satunya marusia yang dikenal 

oleh Pranajaya yaitu Cindur Rampe manusia yang muncul sewaktu 

dia hendak diseret oleh Tiga Setan Darah ke Kotaraja beberapa 

waktu yang lalu! Cindur Rampe seorang resi kejam yang juga 

memelihara janggut kambing berwarna putih. 

Manusia terakhir ialah seorang laki-laki bermata picak dan 

berambut panjang macam perempuan, digulung di atas kepala! 

Namanya tidak satu orangpun yang tahu. Dia dikenal dengan 

julukan Si Picak Dari Utara. 

Jelaslah bahwa ke delapan orang itu bukan manusiamanusia 

sembarangan. Ini segera diketahui oleh Wiro dan kawankawan. 

Bagi mereka yang delapan ini lebih berbahaya dari lima 

puluh prajurit-prajurit Kerajaan yang mengurung halaman gedung itu! 

Si kepala besar badan kecil. pendek Gonggoseta maju 

selangkah kehadapan kehadapan ketiga orang itu dan membuka 

mulut lagi, "Kalian semua musti mampus di sini! Kalian dengar 

tikus-tikus bermuka manusia?!" 

Pendekar 212 Wiro Sableng memandang sebentar pada Sekar 

dan Pranajaya lalu kemba ia palingkan muka menghadapi Gonggoseta. 

Dan disaat itu Gonggoseta kembali membentak, "Kalian hanya 

diberi kesempatan untuk menerangkan nama masing-masing agar 

tidak mampus secara penasaran!" 

Wiro Sableng mengulum senyum dan buka mulut dengan suara 

lunak, "Ah, rasa-rasanya kami yang disebutkan tikus-tikus bermuka 

manusia ini tidak mempunyai permusuhan dengan sobat-sobat semua." 

"Sompret!" semprot Gonggoseta. "Jangan sebut kami sobat-sobatmu!" 

Wiro garuk-garuk kepala lalu manggut-manggut. "Lantaran 

apakah yang membuat kalian semua ingin jiwa kami?! Kenalpun baru 

hari ini!" Gonggoseta tertawa melengking dan memandang pada 

kawan-kawannya. "Sobat-sobatku!" serunya, "kalian dengar omongan 

tikus gondrong itu?! Mereka tak ada permusuhan dengan kita! Tidak 

mengerti mengapa kita semua inginkan jiwa mereka! Cuah!" 

Gonggoseta meludah ke tanah! "Apa kalian masih belum tahu tengah 

berhadapan dengan siapa saat ini?!" 

"Ah," Wiro angkat bahu, "justru itu memang yang kami kepingin tahu!" 

Gonggoseta kembali keluarkan tertawa melengking. "Aku 

Gonggoseta..," dia terangkan nama lalu satu demi satu menyebutkan 

nama atau gelar tujuh orang kawannya. "Kami semua adalah tokoh-- 

tokoh Istana, hulubalang-hulubalang Kerajaan!" 

Wiro Sableng manggut-manggut. 

"Tidak disangka-sangka...," ujar pendekar ini. 

"Setan alas, apa yang tidak kau sangka!" sentak Gonggoseta 

sementara kambrat-kambratnya yang lain tetap menunggu dengan tenang. 

"Tidak disangka-sangka kalau hari ini kami akan bertemu 

dengan tokoh-tokoh silat Istana! Dengan tokoh-tokoh yang berjulukan 

hebat semua! Sungguh satu kehormatan bagi kami!" 

Gonggoseta tertawa melengking. Kawan-kawannya terdengar menggerendeng. 

"Cuma kami belum tahu, urusan apakah yang membuat kalian 

semua inginkan jiwa kami?!" tanya Wiro. 

"Tikus busuk! Jangan pura-pura tidak tahu! Kalian telah 

membunuh Setan Pikulan dan Tiga Setan Darah. Mereka adalah 

kawan-kawan kami!" 

"Kalian salah sangka!" jawab Wiro cepat. "Kami tidak 

membunuh Setan Pikulan..." 

"Jangan jual kentut!" hardik Gonggoseta. 

Wiro Sableng tertawa, "Siapa yang jual kentut!" jawabnya. 

"Kentut puteri yang paling cantikpun dijagat ini tak ada yang orang 

akan mau beli!" 

Paras Gonggoseta dan tujuh kawannya menegang membesi. Ini 

adalah satu penghinaan! Mereka dipermain-mainkan! Di lain pihak 

Pranajaya menggigit bibir! Bagaimana Wiro masih bisa bergurau 

menghadapi bahaya macam begini?! Pemuda bertangan buntung ini 

sudah sejak tadi-tadi mengeluh dalam hati. Dia ingat pesan gurunya. 

Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat berilmu tinggi. Berurusan 

dengan mereka berarti mati! Prana melirik pada Sekar. Gadis baju 

kuning ini dilihatnya juga berada dalam ketegangan. 

Gonggoseta maju lagi selangkah! 

"Sret!" 

Dari balik punggungnya manusia kepala besar ini cabut sebilah 

golok empat persegi panjang yang lebarnya satu setengah jengkal! 

Senjata ini berkilauan ditimpa sinar matahari sore! 

"Sebut nama kalian masing-masing cepat! Atau kalian 

mampus penasaran!" 

"Dengar Gonggoseta," menyahuti Wiro Sableng. "Kami tidak 

dusta, kami sama sekali tidak membunuh Setan Pikulan." 

"Jika bukan kalian lantas siapa?! Juga siapa yang 

membunuh Tiga Setan Darah di dalam sana?!" Wiro angkat bahu. 

"Mana kami tahu," jawabnya Dia memandang ke langit di sebelah 

barat. "Gonggoseta, hari sudah sore. Matahari sebentar lagi mau 

tenggelam. Beri kami jalan. Sebaiknya kalian lekas mencari dan 

menyelidik siapa sebenarnya pembunuh kawan-kawanmu itu 

sebelum hari menjadi malam dan sebelum dia lari jauh..." 

Tubuh Si Cakar Iblis kelihatan semakin membungkuk ke 

muka. Dari mulutnya terdengar suara menggerendeng. Lalu 

katanya, "Gonggoseta, kuku-kuku jariku sudah tak sabar untuk 

cepat-cepat mengkermus manusia-manusia keparat ini! Kita semua 

sudah tahu bahwa mereka yang menamatkan riwayat Tiga Setan 

Darah. Tunggu apa lagi?!" 

Habis berkata begitu Si Cakar Iblis menggerendeng keras. 

Kedua tangannya yang berkuku panjang menyambar ke muka Wiro 

Sableng! Cepat-cepat Pendekar 212 melompat ke samping! Wiro 

maklum, walau bagaimanapun kini pertempuran tak dapat dihindarkan. 

Tujuh orang tokoh-tokoh silat lainnya dilihatnya telah 

bergerak pula, masing-masing keluarkan senjata! Karenanya 

Pendekar 212 ini tidak sungkan-sungkan lagi! Tangan kiri 

menghantam ke muka ke arah Cakar Iblis sedang tangan kanan 

menyelinap mencabut Kapak Naga Geni 212 Sekar dan Prana tidak 

pula tinggal diam melainkan cabut Rantai Petaka Bumi dan Pedang 

Ekasakti! 

Begitu serangannya luput, penuh penasaran Si Cakar Iblis 

balikkan badan dan kembali menyerang dengan jurus yang lebih 

hebat dari pertama tadi. Namun betapa kagetnya manusia ini 

sewaktu tubuhnya menjadi limbung disambar serangkum angin 

yang ke luar dari pukulan tangan kiri Wiro Sableng! 

Dua diantara tokoh-tokoh silat Istana itu yakni Si Telinga 

Arit Sakti dan Hantu Hitam Muka Putih berseru kaget sewaktu 

melihat senjata yang digenggam Wiro Sableng. 

"Kapak Naga Geni 212!" seru mereka hampir bersamaan. 

Yang lain-lainnya tersentak kaget! Mereka belum pernah melihat 

senjata yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu, cuma 

mendengar-dengar saja! Sungguh tak dapat dipercaya kalau hari 

ini mereka menyaksikan senjata mustika sakti itu berada dalam 

tangan seorang pemuda berambut gondrong bertampang dogol 

anak-anak! 

Rasa heran tak percaya itu tidak berjalan lama dan berubah 

menjadi keterkejutan dan kemarahan yang amat sangat sewaktu 

Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat dan meminta korban pertama 

yaitu Si Picak Dari Utara! Si Picak Dari Utara menjerit keras dan 

tubuh dengan dada mandi darah dihantam kapak sakti itu laksana 

ratusan tawon mengaung, anginnya menderu-deru sedang dari 

mulut Pendekar 212 mulai terdengar suara siulan yang diseling 

dengan suara tertawa aneh dan bentakan-bentakan! Bila siulan itu 

terdengar, bila suara tertawa aneh menyeling inilah satu 

pertempuran besar yang dahsyat! Tubuhnya sudah lenyap ditelan 

kecepatan geraknya dan ditelan bayang-bayang gerakan tujuh 

pengeroyoknya. 

Sekar dan Pranajaya putar senjata masing-masing dan 

menghadapi tiga orang pengeroyok sementara Wiro yang 

berpunggung-punggungan dengan mereka menghadapi empat 

pengeroyok lainnya! Lima puluh prajurit Kerajaan mengurung dalam 

bentuk lingkaran. Mereka memang sudah diberitahu untuk mengambil 

posisi demikian dan tidak turut menyerang! 

"Rapatkan serangan!" teriak Gonggoseta karena sampai lima 

jurus di muka tak satupun yang sanggup mereka lakukan untuk 

membobolkan pertahanan ketiga orang pendekar itu! 

Dalam jurus ketujuh Harimau Siluman mengurung persis 

macam harimau dan dari mulutnya mengepul asap tujuh warna yang 

mengerikan! 

"Tutup jalan nafas!" teriak Wira memberi ingat. Sekar dan 

Pranajaya segera melakukan hal itu. Tapi Sekar terlambat. Hidungnya 

keburu menghendus hawa beracun asap tujuh warna itu. Tak ampun 

pemandangannya menjadi gelap dan tubuhnya melosoh gontai. Di saat 

itu Si Janggut Biru secepat kilat tusukkan tongkat besinya ke perut 

gadis itu 

"Trang! " 

Bunga api memercik! 

Tusukan tongkat besi Si Janggut Biru terpapas ke samping 

karena dilanda badan pedang Ekasakti di tangan Pranajaya! Jurusjurus 

berikutnya semakin seru! Limapuluh prajurit hampir tak sanggup 

melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka yang bertempur itu 

saking cepatnya! 

Harimau Siluman masih juga mengeluarkan asap beracunnya 

dari mulut. Penasaran sekali Wiro Sableng berteriak, "Harimau 

Siluman, silahkan makan asapmu sendiri!" Habis berkata begitu Wiro 

pukulkan tangan kirinya. Pukulan angin puyuh yang dikerahkan 

dengan setengah bagian tenaga dalam itu hebatnya bukan main. Asap 

tujuh warna yang dihembuskan Harimau Siluman menjadi buyar 

berantakan untuk kemudian menyerang pemiliknya sendiri! Harimau 

Siluman menggerung. Tubuhnya jatuh duduk di tanah, hidung dan 

mulut serta matanya mengeluarkan darah akibat diterpa racun asap 

tujuh warna. Manusia ini keluarkan. sebutir pil penawar racun, tapi 

sebelum pil itu sempat ditelannya, racun asap tujuh warna sudah 

merambas ke jantung dan paru-parunya. Tak ampun lagi Harimau 

Siluman menggeletak mati di tanah! 

Di saat yang sama Wiro Sableng mendengar suara jeritan 

Pranajaya! Ketika dia menoleh dilihatnya pemuda itu terhuyunghuyung 

dengan tangan terluka parah dihantam senjata berbentuk arit 

di tangan Si Telinga Arit Sakti ! 

"Mampuslah!" teriak Telinga Arit Sakti. Aritnya menyambar ke 

leher Prana yang saat itu sudah tak bersenjata lagi karena tadi telah 

terlepas sewaktu lengannya dihantam ujung arit! 

Prana jatuhkan diri. Dia selamat. Tapi sewaktu arit itu berkiblat 

membalik kembali, murid Empu Blorok ini tiada sanggup lagi menghindar. 

Si Telinga Arit Sakti tertawa mengekeh. 

"Wuss! " 

Telinga Arit Sakti berseru kaget dan lompat tujuh tombak ke 

atas. Satu sinar putih telah melabrak ke arah tubuhnya. Panasnya 

bukan main dan menyilaukan mata. Belum lagi dia turun ke tanah disebelah 

sana sebelas orang prajurit Kerajaan terdengar menjerit dan 

rubuh ke tanah dengan tubuh hangus tiada nyawa! 

"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Si Telinga Arit Sakti. Mukanya 

masih pucat. Yang lain-lainnya juga mendadak sontak menjadi ngeri! 

"Pemuda keparat, apakah kau murldnya Si Sinto Gendeng?!" 

bentak Hantu Hitam Muka Putih ! 

"Tanya pada penjaga neraka!" jawab Pendekar 212. Sekali 

Kapak Naga Geni di tangannya berkelebat maka terdengarlah 

pekik Hantu Hitam Muka Putih! Kepalanya hampir terbelah dua. 

Mukanya yang dicat putih kini menjadi merah ditelan noda darah! 

Tubuhnya angsrok saat itu juga ke tanah ! 

Gonggoseta menerjang kalap. Golok empat seginya yang 

amat besar itu membabat empat kali berturut-turut! Sambil 

mengelak gesit Wiro berteriak, "Prana, bawa Sekar dari sini! 

Tunggu aku di tepi telaga di luar Kotaraja. Cepat!" 

"Tidak mungkin, Wiro...," jawab Prana. "Aku tak sanggup 

melakukannya. Racun arit perempuan keparat itu telah 

menyesakkan nafas dan melemahkan sekujur badanku! Sekar 

sendiri entah masih hidup entah tidak....." 

Pendekar 212 kertakkan rahang. Dia melirik pada tubuh 

Sekar yang melingkar di tantah dan putar Kapak Naga Geninya 

untuk menerabas serangan tongkat Si Janggut Biru dan cakar 

maut Si Cakar Iblis! Meski cuma melirik sekilas namun mata Wiro 

Sableng yang tajam masih bisa memastikan bahwa Sekar saat itu 

masih bernafas, cuma keadaannya memang kritis akibat telah 

mencium asap beracun yang dihembuskan oleh Harimau Siluman. 

Dengan tangan kirinya Wiro cepat mengambil dua butir pil 

dari balik pakaian putihnya. "Prana!." serunya. "Lekas telah pil ini 

dan berikan satu kepada Sekar." 

Melihat ini Gonggoseta segera berusaha untuk menghalang! 

Dua butir pil yang melesat ke arah Prana hendak ditendangnya 

dengan kaki kanan namun tangan kiri Wiro Sableng bergerak 

lebih cepat ke arah manusia pendek berkepala besar ini. Selarik 

sinar menyilaukan menyambar Gonggoseta! 

"Pukulan sinar matahari!" seri Si Telinga Arit Sakti. 

"Gonggoseta, lekas lompat menghindar!" memperingatkan 

perempuan sakti ini. 

Mendengar peringatan itu dan maklum akan kehebatan 

pukulan sinar matahari yang tadi sudah disaksikannya sendiri. 

Gonggoseta cepat menghindar ke samping, namun terlambat! Kaki 

kanannya kurang lekas ditarik pulang! Terdengar lolongan 

Gonggoseta, Kaki kanannya itu melepuh hangus dan mengeluarkan 

asap sewaktu dilanda pukulan sinar matahari. Tubuhnya 

terpelanting tiga tombak. Dikerahkannya tenaga dalamnya, 

dikeluarkannya sejenis obat untuk menolak luka besar dan 

rangsangan racun yang menjalar dari kaki kanannya! Namun 

semua itu sia-sia. Tak satu kekuatan apapun agaknya yang 

sanggup mengobati kakinya yang hangus, tak ada satu obat 

penawarpun yang sanggup memusnahkan racun pukulan sinar 

matahari! Gonggoseta meraung-raung dan bergulingan di tanah, 

kemudian tubuhnya tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya lepas 

sudah! 

Kehebatan pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro 

tidak saja hanya meminta korban jiwanya Gonggoseta tapi juga 

seperti tadi, diseberang sana terdengar lagi pekik kematian enam 

orang prajurit yang tersambar pukulan sinar matahari! Keenamnya 

laksana daun-daun kering disambar angin keras, 

berpelantingan dan mati seketika itu juga! 

Meski dalam keadaan tangan terluka parah, bahkan kalau 

tidak hati-hati tangannya sendiri bisa tersambar pukulan sinar 

matahari namun dengan susah payah akhirnya Pranajaya berhasil 

juga menyambut dua butir pil yang dilemparkan Wiro. Obat itu 

segera ditelannya dan yang satu lagi dimasukkannya dengan cepat ke 

dalam mulut Sekar. 

Melihat kematian kawan mereka yang ke empat itu semakin 

meluaplah kemarahan dan dendam maut tokoh-tokoh silat lainnya 

yaitu Si Telinga Arit 

Sakti, Cindur Rampe, Cakar Iblis serta Si Janggut Biru. 

Keempatnya mengurung Wiro dengan rapat. Tongkat besi Si Janggut 

Biru laksana taburan hujan menderu-deru menyambar ke seluruh 

tubuh Pendekar 212. Kuku-kuku jari Si Cakar Iblis yang mengandung 

racun yang sangat dahsyat tiada hentinya mencari sasaran dibagianbagian 

tubuh Wiro yang berbahaya. 

Arit ditangan Si Telinga Arit Sakti berkelebat cepat memapas 

kian kemari sedang Cindur Rampe tiada hentinya lepaskan pukulan 

ireng weliung yang mendatangkan angin dahsyat berwarna hitam dan 

beracun! 

Dan bagaimana keempat tokoh-tokoh silat utama ini tidak 

menjadi dibikin tambah mengkal karena semua serangan maut 

mereka itu sampai sepuluh jurus di muka masih belum sanggup 

merubuhkan Pendekar 212. Jangankan merubuhkan, untuk melukai 

sedikit saja salah satu bagian tubuh murid Eyang Sinto Gendeng 

itupun mereka tiada sanggup! Dan lebih membuat mereka penasaran 

betul ialah karena dari mulut Pendekar 212 tiada hentinya ke luar 

suara siulan yang sekali-sekali diselingi oleh suara tertawa bernada 

mengejek! 

Pil yang diberikan oleh Wiro Sableng kepada Prana memang 

mengandung khasiat yang luar biasa. Obat itu Eyang Sinto Gendeng 

sendiri yang meramunya. Pada waktu pertempuran dijurus ke sepuluh 

berkecamuk hebat-hebatnya maka Prana mulai merasakan keadaan 

tubuhnya puluh kembali. Lukanya tiada terasa sakit lagi dan darah 

yang mengucur berhenti. Ketika dia berpaling pada Sekar, dilihatnya 

gadis itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepala. Wiro. 

"Prana, lekas tinggalkan tempat ini! Bawa Sekar!" berseru lagi 

Pranajaya mengambil pedang Ekasakti yang tercampak di tanah 

lalu berdiri. Apa yang dilakukannya bukanlah mengikuti ucapan Wiro 

melainkan terus menyerbu ke dalam kalangan pertempuran ! "Pemuda 

tolol!" damprat Wiro. "Disuruh selamatkan diri malah bertempur!" 

Prana tidak berkata apa-apa melainkan terus babatkan 

pedangnya ke arah Cakar Iblis di sebelah kiri Wiro. Kalau sendiri tadi 

empat tokoh silat Istana itu tiada sanggup menghadapi Wiro maka 

ditambah dengan munculnya Pranajaya kini keempat tokoh silat itu 

menjadi terdesak total! 

Tubuh keempatnya terbungkus sinar pedang dan sinar kapak 

dan agaknya pertahanan mereka itu tak akan berjalan lebih lama. 

Dalam waktu singkat pasti sekurang-kurangnya salah seorang dari 

mereka akan menjadi korban lagi! 

"Tahan! Hentikan pertempuran ini!" teriak Cindur Rampe seraya 

melompat ke luar dari kalangan. Sejak mulanya dia memang tak mau 

ikut-ikutan membela kematian Tiga Setan Darah karena antara dia 

dengan Tiga Setan Darah sendiri mempunyai perselisihan yang belum 

terselesaikan. Namun karena tak ingin dicap pengecut terpaksa juga 

Cindur Rampe pergi bersama yang lain-lainnya itu untuk membuat 

perhitungan dengan Wiro dan kawan-kawannya. 

"Apa maumu Cindur Rampe?!" tanya Wiro dengan melintangkan 

kapak di muka dada sementara Sekar saat itu sudah berdiri di 

sampingnya dengan Rantai Petaka Bumi di tangan kanan. 

"Antara kami dan kalian tak ada permusuhan. Karenanya tak 

perlu pertempuran gila ini diteruskan...!" 

Wiro tertawa tawar. "Tadipun aku sudah bilang! Tapi kalian 

semua tidak mau dengar! Sayang empat orang kawan kalian sudah 

melayang jiwanya!" Cindur Rampe berpaling pada kawan-kawannya 

dan memberi isyarat untuk berlalu. Si Janggut Biru sudah hendak 

mengikuti Cindur Rampe tapi tak jadi kaena saat itu terdengar 

bentakan Si Telinga Arit Sakti. 

"Cindur Rampe resi keparat! Apakah nyalimu sepengecut begini?! 

Apa kau relakan begitu saja empat kawan kita menemui kematian ?!" 

Paras Cindur Rampe menjadi merah. "Perempuan edan!" 

balasnya membentak, "jangan bicara seenak perutmu! Kalau kau dan 

yang lain-lainnya mau meneruskan pertempuran ini, silahkan! Kalian 

mencari mampus!" 

Cindur Rampe langkahkan kedua kakinya. "Kalau begitu biar 

kau yang mampus lebih dulu pengecut!" teriak Telinga Arit Sakti dan 

perempuan ini segera melabrak Cindur Rampe. 

Kedua orang itupun terlibatlah dalam satu pertempuran seru. 

Wiro tertawa mengekeh. Dia berpaling pada Prana dan Sekar, 

"Kawan-kawan mari kita tinggalkan tempat ini," katanya. "Biar saja 

mereka baku hantam satu sama lain!" 

"Kalian tak akan berlalu dari sini tikus-tikus keparat!" 

Wiro putar kepala. Yang membentak adalah Si Cakar Iblis. 

Tubuhnya merunduk, kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang 

diulurkan ke muka. Di sampingnya Si Janggut Biru berdiri dengan hati 

bimbang, apakah akan berlalu dari situ atau meneruskan lagi 

pertempuran. 

Cakar Iblis menggerung dahsyat! Sepuluh kuku jari tangannya 

rnengeluarkan sinar hitam dan sedetik kemudian sepuluh sinar hitam 

itu mencurah ke arah Wiro. Pendekar 212 sabetkan Kapak Naga Geni 

ke muka. Sepuluh larikan sinar hitam buyar tapi di lain kejapan 

sepuluh kuku-kuku jari Si Cakar Iblis tahu-tahu sudah berada di 

depan muka Pendekar 212! 

Wiro Sableng terkejut sekali dan menyurut kebelakang! Sepuluh 

kuku hitam itu memburu laksana kilat! Dan terdengar kekeh Si Cakar 

Iblis, "Kau tak akan bisa selamatkan jiwamu dari jurus sepuluh ular 

berbisa berebut buah ini!" katanya. 

Wiro memaki Dia melompat ke belakang tapi secepat 

lompatannya itu begitu pula cepatnya sepuluh kuku itu memburunya lagi ! 

"Mampuslah!" 

Teriak Si Cakar Iblis dan kedua tangannya laksana kilat 

menggapai ke muka Pendekar 212. 

Terdengar satu jeritan ! 

Pendekar 212 usap parasnya dan memperhatikan bagaimana Si 

Cakar Iblis berdiri terhuyung-huyung! Kedua lengannya terpapas 

buntung dilanda mata kapak di tangan Wiro dalam satu jurus serangan 

balasan yang amat luar biasa hebatnya ! 

"Manusia keparat... maki Si Cakar Iblis. Darah memancur dari 

kedua pergelangan tangannya. "Sekalipun kau menang, jiwamu tidak 

akan aman! Aku akan mampus dan akan jadi setan! Akan mencekik 

batang lehermu...." 

"Sialan! Sudah mau mati masih omong besar!" damprat Wiro 

Sableng. Sekali kaki kanannya bergerak maka mentallah Si Cakar Iblis ! 

Wiro berpaling pada Si Janggut Biru. 

"Bagaimana? Mau coba-coba rasanya mampus sobat?!" tanya 

Wiro pula. 

Si Janggut Biru meludah ke tanah. Tanpa berkata apa-apa 

segera ditinggalkannya tempat itu. 

Wiro memandang pada Si Telinga Arit Sakti yang tengah 

bertempur hebat dengan Cindur Rampe. "Bertempurlah terus sampai 

salah seorang dari kalian mampus!" seru Wiro. Lalu dengan cepat bersama 

Sekar dan Prana dia berlalu dari situ. Tak satu prajurit 

kerajaanpun yang berani dan bernyali menghalangi mereka ! 

Sementara itu Si Telinga Arit Sakti berteriak keras, "Cindur 

Rampe! Hentikan pertempuran ini! Kita harus kejar ketiga bangsat itu!" 

Cindur Rampe melompat mundur. 

"Aku masih mau hidup Arit Sakti!" kata Cindur Rampe pula. 

"Kalau kau mau mengejar mereka silahkan!" Cindur Rampe berkelebat 

meninggalkan tempat itu. 

Si Telinga Arit Sakti memaki habis-habisan. Bila dia tinggal 

seorang diri dan menyaksikan lima mayat kawan-kawannya yang 

menggeletak mati di halaman gedung itu, diam-diam diapun merasa 

kecut dan menyadari bahwa seorang diri tak akan ada gunanya dia 

mengejar ketiga manusia itu. Akhirnya perempuan sakti ini berkelebat 

dan lenyap kejurusan timur! 

-- == 0O0 == -- 

TIGA BELAS 

WAKTU mereka menghentikan lari masing-masing, ketiganya 

telah berada jauh di luar Kotaraja. Mereka saling pandang dan Wiro 

membuka pembicaraan dengan senyum di bibir. "Sobat-sobat, ke 

mana kita sekarang?" 

Sekar tidak memberikan jawaban. 

Pranajaya memperhatikah paras gadis ini sebentar lalu berkata, 

"Aku akan terus ke timur. Ke Pulau Seribu Maut, mencari Cambuk Api 

Angin milik guruku yang telah dilarikan oleh Bagaspati!" 

Wiro manggut-manggut. Dia merenung sejenak lalu berkata, 

"Pulau Seribu Maut, Cambuk Api Angin. Bagaspati.. nama-nama yang 

hebat. Perjalananmu ke ujung Jawa Timur pasti merupakan suatu hal 

yang menarik. Saudara Prana, kau keberatan bila aku ikut 

bersamamu....?" 

Pranajaya berseru gembira. "Memang itu yang aku harapharapkan 

Wiro. Jalan jauh banyak dilihat, kawan seiring sukar didapat!" 

Wiro Sableng tertawa. 

"Bagaimana dengan kau Sekar?" tanya murid Eyang Sinto Gendeng itu. 

Prana memandang lekat-lekat pada gadis itu. Di balik 

pandangannya itu tersembunyi suatu perasaan kecemasan. Dan 

perasaan itu semakin jelas kelihatan sewaktu Wiro berkata, "Kau 

musti kembali ke tempat gurumu...." 

Tapi si gadis justru gelengkan kepala. 

"Aku ikut bersamamu... bersama kalian..." kata Sekar. 

Wiro Sableng kerenyitkan kening. "Pengalamanmu di Kotaraja 

kurasa cukup memberikan gambaran bagaimana penuhnya dunia ini 

dengan seribu satu macam bahaya dan kejahatan! Perjalanan ke Pulau 

Seribu Maut pasti lebih berbahaya dari pengalamanmu di Kotaraja." 

"Apakah kau terlalu menganggap aku ini orang perempuan 

bangsa kurcaci yang takut segala macam bahaya?!" tukas Sekar. 

Wiro berpaling pada Pranajaya yang sampai saat itu masih 

memandang pada Sekar. "Dia memang pintar omong!," kata Wiro pula. 

"Adatnya keras. Mautnya dia musti maunya juga! Urusan laki-laki mau 

disamakan dengan urusan perempuan...." 

"Sudah!" potong Sekar seraya membalikkan badan memunggungi 

kedua pemuda itu. 

Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya. 

"Yang aku khawatirkan," kata Pendekar 212 pula, "kalau-kalau 

gurumu kelak akan salah sangka dan menduga kami yang 

menjebloskan kau ke dalam persoalan rumit penuh bahaya ini!" 

"Soal guruku itu soalku dengan beliau. Yang penting sekarang 

kita sama-sama pergi ke Pulau Seribu Maut. Apa aku sebagai orang 

persilatan tidak boleh mencari pengalaman?" 

"Tentu saja boleh" sahut Wiro sementara Pranajaya sampai saat 

itu tak sepatahpun membuka mulut selain memandang seperti tadi-tadi 

pada Sekar. "Tapi sekarang belum saatnya," menyambungi Wiro. 

"Kau tak berhak melarangku Wiro. Siapapun tak berhak 

melarang ke mana aku mau pergi...!" 

"Berabe! Berabe!" ujar Wiro Sableng. "Bagaimana Prana, kita ajak 

dia...?" 

Pranajaya angkat bahu. "Terserah padamu, Wiro." 

Wiro Sableng tarik dan hembuskan nafas panjang. "Baik Sekar, 

kau boleh ikut bersama kami! Tapi ingat, kalau terjadi apa-apa dengan 

kau dan kami tak sanggup menolongmu, jangan kelak menyesalkan 

kami berdua...!" 

Maka tak lama kemudian ketiga orang itupun kelihatan 

berkelebat dan dengan mengeluarkan ilmu lari masing-masing mereka 

tinggalkan tempat itu dengan sangat cepat. 

MALAM itu malam yang ketiga bagi rombongan yang terdiri dari 

tiga orang itu dalam perjalanan mereka menuju Pulau Seribu Maut di 

ujung timur pulau Jawa. Mereka berhenti di tepi sebuah anak sungai 

berair jernih. Langit bersih kebiruan. Bintang-bintang bertaburan dan 

bulan sabit memperindah suasana malam yang sejuk itu. 

Pranajaya memasukkan empat potong kayu kering ke dalam api 

unggun lalu melangkah perlahan ke tepi sungai. Di lihatnya gadis itu 

duduk di sebuah batu besar, tengah melamun seorang diri. Prana 

datang mendekat. 

Untuk beberapa lamanya tidak satupun dari mereka yang bicara. 

Si pemuda memandang ke langit lepas. Dia mendapat bahan untuk 

membuka pembicaraan, "Bagus sbetul malam yang sekali ini." 

Sekar memandang ke atas, memperhatikan bulan sabit dan 

bintang-bintang yang bertaburan lalu menganggukkan kepalanya. 

"Wiro belum kembali?" tanya gadis itu. "Belum," sahut Prana. 

Hatinya menciut. Sekar lebih banyak memperhatikan seorang lain yang 

tak ada di situ daripada kehadiran dirinya di sampingnya di atas batu 

itu. Dan Prana sendiri tidak tahu ke mana pula Wiro pergi. Dua malam 

yang lalupun pemuda itu selalu pergi tanpa memberi tahu ke mana. 

Seakan-akan kepergiannya itu merupakan hal yang disengaja. 

Pranajaya berdehem beberapa kali untuk menghilangkan sekatan 

yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya paras jelita Sekar dari 

samping. Betapa indahnya paras itu dipandang dibawah naungan 

malam yang disinari bulan sabit dan bintang gumintang. 

"Kau masih belum memberikan jawaban apa-apa atas ucapanku 

malam pertama yang lalu, Sekar...," berkata Pranajaya. Suaranya sekali 

ini tiada bernada ditelan sendiri oleh gema gemetar suaranya itu. 

Sekar memandang ke hulu sungai lalu menundukkan kepalanya. 

"Apakah tak akan pernah ada balasan?" tanya Pranajaya. 

Si gadis memandang lagi ke hulu sungai lalu membuka mulut, 

"Dalam perjalanan ini bukan persoalan cinta yang musti dipikirkan 

Prana..." 

Suara Sekar pelahan, hampir seperti berbisik namun begitu 

mengiang telinga Pranajaya kedengarannya Paras pemuda ini membeku 

merah. Ditundukkannya kepalanya. 

"Kurasa bukan disitu sesungguhnya dasar jawabanmu, Sekar," 

ujar pemuda itu pula 

"Lalu....?" 

"Kau mencintai dia...?" tanya Prana seberani mungkin. 

"Dia siapa?" 

"Tak usah berpura-pura...." 

Sekar memandang pemuda itu sebentar. "Maksudmu Wiro?" tanyanya. 

Si pemuda anggukkan kepala. 

Sekar tertawa. 

"Suara tertawamu aneh, Sekar," bisik Pranajaya. "Seolah-olah 

membenarkan pertanyaanku tadi." 

Sekar diam. 

"Aku memang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Wiro...." 

"Kau tak usah cemburu Prana" 

"Terus terang saja dalam persoalan ini aku cemburu padanya. 

Aku iri," kata Pranajaya dengan hati laki-laki. "Tapi kecemburuan dan 

iri hatiku itu tidak menyebabkan aku menjadi buta atau lupa diri atau 

mempunyai maksud yang buruk-buruk terhadap kalian berdua. Aku 

cemburu dan iri pada Wiro, tapi aku menghormati dan menghargainya 

sebagai seorang sahabat. Sebagai seorang manusia kepada siapa aku 

berhutang budi serta nyawa. Bahkan lebih dari itu aku mengganggap 

Wiro bukan orang lain, tapi sudah sebagai saudara kandung sendiri...." 

Sekar masih diam dan Pranajaya meneruskan ucapan-ucapannya. 

"Aku menyadari kenyataan Sekar. Kenyataan bahwa aku bukan 

apa-apa jika dibandingkan dengan dia. Ilmunya tinggi, parasnya gagah 

dan jasmaninya tidak mempunyai cacat apa-apa. Yang lebih utama dia 

adalah seorang laki-laki berhati jantan, luhur dan kudus..... Jika kau 

mau berterus terang Sekar, aku tak akan membuka-buka lagi 

persoalan ini. Aku akan lebih bahagia dan bangga jika kalian bisa hidup 

berdua dan berbahagia...." 

"Antara aku dan Wiro tak ada hubungan apa-apa, Prana," 

memotong Sekar. "Tak sepantasnya kau bicara sampai sejauh itu." 

Pranajaya memandang ke langit di atasnya. Diperhatikannya 

bulan sabit dan dia berkata . "Mungkin, tapi kau tak bisa menipu 

dirimu sendiri! Sekar. Kau tak bisa mendustai kata hatimu. Kau 

mencintai dia....." 

Sekar tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari kakinya yang mungil bagus. 

"Aku tak ingin membicarakan persoalan ini lebih lanjut Prana." 

"Jadi tak ada jawaban darimu? Tak ada jawaban berarti suatu 

penolakan Sekar..." 

Sepi menyeling. Pranajaya menunggu sampai beberapa lamanya. 

Dipandanginya paras Sekar seketika. Dan bila tak ada juga jawaban dari 

gadis itu maka Prana memutar tubuh dan perlahan-lahan meninggalkan 

tempat itu. Sekar memalingkan kepalanya. Di pandanginya tubuh yang 

berjalan itu, dipandanginya kaki yang melangkah itu, dipandanginya 

kepala yang tertunduk itu dan dipandanginya tangan kiri yang buntung 

itu. Hati gadis ini memukul-mukul. Suaranya serak parau sewaktu 

mulutnya mernanggil, "Prana..." 

Panggilan itu laksana satu kekuatan gaib yang membuat kedua 

kaki Pranajaya berhenti melangkah dan tubuhnya berhenti berjalan. Si 

pemuda palingkan kepala. Diantara keputus-asaan yang menyelimuti 

wajahnya di malam sejuk itu kelihatan sekelumit pengharapan. Dan 

matanya memandang sayu pada si gadis, menunggu ucapan selanjutnya. 

"Prana....." 

"Ya, Sekar..." 

"Bersediakan kau menunda pembicaraanmu ini sampai 

berakhirnya tugasmu di Pulau Seribu Maut nanti...?" 

Si pemuda.merenung sejenak. Lalu jawabnya, "Aku bersedia Sekar 

meski aku tahu mungkin tak ada harapan sama~sekali bagiku...." 

"Mungkin yang orang duga tak selalu mungkin pada kenyataan, 

Prana," kata Sekar." 

Pranajaya murid Empu Blorok coba merenungkan ucapan gadis 

itu. Kemudian sekelumit senyum tersungging dibibirnya. 

"Kuharapkan saja demikian, Sekar," kata Prana. Lalu 

ditinggalkannya tempat itu. 

-- == 0O0 == -- 

EMPAT BELAS 

DI PAGI HARI yang kesembilan ketiga orang itu kelihatan 

berdiri di tepi pantai di ujung, timur pulau Jawa. Di laut kelihatan 

gugusan pulau-pulau. Ada yang berkelompok-kelompok, ada yang 

terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan kelihatan di manamana. 

Angin dari laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta 

pakaian mereka. 

Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata, "Di 

situ ada perkampungan nelayan. Kita bisa mencari keterangan di 

mana letak Pulau Seribu Maut dan sekalipun menyewa perahu serta 

membeli perbekalan." 

Wiro mengangguk. Ketiganya segera menuju ke perkampungan 

itu. Seorang nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki jala di 

teluk itu. 

Prana menyalaminya lalu bertanya, "Bapak, yang manakah di 

antara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau Seribu Maut?" 

Pertahan-lahan nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan 

membuka topi pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu Wiro dan Sekar. 

"Kau bertanyakan Pulau Seribu Maut nak?" ujar nelayan tua ini. 

Prana mengangguk. 

"Kalau tak tahu jelasnya kira-kira saja," berkata Wiro. 

Si nelayan hela nafas dalam. 

"Umurku enam puluh tahun nak. Dan hari inilah baru 

kudengar ada seorang yang bertanya di mana letak Pulau Seribu 

Maut," Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi. "Apakah kalian 

hendak menuju ke sana?" 

"Betul" sahut Prana. 

Mata yang sudah agak mengabur di mana umur dari nelayan 

tua itu memperhatikan ketiga manusia itu dengan lebih teliti. 

"Kalian tentunya orang-orang dunia persilatan. Tidak heran kalau 

kalian bernyali menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah 

gerangan yang membawa kalian begitu berniat meriuju ke snna?" 

"Ah tak ada apa-apa, pak. Cuma kepingin tahu saja," jawab Prana. 

Si nelayan tertawa. "Kepingin tahu dan menemui kematian di 

sana...? Nak, dengar... hanya manusia-manusaa yang mau lekaslekas 

mati saja yang berhajat pergi ke Pulau Seribu Maut...." 

"Namanya memang menyeramkan," kata Wiro sambil usapusap 

dagu. "Tapi sebetulnya ada kehebatan apakah di sana sampai 

pulau itu demikian ditakuti orang-orang?"" 

"Ah, kalian bukan orang-orang sini. Kalian tidak tahu, Nak.... 

di situ bersarang gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh seorang 

bernama Bagaspati. Setiap perahu atau kapal yang lewat diselat 

Madura ini pasti dirampok, manusia-manusianya dibunuhi. 

Kampungku inipun tak urung menjadi korban kejahatan Bagaspati 

dan anak buahnya. Perempuanperempuan kami diambil dan dibawa 

ke Pulau Seribu Maut. Satu kali seminggu kami musti menyiapkan 

dan memberikan bahan-bahan makanan kepada mereka. Kami tak 

bisa berbuat apa-apa nak. Kalau melawan berarti mati....." 

"Kenapa tidak pindah ke kampung lain?" tanya Sekar. 

"Lebih berabe lagi!" jawab si nelayan. "Kalau kami berani pergi 

dari sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua 

macamku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam..." 

"Pernah berhadapan muka dengan manusia Bagaspati itu?" tanya Prana. 

"Pernah dan pernah ditampar. Tiga hari aku tak bisa 

meninggalkan tempat tidur karena masih pening di landa tamparannya." 

Wiro Sableng mengulum senyum. Diperhatikannya beberapa 

buah perahu yang berada di tepi pantai itu. 

"Perahu-perahu bapak?" tanya Wiro. 

Si nelayan mengangguk. 

"Bisa kami sewa sebuah?" 

"Untuk pergi ke Pulau Seribu Maut?!." 

"Ya." 

Nelayan tua geleng-gelengkan kepalanya. 

"Aku memang sudah tua dan hampir masuk liang kubur. Tapi 

walau bagaimanapun aku tak mau cari urusan yang bisa mempercepat 

kematianku! Tak ada satu orangpun yang akan mau menyewakan 

perahunya ke Pulau Seribu Maut. Tak ada satu pemilik perahupun yang 

akan mengantarkan kalian ke sana. Pulau Seribu Maut adalah pulau 

kematian!" 

"Kalau begitu bapak terangkan saja letaknya." 

"Tidak bisa nak... tidak bisa..." Si nelayan lalu cepat-cepat 

meninggalkan ketiga orang itu. Yang ditinggalkan saling berpandangan 

lalu pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana yang dikatakan nelayan 

tua tadi, tak ada seorang pemilik perahupun yang mau menyewakan 

perahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau Seribu Maut. Juga 

ketiganya tak berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau 

angker tersebut. 

"Penduduk di sini sialan semua!" gerutu Wiro Sableng. "Pada mati 

ketakutan! Kurasa mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik 

tidak sesukar ini! Cuma mencari Kepala bajak saja begini susah! 

Geblek!" 

"Kita tak bisa salahkan penduduk Wiro," ujar Prana. 

"Kalau begini kita terpaksa bikin perahu sendiri atau rakit!" kata 

Wiro mengalih pembicaraan. 

Prana mengangguk. "Rakit kurasa lebih baik daripada perahu. 

Ombak di selat ini cukup besar..." 

Menjelang tengah hari maka di tengah laut lepas di selat Madura 

itu kelihatanlah sebuah rakit yang laksana "terbang" memecah 

gelombang air laut, melaju dalam kecepatan yang luar biasa, semakin 

lama semakin jauh dari pantai ! 

Beberapa nelayan yang perahu mereka kebetulan dilewati oleh 

rakit itu tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak dapat mempercayai 

pandangan mata mereka. Apakah mereka telah mengimpi di siang 

bolong yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut gentayangan di 

depan mereka?! 

Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat berada di atas rakit itu. 

Satu diantaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar tapi untuk 

mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan dengan 

sebuah rakit pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka 

percaya! Dan yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah karena dua 

orang pemuda yang ada di atas rakit itu mempergunakan tangan-tangan 

mereka sebagai pendayung yang membuat rakit tersebut laksana terbang! 

"Jangan-jangan jin-jin laut yang kita lihat ini, Warana," kata 

seorang nelayan pada kawannya yang berada dalam sebuah perahu jauh 

dimuka rakit itu. Dia dan kawannya sama-sama mengusap mata berkali-kali. 

"Hai, lihat! Mereka menuju ke sini!" seru Warana. 

"Celaka kita! Kayuh yang cepat Warana sebelum jin-jin laut itu 

datang mencekik kita!" 

Warana dan kawannya segera menyambar pendayung. Tapi 

belum lagi kedua kayu pandayung mereka mencelup ke dalam air laut, 

rakit yang berisi tiga manusia itu sudah berhenti dihadapan mereka! 

Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka lihat adalah 

benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat mereka 

menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang 

datang menganggu mereka! 

"Saudara, yang manakah Pulau Seribu Maut?" bertanya laki-laki 

muda yang bertangan buntung. Baik Warana maupun nelayan yang 

satu lagi hanya terduduk bermuka pucat dalam perahu mereka tanpa 

bisa membuka mutut. 

Wiro memandang keheranan, juga Sekar. 

"Hai, apa kalian tak dengar orang bertanya?!" seru Wiro Sableng. 

Warana membuka mulut tapi tak ada suara yang ke luar. 

"Kalian seperti orang yang ketakutan!" ujar Wiro. 

Prana juga melihat bayangan ketakutan itu pada wajah kedua 

nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau perduli. 

Dia bertanya lagi . "Di mana letak Pulau Seribu Maut ?!" 

"Saudara-saudara... apa kalian... kalian..." Warana tak berani 

meneruskan ucapannya. Ketika dilihatnya kawannya mencelupkan 

pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka segera 

bergerak tapi kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu 

pergunakan seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja 

perahunya hanya mengapung dan sedikitpun tak bisa bergerak. 

Ternyata Wiro Sableng telah memegang ujung belakang perahu 

mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua orang itu. Mereka 

berteriak-teriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan 

yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut! 

"Nelayan-nelayan geblek! Apa kalian sudah gila semua teriakteriak 

tak karuan?!" bentak Wiro. 

"Tolong! Tolong .... !" teriak Warana. Kawannya meniru berteriak 

macam itu pula. 

"Saudara-saudara kami bukan rampok atau bajak!" seru Pranajaya. 

Wiro garuk-garuk kepalanya dan melangkah kehadapan 

Warana. "Keblinger betul! Orang tanya Pulau Seribu Maut kenapa jadi 

teriak-teriak minta tolong ?!" 

"Tolong jin laut! Tolong... !" 

Wiro, Prana dan Sekar saling berpandangan. Sekar kemudian 

berbisik pada Prana, "Keduanya menyangka kita jin laut...!" 

Wiro Sableng menjambak rambut Warana dan menepuk-nepuk 

pipi nelayan ini. "Kau kira kami ini bukannya manusia apa?! Sompret! 

Kami manusia-manusia macam kau saudara! Ayo jawab kenapa kalian 

teriak-teriak dan di mana letak Pulau Seribu Maut?!" 

Dijambak demikian rupa Warana semakin memperkeras teriakannya. 

"Manusia tak berguna pergilah!" sentak Wiro Sableng seraya 

melepaskan jambakannya. Begitu dilepas begitu Warana sambar 

pendayung dan bersama kawannya mengayuh cepat meninggalkan 

rakit itu. Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar berkata, 

"Tentu saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusiamanusia 

seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di laut dan 

dengan kecepat laksana angin!" 

Wiro seka kedua matanya yang basah oleh air mata karena 

tertawa itu. Dia memandang berkeliling dan tarik nafas dalam. 

"Agaknya tak ada satu manusiapun yang bisa kasih keterangan di 

mana letak Pulau itu..." kata Wiro. 

"Kita musti cari sampai dapat!" Prana kertakkan rahang. 

Wiro memandang pada Sekar. Gadis itu dilihatnya memandang 

ke arah utara tanpa berkesip. 

"Apa yang kau perhatikan?" tanya Wiro. 

Sekar tak menjawab dan dia masih memandang kejurusan 

utara itu. Wira putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh di 

tengah laut lepas di lihatnya dua buah pulau yang besarnya 

dipemandangan mata mereka cuma sebesar ujung jari kelingking saja. 

"Bagaimana kalau kita arahkan rakit kita ke sana?"mengusulkan Sekar. 

Wiro dan Prana saling pandang dan sama menyetujui. Dan rakit 

itupun menggebulah di atas air laut yang muncrat di belah bagian 

muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu semakin dekat juga. 

"Salah satu dari pulau-pulau itu banyak elang elang lautnya 

Wiro," kata Prana. 

Wiro Sableng memandang pada pulau yang sebelah kanan. Di 

atas pulau itu memang keiihatan banyak beterbangan burung-burung. 

"Itu bukan burung elang, Prana. Tapi gagak hitam pemakan mayat!" 

seru Wiro tiba-tiba ketika, matanya yang tajam dapat mengenal 

burung-burung itu. Prana pelototkan mata. 

"Sekar, putar kemudi ke arah pulau itu!" kata Prana. 

Dan sesaat kemudian rakit itupun meluncur berputar ke arah 

pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan 

pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada di 

sekitar teluk yang sempit. 

"Hai benda apa itu?!" mendadak sontak Sekar berseru. 

Wiro dan Prana berpaling ke arah yang ditunjuk Sekar. Sebuah 

benda hitam yang sangat besar.meluncur pesat ke arah mereka. 

"Ikan raksasa!" seru Sekar pula. 

Wiro Sableng memandang tak berkesip. Benda hitam besar itu 

memang seperti kepala seekor ikan. Tapi bukan ikan betul-betul. Wiro 

masih coba meneliti dengan seksama ketika tiba-tiba sekali benda itu 

lenyap dari permukaan air. 

"Aku merasa tidak enak," desis Prana. 

"Kita musti waspada," kata Wiro. 

Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda hitam yang 

luar biasa besarnya itu sudah muncul dihadapan rakit mereka. Bagian 

tengahnya laksana seekor buaya raksasa membuka dan "plup" 

sekaligus menelan rakit serta ketiga penumpangnya! 

"Celaka!" seru Prana. Tapi suaranya lenyap ditelan katupan 

yang menutup. 

Wiro mernukul lengan tinjunya kian ke mari. Terdengar suara 

bergetar tapi aapa yang dipukulnya itu sama sekali tidak hancur ! 

"Gila, apa-apa ini!" teriak Pendekar 212. 

Dia tak bisa melihat Sekar ataupun Prana. Ruang di mana 

mereka terkurung sangat gelap bahkan tangan di depan matapun 

tidak kelihatan. 

Pendekar 212 keluarkan Kapak Naga Geni dan batu hitam untuk 

membuat penerangan. Namun sebelum tangannya menyentuh senjata 

sakti itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap kelihatan sinar 

biru. Prana dan Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya tubuh 

kedua orang itu ! 

Sinar biru Ienyap. Wiro yakin itu adalah hawa beracun yang telah 

disemprotkan ke dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan 

pemandangannya tak karuan. Dia seperti melihat ribuan bintang 

begemerlap, seperti melihat tali-tali yang melingkar-lingkar berkilauan 

dan menusuk-nusuk ke arah matanya. Pendekar 212 segera kerahkan 

tenaga dalam dan tutup semua inderanya. Satu menit kemudian dia 

berhasil menolak hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan dua 

butir pil dan dengan merangkak dia berhasil mencari tubuh Sekar dan 

Prana lalu memasukkan pil anti racun ke dalam mulut keduanya. 

Mendadak terdengar suara berkereketan dan ruangan itu di mana 

Wiro berada seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu terbuka. 

Pendekar 212 segera jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar. Saat 

itu keduanya sudah mulai sadar. Wiro segera membisiki, "Berbuatlah 

pura-pura pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa sebelum kuberitanda!" 

Terdengar lagi suara berkereketan kemudian tubuh mereka terasa 

menggelindung dan jatuh di atas pasir yang panas dihangati oleh sinar 

matahari. Perlahan-lahan Wiro Sableng buka ke dua matanya. 

Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak. "Surengwilis! 

Jadi inikah manusia-manusianya yang katamu kasak kusuk cari 

keterangan tentang pulau kita?!" 

"Betul pemimpin!" terdengar jawaban seseorang. 

Wiro Sableng membuka matanya lebih lebaran. 

Dan dihadapannya, beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara 

belasan manusia-manusia berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang 

luar biasa tinggi dan besar badannya. Menurut taksiran Wiro manusia 

ini mungkin lebih dua meter tingginya! Tampangnya beringas buas dan 

amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat dan berangasan! 

Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar tapi picak. Dia 

mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pingggangnya 

tergantung sebilah pedang panjang. Yang menarik perhatian Wiro ialah 

tengkorak kepala manusia yang menjadi kalung dan tergantung di leher 

laki-laki ini. 

"Hem...," si tinggi besar berkalung tengkorak manusia itu 

menggumam. Dia memandeng berkeliling, "Apa ada diantara kalian yang 

kenal pada mereka?!" 

Tak ada suara jawaban. 

"Kalau begitu mereka adalah manusia-manusia tidak berguna!" 

ujar si tinggi besar. "Penggal kepala kedua laki-laki itu! Yang perempuan 

biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk disuruh menari telanjang malam 

ini dan tidur bersamaku!" 

Beberapa kaki kelihatan melangkah kehadapan ketiga orang itu. 

Wiro berbisik pada kedua-kawannya, "Sekarang, sobat-sobat!" 

Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu segera 

melompat dari tanah di mana mereka menggeletak ! 

-- == 0O0 == -- 

LIMA BELAS 

KEJUT semua orang yang ada di situ bukan kepalang! 

Tapi anehnya si tinggi kekar malah keluarkan suara tertawa mengekeh. 

"Ha . . . ha! Kalian kira mataku bisa ditipu huh?!" 

Sadarlah Wiro dan kawan-kawannya bahwa ucapan si tinggi 

kekar memerintahkan anak-anak buahnya untuk memenggal kepala 

mereka adalah pancingan belaka. Pendekar 212 menggerendeng dalam hati. 

"Sebelum kalian mati kuharap kalian mau kasih keterangan," 

berkata si tinggi besar yang berjubah hitam bergaris-garis putih. 

Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang pedang. "Ada 

keperluan apa kau mencari tempat ini?!" 

"Apakah ini Pulau Seribu Maut?!," balas menanya Pranajaya. 

Si tinggi kekar tertawa lagi. "Kalian memang sudah berada di 

Pulau yang kalian cari! Pulau di mana kalian akan melepas nyawa 

masing-masing?" 

Tersiraplah darah Prana dan Sekar. Pendekar 212 tetap tenang-tenang saja. 

Prana memandang lekat-lekat pada si tinggi kekar. "Aku 

mencari manusia bernama Bagaspati. Apakah kau orangnya!" 

"Setan alas! Kowe berani sebut nama pemimpin kami seenak 

perutmu! Terima mampus!" 

Satu hardikan datang dari samping dan satu sambaran angin 

menderu ke arah leher Prana. Pemuda ini cepat-pepat menyingkir ke 

samping. Ujung sebilah kelewang menderu di muka hidungnya ! 

"Tahan!" seru laki-laki bertubuh tinggi kekar. Orang yang tadi 

menyerang dengan kelewang bersurut mundur. Si tinggi kekar 

pelototkan mata pada Pranajaya. "Manusia tangan buntung!," katanya, 

"aku memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti mati! Tapi kau 

masih punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa 

kau dan kawan-kawanmu mencari pulau kami!" 

"Kedatanganku atas tugas guruku!" 

"Hem.... aku sudah duga bahwa kau dan kawan-kawanmu 

manusia-manusia dari dunia persilatan! Terangkan apa tugasmu dan 

siapa gurumu!" ujar si tinggi besar Bagaspati. 

"Aku diperintahkan untuk mengambil Cambuk Api Angin yang 

telah kau curi dari guruku!" Bagaimanapun Bagaspati menekan rasa 

terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan perubahan. 

"Apakah kau muridnya Empu Blorok?!" tanyanya membentak. 

Prana anggukkan kepala. "Mana cambuk itu?! Lekas serahkan padaku!" 

Meledaklah tertawa bekakan Bagaspati. Tanah yang dipijak 

bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu. 

"Nyalimu sungguh besar tangan buntung!," kata Bagaspati 

seraya melangkah kehadapan Prana. 

"Sreet !" 

Tiba-tiba Bagaspati cabut pedang panjangnya. Senjata ini 

berwarna hitam legam bersinar yang menggidikkan. Dia hentikan 

langkahnya dua tombak dihadapan Prana lalu membentak, "Lekas 

sebut kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia 

persilatan tanpa tahu namanya!" 

Sebagai jawaban Pranajaya cabut pula pedang Ekasaktinya. 

Sinar putih berkilau ke luar dari senjata mustika itu. 

"Aku datang hanya untuk mengambil Cambuk Api Angin. Kalau 

kau menghadapinya dengap kekerasan tak ada jalan lain daripada 

menabas batang lehermu!" 

"Bedebah sontoloyo!" teriak Bagaspati marah. Pedang hitamnya 

berkelebat ganas, menderu ke arah tubuh Pranajaya, sekaligus 

merupakan tiga buah serangan berantai yang dahsyat ! 

Murid Empu Blorok tidak tinggal diam. Prana segera kiblatkan 

senjatanya. Pedang putih dan pedang hitam beradu mengeluarkan suara 

keras dan memercikkan bunga api ! 

Terdengar seruan Prana. 

Pedang Ekasakti terlepas dan mental dari tangannya. 

Sekejap kemudian senjata itu sudah berada di tangan kiri 

Bagaspati! 

"Ha... ha.... ha.... Gurumu keliwat sembrono manusia tangan 

buntung! Murid masih berilmu cetek disuruh mencari Bagaspati!" 

Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-tinggi. "Sebut namamu cepat!" 

perintahnya. Pedang hitam ditangan kanan sementara itu perlahanlahan 

mulai turun, siap diletakkan ke kepala Pranajaya. 

"Bagaspati," terdengar satu suara dari samping, "Sebelum kau 

bunuh kawanku ini, harap beri kesempatan padaku untuk bicara.....!" 

Bagaspati palingkan kepala dengan penuh kegusaran. "Rambut 

gondrong, kau bakal terima mampus sesudah kematian kawanmu ini!" 

Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum. 

"Kami datang secara damai untuk meminta kembali pedang yang 

telah kau pinjam dari Empu Blorok. Apakah pantas seorang bernama 

besar sepertimu menyambut kedatangan kami dengan perlakuan seperti ini?" 

"Pemuda geblek! Pulau ini adalah Pulau Seribu Maut! Kematian 

bisa terjadi setiap detik! Siapa yang menyebut nama Bagaspati dengan 

kurang ajar berarti mati!" kata Bagaspati dengan membentak marah dan muka merah. 

"Ah .... kau masih saja sebut-sebut perkara mati dan mampus," 

menukasi Pendekar 212 sambil cengar cengir seenaknya. "Kawanku 

sudah bilang bahwa kami datang ke sini untuk minta kembali Cambuk 

Api Angin. Soal mati atau mampus bisa diurus kemudian kalau kau 

sudah serahkan cambuk itu padanya! Malah-malah kini kau rampas 

pedang kawanku!" 

"Pemimpin! Yang satu ini biar aku yang bereskan!" satu manusia 

bertubuh tegap maju dengan kapak besar ditangan kanan. Namanya 

Surengwilis. Dialah yang telah mengetahui kedatangan Prana dan 

kawan-kawan yang kemudian melaporkan pada Bagaspati. 

Bagaspati anggukan kepala. "Lekas bereskan dia, Sureng!" 

"Sobat kalau kau punya senjata silahkan keluarkan. Aku tak 

begitu senang membunuh manusia bertangan kosong!" bentak 

Surengwilis yang saat itu sudah berdiri dihadapan Wiro Sableng. 

Wiro Sableng garuk kepala. "Aku tak ada senjata. Bisa pinjam 

pedang hitammu, Bagaspati?!" 

Tentu saja kemarahan Bagaspati si kepala bajak laut menjadi naik 

ke kepala. "Sureng! Lekas bunuh manusia keparat itu!" teriaknya. 

Kapak di tangan Surengwilis menderu laksana topan. 

Detik senjata itu berkiblat, detik itu pulalah terdengar jeritan 

Surengwilis. Tubuhnya mencelat mental beberapa tombak dan kapak 

yang tadi dipegangnya tahu-tahu sudah berada di tangan Wiro Sableng! 

Semua mata melotot besar seperti tak percaya melihat kejadian 

itu. Di ujung sana Surengwilis mencoba bangun dari tanah. Dia berdiri 

gontai seketika sambil memegangi dadanya. Mulutnya membuka seperti 

hendak mengatakan sesuatu tapi yang ke luar dari mulut itu bukan 

suara melainkan darah kental dan segar. Sesaat kemudian tubuh 

Surengwilis melosoh pingsan ke tanah! 

"Anak-anak tangkap hidup-hidup keparat ini!" perintah Bagaspati 

penuh kemarahan. Habis berkata begitu dia segera menyerang Prana 

dengan pedang di tangan. Satu tusukkan cepat dikirimkannya kepada 

Prana. Ketika si pemuda bersurut ke samping kanan Bagaspati 

membabat dengan pedang Ekasakti yang ditangan kirinya. Namun saat 

itu satu senjata aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat Bagaspati 

cepat-cepat urungkan serangan. Ketika dia berpaling senjata aneh itu 

membalik lagi dan menderu ke perutnya ! 

Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan lain Sekar dengan 

senjata Rantai Petaka Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati tiada 

terkirakan. Dia membentak keras dan sekaligus tebar serangan pada 

Prana dan Sekar! 

Sewaktu Bagaspati memerintahkan anak-anak buahnya 

menangkap Pendekar 212 maka lima manusia bertubuh katai maju ke 

muka. Masing-masing mereka memegang sebuah jala hitam. Satu 

diantara kelimanya berteriak memberi komando maka lima pasang 

tangan bergerak dan lima buah jala hitam menebar mulai dari kaki 

sampai ke kepala Wiro Sableng. 

Pendekar 212 gerakkan kedua tangannya sekaligus! Angin deras 

memapasi lima buah jala itu tapi anehnya jala-jala itu tiada sanggup 

dibikin mental oleh pukulan dahsyat sang pendekar! Dengan kecepatan 

luar biasa salah satu dari jala mernjerat tangan Wiro Sableng. Murid 

Eyang Sinto Gendeng ini betot tangannya untuk menarik jala dan si 

katai yang memegangnya namun tahu-tahu jala itu bergerak cepat dan 

kini menjirat sampai ke bahu! Dikejap yang sama jala kedua menjirat 

kaki kiri Wiro Sableng. Jala ketiga melibat pinggang, jala ke empat 

membungkus kepala sampai ke dada, jala ke lima melingkar di betis kaki 

kanan. 

Terdengar lagi teriakan salah satu dari lima manusia katai itu dan 

semua mereka menggerakkan tangan masing-masing. Maka sekali tarik 

saja tubuh Pendekar 212 tergelimpang dan bergulingan di tanah. 

Seluruh tubuh mulai dari kaki sampai ke kepala terjerat jala! Pendekar 

212 kerahkan tenaga dalam ke ujung dua tangannya. Tapi kejut Wiro 

Sableng tidak terkirakan sewaktu. menghadapi kenyataan bahwa dia tak 

sanggup merobek atau membobolkan jala itu dengan sepeuluh jari-jari 

tangannya Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Tetap sia-sia belaka! 

Malah libatan jala semakin ketat. 

Tubuh Wiro terhempas ke sebuah pohon. Lima manusia katai 

anak buah Bagaspati segera mengurungnya. Masing-masing mereka siap 

membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar 212. 

Wiro pejamkan mata. Mulutnya komat kamit. Pada saat sepuluh 

ujung jari hendak melanda menotok badannya maka terdengarlah 

bentakan yang luar biasa kerasnya. 

"Ciaat !" 

Dua larik sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan 

menderu! Lima manusia katai mencelat dan meraung. Ketika tubuh 

mereka terhempas ke tanah kelihatanlah bagaimana pakaian dan kulit 

mereka melepuh hangus dan hitam. Kelimanya tiada berkutik lagi 

tanda tak satupun saat itu dari manusia-manusia katai ini yang masih 

bernafas! Wiro telah lepaskan dua pukulan sinar matahari sekaligus ! 

Melihat Lima Jala Sakti, demikian nama kelima manusia katai 

itu menemui kematian maka seluruh anak buah Bagaspati segera 

menggempur Pendekar 212. Di lain pihak Bagaspati sendiri saat itu 

tengah mendesak hebat Pranajaya yang bertangan kosong dan Sekar 

yang bersenjatakan Rantai Petaka Bumi. Paling lama kedua muda 

mudi ini hanya akan sanggup bertahan sebanyak lima jurus! 

Pendekar 212 memandang berkeliling. Kira-kira enam puluh 

orang anak buah Bagaspati yang memegang berbagai macam senjata 

mengurungnya sangat rapat. Wiro tak dapat menduga sampai di mana 

kehebatan ilmu silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka cuma 

mengandalkan ilmu silat luaran, jumlah mereka terlalu banyak untuk 

mengeroyok satu orang musuh. Salah-salah mereka bisa baku hantam 

membunuh kawan sendiri. Dengan pandangan tenang, Pendekar 212 

menyapu muka-muka bajak laut yang semakin maju dan 

memperketat pengurungan. 

"Kalian mau main keroyok?!" kertas Wiro. "Boleh!" kedua telapak 

tangan dipentang ke muka. "Tapi sebelum kalian mulai, aku masih 

satu peringatan pada kalian! Jika kalian semua berjanji mau hidup 

menjadi orang baik-baik, menghentikan kerja sebagai bajak laut, 

niscaya aku ampuni jiwa kalian!" 

Seorang bajak berbadan tegap yang cuma memakai celana dan 

berbadan penuh bulu meludah ke tanah! 

"Jangan mengigau pemuda keparat!" semprotnya. "Tubuhmu 

akan tercincang lumat!" 

Wiro Sableng tertawa dan keluarkan siulan dari sela bibirnya. 

"Pulau ini Pulau Seribu Maut! Berat kalian yang keras-keras 

kepala akan mati dalam seribu cara! Majulah!" 

Si dada berbulu memandang berkeliling. "Kawan-kawan! Mari 

berebut pahala menghabiskan nyawa busuk manusia edan ini!" Habis 

berkata begitu dia keluarkan suara melengking hebat dan enam puluh 

manusia laksana lingkaran air bah datang menyerang ! 

Wiro membentak dahsyat. Pulau itu serasa bergoncang, liangliang 

telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun keenam 

puluh bajak itu terus juga menyerang! Puluhan senjata berserabutan! 

"Manusia-manusia tolol! Pergilah!" teriak Wiro Sableng. Kedua 

tangannya diputar di atas kepala, demikian cepatnya laksana titiran. 

Dari kedua telapak tangan Pendekar 212 menderu-deru angin 

dahsyat. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur! 

Sembilan belas bajak laut yang paling muka merasakan tubuh mereka 

seperti ditahan oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut 

mereka bukan main. Dan belum lagi habis kejut itu Wiro tiba-tiba 

membentak sekali lagi! Kesembilan belas orang bajak laut itu 

berpelantingan laksana daun kering disapu angin! 

Pukulan yang dikeluarkan Pendekar 212 tadi adalah pukulan 

angin puyuh! Bajak-bajak yang lain dengan kalap melompat ke muka 

dan babatkan senjata masing-masing. Wiro Sableng membentak lagi. 

Dan belasan bajak kembali terpelanting! Suasana menjadi kacau 

balau kini. Mereka berteriak-teriak tapi tak berani maju ke muka 

sekalipun saat itu Wiro sudah hentikan pukulan angin puyuhnya! 

"Kenapa pada teriak-teriak macam monyet terbakar ekor?!" tanya 

Wiro mengejek. "Ayo majulahl Bukankah kalian mau mencincang 

aku?!" 

Mendadak Pendekar 212 mendengar suara beradunya senjata 

dan suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya kepalanya, Wiro 

masih sempat melihat bagaimana pedang hitam ditangan Bagaspati 

berhasil memapas putus Rantai Petaka Besi yang menjadi senjata 

Sekar. Pedang hitam itu kemudian laksana kilat membabat ke perut si 

gadis. Sekar tak punya kesempatan mengelak karena saat itu perhatiannya 

telah terpukau oleh putusnya senjatanya serta rasa sakit yang 

menjalari lengan kanannya akibat beradu senjata tadi! 

Pranajaya yang melihat bahaya itu dengan kalap dan dengan 

tangan kosong lepaskan pukulan angin sewu ke arah Bagaspati. Tapi 

tiada guna. Babatan pedang Bagaspati datang terlalu cepat dan 

Bagaspati sendiri masih sempat putar pedang Ekasakti di tangan 

kirinya untuk melindungi dirinya dari pukulan angin sewu itu! 

Satu jari lagi pedang hitam di tangan kanan Bagaspati akan 

merobek perut dan membusaikan usus Sekar maka dari samping 

menderu selarik sinar putuh yang dahsyat! Demikian dahsyatnya 

sehingga Bagaspati terpaksa tarik pulang tangan kanannya dan 

melompat ke belakang beberapa tombak ! 

"Wuss !" 

Pukulan sinar matahari menggebu di depan hidung pemimpin 

bajak laut itu! Mata Bagaspati kelihatan tambah besar dan tambah 

merah tapi air mukanya pucat pasi! Dia sadar terlambat sedikit saja dia 

melompat tadi pastilah dia akan konyol dilanda sinar putih pukulan 

lawan! Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-lebih melihat 

belasan anak buahnya bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang 

masih hidup berdiri dengan muka pucat di tempat masing-masing, 

sama sekali tidak menyerang atau mengeroyok Wiro Sableng ! 

"Keparat! Kenapa kalian melongo semua?! Lekas bereskan setan 

alas yang satu ini!" Anggota-anggota bajak laut itu bimbang seketika. 

Namun karena ngeri pada kemarahan serta hukuman yang kelak bakal 

mereka terima dari pimpinan merta, dua puluh orang diantaranya 

segera maju dan serentak menyerang. 

"Manusia tolol! Kalian minta mampus saja!" teriak Wiro. Dengan 

serta merta dia pukulkan tangan kirinya. Sinar putih untuk kesekian 

kalinya menderu. Dan pukulan sinar matahari yang sekali ini meminta 

korban enam belas jiwa bajak-bajak laut itu. Pekik maut terdengar di 

mana-mana ! 

"Siapa yang mau mampus dan ikut perintah Bagaspati silahkan 

maju!" teriak Wiro. Tak satu anggota bajakpun yang bergerak di 

tempatnya. Jangankan bergerak, berdiripun lutut mereka sudah goyah! 

Sementara Bagaspati berpikir-pikir pukulan apakah yang telah 

dilepaskan Wiro Sableng, maka si pendekar dari Gunung Gede ini 

palingkan kepalanya pada pemimpin bajak laut itu. 

"Bagaspati, jika kau berjanji akan mengembalikan Cambuk Api 

Angin, dan berjanji membubarkan gerombolan bajak yang- kau pimpin 

selama ini lalu kembali jadi manusia baik-baik, masih belum terlambat 

bagimu untuk kuberi ampun!" 

Bagaspati tertawa mengejek. "Kepongahanmu setinggi gunung!" 

jawabnya. "Meski ilmumu setinggi langit seluas lautan, Bagaspati tak 

akan sudi menyerah padamu kecuali kalau kau yang terlebih dulu 

serahkan jiwa padaku!" 

Wiro Sableng bersiul dan tertawa gelak-gelak. "Kau bisa juga 

bersyair Bagaspati. Kalau betul-betul hatimu sekeras batu tidak 

mempunyai kesadaran, kelak kau terpaksa bersyair di neraka! 

Silahkan mulai!" 

"Cabut senjatamu setan alas!" bentak Bagaspati. "Ini senjataku 

Bagaspati!" Wiro acungkan kedua tangannya. 

"Kalau begitu aku akan mampus penasaran!" Bagaspati 

lemparkan pedang Ekasakti yang di tangan kirinya. Pedang mustika 

milik Prana itu menderu laksana kilat ke arahnya. Wiro miringkan 

kepalanya sedikit. Pedang putih lewat di sampingnya dan menancap di 

batang pohon kelapa! Prana cepat mengambilnya. 

"Wiro, biar aku yang bikin perhitungan dengan manusia ini!" 

"Ah, kau tak usah mengotori tangan dengan darah manusia 

maling ini, Prana," kata Wiro pula dengan suara keras lantang. 

Prana sadar bahwa Wiro telah menolongnya dari satu 

kedudukan yang merugikan. Dia tahu bahwa dia tak bakal sanggup 

menghadapi Bagaspati. Dengan berkata demikian Wiro bukan saja 

telah menolongnya tapi sekaligus membuat dia tidak kehilangan muka 

sama sekali ! 

"Ayo seranglah!" teriak Wiro ketika Bagaspati masih dilihatnya 

berdiri tak bergerak. 

"Kau terlalu cepat-cepat ingin mati rupanya setan alas!" desis 

Bagaspati. Tubuhnya membungkuk ke muka. Kedua kakinya melesak 

ke dalam tanah sampai dua dim. Ini satu tanda bahwa dia tengah 

kerahkan tenaga dalam dan siap untuk melancarkan serangan yang 

dahsyat! 

Didahului dengan teriakan macam serigala melolong di malam 

buta maka Bagaspati melesat ke muka. Dua tendangan dahsyat 

menderu ke arah perut dan kepala Pendekar 212 sedang pedang hitam 

membuat satu jurus yang mengandung lima serangan berantai ! 

"Ciaat! " 

Wiro lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Meski pukulan 

ini berhasil membuat tendangan lawan batal namun pukulan itu 

sendiri kemudian dibikin buyar oleh sambaran angin pedang 

Bagaspati! Penasaran sekali Wiro dalam jurus kedua membuka 

serangan dengan jurus membuka jendela memanah rembulan. Lengan 

kanan dipukulkan melintang dari atas ke bawah sedang tangan kiri 

meluncur ke atas dalam gerakan vang cepat laksana kilat sukar dilihat 

mata dan terdengarlah seruan tertahan Bagaspati! Betapakan tidak. 

Detik itu juga dirasakannya pedang hitamnya telah terlepas dari 

tangan, ditarik oleh satu betotan yang dahsyat! Dan bila dia 

memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada di tangan 

Wiro Sableng ! 

"Ha.... ha, bagaimana Bagaspati?! Akan kita lanjutkan 

pertempuran ini?!" 

Muka Bagaspati mengelam merah. 

"Setan alas. Kau datang ke sini untuk mencari Cambuk Api 

Angin bukan?! Baik! Aku akan keluarkan senjata itu. Tapi bukan 

untuk diberikan padamu huh! Tapi untuk bikin kau mati konyol!" 

Bagaspati selinapkan tangan ke dalam jubahnya. Sesaat kemudian 

maka ditangannya tergenggam sebuah cambuk berhulu gading, 

berwarna merah. 

Bagaspati mengekeh. "Ini ambillah!" Cambuk Api Angin di 

tangan Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin laksana topan dan 

semburan lidah api yang luar biasa panasnya! 

"Prana! Sekar Lekas menyingkir!" teriak Wiro seraya buang diri 

ke samping beberapa tombak! 

Cambuk Api angin menderu dahsyat menghantam pohon kelapa 

di belakang Wiro. Pohon kelapa ini terbabat putus dan baik putusan 

yang mental di udara maupun yang masih tinggal tertanam di tanah, 

semuanya hangus ditelan api! 

Diam-diam Pendekar 212 leletkan lidah. Di saat itu pula 

Cambuk Api Angin menderu kembali. Wiro kiblatkan pedang hitam 

milik Bagaspati. Sementara itu dia melihat bagaimana anak-anak 

buah Bagaspati yang ada menyingkir sejauh mungkin! 

Pedang hitam dan cambuk Api Angin saling bentrokan! Api 

menyembur! Wiro berseru kaget dan cepat-cepat lepaskan pedang 

hitam di tangannya! Pedang itu berubah menjadi merah, terbakar api 

Cambuk sakti ! 

"Keparat!," maki Wiro dalam hati. "Hebat sekali Cambuk Api 

Angin itu!" 

Cambuk Api Angin datang bergulung-gulung. Suaranya seperti 

petir susul menyusul! Pendekar 212 menjadi sibuk! Melompat kian 

kemari dengan cepat, jungkir balik di udara dan berguling di tanah! 

Semua itu untuk hindarkan diri dari serangan Cambuk Api Angin 

yang ganas! 

Pranajaya sendiri tiada menduga Cambuk Api Angin demikian 

hebatnya. Diam-diam pemuda ini merasa khawatir apakah Wiro akan 

sanggup bertahan sampai lima jurus di muka Pakaian Wiro dilihatnya 

sudah kotor dan robek-robek. Rambutnya yang gondrong acakacakan, 

mukanya berselemotan tanah! Dan cambuk sakti itu masih 

juga menderu-deru, mengejar ke mana Wiro berkelebat! Dua jurus di 

muka Pendekar 212 benar-benar dibikin sibuk sekali malah terdesak 

hebat dan dipaksa bertahan mati-matian! 

Di dalam ketegangan pertempuran yang menyesakkan dada itu 

tiba-tiba terdengarlah gelak tertawa yang aneh dan suara siulan 

menggidikkan tak menentu iramanya! Dalam kejap itu pula sinar 

putih, kelihatan menabur angin yang memerihkan kulit menderu 

sedang suara seperti ratusan tawon terdengar datang dari segala 

jurusan dan tubuh Wiro Sableng sendiri lenyap dari pemandangan! 

Bagaspati putar Cambuk Api Angin lebih cepat. Dentuman 

macam suara petir terdengar tiada henti. Angin laksana topan 

menggebu dan lidah api hampir setiap saat menyembur ganas! Namun 

kini gerakan-gerakan yang dibuat Cambuk sakti itu tidak leluasa 

seperti tadi lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam telikungan putih 

sinar Kapak Naga Geni 212 ditangan Wiro Sableng ! 

Bagaimanapun Bagaspati rubah jurus-jurus silat dan percepat 

permainan cambuknya tetap saja dia merasa semakin kepepet. 

"Terima jurus naga sabatkan ekor ini Bagaspati!" seru Wiro. 

Bagaspati hanya mendengar suara Wiro saja. Serangan Wiro 

yang bernama jurus naga sabatkan ekor itu sama sekali tidak sanggup 

dilihatnya karena cepatnya ! 

Dan tahu-tahu... 

"Craas!" 

Lalu terdengar lolongan Bagaspati. 

Cambuk Api Angin terlepas dari tangan kanannya. Tangan 

kanan itu sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat Kapak Maut 

Naga Geni 212 sampai sebatas bahu ! 

Darah menyembur kental dan merah. Bagaspati macam 

orang gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak seruduk 

macam orang celeng! Racun Kapak Naga Geni mulai menjalari 

pembuluh-pembuluh darahnya. Ketika pemandangannya 

berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi pemimpin bajak ini 

melosoh ke tanah, berguling-guling dan menjerit-jerit tiada henti! 

Semua anak buahnya memandang dengan penuh ngeri ! 

"Bunuh saja aku! Bunuh!" teriak Bagaspati karena tidak 

sanggup merasakan sakit yang menggerogoti dirinya akibat 

serangan racun yang sudah menyusup ke seluruh tubuhnya! 

Bagaspati masih terus berteriak dan berguling-guling sampai 

beberapa saat di muka namun kemudian ketika nyawanya lepas, 

maka tubuh itupun menggeletak tak berkutik lagi! Bagaspati mati 

dengan tubuh menelentang mulut berbusah dan mata melotot ke 

langit! Sungguh menggidikkan memandang tampangnya! 

Pendekar 212 tarik nafas dalam. Sekali tiup saja maka 

lenyaplah noda darah pada mata Kapak Naga Geni 212. Dia 

melangkah dan mengambil Cambuk Api Angin. 

"Senjata hebat," katanya sambil geleng kepala. Lalu Cambuk 

Api Angin itu diberikannya pada Pranajaya. 

"Terima kasih Wiro" kata Prana dengan penuh gembira tapi 

juga haru. 

Di saat itu Wiro Sableng sudah melangkah kehadapan 

anggota-anggota bajak yang masih hidup. Jumlah mereka tak 

lebih dari tiga puluh lima orang kini. 

"Kalian semua sudah lihat sendiri betapa mengerikan 

kematian itu!" seru Wiro dengan suara lantang. "Kuharap ini 

menjadi pelajaran yang baik! Berjanjilah bahwa kalian mau 

meninggalkan pulau ini, berhenti jadi bajak laut dan hidup 

sebagai manusia baik-baik. Banyak pekerjaan baik seperti jadi 

nelayan, petani atau berdagang! Dan atas janji kalian itu kami 

bertiga akan ampunkan nyawa kalian!" 

Hening sejenak. Salah seorang anggota bajak tiba-tiba 

jatuhkan diri berlutut. Kawan-kawannya juga kemudian menyusul 

berlutut. 

Wiro garuk-garuk kepala. "Buset! Orang suruh berjanji 

kenapa pada berlutut? Memangnya aku ini Tuhan disembahsembah! 

Bangun semua!" teriak Wiro. 

Semua anggota banjak itu cepat bangkit berdiri. Pada paras 

mereka kelihatan rasa tunduk dan kesadaran serta niat untuk 

kembali hidup sebagai orang baik-baik. 

"Tampang-tampang kalian aku kenal semua! Ingat! Kalau 

kelak ada diantara kalian yang masih kutemui hidup dalam jalan 

jahat, kalian tahu hukuman apa yang bakal kalian terima!" 

Wiro berpaling pada kedua kawannya. "Sudah saatnya kita 

tinggalkan tempat ini kawan-kawan." 

Prana dan Sekar mengangguk. 

Ketika ketiganya hendak berlalu salah seorang bekas 

anggota bajak berseru, "Tunggu !" 

"Ada apa?!" tanya Wiro. 

"Di pulau ini ada satu gudang besar berisi timbunan barang 

dan uang. Apa yang akan kami lakukan dengan benda-benda itu?!" 

"Busyet kenapa jadi tolol?! Kalian bagi-bagi saja sama rata 

dan jadikan modal buat hidup baik-baik!" sahut Wiro. 

Seorang bekas anak buah Bagaspati lainnya berkata, "Kami 

tidak keberatan memberikan separoh dari harta dan uang itu 

pada kalian bertiga!" 

Pendekar 212 berpaling pada. kedua kawannya lalu tersenyum. 

"Terima kasih sobat! Kami datang ke sini bukan buat cari harta atau 

uang, tapi Cambuk Api Angin. Senjata itu telah kami temui dan kami 

musti pergi!" 

Ketika rakit mereka diseret ke tepi pantai, bekas-bekas anak 

buah Bagaspati itu menawarkan akan mengantarkan mereka ke 

pantai Jawa tapi mereka menolak. 

"Rakit ini cukup baik dan lebih cepat jalannya," jawab Wiro. 

Dan betapa anehnya bagi bekas anak-anak buah Bagaspati itu 

sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur dalam kecepatan luar 

biasa, padahal tenaga penggeraknya hanya tangan-tangan Wiro dan 

Prana yang dibuat sebagai pengganti dayung! 

PANTAI Jawa telah berada dihadapan mereka dan tak lama 

kemudian, diwaktu sang surya mulai kemerahan warnanya di ufuk 

barat maka sampailah mereka di ujung timur Pulau Jawa. 

"Kita telah sampai sobat-sobatku!" seru Wiro. Dia yang pertama 

sekali melompat ke daratan. "Dan ini adalah saat perpisahan kita." 

Prana dan Sekar sama-sama terkejut. Wiro sebaliknya tertawa. 

"Tugasmu telah selesai bukan, Prana? Cambuk Api Angin sudah 

berhasil ditemui...." 

"Tapi Wiro....." 

Ucapan Prana ini dipotong oleh Wiro. "Di lain hari kelak kita 

pasti akan jumpa lagi sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin 

kukatakan pada kalian." 

Wiro memandang Sekar dan Prana berganti-ganti dengan 

senyum-senyum. 

"Kalian ingat malam bulan sabit waktu kita berhenti di tepi anak 

sungai dulu itu?" 

Prana dan Wiro saling panda mengingat-ingat dan begitu ingat 

masing-masing mereka sama memandang pada Wiro. 

"Maaf saja, aku mencuri dengar apa yang percakapkan saat itu...." 

Paras Sekar dan Prana menjadi merah dengan serta merta. 

Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka ingat malam di tepi sungai 

waktu mereka membicarakan soal cinta itu. 

Wiro Sableng 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin 

"Sobat-sobatku, kalian boleh saja buat seribu janji. Tapi kalian 

pertama-tama musti kembali ke tempat guru kalian! Urusan jodoh 

guru kalian musti diberi tahu...." 

Paras kedua orang itu semakin memerah. 

Wiro tertawa bergelak. 

"Nah sobat-sobatku, setamat tinggal. Kudoakan agar kalian 

bahagia." 

"Wiro tunggu dulu!" seru Prana dan Sekar hampir bersamaan. 

Namun tubuh Pendekar 212 s u d a h berkelebat. Prana 

merasakan tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa cuilan pada 

dagunya! Sewaktu memandang berkeliling. Wiro Sableng sudah tiada 

lagi! 

"Aku tak akan melupakan dia." desis Prana. 

"Kelak bila aku punya anak laki-laki, aku akan namakan dia 

Wiro." 

Prana putar kepalanya. Pandangannya bertemu dengan 

pandangan Sekar. Meski cuma pandang memandang, tapi semua itu 

menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka saling 

melangkah m e n dekat untuk kemudian saling berpeluk. Laut, langit 

dan matahari sore menjadi saksi betapa mesranya pelukan itu. 

TAMAT

Continue Reading

You'll Also Like

99.5K 7.1K 14
Anessa season 2! SEBAGIAN PART SEGERA DI PRIVAT FOLLOW TERLEBIH DAHULU UNTUK MEMBACA NYA! •• "Gue gak nyuruh lo masak buat gue, stop ngeluh kaya gitu...
18.7K 2.3K 15
"Jangan pergi. Chika cuman punya mama"
56.3K 4.7K 40
Cerita pertama author jadi maaf kalo aneh
63.4K 4.1K 12
Seorang gadis bernama Angelina Christy Nazela, terjebak di sebuah permainan sekolah bersama teman-temannya. Berusaha mengungkap sebuah fakta dibalik...