Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 166K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Mandrakanta

21.1K 2.5K 83
By khanifahda

"Beneran lo mau pulang jam segini, Ta?" tanya Lili sekali lagi pada Grahita. Hari sudah menjelang subuh dan Lili ingin gadis itu menginap di rumahnya.

Grahita mengangguk mantap, "Iya Li, gue besok mau ada meeting. Nggak mungkin gue nginep di sini 'kan? Sementara baju gue di rumah semua."

Lili hanya bisa pasrah. Ia tak bisa menahan Grahita lagi. Padahal saat ini sudah pukul 12 malam lebih dan anggota keluarga lainnya sudah terlelap. Mereka terlalu banyak bercerita hingga lupa waktu. Mungkin jika alarm Lili tak menyala tepat jam 12, mungkin mereka bisa sampai subuh.

"Hati-hati, Ta. Sampai rumah lo kabari gue ya?" kata Lili kemudian. Seperti biasa, Lili adalah gadis yang care.

Grahita mengangguk, lalu melambaikan tangannya pada Lili dan bersiap untuk meninggalkan rumah Lili. Ketika di jalanan, Grahita melajukan mobilnya di atas rata-rata karena jalanan lengang, selain itu juga lebih efisien waktu.

Jika biasanya memerlukan hampir 45 menit jarak rumah Lili dengan rumah sang eyang, Grahita kini dapat menempuhnya hanya selama 30 menit. Gadis itu langsung memasukkan mobilnya begitu petugas keamanan membuka gerbang tinggi tersebut.

Rumah nampak sepi, hal itu membuat Grahita berjalan santai menuju dapur karena ia mengambil beberapa rempah-rempah yang ada di restoran. Gadis itu meletakkan rempah tersebut di dapur untuk stok di rumah. Saat langkahnya mengayun menuju kamarnya, sebuah suara menginterupsi dirinya.

"Darimana kamu baru pulang jam segini?"

Grahita membalikkan badannya. Matanya menatap perempuan setengah baya yang mengenakan piyama putih.

"Penting untuk anda ketahui?" tanya Grahita tenang.

Diana nampak sewot. Perempuan itu tersenyum mengejek.

"Jangan-jangan kamu habis ke diskotik dan bermain di sana. Dih, menjijikkan. Memang pergaulan orang yang pernah tinggal di luar negeri itu sangat bebas dan ngawur! Apalagi bentuknya kayak kamu itu!"

Grahita rasanya sangat ingin tertawa mendengar asumsi ngawur Diana. Biasanya orang yang tak pernah melihat fakta secara langsung dan berbicara seakan ia mengetahui adalah ciri orang munafik baginya.

"Halah ngaku aja! Kamu sok-sokan baik padahal begajulan juga 'kan? Jangan anggap saya kalah karena saya diam ya! Biarpun saya cuma menantu, tapi kamu tetap penghuni baru di sini."

Grahita menatap datar perempuan yang sialnya menjadi mama tirinya itu. Ia sebenarnya bosan untuk berhadapan dengan Diana, namun nampaknya memberi sedikit pelajaran adalah hal yang tak salah.

Grahita kemudian mendekat ke arah Diana. Wajah dinginnya sangat terlihat di sana. Grahita terlihat berani menatap Diana yang nampak kesal itu.

"Oh begitu nyonya Diana Sadewa? Nampaknya anda sangat tahu tentang saya. Apa sok tahu?"

"Saya juga tidak akan menyebut anda Pramonoadmodjo karena anda hanya menantu di sini. Jadi siapa yang sebenarnya berhak? Anda apa saya?"

"Anda nampaknya lupa jika saya pewaris tunggal dari Sadewa Pramonoadmodjo? Apa saya perlu ingatkan lagi? Walaupun saya tidak memiliki hubungan layaknya ayah dan anak, namun secara nasab, sayalah yang berhak. Jangan bergaya layaknya ratu jika kehormatan anda dapatkan dengan cara hina di sini."

Suara tamparan langsung terdengar di sana. Grahita kembali ditampar dengan keras. Namun gadis itu malah tersenyum miring. Orang-orang nampaknya suka menampar pipinya yang mulus itu. Grahita sudah kebal menjadi sasaran tamparan orang-orang yang menjadi alasannya ia seperti sekarang, dingin.

"Ciri orang yang tak punya harga diri adalah, merasa benar padahal ia salah besar. Ia berlagak bahwa dengan melakukan suatu tindakan besar, maka ia terlihat besar pula. Padahal tindakan itu hanyalah tindakan rendahan yang bahkan tidak sepantasnya dilakukan,"

"Saya di sini berbicara sebagai Grahita Pramonoadmodjo, bukan sebagai cucu atau pun putri. Jadi mari kita selesaikan sekarang juga. Saya sudah muak dengan perilaku anda selama ini. Padahal jika anda hanya diam dan tak mencampuri urusan saya, saya juga nggak akan mengambil langkah seperti ini. Saya bukan tipe orang yang suka mengusik orang lain kecuali kehidupan saya diusik terlebih dahulu."

"Kamu nggak tahu diri! Selama ini kamu hanya cucu yang dipungut, bukan berlian seperti yang mereka sebut!" ucap Diana tak terima. Ia tak boleh kalah dengan gadis bau kencur itu.

"Anda lupa, bahwa mereka yang membuang saya. Mereka yang menyia-nyiakan saya. Baru mereka sadar bahwa mereka melewatkan sesuatu yang berharga. Yang sebenarnya bodoh, saya apa anda? Dimana letak kesalahan saya sehingga anda berbicara seolah saya yang salah? Oh saya lupa, orang yang punya ambisi buruk tidak punya akal waras."

Ucapan Grahita yang sangat menusuk hati membuat Diana sakit hati. Perempuan itu langsung mendekat dan hendak menjambak rambut Grahita. Namun sebuah tangan besar menghentikan aksi Diana itu.

"Mas?" ucap Diana pelan dengan wajah pucat pasi melihat Sadewa yang menghentikan aksinya itu. Tatapan Sadewa yang datar membuat nyali Diana nyiut.

"Apa yang kamu lakukan, hah? Jawab!" bentak Sadewa pada Diana dengan keras. Sedangkan Grahita hanya menatap dua manusia itu dengan pandangan datar.

"Mas, dia menghina saya! Dia menjelek-jelekkan saya!" ucap Diana membela diri. Tentu ucapannya adalah dusta.

Sadewa lalu beralih menatap Grahita. Gadis itu masih berusaha tenang di tempatnya. Lalu Grahita memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju kamarnya. Namun kembali ia dihentikan oleh Sadewa.

"Jika ingin tahu kebenarannya, bisa cek CCTV di ruangan ini. Saya kira kalian tidak buta melihat pipi saya yang memerah ini."

Setelah itu, Grahita benar-benar pergi dan meninggalkan mereka dalam kebisuan. Tanpa mereka sadari pun, Sadewa sudah melihat semuanya dari awal. Laki-laki itu tahu kebenarannya. Masihkah ia bungkam?

*****

Grahita hari ini disibukkan dengan rapat bersama karyawan bagian dapur di restoran miliknya. Setelah ini ia akan terjun langsung ke dapur restorannya. Ia ingin mengembangkan skill sekaligus mengejar label berbintang untuk restorannya itu. Selain itu, ia bosan hanya sekedar menjadi pemilik tanpa mengembangkan ilmunya sama sekali. Grahita rindu dengan kesibukan dan kepadatan jadwal di dapur.

Rapat tersebut juga membuat trobosan terbaru. Ia memutuskan untuk membuat libur sehari untuk meeting hingga pukul satu siang. Setelahnya, para karyawan akan menggunakan waktu tersebut untuk istirahat. Namun ia masih ada rapat internal bersama dengan Riska dan chef Ketut selaku kepala dapur.

Mereka banyak membicarakan hal penting. Dari mulai pemilihan menu baru hingga perubahan konsep yang diinginkan. Memang Grahita masih membiarkan konsep restorannya di plan impian yang kedua, ia baru akan mengembangkan plan pertama jika berjalan dengan baik dan ternyata target tersebut akhirnya terpenuhi.

"Saya akan menghubungi rekan saya nanti untuk masalah yang berkaitan dengan manajemen karena dia ahlinya. Mungkin kita bisa bekerja sama dengan beberapa pihak," ucap Grahita mengakhiri sesi mengutarakan pendapatnya.

Pukul 3 sore mereka baru selesai. Chef Ketut sudah pamit. Kini tinggal Grahita dan Riska.

"Apa ini nggak terlalu berisiko, Ta?" tanya Riska ragu. Jujur, ia takut untuk melangkah lebar sesuai dengan konsep Grahita.

"Beresiko. Resiko terburuknya ya gue bangkrut. Tapi kita belum nyoba, Ris. Customer juga bilang pelayanan kita bagus, terus mereka minta levelnya dinaikkan nggak apa-apa. Mereka justru mengharapkan hal tersebut. C'mon, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Nanti kita buat plan untuk kemungkinan terburuknya. Intinya seimbang antara harapan sama nanti kalau sudah berjalan," ucap Grahita menyakinkan. Ia punya energi positif dan keyakinan jika ia bisa.

Grahita menatap Riska. Perempuan itu nampaknya masih ragu dan diam.

"Kalau kita nggak yakin, kapan lagi kita maju, Ris? Lo nggak suka ya restoran ini maju?"

Riska langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Ngaco! Semakin baik restoran ini, gaji gue tentunya semakin besar dong. Nanti gue biar cepet kayanya."

"Anjir lo! Masalah cuan aja gercep!" sahut Grahita malas.

Riska langsung tertawa lepas. Bekerja dengan Grahita selama ini membuatnya betah. Walaupun Grahita terlihat dingin dan angkuh, namun gadis itu hangat ketika sudah mengenal dengan baik. Bahkan Grahita adalah rekan kerja yang memiliki sifat pekerja keras, ulet, dan dermawan.

"Biar cepet punya istana, Ta. Biar Inara punya gubuk yang ada taman bermainnya."

"Aamiin," sahut Grahita tersenyum ringan.

Grahita lalu melirik arlojinya. Sudah pukul 4 sore ternyata. Mereka terlalu asik berbicara hingga lupa waktu.

"Balik nggak Ris? Udah sore nih," kata Grahita pada Riska yang sedang membalas pesan.

Riska lalu bangkit dari duduknya. Mereka langsung membereskan beberapa kertas dan sampah hasil rapat tadi sebelum meninggalkan ruangan tersebut. Setelah semuanya beres, mereka langsung keluar dari ruangan Grahita yang sebelumnya disulap menjadi ruangan meeting

"Lo habis ini kemana?" tanya Riska.

Grahita nampak berpikir. Ia bingung. Ia malas untuk kembali ke rumah eyangnya seawal ini. Lalu tiba-tiba gawainya bergetar. Riska memilih pamit terlebih dahulu karena harus menjemput putrinya di rumah sang nenek.

'Aku ingin membicarakan sesuatu, dan ini tentang Sultan. Apa kamu berkenan Ta?'

Grahita menegang di tempatnya. Entah rasanya ia masih merasa trauma dengan laki-laki tersebut. Grahita juga masih merasa enggan untuk membahas laki-laki yang pernah membuat dirinya di fase terburuk.

Namun di sisi lain ia juga penasaran. Grahita penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Gandhi. Ia juga penasaran bagaimana laki-laki itu mendapatkan hukumannya. Apakah berat atau justru ringan? Ia takut jika tidak sesuai dengan ekspektasinya.

"Aku siap, Ndi." Ketik Grahita dengan perasaan mantap dan langsung mengirimnya.

Tak lama kemudian balasan Gandhi muncul.

'Nanti malam aku jemput ya? Apa bagaimana?'

Sembari berjalan ke parkiran, Grahita membalas pesan Gandhi itu. Akhirnya ia terpaksa kembali ke rumah untuk istirahat sejenak sebelum nanti malam bertemu dengan Gandhi.

*****

Grahita celingukan mencari seseorang yang katanya berada di sudut sebuah taman yang berada di kawasan Penjaringan. Dengan membawa tote bag, gadis itu melangkahkan kakinya menuju bangku berukuran sedang yang tengah diduduki oleh seorang pria dengan tubuh tegak. Grahita sudah hapal dengan sosok pria itu.

"Hai," sapa Grahita yang langsung duduk di samping Gandhi. Gadis itu kemudian memberikan jarak yang lumayan.

Gandhi tak melepaskan pandanganmya pada Grahita. Gadis itu terlihat berbeda malam ini.

"Desole, aku nggak tahu parkirannya jadinya tadi mutar-mutar dulu," ucap Grahita tak enak pada Gandhi yang sudah menunggu. Seharusnya ia bisa lebih disiplin tadi.

Gandhi mengangguk di tempatnya. "Nggak apa-apa, aku paham kok," sahut Gandhi santai. Ia tak masalah dengan hal ini.

Sebelumnya Grahita hendak ia jemput, tetapi gadis itu menolaknya. Grahita memilih untuk berangkat sendiri. Gadis itu berdalih jika tidak ingin merepotkannya. Grahita merasa sudah banyak merepotkan Gandhi selama ini.

"Kamu selalu bilang nggak apa-apa, pasti bosan karena aku sering datang terlambat kalau ada janjian," ucap Grahita kembali. Ia sadar jika dirinya sering terlambat dan harus membuat Gandhi menunggu.

"Nggak masalah, Ta. Aku lebih menghargai mereka yang terlambat ketimbang membatalkan janji begitu saja," sahut Gandhi dengan tersenyum ringan.

Grahita menatap Gandhi dan mengangguk. Bagaimana pun juga ia merasa tak enak hati walaupun pria itu tak masalah.

Grahita lalu menghembuskan napasnya lepas. Ia merasa segar berada di kawasan RPTRA ini. Walaupun banyak anak-anak dan remaja yang berkumpul, namun masih terasa tenang untuk sekedar menjadikan tempat ini menepi.

Gandhi tersenyum singkat melihat Grahita yang nampak menikmati tempat tersebut. Ada perasaan puas mengajak Grahita ke tempat ini.

"Kamu siap dengerin sesuatu yang berkaitan dengan laki-laki tersebut?" tanya Gandhi kemudian tanpa menyebutkan nama Sultan. Ia memang sengaja supaya Grahita lebih nyaman.

Grahita mengangguk. "Siap," sahut Grahita mantap.

"Aku nggak tahu kenapa hukumannya tambah berat, tapi yang aku tahu, kasus dia bertambah. Apa pengacaramu nggak ngomong sesuatu ke kamu?"

Grahita langsung menggelengkan kepalanya pelan. "Selama ini yang mengurusi adalah eyang sama om dengan orang kepercayaan mereka. Aku jarang bertanya karena percaya sama mereka."

Gandhi langsung mengangguk. Ia paham jika keluarga Grahita bukan keluarga sembarangan. Bahkan gadis itu tinggal terima bersih.

"Berdasarkan kasusnya, dia terancam 10 tahun penjara dengan kasus penganiayaan dan suap. Tapi kamu tahu nggak suap itu dari mana?"

"Kerjaan eyang," sahut Grahita pelan. Ia tahu dalang penuh dalam hal ini.

Gandhi sudah memprediksikan sebelumnya. Bahkan kasus penganiayaan ini sangat rapi dan tak terendus oleh media. Terasa senyap namun masif dalam menuntut tersangkanya. Semua bisa karena kuasa dan uang tentunya.

"Aku baru tahu tadi sore dari Januar. Dia bilang kalau kasusnya malah meluber. Dia juga bilang Pengadilan Negeri bisa langsung sidang penuntutan tanpa menghadirkan saksi ataupun korban. Mereka bilang keterangan dari Kepolisian sudah menjadi bukti yang kuat. Tapi apakah itu nggak menyalahi prosedur?" Gandhi masih bingung dengan kasus ini. Namun yang pasti hal ini ada kaitannya dengan keluarga besar Grahita.

"Semuanya bisa di tangan eyang, Ndi. Aku berharap yang terbaik saja. Aku sudah enggan untuk terlibat banyak dalam hal ini. Bahkan aku berharap supaya cepat diproses," ucap Grahita pelan. Ia hanya berharap masalahnya cepat usai supaya ia bisa hidup tenang.

Gandhi terdiam. Laki-laki itu tahu jika Grahita terlalu banyak beban yang harus dipikul. Grahita mungkin terlihat keras di luar, namun di dalamnya, gadis itu penuh beban.

"Gimana kerjaan? Lancar?" tanya Gandhi mengalihkan. Mungkin bahasannya sampai sini. Ia juga memikirkan keadaan Grahita yang masih trauma dengan kejadian lalu.

Grahita mengangguk. "Lancar."

"Kamu?" tanya Grahita kemudian.

"Lancar juga, paling jika ada latihan kadang nggak ada waktu buat seneng-seneng dulu."

"Sibuk banget ya? Kamu juga mau mengurus kasusku yang rumit. Kamu banyak membantuku kemarin. Ucapan terima kasih saja tak cukup buat membalas kebaikanmu," ucap Grahita melirih di akhir kalimatnya.

"Aku bantu kamu dengan ikhlas, Ta. Aku juga nggak masalah harus sibuk buat hal ini. Yang terpenting kamu harus bisa lebih baik lagi dari yang dulu," sahut Gandhi dengan ucapan yang meneduhkan.

Grahita menatap Gandhi dengan ekspresi yang tak dapat digambarkan. Ia merasa beruntung dikelilingi orang-orang baik.

"Ada apa?" tanya Gandhi bingung karena tiba-tiba Grahita menatapnya dengan tatapan seperti itu.

"Banyak hal yang pengen aku ungkapin tapi cuma bisa senyum aja, Ndi,"

"Banyak hal yang aku alami akhir-akhir ini termasuk kamu,"

"Mungkin ini jadi pelajaran buat diriku. Di saat aku berteriak dan mengklaim bahwa semua laki-laki sama, tiba-tiba kamu datang. Bahkan kita sering bertemu. Aku seperti menelan ludahku sendiri. Aku sadar bahwa melihat kamu, bang Yosi, sampai teman laki-laki yang aku kenal, mereka tak seburuk yang aku kira. Perasaan benci itu muncul ketika aku melihat sumber dari kebencianku berasal saja,"

"Aku salah ternyata. Aku terlalu menjadi manusia yang arrogant dan egois."

Grahita membuang napasnya kasar. Ia seperti tertampar perlahan rasanya.

"Sorry aku malah ngomong hal lain," ujar Grahita kemudian.

"Memang kita harus mengalami beberapa hal supaya bisa melihat sisi lain yang mungkin dibenci. Manusia tempatnya salah dan jalan terbaiknya adalah memperbaiki serta mengambil hikmah dari hal tersebut. Kamu membenci laki-laki juga karena pernah disakiti mereka. Namun memukul rata mereka semua juga tidak benar. Memang butuh waktu untuk memahami semuanya, Ta," sahut Gandhi bijak.

Grahita tersenyum dalam hatinya. Gandhi memang laki-laki dewasa yang selalu memberikan dirinya kata-kata meneduhkan.

"Oh iya, kamu udah makan belum? Kalau udah, kamu bawa aja tote bag ini. Boleh kamu nanti makan atau nggak kasih temenmu."

Grahita kemudian mengangkat tote bag yang ia bawa. Ia hendak memberikannya pada Gandhi, namun ditolak.

"Aku belum makan dan kamu pasti belum. Jadi kita makan bersama saja."

Grahita tersenyum. Lalu tangannya bergerak mengambil dua tempat makan yang ia bawa tadi. Ia tak memasak. Ia hanya meminta membungkuskan makanan yang di masak oleh pekerja di rumah eyangnya.

"Kamu yang masak?" tanya Gandhi ketika membuka kotak makanan tersebut.

"Nggak, aku nggak sempet tadi."

Gandhi melihat kotak makanan yang diberikan oleh Grahita. Ternyata isinya nasi dan lauk pauk yang bervariasi.

"Ingat zaman TK malahan," ucap Gandhi yang disambut tawa Grahita. 

"Pas waktu bawa bekal pamer lauk sama temen," sambung Grahita. Gandhi tertawa renyah.

Entah perasaannya atau apa, Grahita terlihat lebih lepas malam ini. Gandhi menemukan sosok Grahita yang lebih ceria dibanding biasanya. Grahita juga lebih banyak tersenyum dan berbicara. Semoga saja gadis itu tak bersedih kembali. Ia lebih suka Grahita yang sekarang.

Sembari menikmati makan malam yang unik, mereka menikmati suasana RPTRA yang nyaman. Mereka juga berbicara banyak hal. Ternyata upaya Gandhi untuk bertemu dengan Grahita, membuahkan hasil yang baik, bahkan bisa dikatakan berhasil.

.
.
.

Mandrakanta : Maju Perlahan

.

Update agak cepet nih, pada seneng nggak? 😂
Kemarin yang mencari bang Gandhi, sudah muncul ya😌😂

Oh iya, yang merasa ceritanya banyakan di Grahita memang cerita ini lebih menitikberatkan ke tokoh perempuannya. Semoga tetap berkenan bagi pembaca semua.

Satu lagi,

Selamat Tahun Baru 2021🎇

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 249K 31
Ayudia Sasikirana tidak menduga jika seseorang yang pernah menolak dijodohkan dengannya justru menjadi direktur di Media Cahaya Hati (MCH), tempatnya...
505K 70K 92
Love tersenyum sangat manis. Lalu sambil menyodorkan tangannya ia berkata dengan lembut, "Haaai, Mas Mike, nama saya Love. Lo... Ve... panjangnya Lov...
33.2K 2K 38
Taruna merasa dongkol karena Bos di kantornya begitu semena-mena mengatainya jelek karena satu insiden. Bukan hanya di kantor, tetangga sebelah kamar...
57.3K 1 1
[Bucin Series 1] Ada yang bilang katanya; "cinta itu berat, kamu pasti nggak kuat. Biar aku aja." Gishania Alunra, gadis berusia 25 tahun merasa sepe...