Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 164K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Balakosa

20.6K 2.4K 52
By khanifahda

"Tata belum pulang ya?" tanya Tuan Soeroso pada salah satu pekerja di sana. Pandangan laki-laki itu mengarah ke kamar sang cucu. Terlihat jika kamar Grahita nampak tertutup rapat.

"Belum, Pak."

"Tadi pergi sama siapa?"

"Sama laki-laki yang pernah datang ke sini, Pak," jawab pekerja perempuan setengah baya itu dengan sopan.

Tuan Soeroso mengangguk pelan, lalu memilih turun dan menuju ruang baca. Grahita yang tak biasanya pulang malam setelah kejadian tersebut, mendadak belum pulang hingga menjelang isya ini. Hal itulah yang membuat Tuan Soeroso agak khawatir kali ini.

Langkah tua itu berjalan perlahan menuju ruang baca yang sekaligus menjadi ruang kerjanya. Tuan Soeroso mengambil sebuah buku berjudul Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action dari jajaran buku yang tersimpan rapi di rak besar. Sambil duduk di kursi kebesarannya, laki-laki itu memulai rutinitas membacanya.

Baru mendapat dua halaman, gawai Tuan Soeroso bergetar. Laki-laki itu langsung meletakkan bukunya dan mengambil gawai yang ia simpan di saku celana kainnya.

'Tata hari ini pulang ke rumah oma, eyang. Mama pulang.'

Tuan Soeroso mengangkat wajahnya setelah membaca pesan dari Grahita. Laki-laki itu langsung terdiam. Pikirannya melayang pada seorang perempuan bernama Marcella. Perempuan cantik yang sempat menjadi menantunya itu. Seorang perempuan muda yang berani mengambil langkah besar bersama putranya, namun disia-siakan oleh putranya juga.

Tak banyak momen baik bersama dengan Marcella. Kala itu, Tuan Soeroso lebih banyak menghabiskan waktunya di Amerika dan Eropa. Jarang sekali ia pulang ke Indonesia. Sedangkan putra bungsunya itu sudah membangun rumah tangga di usia mudanya. Sebagai orang tua, Tuan Soeroso juga tak setuju putranya itu menikah muda. Namun apa daya? Sadewa adalah pria keras kepala yang akan tetap dengan pendiriannya.

Tuan Soeroso kembali termenung. Ia memutar memori tentang putranya dan Marcella. Hingga suara ketukan pintu membuat dirinya kembali tersentak pelan.

"Masuk."

Seorang petugas keamanan datang dengan sopan. "Mohon maaf Pak, ada tamu di depan ingin bertemu dengan bapak."

"Siapa?"

"Dia memperkenalkan dirinya sebagai Fredy Anggoro."

Seulas senyum nampak di bibir tuanya. Tuan Soeroso mengangguk, "Biarkan dia masuk, saya akan menemuinya."

"Baik, Pak."

Kemudian petugas keamanan tersebut pamit dan dan kembali menutup pintunya. Sedangkan Tuan Soeroso hanya bisa tersenyum miring. Ia sudah tahu maksud Fredy datang kemari.

Tuan Soeroso lalu bangkit dan keluar. Pria berwibawa itu langsung berjalan menuju ruang tamu. Bahkan dia seperti menyambut seorang tamu yang penting. Padahal setiap tamu yang datang, pasti harus menunggu laki-laki itu bersiap terlebih dahulu.

"Selamat datang Tuan Fredy. Lama kita tak bertemu," sapa Tuan Soeroso dengan ramah. Namun tidak bagi Fredy Anggoro yang nampak tak baik-baik saja. Sapaan itu bagaikan sindiran.

"Mari kita duduk."

Lalu mereka duduk di sofa mewah yang berada di ruang tamu tersebut. Fredy Anggoro menatap design rumah itu dengan seksama. Walaupun ia kaya, namun kalah jauh dengan Soeroso Pramonoadmodjo.

Di dunia bisnis, laki-laki tua itu dikenal memiliki beberapa usaha skala besar seperti perkebunan sawit, tambang batubara, perusahaan tekstil hingga saham di perusahaan rokok. Beberapa unit kecilnya yang tersebar di beberapa daerah baik dalam maupun luar turut menjadi alasan pria itu berada.

"Maaf, Tuan." Fredy Anggoro menundukkan pandangannya.

"Untuk apa? Perasaan anda tidak berbuat salah terhadap saya," ujar pria itu santai. Sedangkan Fredy nampak tak tenang di tempatnya.

"Maaf Tuan. Jika memang menantu saya yang bersalah, hukum saja, namun jangan membuka kasus yang sudah lama hilang itu."

"Oh ya? Kasus suap tender di Kalimantan itu? Harusnya sudah selesai, tapi saya memilih menarik ucapan saya dulu. Menantu anda terlalu angkuh hingga melupakan beberapa hal, Tuan Fredy. Anggaplah ini hukuman baginya."

Tuan Fredy bangkit, lalu laki-laki itu memohon kepada Tuan Soeroso. Tentu masalah ini sangat berat bagi dirinya dan perusahaannya.

"Saya mohon Tuan. Jangan buat perusahaan saya pailit. Saya akan memastikan bahwa tak ada eksepsi untuk menantu saya."

Tuan Soeroso tersenyum mengejek. "Dia bukan hanya membahayakan cucu saya, tetapi juga pernah berbuat licik dengan perusahaan saya. Pantas 'kan bila saya memberinya ganjaran yang setimpal?"

Fredy Anggoro terdiam. Kesalahan menantunya bukan hanya satu saja, tetapi ada kesalahan lain dan sialnya mereka harus berhadapan dengan Pramonoadmodjo.

"Kalau kau tahu itu salah, mengapa kau hanya diam ketika menantumu itu berbuat suap dan memanipulasi data? Saya kira anda juga ikut andil di sini."

"Lihat, anda diam 'kan Tuan? Dulu saya memilih menutup kasus karena saya masih merasa bahwa kesalahan menantu anda dapat saya tangani dengan mudah. Namun ketika menantu anda mengusik keluarga saya, saya tentu tak akan tinggal diam. Saya pastikan bahwa menantumu akan mendapatkan balasan yang setimpal."

Fredy Anggoro hanya bisa menunduk. Ia tak bisa menghentikan Tuan Soeroso. Ia kalah.

"Reputasi perusahaan anda bisa diselamatkan, namun perlu kerja keras," ujar Tuan Soeroso kemudian.

Fredy mengangkat kepalanya. Ucapan Tuan Soeroso barusan bagai angin segar baginya.

Tuan Soeroso tersenyum tenang di tempatnya melihat respon Fredy Anggoro. "Ternyata cukup mudah bagi saya untuk membungkam."

"Dan satu lagi, jangan berbuat konyol dengan mencoba menyentuh cucu saya kembali. Jika kalian mencoba berbuat licik dengan saya, saya pastikan kalian habis detik itu juga."

"Baik, Tuan. Saya berjanji," sahut Fredy yang sudah kehilangan harga dirinya.

Dan benar, bisnis memang kejam. Yang berkuasa akan mendapatkan segalanya. Entah dengan cara apa, mereka hanya dilingkupi oleh kepentingan dan ambisi semata.

*****

"Tumben banget lo telat ke resto, Ta?" tanya Riska begitu melihat gadis itu berjalan menuju ruangannya.

"Ada urusan tadi, Ris. Habis dari makam," Riska mengangguk. Lalu perempuan itu berjalan kembali menuju depan untuk mengecek sesuatu.

Sementara itu, Grahita langsung duduk di sofa begitu sampai di ruangan sederhananya itu. Gadis itu memijit kepalanya yang sakit. Rasanya ia lelah.

Tadi pagi ia harus pergi ke makam bersama sang mama dan keluarganya. Gadis itu tentunya ikut. Kembali lagi, Marcella menangis tergugu di makam mama dan papanya. Sedangkan Grahita hanya bisa menatap nanar makam tersebut. Andai oma dan opanya masih hidup, tentu tak akan begini. Ia pasti ada topangan yang lebih kuat. Ia akan punya rumah yang pasti. Sebuah rumah hangat yang membuatnya menjadi Grahita sesungguhnya.

Merasa bahwa ia perlu hiburan, ia menghubungi Lili. Ia ingin mengajak Lili keluar nanti malam. Semoga saja gadis itu di Jakarta karena beberapa hari ini dirinya tak bersua dengan gadis itu.

'Halo Ta,"

"Assalamu'alaikum,"

Di seberang sana, gadis energik itu terkekeh pelan, 'Hehe, gue lupa. Wa'alaikumussalam.'

"Lo di mana?" tanya Grahita to the point.

'Di rumah."

"Di Jakarta?"

Lili nampak berdecak, 'Iya Tata, dimana lagi kalau nggak di Jakarta? Rumah gue 'kan cuma di sini.'

"Lo sibuk nggak?"

'Nggak terlalu. Ada apa?'

"Keluar yuk, nanti malam."

'Kemana? Jangan ngajak gue dugem loh, Ta."

"Astaghfirullah, mulutnya minta dicabein. Gue udah tobat," balas Grahita cepat dengan mata melotot kesal.

Sementara di sana Lili tertawa keras. Senang sekali menggoda Grahita yang judes ini. Ia hanya memancing saja, tetapi reaksi Grahita sungguh di luar dugaannya.

'Oke, oke. Lo mau kemana?'

"Terserah," jawab Grahita singkat.

Lili nampak berpikir. Ia juga bingung. Ia memang di Jakarta, tetapi ia tak begitu paham dengan tempat tongkrongan malam.

'Kalau kafe gimana, Ta?'

Grahita nampak berpikir sebelum menjawab. "Lainnya Li. Gue bosen. Yang outdoor kalau bisa. Ya kayak jajanan kaki lima nggak masalah sih."

'Hmm mana ya? Gue juga nggak paham banget tempat keren di Jakarta.'

'Oh iya gue inget, ada festival kuliner nih di daerah Pasar Rebo,'

"Oke, nanti gue jemput ya, Li,"

'Tumben amat lo minta jemput? Mobil lo?"

"Udah, ceritanya panjang."

'Hmmm, nanti gue jemput habis isya.'

Setelah itu sambungan telepon mereka terputus. Grahita menyenderkan punggungnya di sofa. Akhirnya ia bisa melepas sejenak penatnya ini.

*****

Grahita tengah menunggu jemputan dari Lili. Grahita menenteng satu tas tanggung yang berisi pakaian dan sepatu yang ia ambil dari rumah. Sementara ini ia akan tetap tinggal di rumah sang eyang. Sedangkan rumah oma masih di tempati oleh mamanya. Rencananya Marcella berada di Indonesia selama kurang lebih 2 minggu.

Seraya menunggu Lili, Grahita kembali berpikir. Ia serba salah nampaknya. Ketika ia memutuskan untuk berada di rumah sang eyang, se-pandangan mata, ia nampak baik-baik saja dengan keluarga papanya itu. Ia nampak memaafkan kesalahan mereka. Namun faktanya ia hanya menepi yang justru terikat oleh sesuatu dari masa lalunya. Grahita masih belum bisa melupakannya. Memori itu akan terngiang sampai kapanpun. Akan tetapi, Grahita sudah mencoba untuk memaafkan dan berdamai dengan dirinya sendiri. Semakin ia menolak dan membenci, semakin sakit yang ia rasakan.

Lalu sebuah mobil Range Rover's dengan plat nomor L melintas di depannya. Mobil itu nampak asing di matanya dan Lili biasanya menggunakan city car warna merah favoritnya.

"Woy Ta," teriak gadis di dalam mobil dengan tersenyum lebar.

Grahita mengernyitkan dahinya. Lalu Lili turun dan menghampiri Grahita.

"Si singa ikut, Ta, nyebelin banget!" ujar gadis itu yang disambut deheman suara berat dari balik kemudi. Grahita menatap sosok yang berada di balik kemudi setelah laki-laki itu menurunkan kaca mobilnya.

Leo berdecak, "Ayok masuk. Jangan ngerumpi dulu."

Lili menatap kesal kembarannya itu. Lalu ia menarik Grahita untuk masuk ke dalam.

"Kok lo bawa tas gitu Ta? Ada apa?" tanya Lili melihat Grahita yang membawa tas. Sedangkan Grahita sedang sibuk memasang sabuk pengaman. Mereka memilih duduk di tengah dan membiarkan Leo sendiri di depan.

Grahita belum juga menjawab dan membuat Lili mengangguk, "Oke gue tunggu." Lili paham jika Grahita belum bisa bercerita ketika masih ada Leo di sana.

"Sorry ya Ta, gue rencana mau sendiri, eh si singa ikut," ucap Lili menyindir laki-laki yang tengah fokus menyetir itu.

"Nggak apa-apa. Makasih ya Yo udah jadi supir kami," balas Grahita yang diacungi jempol kiri Leo.

"Gue tuh kesel, Ta. Dia kayak bocah maksa gue terus buat ikut," sungut Lili kesal dengan Leo yang nampak tenang di tempatnya.

"Kenapa Leo di Jakarta?" tanya Grahita.

"Sepupu gue kemarin nikah, dia dipaksa bunda pulang. Mana ngambil cuti 3 hari lagi." Kembali lagi Lili mendumel. Kembar itu memang sering bertengkar untuk hal-hal kecil dan Leo selalu menanggapi kecerewetan Lili dengan santai.

Grahita menggelengkan kepalanya pelan. Ia sudah biasa melihat mereka bertikai sejak zaman SMA. Dan biasanya, Grahita hanya menjadi penonton saja.

"Ta, gue ada project bareng MUA hits Berliana Putri nih. Gue ada konsep buat baju adat Bali, Kebaya, Palembang sama India. Lo mau ya jadi model gue?"

"Niet," jawab Grahita singkat.

Lili berdecak, "Ayolah, gue bingung cari model blasteran."

"Bukannya lebih baik model lokal ya?" sahut Grahita kembali. Selama menuju tempat tujuan Grahita dan Lili lebih banyak mengobrol ketimbang Leo. Laki-laki itu memilih diam.

"Konsepnya begindang, bund. Kemarin udah ada project bareng model lokal juga. Sekarang mau pakai orang asing, tapi kalau ada yang blasteran kenapa tidak?"

"Kapan?"

Lili bersorak, "Beneran lo mau?"

"Tergantung."

Lili berdecak, "Gue kira lo mau. Kalau iya, acara ini kurang 4 bulanan."

"Masih lama gitu."

Lili kembali berdecak. Membujuk Grahita sama saja membujuk batu. Gadis itu enggan untuk menjadi model. Padahal secara paras dan body, Grahita benar-benar pas.

"Kali aja jadi top beauty world, Ta dengan lo ikut. Atau nggak masuk majalah Vogue."

"Ngaco," sahut Grahita acuh. Ia tak habis pikir dengan pemikiran Lili.

Akhrinya mereka sampai. Kedua gadis itu turun, sedangkan Leo mencari parkiran yang kosong karena sudah penuh. Grahita dan Lili menyusuri kawasan festival makanan yang menyuguhkan kuliner khas kaki lima.

"Makan sate kayaknya enak nih," gumam Lili menatap warung sate dengan asap harum yang mengepul.

"Pecel lele aja," sahut Grahita yang lebih tertarik makan pecel lele.

Lili terkekeh, "Ternyata lo masih sama ya? Masih suka pecel. Gue kira lidah lo udah ala spagetti."

"Lebih enak sambel terasi."

Lili kembali tertawa. "Aneh lo, Ta. Masa lo lulusan sekolah masak bergengsi dunia tetep ae makanan kesukaan sambel terasi. Gue nggak bisa bayangin lo ditanya sama sekelas masterchef dunia tentang masakan kesukaan lo dan dengan polosnya lo bilang sambel terasi yang diulek di cobek. Daebak banget!"

Mereka kembali berjalan menuju tempat yang terdapat banyak kursi. Sembari menunggu Leo datang tentunya.

"Pernah, gue pernah masak pecel lele sambel terasi di sana. Mereka juga doyan."

Lili menatap tak percaya. "Serius lo? Bule lo jejelin sambel?"

Grahita mengangguk, "Awalnya mereka merasa aneh, tapi setelah itu mereka suka. Bahkan beberapa temen gue sukanya nasi goreng. Jadi masakan Indonesia nggak kalah sama masakan luar. Bahkan rempah di masakan nusantara bikin mereka nagih dan penasaran."

Lili mengangguk mengerti. Tak selamanya Western adalah produk terbaik. Terbukti jika Asia khususnya Indonesia pun patut di perhitungkan di kancah dunia.

Akhirnya Leo datang. Laki-laki itu langsung duduk di hadapan Grahita.

"Kalian belum pesen?" tanya laki-laki itu pada dua gadis berbeda karakter tersebut.

Grahita menggeleng. "Belum! Nungguin lo kayak nungguin jodoh gue! Lama kek siput!" Bukan Grahita yang menjawab. Melainkan Lili.

"Sana pesen!" perintah Leo pada Lili.

Lili seketika mendumel. Namun tak ayal gadis itu bertanya apa pesanan mereka. Grahita ingin ikut, namun dicegah oleh Lili.

"Apa kabar, Ta?" tanya Leo sambil menatap gadis itu. Lili sudah pergi untuk memesan makanan.

"Alhamdulillah baik, lo?"

"Baik juga. Lama kita nggak bertemu kayak gini. Terakhir gue nganter si bunga bangkai."

Grahita terkekeh kecil. Entah mengapa ia geli setiap Leo menyebut Lili dengan bunga bangkai.

"Ya karena lo sibuk," sahut Grahita kemudian.

"Lo juga sibuk. 6 tahun lo di Paris dan keliling dunia."

Grahita menyipitkan matanya. Bagaimana bisa Leo tahu dirinya keliling dunia juga?

"Lili yang cerita," jawab Leo seakan menjawab pertanyaan dibenak Grahita.

"Lo juga jarang pulang. Gue kangen sama pertengkaran kalian," ungkap Grahita yang mendapat sambutan tawa Leo yang renyah.

"Tapi nggak kangen gue?" tanya Leo dengan senyum manisnya.

"Kenapa image gue selalu bertengkar sama Lili, sih? Nggak lo, nggak temen SMA," lanjut Leo.

Grahita terkekeh pelan. "Bagaimana bisa gue nggak inget tingkah kalian? Kalian kembar tapi selalu bertengkar. Ibaratnya, tiada hari tanpa bertengkar. Wajar kalau temen-temen pada ingat."

Leo ikut terkekeh. Mengingat momen semasa SMA  yang banyak dihabiskan dengan bertengkar bersama Lili walaupun di sekolah, membuatnya tertawa pelan. Sampai besar pun mereka masih sering beradu mulut.

"Lagi sendiri, Ta?" tanya Leo kemudian.

Grahita yang sedang menikmati suasana macam pasar malam itu menoleh ke arah Leo. Ia mengernyitkan dahinya dalam.

"Sama lo dan Lili 'kan?"

Leo menggeleng, "Bukan. Maksudnya pacar," ujar Leo gamblang. Laki-laki itu nampak santai.

Grahita kembali mengerutkan dahinya dalam, "Kenapa lo tiba-tiba tanya begitu?"

"Halah, Ta! Dia itu modus! Awas kena jebakannya."

Tiba-tiba Lili datang dan memotong obrolan mereka. Gadis itu mencibir Leo. Lalu ia kembali duduk di samping Grahita.

Leo berdecak, "Sialan! Lo menghancurkan usaha gue, Li," sahut Leo dengan wajah kesal. Sedangkan Lili sudah tertawa puas.

"Salah siapa pepet teros kayak bus Sugeng Rahayu? Udahlah, tobat abang Leo terganteng, tapi boong." Lili kembali terbahak.

Leo mendesis. Ia agaknya menyesal ikut dengan Lili. Mengapa gadis itu selalu merecokinya? Ah nampaknya punya kembaran adalah salah satu ujiannya.

"Ta?" panggil Leo.

"Apa?"

"Jangan dimasukin hati ya, Ta? Gue becanda kok, " ucap Leo kemudian tanpa dosanya. Laki-laki itu langsung menunjukkan cengirannya. Siapa sangka dibalik diamnya Leo, Leo adalah laki-laki yang humoris dan agak jahil.

Lili langsung mencibir Leo. Sedangkan Grahita hanya menggelengkan kepalanya pelan. Mengapa ia dikelilingi oleh orang-orang unik? Namun tak ayal ia ikut tertawa dan menikmati suasana yang meriah itu.

.
.
.

Balakosa : Kekuatan

Continue Reading

You'll Also Like

694K 59.7K 30
Epilog dihapus! "Kamu pikir melamar sambil menggendong bayi itu romantis?" tanya Ayyara yang menunjuk bayi di gendongan Rey. Cowok itu menundukkan ke...
2.4M 13K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
1M 85.2K 57
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
29.2K 2.1K 42
"Sa," ucap Xabiru yang membuat gadis di hadapannya itu mendongakkan kepala dan menatapnya. "Kenapa?" "Kamu mau nggak, jadi anggota kartu keluargaku?"...