[✓] Little Boy || One-Shoot

farrasayuvi30 द्वारा

170 17 193

(Commemorating the Dropping of Atomic Bombs on Hiroshima and Nagasaki, on August 6 and 9, 1945) Pada awalnya... अधिक

Opening
Meet Our Cast

August 6, 1945 - August 6, 2025

70 6 174
farrasayuvi30 द्वारा

Hiroshima, August 1, 1945

"Sakebi-kun, otanjoubi omedetou!"

Suara itu berasal dari sebuah rumah sederhana di tengah kota Hiroshima. Rumah yang sederhana, tidak terlalu besar ataupun kecil, dan hanya ada dua kakak beradik yang meninggali rumah tersebut, Sakebi Heiwa dan kakaknya, Inori Heiwa.

"Maaf hanya bisa membelikan kue kecil untukmu. Padahal, onee-chan sudah janji membelikan kue besar seperti yang dijanjikan tahun kemarin ... Sayangnya kita tak mempunyai uang," lirih sang kakak.

Sang adik menggeleng sambil tersenyum. "Aku tidak apa-apa. Yang penting kita masih bisa merayakan ulang tahunku bersama-sama."

"Adik yang baik. Ayo, dimakan kuenya," ujar Inori sambil mengusap kepala adiknya.

"Andai saja aku punya lebih banyak uang, kita pasti bisa memakan makanan yang lebih baik," batin Inori.

Selama ini, mereka mendapatkan makanan dari pemberian tetangga di kiri-kanan rumah mereka, dan Inori juga bekerja di pasar sebagai kuli. Di usianya yang ke 12 tahun, dia sudah bekerja untuk menghidupi dirinya dan adiknya, tentu saja. Tapi melihat kondisi Jepang yang kini sedang berperang dengan Amerika, membuatnya semakin susah untuk mencari uang. Ditambah Amerika semakin gencar untuk memperingatkan Jepang agar segera menyerah.

Jika bertanya di mana orang tua mereka, mereka sudah tak mempunyai ibu dan ayah lagi. Orang tua mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan.

Saat hari semakin malam, Inori menyuruh adiknya untuk segera tidur. Setelah membacakan dongeng kesukaan Sakebi, maka anak itu tertidur pulas setelahnya.

Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, maka dia juga beranjak tidur setelah adiknya terlelap dalam tidurnya.

💣💣💣

Hiroshima, August 2, 1945

Keesokan harinya, saat Inori akan pergi bekerja, terdengar suara dari tetangganya, Tn. Kanemoto, yang sedang membaca koran. Dilihat dari raut wajahnya yang kesal, sepertinya berita yang dilihatnya adalah tentang perang dunia kedua.

"Orang Amerika itu sudah berkali-kali memperingatkan Kaisar. Mengapa pihak pemerintah masih tidak berkutik?" omelnya berkali-kali.

Di saat bersamaan, Sakebi keluar dari rumah, mencari kakaknya. "Onee-chan, sedang apa pagi-pagi begini?"

Inori terkesiap. Biasanya dia akan pergi ke pasar diam-diam saat adiknya masih tidur. Sepertinya pagi ini dewi keberuntungan tidak berpihak padanya.

Dengan nada lembut dia mengatakan. "Kakak hanya ingin berbelanja ke pasar, sekalian membelikanmu sarapan. Jadi, kakak harap kau menjaga rumah baik-baik, atau kau bisa mengajak Yoshinori untuk bermain bersamamu di rumah."

Sakebi mengangguk paham. Untunglah, dia percaya dengan perkataan kakaknya kali ini. Biasanya dia akan merengek minta ikut. Kadang sampai berguling-guling di tanah. Kalau sudah begitu, Inori repot sendiri jadinya. Apalagi jika dia tahu kalau selama ini kakaknya bekerja tanpa diketahuinya, ditambah lagi pekerjaan yang dilakoni kakaknya itu seharusnya adalah pekerjaan laki-laki, bukan perempuan. Bisa tambah rewel dia.

Maka, Inori mulai melangkah menuju pasar. Sejenak melihat adiknya yang duduk-duduk santai di teras rumah yang hanya memiliki lantai. Ditemani ocha dan biskuit sisa kemarin. Hanya itu.

Sang surya mulai meninggi, menandakan bahwa hari semakin siang. Itu juga artinya semakin banyak pekerjaan yang harus dikerjakan Inori. Tadi dia sudah sempat pulang ke rumah, benar-benar membelikan sarapan untuk adiknya, meskipun hanya sebuah onigiri. Itu pun dibelinya setelah menabung uang gajinya selama tiga hari.

Dan saat akan kembali ke pasar, tentu adiknya kembali bertanya. Dia hanya menjawab, akan mencari uang yang banyak untuknya dan Sakebi. Adiknya kembali percaya setelah dia mengatakan itu, lalu dia bisa melakukan pekerjaannya dengan tenang.

💣💣💣

Surya berganti purnama. Inori pulang dengan senang hati, karena gaji yang diberikan bosnya lebih banyak dari biasanya. Sebenarnya bagian Inori memang dilebihkan olehnya, karena melihat kondisi gadis itu, terlebih Inori adalah anak perempuan. Juga fisik dan semangatnya yang cukup kuat untuk anak seusianya.

"Sakebi-kun, tadaima!" Inori membuka pintu. Terdengar suara pintu yang berderik akibat tidak diberi pelumas.

"Ah, onee-chan? Okaeri!" Adiknya menyambut. "Kenapa baru pulang sekarang? Aku sampai takut," ujarnya sambil memeluk sang kakak.

Inori membelai rambut adiknya. "Sudahlah, jangan takut, ya? Kakak sudah pulang sekarang."

"Eung!" Sakebi merasa lebih tenang sekarang.

Setelah membersihkan diri dan makan malam, juga menidurkan adiknya, Inori merenung. Tentang bagaimana jika Jepang terus mengacuhkan ultimatum Amerika. Entah apa yang akan terjadi, karena berdasarkan berita radio, Amerika dan beberapa sekutunya sudah membuat bom atom yang katanya siap dijatuhkan di beberapa tempat di Jepang.

Dia tidak tahu di mana, dan seandainya itu ada di Hiroshima, dia hanya berharap jika ia dan adiknya selamat, tentu saja.

💣💣💣

Hiroshima, August 6, 1945

Sekitar pukul 8 pagi, Inori sengaja untuk tidak pergi bekerja. Dia merasa, ada sesuatu yang buruk jika dia tetap pergi ke pasar.

Maka dia hanya berdua saja dengan Sakebi, sambil bermain dengan Shotaro dan Yoshinori, anak tetangga yang suka bermain bersama Sakebi, tentu saja.

Tak sampai 15 menit kemudian, Shotaro tiba-tiba berseru sambil menunjuk ke arah langit. "Hei, pesawat apa itu di sana?!"

Awalnya semua terlihat biasa saja, akan tetapi ketika mereka semua melihat bahwa pesawat itu menjatuhkan sesuatu, mereka menjadi panik. Tapi tidak terjadi apa-apa, maka mereka menjadi sedikit tenang.

Seketika ledakan besar terjadi. Mereka tak tahu, bahwa benda yang dijatuhkan itu adalah bom atom. Bom yang dikabarkan di radio dan koran benar-benar terjadi, dan salah satunya dijatuhkan di Hiroshima.

Bersamaan dengan itu, pandangan Inori menggelap.

💣💣💣

Sakebi membuka mata. Terlihatlah di dekatnya, mayat dari Shotaro dan Yoshinori yang terbakar habis di depan matanya. Dia bisa melihat sekitarnya dengan jelas sekarang. Dia berada di reruntuhan rumahnya sendiri, badannya tak bisa digerakkan, dan tak jauh darinya, kakaknya terbaring di sana. Maka dia mencoba untuk mengajak sang kakak untuk berbicara.

"Onee-chan, bisa dengar aku?" Kemudian dia melihat ke sela-sela reruntuhan. Langit gelap menandakan hari sudah malam. Apakah dia sudah pingsan selama itu?

Syukurlah jika dia masih hidup.

Sayup-sayup dia mendengar suara kakaknya. "Y-ya ... Kakak bisa mendengarmu, dik. Apa kau baik-baik saja di sana? Aku tak bisa melihatmu ... Kau di mana?"

"Tidak bisa melihat? Apa yang sebenarnya terjadi?" Sakebi bertanya-tanya di dalam hati, sebenarnya apa yang terjadi dengan kakaknya?

Dia menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas. Inori tertindih kayu besar, dan ada kayu yang jatuh tepat di matanya. Sehingga Inori menjadi buta.

"Sakebi-kun ... Sakit ... " Inori melirih.

Sakebi semakin meringis mendengarnya. Dia tak bisa mengatakan hal yang sama seperti kakaknya. Apalah daya, dia juga ingin mengatakan sakit, tapi dia juga tak ingin membuat kakaknya semakin kesakitan. Maka dia mencoba untuk menahan rasa sakit itu sebisanya.

"Siapapun, tolong kami!" Sakebi berteriak sekuat-kuatnya. Berharap ada orang yang mendengarnya.

Dia sering teringat perkataan mendiang ayahnya dahulu. "Sakebi ini anak laki-laki, jangan menangis, ya! Kamu harus bisa melindungi kakakmu..."

Soal melindungi kakaknya itu, dia gagal melakukannya. Kini dia hanya bisa pasrah menunggu bantuan entah dari siapapun itu. Mau dia mati terlebih dahulu juga dia rela, asalkan kakaknya harus selamat.

"Gomen, aku tidak bisa jadi adik yang baik..." Ada sedikit rasa penyesalan di kalimatnya.

"Sudahlah, tidak apa-apa ... " Inori mencoba menenangkan adiknya seperti biasa. Meskipun dia tak bisa melihat keberadaan adiknya saat ini, tapi dia merasa sangat dekat dengan Sakebi. Karena darah lebih kental dari air. Keluarga lebih erat dari apapun itu yang ada di dunia ini.

"Kau tahu dongeng yang sering aku ceritakan setiap malam, kan?" Inori bertanya. Sakebi yang mengenal cerita itu, langsung mengangguk lemah.

"Setiap makhluk mempunyai tempat untuk pulang," jelasnya. Oh tidak, jangan bilang jika dia akan-

"Bagi manusia, mereka hanya memiliki satu tempat pulang, yaitu akhirat. Di akhirat pun mereka juga memiliki dua tempat tinggal yang berbeda, yakni surga dan neraka. Kau hanya perlu memilih ingin tinggal di tempat penuh kebahagiaan atau sebaliknya, kesengsaraan. Tapi itu juga jika dirimu memiliki kebaikan dalam diri. Maka kau bisa memasuki surga."

Sakebi hanya diam, tak ingin memotong perkataan sang kakak.

Inori terus saja bercerita. Sampai akhirnya,

"Sepertinya aku telah menemukan tempatku pulang, Sakebi-kun. Kakakmu ini akan bertemu dengan Mama dan Papa," katanya tanpa beban. Seolah-olah dia akan pergi ke tempat yang jauh dan asing.

"Lalu, apa yang terjadi..." Sakebi penasaran akan kelanjutan ceritanya.

"Ceritanya besok saja, ya? Aku sudah mengantuk ... Jadi aku akan menceritakannya besok. Aku harus tidur. Selamat malam, adikku."

"Selamat malam, kak. Maaf tak bisa menjagamu."

💣💣💣

Hiroshima, August 7, 1945

Cahaya matahari segera menyapa mata Sakebi, yang membuatnya terbangun. Dia juga tak melihat kayu-kayu yang menimpanya semalam. Juga reruntuhan di mana-mana. Dan mayat kedua sahabatnya? Kakaknya? Di mana mereka semua? Di mana dia sekarang?

Sakebi melihat pakaiannya, berwarna biru khas rumah sakit. Setelah mencerna hal-hal yang dialaminya tadi, dia segera menyimpulkan bahwa kini ia berada di rumah sakit.

"Ah, kamu sudah bangun, ya?" Seorang wanita—berpakaian bak dokter, menyapanya. Sakebi mengangguk.

Dokter yang menurutnya baik itu ternyata mengajak berkenalan. "Namaku Myoui Mina, dan aku dokter yang dikirim dari Tokyo. Siapa namamu, anak manis?"

"N-namaku?"

"Iya. Aku ingin tahu siapa namamu."

Mimpi apa dia semalam hingga ada orang yang mengajaknya berkenalan seperti ini. Seorang dokter pula. Bahkan bertemu saja belum pernah. Dia tak berpikir yang aneh-aneh, lagipula umurnya baru 9 tahun.

Sakebi menjawabnya sedikit malu. "Aku Sakebi Heiwa. Salam kenal..."

Di luar dugaan, dokter Mina mencubit pipinya. "Namamu imut sekali! Uh, andai aku bisa menjadikanmu adik..."

Adik? Dia kembali teringat soal kakaknya. "Di mana Inori nee-chan?"

Mendadak air muka sang dokter berubah murung. "Sumimasen, Sakebi ... Kakakmu sudah meninggal dunia tengah malam tadi."

Sakebi sempat berpikir bahwa kabar itu bohong. Akan tetapi seorang prajurit tiba-tiba masuk, dan mengabari Sakebi bahwa jasad kakaknya sudah dikuburkan malam tadi, di pemakaman massal di mana semua hibakusha dimakamkan. Juga saat Sakebi akan berlari ke pemakaman massal tersebut, dia terjatuh dari tempat tidur. Dia melihat kedua kakinya sudah tidak ada.

"Dan soal kakimu ... Kami juga minta maaf."

Sakebi meraung keras, benar-benar tak percaya dengan semua yang dialaminya. Hiroshima dijatuhi bom atom, kakaknya tewas, dan kini dia tak lagi mempunyai kaki. Dia cacat.

Padahal rasanya baru kemarin ia merayakan ulang tahunnya yang ke 9 tahun. Rasanya baru kemarin saat dia bertengkar dengan Shotaro hanya gara-gara mainan. Rasanya baru kemarin ketika dia tercebur ke kolam bersama Yoshinori.

Yah, rasanya baru kemarin dan kini seperti terlewatkan begitu saja.

Pintu ruangan terbuka, dan seorang pria tegap memasuki ruang rawat Sakebi. Dialah Nakamoto Yuta, tentara yang menyelamatkan kedua kakak beradik ini. Inori ditemukan sudah tewas, sedangkan Sakebi masih bernapas, hanya saja kakinya tertindih kayu yang mengharuskannya untuk diamputasi.

"Mina, siapkan kursi roda untuknya. Aku yang akan mengantarkannya ke pemakaman," ujarnya singkat. Dokter Mina buru-buru mengambilkan kursi roda dan Yuta mendudukkan Sakebi di atas kursi roda tersebut.

"Ayo."

💣💣💣

Di perjalanan, mereka bercerita. Tentang Yuta yang kehilangan anak dan istrinya saat bom atom dijatuhkan. Dan dia juga bilang kalau wajah Sakebi sangat mirip dengan anaknya, hanya saja versi perempuannya.

"Paman lucu sekali," komentar Sakebi.

"Benarkah? Oh, kita sudah sampai." Yuta menghentikan kursi rodanya.

Pemakaman massal yang mereka lihat tidaklah pemakaman massal di mana semua mayat korban dikumpulkan dalam satu lubang, dan ini adalah pemakaman pada umumnya.

Setiap orang memiliki nisannya masing-masing di sana.

"Paman, yang itu! Inori nee-chan ada di sana!" Dia menunjuk ke sebuah makam. Benar saja, di nisannya tertulis nama "Heiwa Inori - died from the atomic bomb."

Melihat nisannya sudah cukup untuk membuat hati kecil Sakebi sakit. Dia tak punya keluarga lagi. Bahkan sahabatnya juga sudah pergi.

Memangnya ada yang diuntungkan dari peperangan ini? Tidak ada. Yang ada hanyalah korban jiwa dimana-mana. Kedua pihak juga dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan dia, salah satu korbannya.

Rasanya ingin sekali menyusul keluarganya di atas sana, lagipula dia tak memiliki keluarga lagi. Tapi sepertinya, masih banyak orang yang saling memedulikan satu sama lain.

Sakebi kecil bisa melihat, banyaknya orang-orang di sini, Hiroshima, saling membantu meskipun mereka tahu jika keadaan sangat memprihatinkan. Tak ada yang saling membedakan satu sama lain.

Setelah lama menatap nisan sang kakak, juga mendoakannya, dia berkata. "Paman, ayo kita pulang."

Tapi dia melihat Yuta yang sedari tadi hanya memperhatikannya tanpa melakukan apapun. Maka dia mencoba menghiburnya.

"Paman kenapa? Di mana makam keluarga Paman? Apa mau aku antarkan?"

Yuta menggeleng. "Tidak perlu. Jasad mereka ... Tidak ditemukan. Karena itulah, aku hanya bisa mewakilkannya melalui doamu."

"Kalau itu tidak boleh!" Sakebi berseru. "Kata kakakku, doa itu tidak bisa diwakilkan. Doa itu bisa dilakukan, meskipun nisannya tidak ada. Jadi, paman juga harus berdoa!"

Kali ini sang tentara hanya bisa terdiam, sambil menahan air matanya tumpah. Bagaimana mungkin seorang anak kecil, mengajarinya tentang sebuah hal yang berharga? Bahkan selama ini dia tak tahu pasti apakah doa yang dipanjatkan selama ini bisa tercapai.

"Kau benar, nak. Baiklah, aku akan melakukan seperti yang kau katakan."

Setelah semuanya berakhir, mereka benar-benar pulang. Sebelum itu, Sakebi menatap Genbaku Dome, yang kini hanya tersisa puing-puing saja. Letaknya tak jauh dari pemakaman tersebut.

"Benar kata Mama. Perang bukanlah penyelesaian masalah. Justru awal dari bencana." Sakebi terdiam.

"Nanti kalau aku sudah meninggal, bisakah makamku berada di sebelah makam Inori nee-chan?"

"Tentu, tentu saja. Kau anak yang baik, kau harus mendapatkan tempat khusus."

Sakebi tersenyum. Kini ia tak perlu lagi khawatir. Dia, dan keluarganya, akan bertemu kembali suatu hari nanti. Dia juga berharap anak-anak yang menjadi korban jiwa juga akan bahagia bersama keluarganya.

Teriakan kami, doa kami, ini semua untuk dunia yang damai.

(6 August 1945, finished)

💣💣💣

Hiroshima, August 6, 2025

"Oi, Sekai! Nanti kita bisa ketinggalan bus!" Teriak seseorang kepada kawannya. Terlihat temannya itu hanya merenung sambil terus-menerus menatap ke luar jendela.

Jadi dia mencoba melambaikan tangan di depan wajah temannya itu. "Hei, kamu masih hidup, kan?"

Sekai Heiwa—pemuda yang sedari tadi hanya termenung, menepis tangan temannya itu. "Tentu saja aku masih hidup, kau kira aku ini apa?"

"Apanya yang apa? Bus pariwisatanya hampir berangkat, kamu tidak mau pergi?"

Sontak dia tersadar dari lamunannya. "Benar juga! Ayo, cepat kita pergi!"

"Tadi aku sudah mengajakmu, tapi kau malah melamun, baka."

"Hehe, maaf kalau begitu."

💣💣💣

Hiroshima Peace Monument

Setibanya di sana, kelas Sekai yang sedang mengadakan karya wisata, melihat walikota Hiroshima yang sedang berdiam diri di depan Monumen Perdamaian Hiroshima tersebut. Memang, setiap tahun walikota akan datang ke sana dan mendoakan semua hibakusha yang meninggal akibat bom atom, baik karena ledakan langsung atau meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh radiasi nuklir tersebut.

Tak jauh dari sana, ada Monumen Api Perdamaian, yang dikatakan akan padam setelah semua senjata nuklir dan peperangan hilang dari dunia. Juga ada Children's Peace Monument, sebuah monumen yang dikhususkan untuk anak-anak yang menjadi korban dari bom atom. Berbagai sekolah di Jepang dan seluruh dunia mengirimkan kenang-kenangan untuk anak-anak tersebut. Surat, poster, dan origami yang bertuliskan "Heiwa" yang berarti damai, semuanya ada di sana.

Semua demi mereka. Tempat ini jugalah yang menjadi tempat kesukaan Sekai setiap berkunjung ke sana. Tak lupa membaca kalimat di batu yang berada di bawah monumen itu.

Kore wa bokura no sakebi desu.
Kore wa watashitachi no inori desu.
Sekai ni heiwa o kizuku tame no.

(Ini adalah teriakan kami.
Ini adalah doa kami.
Yaitu, untuk membangun perdamaian di dunia.)

Tiga kalimat sederhana itu mungkin tak berarti apa-apa bagi sebagian orang. Tapi, bagi Sekai, dan mungkin beberapa orang berhati mulia lainnya, tiga kalimat itu mampu membuat mereka menangis.

Seperti biasa, dia juga berdoa untuk anak-anak tersebut. Kemudian kakinya melangkah menuju ke pemakaman hibakusha.

Setibanya di sana, dia membuka suara. Sambil mencari sebuah nisan, dia berujar. "Oji-chan, aku datang lagi. Kali ini hanya aku sendirian. Aku juga akan menjenguk Inori ba-chan, sesuai yang sering ayah katakan."

Saat menemukan nisan yang dituju, Sekai membaca nama yang tertulis di atasnya. "Sakebi Heiwa, 1 Agustus 1936—6 Agustus 2010."

Kembali membaca tanggal kematian sang kakek, dia tersenyum getir. Itu adalah tanggal kelahirannya. Tepat 65 tahun setelah dijatuhkannya bom atom di kota kelahirannya.

"Ayah bilang, aku sangat mirip denganmu. Sayangnya kita tak pernah bertemu, karena kau sudah pergi saat aku lahir. Tapi, aku memaafkan mereka, Kek. Yang berlalu biarlah berlalu. Aku hanya berharap perdamaian akan selalu ada di dunia ini." Hening sejenak. Sekai tak bisa berkata-kata lagi, air matanya tumpah.

Seseorang memanggilnya. Itu Haruto, juga Asahi, mereka adalah teman-temannya. "Kamu habis menangis? Tadi Sensei mencarimu," kata Asahi.

Sekai menyeka air matanya. "Tidak, siapa yang menangis? Aku hanya kelilipan debu," elaknya. Padahal memang benar dia menangis.

"Ayo, Sensei menyuruh kita untuk pergi ke museum. Bagaimana menurutmu?" Haruto bertanya.

Sekai menggeleng. "Aku pikir aku akan di sini saja dulu. Nanti aku menyusul."

Kedua temannya bertatapan, kemudian mereka bergantian menatap Sekai. Asahi berbicara, mewakili Haruto. "Ya sudah, nanti kalau kamu dimarahi oleh Momo Sensei, aku akan tertawa paling keras!"

Mereka berdua menuju museum. Sementara Sekai? Dia tak tertarik. Museum hanya akan membuat hatinya semakin perih. Karena, kisah kakeknya ada di sana. Dan seluruh Hiroshima mengenal keluarga Heiwa karenanya.

Sakebi Heiwa, seorang anak lugu yang bahkan tak tahu arti dari sebuah kematian. Dia kehilangan dua kakinya saat ledakan, dan kakaknya Inori Heiwa, meninggal karena terjebak reruntuhan.

Sampai usia tuanya, ketika cucunya akan lahir, dia mendadak sakit keras. Katanya karena efek radiasi nuklir. Anehnya berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, tak ada sisa-sisa radiasi pada tubuhnya.

Sayangnya setelah perawatan di rumah sakit, dia akhirnya meninggal. Bertepatan dengan hari kelahiran sang cucu.

Sekai sudah sering mendengar kisahnya. Terkadang merasa miris, tapi juga merasa bangga. Makanya dia tak ingin ke museum itu. Sangat sulit untuk melihat semua peninggalan para korban bom atom itu.

"Kalau aku mau, aku ingin menghilangkan senjata nuklir dari dunia ini. Aku hanya menginginkan dunia yang damai." Dia berdehem, membenarkan suaranya. "Tapi masih ribuan langkah lagi sebelum aku bisa melakukan semua itu. Bukan hanya Jepang, melainkan seluruh dunia. Seperti namaku."

Beranjak dari pemakaman itu, kelihatannya dia sudah puas mengenang semua itu. Harapannya, tentang dunia yang damai, tak akan pernah hilang. Barangkali, ada seseorang di belahan dunia lain yang berpikiran sama dengannya.

Dia tak sendirian. Dia yakin begitu.

Karena kita semua dihubungkan oleh satu kesatuan, tak peduli apapun ras, golongan, asal, dan semuanya.

Semuanya, hanya untuk dunia yang damai.

"Teriakan kita, doa kita, untuk dunia kita yang damai."

THE END✨

Huaaaaaaaaa, akhirnya aku bisa nulis one shoot!

//sujud syukur

Aku harap kalian suka<3

Kosakatanya nanti, di chapter selanjutnya;b

Ja, matane!

-Meiko, si penggemar cola dan potato chips

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

KASHMIR B.O.S🚀 द्वारा

ऐतिहासिक साहित्य

382K 24.9K 121
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...
1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
Laksana Angin Bagaikan Hujan SKIA द्वारा

ऐतिहासिक साहित्य

28.8K 6K 9
Sebagai gadis malas yang lebih suka duduk bahkan jika disuruh berdiri, Serayu merasa aturan wanita bangsawan tidak cocok untuknya. Karena itu, ketika...