Siapa dia, Mas?

5.6K 337 6
                                    


Aku terbangun dari tidur yang entah mengapa terasa tak nyenyak. Malamku dipenuhi bayang-bayang akan permintaan Mas Rizki. Refleks mataku melirik ke arahnya yang masih mendengkur halus. Kuputuskan untuk mandi, berwudhu, dan langsung menunaikan dua rakaat.

“Mas, bangun.” Aku menepuk pelan bahunya. Biasanya, hal-hal romantis akan kulakukan untuk membangunkannya. Tapi tidak pagi ini. Ucapannya kemarin malam terus terngiang-ngiang di telinga.

“Mas, bangun!" Intonasi suara mulai meninggi. Rasa lembutku sudah hilang bersama dengan hati yang telah terluka. Mas Rizki melenguh.

“Bangun atau Mas akan mandi di sini?” ancamku. Mas Rizki sontak duduk lalu memandangku heran.

“Aku akan membimbing kalian berdua." Kutiru ucapannya kemarin malam. “Salat Subuh saja kamu malas, Mas. Bagaimana mungkin bisa membimbing dua istri?” Pertanyaan itu keluar juga. Mas Rizki terlihat gugup, lalu bergegas bangun.

“Maaf, Sayang. Mulai saat ini, mas akan mencoba untuk bangun lebih awal,” tukasnya sambil tersenyum manis. Dulu, senyum itu terlihat begitu menawan di mataku. Sekarang rasanya tidak lagi. Hambar!

Aku meninggalkannya dan bergegas turun ke dapur. Nasi goreng menjadi pilihanku pagi ini. Tangan dengan lihai meracik bumbu dan mulai menggoreng nasi. Tak lupa telur mata sapi, irisan timun dan tomat, serta bawang goreng di dalam mangkuk kecil. Hm ... keliatannya enak sekali jika sudah dipadukan.

Putra putriku bagaimana ya kabarnya? Sudah bangun atau masih nyaman dalam tidur lelap.

Kaki mulai menapaki anak tangga satu-persatu. Membuka pintu kamar yang terukir nama keduanya. Perpaduan biru dan pink menyatu menyambut mata. Aku menyapu pandangan. Terlihat Dimas sulungku dan Maira si bungsu masih tertidur pulas. Wajah damai mereka bak oase di tengah panas.

Maafkan mama, Nak. Ayah kalian ingin memberikan mama madu yang begitu pahit terasa. Mama belum cukup kuat untuk menerimanya.

Maaf jika setelah ini, kalian harus kehilangan sosok ayah. Mama tak bisa bersama ayahmu jika di hatinya ada wanita lain. Mama takut tak bisa berbakti. Mama takut berdosa sepanjang mama tak bisa bersikap manis lagi.

“Dimas, Maira, shalat subuh dulu, Nak,” ucapku sambil menepuk pelan pipi keduanya secara bergantian. Dimas melenguh, disusul putriku Maira.  Keduanya mengerjap-erjapkan mata berusaha menyesuaikan dengan penerangan.

“Ayo, shalat dulu. Setelah itu kita sarapan,” ucapku semangat.

“Iya, Ma. Maira, Kak Dimas duluan ya.” Dimas berlari ke kamar mandi meninggalkan si bungsu Maira yang terlihat mencebik. Mereka memang apa-apa berlomba. Aku tertawa dalam hati.

“Makanya, bangunnya harus cepat. Masa tiap hari, Maira terus yang bangun lama.” Aku terkekeh melihat wajah imutnya yang sedang kesal.

“Besok mama harus bangunin Maira dulu. Baru deh Kak Dimas. Janji ya?” ucapnya sambil menyodorkan jari kelingking. Aku mengulum senyum, lalu menautkan jari kelingking dengannya.

“Janji!”

***

Aku memperhatikan mereka yang tengah shalat. Wajah-wajah imut mereka begitu mendamaikan. Dua malaikat kecil ini adalah hadiah yang tak ternilai harganya. Mereka berdua yang menjadikan aku semangat setiap harinya. Mengubah rasa lelah menjadi helaan napas lega.

Selesai shalat, kami bergegas menuju meja makan. Mas Rizki sudah ada di sana lengkap dengan seragam kerjanya. Aku memilih duduk di dekat anak-anak, dan mengabaikan kursi kosong di sampingnya. Kuabaikan tatapan bingung darinya lalu menuangkan nasi untuk Dimas dan Maira.

Mas Rizki belum juga memulai ritual sarapan. Mungkin berharap diri ini mengambilkannya nasi seperti biasanya. Huft.

“Mas bisa ambil sendiri, kan?” tanyaku. Mas Rizki tersentak, kemudian mengangguk dan mulai mempersiapkan nasi untuknya.

Cinta yang Ternoda (TAMAT)Where stories live. Discover now