Bab 32 Dokter dan Calon Dokter

Start from the beginning
                                    

“Izin, Kek,” ucap Mas Dama layaknya anggota ke atasannya.

“Ya, ya, Mas, silakan. Hati-hati bawa mobilnya, ya? Jangan ngebut seperti Ellea tadi. Saya sampai keringat dingin, Mas,” adu Kakek.

Alamak, kenapa Kakekku mirip emak-emak yang lagi belanja sayur sih? Ember dan rempong banget sih. Alamat diomelin Mas Dama deh aku bentar lagi.

“Sopan nggak kayak tadi?” tanyanya dingin tanpa menatapku.

Dengan malu-malu dan meremas ujung baju aku memutar-mutar bola mata serba salah. “Nggak sopan.”

“Terus kenapa kayak gitu sikapnya?”

“Habis nggak suka dikepoin Kakek,” jawabku pelan.

“Apa salahnya? Adek malu mamerin Mas ke beliau? Karena Mas tua?” tudingnya dengan melirikku.

“Nggak!” seruku sambil mengibaskan tangan. “Sama sekali. Aku nggak mau kita ngobrol lama karena udah kangen Mas.”

“Alasan itu terus. Ngobrol bentar apa salahnya? Toh kami nggak pernah ketemu,” belanya.

“Iya deh, salah,” ucapku pasrah. Malas debat saat kangen-kangennya.

“Maaf, ya, Mas?” ucapku lagi.

“Kamu ngebut lagi tadi?” alihnya yang tetap mengaduk hatiku.

“Emangnya salah, Mas? ‘Kan di tol,” jawabku ngeles.

“Minta ampun, nanti aku cabut juga SIM-mu, ya!” ancamnya ceriwis.

Kusentuh pipinya dengan lembut. “Karena aku udah kangen berat, Mas. Kalau Mas Dama ceriwis pasti lagi kangen juga, ‘kan?”

Dia menatapku lekat. “Memang mantan playgirl kayak gini, ya? Pintar nyuri hati.”

“Apa Mas membenci masa laluku?” Kugigit bibir mencoba imut.

“Anak nakal!” Dia mencubit pipiku dengan keras hingga aku mengaduh.

“Sakit, Mas,” aku mendesis sambil mengelus pipi.

“Rasain! Emang enak gagal modus,” ceplosnya judes.

Geleng-geleng kepala. Mungkin cuma Mas Dama yang buta sama semua pesonaku. Mau dirayu model apa kalau dia nggak mau nanggepi ya mental semua. Kalau ketemu memang gini kok, resek.

“Kita mau ke mana nih?” tanyaku saat mobilnya berhenti di lampu merah.

“Mau ngabisin uang atau waktu?” tanyanya balik.

“Apa?” desahku tak percaya.

“Tentukan target, cepat!” suruhnya ala pak tentara.

“Pak tentara punya solusi untuk calon dokter yang suntuk, nggak?” tanyaku sambil mengeluarkan modul tebal dari dalam tas kanvas di pangkuan. “Taraaa!”

“Elleanor, kenapa kamu bawa tugas saat kencan, Sayang?” pekiknya tanpa ampun.

Nyengir tanpa dosa. “Salah sendiri Mas Dama nyebelin dari tadi. Nggak mau balas pelukan atau rayuanku. Ya udah, kutinggal baca buku aja!”

Wajah Mas Dama kacau, seperti ingin menimpukku tapi nggak bisa. Akhirnya, mobil ini berjalan lagi tanpa tujuan. Sampai pada akhirnya, aku mengenali jalan di depanku arahnya ke mana. Kalau nggak salah, ya, bener, kami akan menuju jalanan selatan Malang. Pasti rumah kesayangannya, ya, tempat pantai kesukaanku berada.

“Asyiiik!” pekikku bahagia.

Dia hanya tersenyum tanpa suara. Tanpa kalimat selain hanya sebuah sentuhan di puncak kepalaku. Walau dia kesal karena buku tebalku ikut kencan, tapi Mas Dama adalah manusia yang selalu membanggakanku.

“Anak manis,” pujinya sambil mencium punggung tanganku.

Untung udah kusemprot parfum mobilnya Kakek tadi. Nggak bau rumput laut lagi, cemilanku saat ‘mengerjai’ kakek di tol tadi. Siapa yang nyangka kalau tetiba disun sayang sama sidia. Gini amat hatiku mekar sempurna. Dia manis walau tanpa banyak rayuan.
---

Matahari mulai lengser ke barat saat aku dan dia berjalan beriringan di pantai tenang ini. Kami bergandengan tanpa banyak bercakap. Meresapi lamunan masing-masing dan debur ombak. Untung tak terlalu panas karena sedikit mendung, sehingga terasa nyaman walau masih pukul setengah tiga sore.

Ia melepas atasan seragamnya. Hingga menyisakan celana loreng yang digulung dan kaos tipis, membuat siluet wow dari dada dan perutnya. Cowok yang hobi olahraga itu selalu punya pemandangan yang menarik. Dia nggak pengen periksa anatomi atau apa gitu, ya? Sukarela aku sih, oops.

Kami tak masuk ke rumahnya karena kosong. Sepertinya Bu Kasih dan Pak Yaksa sedang keluar. Anak semata wayangnya tak membawa kunci cadangan. Baiklah, dengan begitu kami bisa pacaran. Menikmati ombak berbuih ini dengan mesra.

Senja dan RenjanaWhere stories live. Discover now