Gusti terkekeh geli melihat muka istrinya saat tidak lama kemudian mulai meneguk minumannya—yang mana jelas terlihat sedang menahan muntah saat nggak sengaja menoleh ke cermin. Serasa diingatkan kembali pada ucapannya sendiri tadi.

"Kamu mah terlalu mini dan terlalu imut buat jadi sapi, Is." Dan karena sadar posisi Iis mulai terlalu jauh di seberang, Gusti segera mengulurkan tangan untuk mendekapnya lagi setelah mengembalikan gelas di tangan istrinya ke nampan. Kali ini mendudukkannya di pangkuan, menghadap dirinya, biar nggak usah ngeri melihat cermin lagi. "Btw, main scenario aku emang di kamar terus begini kok, selama seminggu penuh. Yang lain-lain cuma backup plan aja, kalau-kalau kamu ngambek."

"Dih." Iis mencubit kedua pipi suaminya dengan kesal.

Gusti mengaduh. Mau balas mencubit, takut pipi Iis yang kayak bakpau nanti malah jadi kempes dan berkurang imutnya. Akhirnya dia hanya bisa mengelus-elus itu bakpao dengan sayang.

"Don't touch my face." Iis refleks menjauhkan diri. "Tangan kamu jijay."

"Lah? Jijay gimana? Kan udah kerendem air dari tadi."

"Just don't. Airnya juga udah jijay. Nanti aku jerawatan."

"Okay, okay."

Gusti terkekeh geli sambil menggeleng-gelengkan kepala. Manut saja.

Melakukan dengan menormalisasi setelahnya tentu butuh effort yang berbeda bagi istrinya. And that's okay. One step at a time, lah.

Kemudian, kelar dengan semua urusan primer, keduanya lalu segera pergi ke resto, dan baru ingat kalau belum reservasi sebelumnya. Tapi untung, masih kebagian meja, biarpun kurang strategis. Di rooftop. Dekat tangga turun. Terlalu banyak lalu lalang pengunjung lain.

"Besok kita sailing ama snorkeling di Anse Chastanet, abis itu move ke Sugar Beach, yang lebih deket ama Piton?" Iis bertanya sambil membolak-balik buku menu. Mencari-cari menu yang kira-kira belum pernah dia pesan.

"Yep."

Gusti manggut-manggut, sambil memandangi buku menunya sendiri.

"Kalau gitu besok sebelum checkout, ingetin beli oleh-oleh cokelatnya, ya."

"Okay."

Selesai dengan pilihan menunya, Iis jelalatan memandang sekeliling resto yang lagi ramai. Juga ke sekeliling resort yang dari tempatnya duduk bisa kelihatan semua sampai jauh sampai ke langit berbintang yang berbatasan dengan laut.

Dia nggak seromantis Gusti, dan nggak gampang terpesona oleh view. Karena itu dia jadi rada-rada merasa bersalah. Berasa nggak bersyukur banget, udah dibawa pergi jauh-jauh, ngabisin tabungan suami, responnya masih aja lempeng.

Dan kemudian pandangan Iis tidak sengaja jatuh pada sosok familier di kejauhan. Di salah satu sky bridge dari sisi bangunan yang berlawanan dengan suite mereka. Sedang berjalan ke arah resto juga.

Posturnya. Cara berjalannya. Semuanya familier.

"Kayaknya aku udah kangen banget ama Onta, deh. Masa dari tadi berasa ngelihat dia mulu." Iis menggumam.

Gusti menggerutu. "Masa lagi honeymoon, kamu malah kangen sama cowok lain, sih?"

"Sejak kapan Onta jadi masuk kategori 'cowok lain'?" Iis cuek bebek, kembali menoleh ke sky bridge yang tadi. Dan objek yang dia perhatikan tadi, kini berjalan semakin dekat.

"Sejak saksi nikah kita bilang 'sah'." Gusti menyahut lagi.

Iis ketawa singkat.

Tapi makin dekat posisi orang yang sedang dia pelototi itu, makin mirip juga dengan teman yang sejak kemarin selalu mereka berdua bicarakan. Gaya rambutnya. Mukanya.

"Tapi mungkin nggak sih, Onta beneran nyusul ke sini?"

"Dalam rangka jadi notulis, nyatet per harinya kita kuat berapa ronde? Mungkin aja." Gusti ngebanyol. "Coba kamu inget-inget, udah berapa kali kamu kalah KO?"

Iis berdecak. Mengulurkan tangan untuk mencubit lengan Gusti kuat-kuat. Saat Gusti mengaduh sambil mengangkat muka, dia tidak sengaja menoleh ke sky bridge yang sedari tadi dipandangi istrinya. Seketika itu juga dia ternganga.

"Lah, si bangsat nyusul ke sini!"

"Kan, Onta beneran!" Iis tidak bisa lagi menahan tawa.

Memang, Zane bisa-bisa saja menyusul, kalau mau, dan kalau punya waktu, karena St. Lucia memang nggak terlalu jauh dari NYC—cuma terbang empat jam lebih. Tapi saat hal itu menjadi kenyataan, tetap saja Iis dan Gusti berhasil dibuat takjub. Tuh orang bener-bener kurang kerjaan apa gimana?

"Mas Agus!"

Dan belum kelar Gusti dibuat terkaget-kaget karena menemukan sosok tidak diharapkan, satu hal lain lagi membuat dia jadi lebih terkejut lagi.

Dikenali dan dipanggil namanya di antah berantah itu rasanya jadi pengen menghilang saja! Frustasi. Udah pergi jauh kok ya masih bisa ditemukan?!

Gusti menoleh, makin ternganga lebar.

"Ternyata di sini juga? Kirain di Ladera."

Iis memandang tamu tak diundang mereka dengan penuh tanya.

Cewek cakep, tapi dia nggak kenal.

Melihat dandanannya yang super santai dengan celana training kebesaran dan crop tank top yang mempertontonkan udel serta pinggang rampingnya, Iis menebak umurnya kisaran awal dua puluhan.

Berambut cepak sepundak, dijepit berantakan. Muka dan seluruh kulitnya yang terpampang nampak super glowing. Sekilas posturnya sebelas dua belas dengan Sabrina, ala-ala catwalk model gitu, tapi versi lebih muda, lebih atletis, dan lebih sering sunbathing.

Gusti bangkit dari kursinya. "Kenalin, Is. Adiknya Rachel. Renita."

Okay. So this girl is the famous Renita.

"Iis." Iis ikut bangkit berdiri. Mesem. Menyambut uluran tangan sang tamu. Pasang wajah ramah. "I don't know, udah pernah disebut-sebut sama Zane atau Mas Agus apa belum, but I do know you."

"Reny, Kak." Lawan bicaranya tersenyum sama ramahnya. "Of course, they talked a lot. A dirty one—most of the time. Boys can't keep secrets."

"Kapan nyampe sini?" Gusti langsung menginterogasi, memutus basa-basi kedua cewek itu.

"Barusan banget." Yang ditanya menjawab santai, melambaikan tangan ke arah belakang Iis.

Dan tau-tau Zane muncul dengan tampang tanpa dosa.

"Gue udah minta disiapin tempat buat enam orang," ujar jelmaan onta gurun itu, sama santainya, seolah-olah mereka bertiga lagi outing Relevent, dan dia bukan sedang menjadi crasher di honeymoon orang.

"Siapa aja enam orang?" Gusti bertanya seperti orang bego. Dan sebelum pertanyaannya itu terjawab, dari arah tangga sudah muncul Bimo dan Rachel. "Asyem. Gue udah jauh-jauh ke sini, masih aja disusulin."

Rachel terkekeh geli. "To be honest, ini gue lagi sister trip aja, sih. Berhubung deket, temen-temen lo pada nyusul."

Mendengar semua itu, lalu melihat muka ngenes Gusti, Iis cuma bisa ketawa-tawa bego. Antara kasihan pada sang suami, kesal pada teman-temannya, serta agak lega juga karena mendapat intermezzo setelah melewati hari-hari yang cukup intens, yang membuatnya sempat khawatir bakal mengalami post wedding blues.

"Jangan cemberut gitu kali, Gus. Cuma makan bareng ini, bukan ngajakin tidur berjamaah di sanctuary kalian." Onta ngoceh sok imut begitu meja untuk enam orang mereka telah disiapkan, kali ini lebih strategis, menghadap ke pool yang ada di lantai di bawahnya. "Btw, pergi honeymoon sejauh ini, agenda utama kalian nggak keganggu ama jetlag, kan ya? Kalau boleh tau, nanti malem udah masuk babak keberapa?"



... to be continued


WEDDING BRUNCH [COMPLETED]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें