prolog.

11 1 0
                                    

Elswyth memacu langkahnya menuju rumah-rumah kecil di ujung jalan setapak. Kakinya terseok; hampir limbung. Gadis itu akan terjatuh jika saja tangannya tak cepat meraih pagar rumahnya. Ia tersenyum melihat gadis lain keluar dengan langkah tergesa-gesa sambil berteriak, "Kau ini dari mana saja, ha—Ya ampun! Kakimu kenapa?! Sudah kubilang jangan suka lari-lari! Apa lagi sekarang? Jatuh di parit? Tertimpa tangga? Diseruduk lembu? Terkena rumput duri? Ter—"

"Eostrë!" seru Elswyth. Kepalanya sudah berdenyut mendengar gadis cantik di depannya bicara. Ia kembali meringis saat tangan Eostrë menyentuh luka yang belum kering. Lalu, ia kembali berjalan mengabaikan Eostrë yang melempar saputangan yang ia bawa.

"Hei, aku lebih tua dari kau, bocah!"

Elswyth memaksakan sebuah senyum lebar. "Baik, baik. Kakak Eostrë yang cantik, kaki Elswyth sakit sekarang. Jadi, bisakah Kakak jangan mengomel lagi? Kepala Elswyth sudah pusing akan bertambah pusing jika Kakak mengomel," racau Elswyth sembari mengerucutkan bibirnya.

Eostrë memutar bola matanya malas. Kepalanya yang akan pening jika adiknya meracau dan memasang wajah sok menggemaskan seperti itu. Ia pergi dan kembali membawa bokor berisi air dan saputangan.

"Apa lagi sekarang? Jatuh dari pohon?"

"Kakak," panggil Elswyth.

"Apa?"

"Kakak tahu tidak? Kenapa jarang sekali orang yang pergi ke Jötundyr?"

Eostrë mengangkat bahunya. "Tidak tahu. Bukannya hutan itu milik keluarga bangsawan?"

"Siapa?"

Eostrë mengangkat bahunya. "Entahlah, aku lupa," gumam gadis itu. Ia membereskan kain merah bekas noda darah yang barusan ia pakai untuk membersihkan luka Elswyth. "Kenapa kau bertanya?"

"Kau tahu, Kak," ucap Elswyth memulai cerita. "Ternyata di sana ada monster hitam, entahlah, bentuknya seperti beruang madu tapi lebih besar. Kakak tahu nyanyian setiap pagi di penjuru Mandos? Itu nyanyian monster itu! Wah, dia sangat mengerikan. Dan cakarnya sangat runcing. Aku menduga dia juga punya sayap walaupun aku tidak melihat punggungnya secara lang—"

Eostrë mendelik. "HEI! KAU BERTEMU MONSTER?!"

"Diam dulu, Kak."

"DIAM BAGAIMANA?! KAU BERTEMU MONSTER DAN KAU PULANG DENGAN TANGAN-KAKI BERDARAH!"

Elswyth mengibas-ngibaskan tangannya, mencoba menenangkan kakaknya meski gadis itu tahu usahanya sia-sia. "Aku memang bertemu, tapi aku berhasil mengusirnya. Dan aku tidak mati. Ini cuma luka kecil."

"Luka kecil bagaimana?!" sergah Eostrë. Ia sungguh tidak paham bagaimana cara untuk memahami pikiran adik nakalnya ini. "Dan kau bertemu monster di Jötundyr. Berarti kau membolos sekolah lagi, ha?!"

"Kak ... bukan seperti itu. Hari ini ada beberapa bangsawan yang berkunjung dan sebagian murid memang diliburkan," jawab Elswyth dengan sungguh-sungguh. Gadis itu berusaha tidak berkedip agar kakaknya percaya.

Sementara Eostrë kembali memutar bola matanya. Ia mendengus pelan dan melenggang pergi.

.

.

.

Seperti pagi sebelum dan sebelumnya di Mandos. Kota ini selalu memiliki pagi yang kelewat hangat. Para petani di ladang menyeka keringat yang muncul di dahi-dahi mereka.

Mornië utúlië ....

Ah, nyanyian itu lagi.

Eostrë menoleh ke arah pegunungan sebelum kembali mencabuti daun-daun teh yang sudah matang. Seorang pemuda berlari ke arahnya dengan napas tersengal.

"Eos ... Eostrë. Apa ... hah, hah ... adikmu ... tidak apa-apa?"

Eostrë tersenyum simpul. Tangannya masih giat memetiki daun teh. "Tenangkan napasmu dulu, Tuan Yorkshire."

Wajah pemuda itu memerah. "J-jangan panggil aku seperti itu." Ia beralih muka kepada daun-daun teh dan ikut mencabutinya.

Eostrë tersenyum lagi. "Lalu apa? Tuan Muda Carlyle?"

Yang dipanggil diam saja. Ia masih menekuni kegiatan memetik daun teh. "Carl. Hanya Carl," katanya kemudian.

"Baiklah, Carl. Adikku baik-baik saja. Sudah kuduga beritanya akan cepat menyebar seperti ini. Dan satu lagi. Seorang duke tidak bekerja memetik teh seperti ini." Eostrë membungkuk, lalu mengangkat keranjang ke pinggangnya. "Keranjangnya sudah penuh, Tuan. Terima kasih sudah membantu."

Dan gadis itu berjalan pergi.













Eostrë membawa keranjangnya kepada pengepul di lereng gunung. Ia tersenyum sejenak pada gadis-gadis yang dijumpainya.

"Kau tahu? Monster itu konon lebih besar dari seribu banteng!"

Suara itu merebut perhatian seluruh orang yang ada di sana. Gadis berkepang dua muncul di balik pilar dengan sorot mata sungguh-sungguh, "Ia merupakan keturunan dari centaur pendahulu dengan seorang penyihir."

Eostrë melengos mendengar itu.  Mandos, Austyr, adalah tempat terbaik untuk melebih-lebihkan cerita. Lihatlah sekarang, para perempuan sudah berkerumun mendengar cerita itu.

Eostrë menegakkan badannya saat keranjangnya kembali kosong. Ia harus kembali bekerja agar pulang cepat.

"Ah, itu dia! Nona Nestoriél!" gadis berkepang dua tadi sudah berada di depan Eostrë dan menarik tangannya menuju kerumunan.

"Ceritakan tentang adikmu. Apa benar monster itu memiliki kekuatan sihir?" tanyanya langsung.

Eostrë hanya tersenyum kikuk. Apa-apaan itu tadi. Dia bahkan tidak menanyai kabar Elswyth, batinnya.

"Ah, aku tidak tahu. Elswyth tidak bicara lebih semalam. Ia hanya bilang kalau ia bertemu monster di Jötundyr. Hanya itu." Oh, akhirnya ia bicara juga.

Gadis berkepang dua menatapnya heran. "Nona, ayolah cerita kepada kami. Kami tahu Elswyth bicara lebih dari itu. Ayolah ... kami tidak akan bicara kepada siapa pun."

Eostrë memaksakan senyumnya. Tidak akan bicara kepada siapa pun, katanya? Tentu saja ia bukan orang bodoh. "Kalian temannya Elswyth, bukan? Kenapa tidak bertanya pada dia saja?"

.

.

.

Elswyth mendudukkan dirinya di atas batu besar di tepi tebing. Ia menenangkan dirinya dengan susah payah setelah adu lari dengan semua orang di Mandos. Tidak mudah baginya untuk keluar rumah hari ini. Semua orang yang ditemuinya terus-menerus menginterogasi soal "monster" itu.

Ia tertawa pelan. "Mudah sekali ditipu." Ia menepuk-nepuk gaunnya yang kotor karena sempat terkena lumpur.

Austyr adalah rumor. Berbagai cerita demi cerita mengelilingi kerajaan ini tanpa bukti yang mengikuti. Setiap hari pasti ada saja yang berkerumun di ladang gandum, di alun-alun kota, di lereng bukit, di gang-gang sempit. Mereka bicara mendengung-dengung seperti lebah.

Jika kau bercerita hal besar hari ini, besok tidak akan menjamin bahwa cerita itu masih sama dengan yang kauceritakan kemarin. Rakyat Austyr sangat pandai menambahkan hiperbolis. Semua cerita itu terbentuk sebagai adat: sesuatu yang harus dijaga dan diturunkan dari waktu ke waktu.

Dan di sinilah Elswyth. Ia merebahkan tubuhnya sedang tangannya menumpu kepala. "Monster ... monster ... mereka mudah sekali percaya."

Gadis itu menyilakan kaki kirinya. Ia bersiul pelan. Para burung pipit beterbangan di atasnya. Ia memejamkan mata dan mulai bernyanyi.

Mörnie alantië ....

[Tbc.]

Mandos: ibu kota Austyr.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 29, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

NORTHWhere stories live. Discover now