1 - Somewhere, But Where?

12.9K 986 19
                                    

Iya, benar. Sekarang suara ombak itu nyata, terdengar lebih jelas. Juga aroma lavendernya.

Pengharum ruangan di atas jendela besar itu berdesis, mengeluarkan lagi aroma lavender yang segar. Oh, jadi asalnya dari sana.

Lyra lantas mengerjap, menatap sekitar. Ia di dalam ruangan bercat putih yang luas, mungkin ukuran 7x10 meter. Pintu ada di sebelah kanan dari tempat Lyra berbaring, dengan rak-rak buku tinggi yang juga berwana putih di sisinya. Ada sebuah sofa 3 dudukan dari beludru berwarna nude, dan meja kaca kecil di sebelahnya.

Sementara sebuah jendela besar ada di sebelah kiri Lyra. Jendelanya hanya terbuka sedikit, sehingga tirai putihnya berayun-ayun ditiup angin. Di luar sana tampak halaman yang luas, dengan dikelilingi pulau kelapa.

Di seberang ruangan, atau kamar itu, ada meja putih panjang setinggi pinggangnya. Di atasnya, menempel pada dinding, sebuah tv pintar berukuran 40 inchi.

Kamar ini, sudah jelas bukan kamarnya. Lalu kamar siapa?

Belum juga Lyra menyadari seutuhnya dimana ia berada, pintu di sebelah kanan terbuka.

2 anak kecil yang membukanya, laki-laki dan perempuan berusia 4 tahun, terdiam selama sedetik. Sebelum akhirnya mereka berlari mendekat dengan wajah ceria, campur menangis.

"Mama!"

--

2 anak kecil itu mengingatkan Lyra pada peri kecil di mimpi abstraknya barusan.

Lyra mengamati wajah bahagia itu yang sedang memeluknya di kiri dan kanan. Mereka benar-benar seumuran. Mata mereka tampak mirip satu sama lain, juga cara mereka tersenyum. Mereka seperti anak kembar.

Lyra betul-betul kagum dengan 2 wajah bak malaikat itu.

"Mama kenapa baru pulang?"

"Kenapa Mama tidur lama sekali?"

Eh? Lyra mengerjap. Kenapa mereka memanggilnya Mama? Lyra tidak ingat ia pernah melahirkan. Ia bahkan tidak ingat kalau pernah menikah.

Atau dalam mimpinya tadi, ia betulan mengenakan gaun pengantin merah dan menikah?

Tapi Lyra tidak ingat. Sepertinya otaknya sedang eror. Jadi Lyra menepuk jidatnya beberapa kali, berharap mengingat sesuatu. Tapi nihil. 2 anak kecil itu justru menahan tangannya dengan panik.

"Jangan, Mama, nanti sakit," ujar yang perempuan, lantas menoleh ke saudaranya. "Evan, cepat panggil Papa."

"Kamu saja, aku mau sama Mama." Evan langsung memeluk Lyra dengan erat, mengabaikan decakan kesal saudarinya.

Lyra baru menyadari bahwa keduanya memiliki rambut hitam yang bagus, sehat, dan lembut. Yang perempuan rambutnya ikal menggantung seperti boneka. Tangan Lyra secara impulsif terulur untuk mengelusnya, dan rambut itu halus sekali. Lyra jadi ingin menyisir rambut itu nanti.

"Mama, aku juga mau dielus!" Evan protes, menatap Lyra dengan cemberut. Tangan kecilnya memeluk pinggang Lyra, membuat wanita itu tertawa. "Ale, cepat panggil Papa!"

Anak perempuan itu, Ale, bergegas dengan wajah cemberut. Evan meraih tangan Lyra untuk ditaruh di atas kepalanya. "Rambutku juga halus kan, Mama?"

Lyra mengangguk. "Iya, rambut kalian lembut. Mama suka." Yang kuucapkan barusan seperti bunyi iklan.

Lyra bahkan baru sadar bahwa ia bahkan menyebut dirinya Mama, seolah menyetujui situasi yang masih terasa asing itu.

Evan tersenyum lebar, menyamankan posisi di pangkuan Lyra yang sudah duduk. "Aku rindu Mama. Ale juga rindu Mama," ujarnya. Manik obsidiannya menatap Lyra dengan sedih. "Mama tidak rindu kami?"

"Mama, , Mama juga rindu kalian." Lyra menelan salivanya susah payah, tidak bisa membayangkan kalau ia bilang tidak rindu karena sebenarnya tidak kenal dengan 2 bocah berwajah malaikat itu. Manik polos itu pasti akan semakin sedih.

"Papa juga sangat rindu Mama," Evan melanjutkan, membuat Lyra termenung.

Inilah yang paling membuat Lyra penasaran. Siapa Papa mereka, sampai membuat Lyra berada di situasi ini dan menjadi Mama mereka dalam sekejap? Awas saja kalau orang itu adalah teman-temannya yang sedang mengerjainya.

Lyra akan menendang kakinya sampai mampus, lalu menyikut wajahnya biar memar, dan,, dan-

"Selamat pagi." Sebuah sapaan lembut membuat Lyra menoleh. Matanya memicing curiga.

"Are you their parent?"

"Yes, we are."

Lelaki tinggi itu menaruh sebuah kotak di meja nakas berisi alat standar kedokteran berupa stetoskop. Oh, Lyra memang hanya tau stetoskop. Dan termometer. Lelaki itu mengenakan celana hitam, kemeja cokelat muda lengan panjang yang dilipat sampai siku, sementara tangan kanannya menyampirkan jas putih di kasur. Oh, itu bukan jas, tapi snelli. Lyra menyadari ia tau lebih banyak dari yang dikiranya. Dan lelaki itu, , adalah dokter.

Awas saja kalau dokter gadungan!

"Apa yang kamu rasakan sekarang?"

"Ingin menjambak rambutmu," Lyra balas berbisik, khwatir khayalan barbarnya didengar Evan dan Ale yang menatapnya antusias. Ia sedikit kesal, mulai merasa semua ini terlalu janggal. Bagaimana bisa secara tiba-tiba ia menjadi pasangan orang tua bagi si kembar lucu imut-imut yang sebenarnya tidak ia kenal, bersama lelaki asing berpenampakan dokter yang wajahnya tersenyum sejak tadi.

"Papa, Mama baik-baik saja kan?" Ale menarik kemeja lelaki itu dengan wajah khawatir. Lyra yakin anak kecil selalu jujur dan apa adanya. Binar mata polos itu terlalu lugu untuk bisa ikut dalam skenario pura-pura seperti ini.

Jadi Lyra sedikit memajukan tubuhnya, "Ini mulai tidak lucu!" Bisiknya kesal.

Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. Dan lagi, ia tersenyum. Lalu tanpa diduga, lelaki itu memeluk Lyra, mengusap punggungnya lembut seolah mereka adalah sepasang orang tua yang saling menyayangi. "Kita juga merindukan Mama," ujarnya tanpa bisikan, sengaja betul biar didengar oleh anak mereka.

Eh? Anak mereka? Ralat! Anak lelaki asing itu. Sepertinya anaknya betulan karena mereka tampak mirip.

"Mama baik-baik saja kan? Mama sudah sembuh kan?" Evan menyela dengan wajah khawatir.

Yang diangguki lelaki itu. "Mama baik-baik saja," ujarnya, lalu melanjutkan dengan pelan, "karena sudah bisa mengomel."

Lyra ingin menjauh dari lelaki yang sok-kenal-sok-dekat dengannya itu, tapi pinggangnya direngkuh erat dan lelaki itu malah merentangan tangan kanannya, membuat Evan serta Ale dengan riang menyusup ke pelukan mereka.

--

[]

The Happening - 🌐SHWhere stories live. Discover now