CT16: Pergelutan Batin

161 8 0
                                    

Aku menagih janji semesta yang sering dibicarakan orang-orang, bahwa dalam duka yang menghujan akan muncul pelangi yang ceria. Kecuali petir yang mengilat dan guntur yang menggelegar, tidak ada yang istimewa. Perhentian, sebuah tempat berteduh, aku ingin mendatanginya, sekadar untuk sejenak melepaskan gigil kepedihan. Tidak ada juga.

Aku terus melangkah karena itu satu-satunya yang kutahu agar kehidupanku tetap berlangsung. Berapa jarak yang telah kutempuh? Berapa banyak hari yang telah kugadai untuk sebuah usaha pencarian yang sia-sia? Kebahagiaan, puncak kehidupan yang diinginkan seluruh umat manusia itu semu dalam kasusku. Bagai gejala optik yang menipu di tengah padang pasir, fatamorgana. Sejauh apa pun kaki kubawa berlari, tidak akan pernah dapat kucapai.

Hari sekarang terasa lebih pendek. Segiat apa pun aku mengejar, aku tidak akan pernah sampai. Terlebih jumlah hari yang kumiliki kian menipis. Kesempatan menjauh dariku. Hukum kerja keras dan hasil tidak berlaku bagiku. Aku akan mengatakan, hasil terlalu senang berkhianat padaku. Apakah itu tanda supaya aku berhenti? Kusudahi sajalah perjuanganku. Kuserahkan pada permainan takdir.

Aku lelah.

Rasa frustrasiku kemungkinan mencapai batas. Ini tentang pengobatanku. Dua tahun lebih berlalu. Sudah belasan kali aku menjalani transfusi darah. Tiga kali operasi. Empat rangkaian kemoterapi yang kujalani gagal. Puluhan kali radioterapi bernasib serupa. Sel kanker yang tumbuh dalam dadaku tangguh sekali. Mati satu tumbuh seribu. Masih sanggup membelah kendati coba dihambat oleh berbagai obat. Tetap menyebar. Setelah dua tahun, penyakitku naik satu level lebih serius. Stadium III B. Bukan hanya itu, sejak aku bangun dari koma setelah melakukan tindakan nekad itu, aku terjebak dengan nasal kanula dan tabung oksigen portabel yang harus kubawa ke mana pun sebab paru-paruku sudah sangat payah untuk menjalankan fungsinya.

Beberapa hari yang lalu, aku hanya diam mendengarkan penjelasan Dokter Daniel. Memasang wajah datar, aku membekap semua emosi yang membuncah dari dalam dadaku. Sedikit lebih keras, aku berusaha memperlihatkan secuil semangat. Paling tidak, aku perlu memberi penghargaan kepada Dokter Daniel yang berusaha memotivasiku, juga kepada Dad yang mengantarku—dan mengkhawatirkanku secara berlebihan, tapi berusaha terlihat sangat tegar.

Sejujurnya, kabar buruk itu mengacaukanku. Jujur aku ... Takut? Ya, itu jenis perasaan yang mendominasi diriku sampai sekarang. Perasaan itu telah kupelihara sejak lama sampai aku berhasil menjinakkannya. Aku tak pernah tahu jika suatu waktu peliharaanku akan berbalik memangsa. Sekarang. Ketika sesuatu yang buas itu makin membuas. Saat kekalahan hanya tinggal satu pukulan lagi.

Semula, aku tak percaya soal batas. Apalagi batas itu berkaitan dengan semangat. Aku mencoba bersemangat setiap saat, berjuang melawan. Kurasa aku hampir berhasil melakukannya. Sayang, situasi yang menimpaku menjadi lawan yang amat tangguh. Aku berusaha memenangi pertempuran itu setiap waktu. Hebatnya, situasi itu tak pernah kehabisan tenaga. Bahkan kian hari kian kuat. Akhirnya, aku harus mengakui semangatku ambruk. Setelah semua ini, aku tidak yakin pengobatanku selanjutnya, kombinasi kemoterapi dan radioterapi akan berhasil seperti yang diharapkan.

Aku lelah.

Aku lelah.

AKU LELAH!!! Teriakanku menggema di kepalaku, membuat pening.

Aku ingin mengatakan, aku merindukan kehidupanku yang lalu, tatkala semuanya baik-baik saja. Tubuhku sehat dan aku tidak harus menderita nyeri setiap waktu. Tak harus bergantung pada tabung oksigen sialan ini. Tapi, aku tidak bisa mengatakannya. Aku bahkan tidak berhak hanya menginginkannya. Semua telah terjadi. Takdirku sedang kujalani. Pilihanku hanya satu, meneruskan hidupku. Payahnya, keharusan itu membuatku kian frustrasi.

Aku membanting tubuh ke atas kasur, tidur terlentang. Kupejamkan mata, membiarkan gelap menyerap semua yang tersapu pandanganku. Aku mencoba tidur. Sulit seperti biasanya. Aku takut saat aku bangun yang kulihat bukan lagi dunia yang kutempati saat ini. Saat akhirnya lelah mendorongku masuk ke alam tidur, mimpi buruk adalah bayaran yang harus kuterima.

Chasing TomorrowWhere stories live. Discover now