Mimpi semu

17.9K 867 99
                                    

"Lima ribu aja kok mbak, ndak mahal, dari pada jalan panas-panas gini mbak" si tukang becak terus mengekor di belakangku, gentar sekali rupanya.

Aku melirik ke belakang, tergoda untuk mendaratkan tubuhke atas bangku becak. Terik matahari memang cukup membuatku pusing, sangat tidak bersahabat, hal yang belakangan ini membuatku geli, padahal kami memiliki nama yang sama, Mentari.

"Panas loh mbak," abang tukang becak itu mengkayuh becaknya tepat di sampingku.

"Naik aja sih," sebuah suara menyindirku, terdengar susah payah menahan tawa.

Aku mendengus kesal mendengar suara itu, alih-alih menyerah naik becak, aku malah mempercepat langkah, "Ndak usah bang, saya jalan saja, udah nggak jauh juga kok."

Wajah si abang becak terlihat lesu, dengan gontai dia meninggalkanku. Kasihan juga sih melihatnya, tapi kalau aku naik, itu artinya aku kalah.

"Dari mana coba udah nggak jauhnya," pemilik suara di belakangku mencibir, dengan cepat menyelaraskan langkahdenganku.

Tak mau kalah, aku mempercepat langkah, tapi belum beberapa meter dia sudah berhasil menyusul langkahku. Ugh! kalau saja kondisi tubuhku seperti biasanya, aku pasti sudah bisa meninggalkan orang menyebalkan di belakangku ini.

"Alun-alun itu masih jauh loh." Orang menyebalkan di belakangku mulai bersuara lagi.

Aku mulai menoleh dengan kesal, kesal karena usaha mengabaikannya -sejak dia dengan mengejutkan dan tanpa dosa duduk di sebelah kursi keretaku- gagal total. "Siapa juga yang nyuruh ingikutin, lo aja yang naik becak!" sungutku kesal pada cowok yang malah nyengir lebar,sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.

Dasar nyebelin!

"Siapa juga yang ngikutin lo. Ge-er!" cowok itu tersenyum, membiarkan susunan gigi putihnya terlihat, dengan mudah menarik tas tanganku dan menjinjingnya.

"Awaaaan!."Mataku membelalak, protes, berusaha meraih tasku kembali, tapi tangan teman SDku itu sudah mengapit tas tangan itu dengan erat di bahunya sambil menyeringai lebar, membentuk senyum menyebalkan yang sudah lama kukenal. "Terserahlah," ucapku akhirnya, kalau Awan sudah tersenyum seperti itu, aku sudah malas meladeninya, lagipula dengan tidak adanya tas itu, aku lebih leluasa.

Aku mengeluarkan kamera DSLRku, berjalan beberapa langkah di depannya, dalam beberapa menit sudah mengabaikan Awan yang hanya bisa senyum-senyum begitu melihatku sudah sibuk menjepret beberapa foto, larut dalam kebiasaan jelek yang suka mengabaikan apapun jika tanganku sudah memegang kamera.

Bagaimana aku bisa menghilangkan kebiasaan jelek itu, jika keelokan kota dan keramahan penduduk kota ini selalu bisa membuatku jatuh cinta. Rasanya tak akan pernah cukup mengabadikan semua sudut kota yang dikenal dengan kota pelajar dan gudegnya ini. Sejarah dan semua keunikan kota ini selalu bisa membuatku ingin kembali.

Langkahku terhenti di Alkid begitulah orang-orang menyebut Alun-alun Kidul, sepasang beringin kembar menyambutku. Masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, masih menjadi salah satu objek yang berhasil menyedot banyak pengunjung, dan juga salah satu saksi hubunganku dengan dia, yang kini menjadi pendamping hidupku.

Lensa kameraku membingkai sempurna dua beringin itu, beberapa kali menampilkan beringin itu dari berbagai macam angle. Aku seolah tak pernah puas memberikan space memory kameraku, setiap datang ke kota tempat aku memperoleh gelar Sarjana dan Masterku ini.

Satu tarikan senyum lebar tergurat di wajahku yang mulai berkeringat, satu tanganku yang lian menyibakkan poni yang menutupi mataku, menyisahkan basah keringatyang kian mengucur deras. Hhhhh, aku memang tak pernah merasa lelah jika sudah memegang kamera di tanganku, ohh, itu kondisiku dulu, saat ini sepertinya aku harus mencari tempat duduk, kalau tidak mau berakhir dengan diangkut dengan tak sadarkan diri.

A box of short storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang