Jantung Hati

186 32 14
                                    

Kuingat-ingat dengan baik, sudah empat puluh delapan purnama terlewat, tetapi dia belum juga datang. Terakhir kali, dia papah tubuhku. Dalam ruang di sebuah rumah, dia bungkukkan badan. Berbisik dia padaku. Kata-katanya diujarkan pelan dan berjeda lama. Aku merasa semakin bersalah.

***

Tahu-tahu dia menjadi bagian dalam tubuhku. Tanpa mual, lesu, kram perut, atau hidung yang mendadak tajam mengendus. Seolah memang dia menyembunyikan diri, lewat empat bulan keberadaannya baru terbongkar. Kata Ibu, jangan dipaksa keluar. Bapak bilang, lebih baik dibesarkan. Orang sekampung toh sudah tahu apa yang terjadi. Si gila itu juga sudah mati dilindas kereta api.

Saat dia lahir, di aktanya tertera nama Ibu dan Bapak. Dia tercatat sebagai adikku, tetapi aku asuh dia layaknya anak. Kuajari dia kemandirian. Kutempa dia dengan ucapan yang kelak bisa menguatkan. Lalu, sesuai yang kuharapkan, dia jauh lebih baik dari bapak moyangnya.

Namun, darah tidak bisa berbohong. Boleh dia memakai jas kedokteran dan berduit banyak, tetapi kelakuan sangat menjiplak lelaki keparat itu. Bolak-balik kulihat dia membawa wanita berbeda. Terkadang mereka tidur dalam satu kamar. Sudah kunasihati dia dan balasannya hanya berupa desah napas yang berat.

Sampai suatu siang dia bawa wanita yang lain. Kali ini tinggi, sekal, putih, bermata sipit, dan gemar berdandan. Dibanding yang sudah-sudah, si Pesolek itu tinggal lebih lama. Aku tidak betah melihat mereka terlalu mengumbar mesra. Terlebih, hubunganku dengan dia semakin renggang. Memang, sejak dia bisa mencari uang sendiri, hubungan kami tinggal sehelai rambut yang tipis. Bertahun-tahun kami bersama nyaris tanpa suara. Namun, aku adalah wanita yang sudah mengandungnya. Dibanding wanita tukang berias yang dia bawa, tentu aku yang berhak mendapat perhatian.

Aku adalah ibunya. Ketika dia minta izin, akulah yang berikan. Ketika dia mohon dalam doa, aku ikut aminkan. Namun, aku diasingkan, disisihkan saat dia sampai di puncak kejayaan. Tidak mau dia menengok barang sedetik pun. Dia tidak mungkin ingat bagaimana aku bertahan dari ocehan mereka yang merasa benar. Dicemooh, ketika kakek-neneknya sudah tidak ada. Rela menjual semua harta untuk pindah ke kota. Dia juga pasti lupa, dulu saat tengah malam sering merengek. Ketika masih menetek dia padaku, masih kubasuh bokongnya yang ditempeli tinja, dan kusuapi dia, semua itu tidak berbekas dalam ingatannya.

Baginya, si Pesolek itu pembawa rezeki. Pelipur lelahnya setelah berkutat dengan mayat dan orang sakit. Aku hanya berupa pigura berlumut tak jauh dari mereka. Hanya mengamati tanpa bisa mendekati. Hingga suatu pagi dia mengetuk pintu kamarku. Dia berlutut di depan aku yang duduk. Tangannya pelan meremas tanganku yang bertaut di atas paha.

Aku merasa inilah saatnya. Waktu di mana dia membuangku. Namun, ini terlalu cepat. Hasil kesehatanku masih baik. Ingatanku masih bagus. Lalu, dengan suara yang pelan dia memberitahu, akan membawaku ke suatu tempat.

Dia lantas mengemudikan mobil. Aku duduk di sampingnya, melihat jelas setiap lekuk wajahnya. Dia benar-benar mirip lelaki itu. Tidak ada satu pun bagian dari tubuhku yang terpatri pada dirinya. Karena itu, sepanjang masa kecilnya, setiap kali tatapanku terpaku padanya, emosilah yang lebih menguasai hati. Mungkin karena itu, sebagian dirinya masih enggan berbagi. Dan aku harus memaklumi.

Dalam perjalanan, dia bungkam. Kutanya akan ke mana kami, dia diam. Kami sudah jauh meninggalkan gedung-gedung bertingkat. Jalan lurus mulus sudah terganti kelok berliuk-liuk. Sesekali embusan napas beratnya menyembur. Sesekali juga kepergok matanya menatap wajahku.

Nak, bisakah kita bicara sebentar? Namun, tawaran itu aku telan. Mobil yang dia kemudikan mulai masuk perkampungan. Jalannya lurus, tetapi berbatu. Ada sesuatu yang asing, tapi juga menghadirkan rindu.  Rumah panggung, beberapa orang yang menggotong kayu bakar, seorang paruh baya yang menyapu halaman dengan lidi. Pasti, jika kubuka jendela, sangit kayu bakar bercampur aroma tanah dan daun yang tersiram embun akan tercium kuat. Ini bukan kampungku. Tempatku dilahirkan bukan di sini.

Laju mobilnya melambat setelah melewati kebun karet. Lalu berbelok ke kiri di jalan menurun dan di depan pagar rumah beratap limas mobil berhenti. Dia bilang, ini milikku. Aku akan tinggal di sini tanpa perlu khawatir karena dia sudah menyiapkan semua. Kasur, baju baru, sampai barang-barang yang bisa menghibur.

Ini bukan rumah masa tua yang kuharapkan. Jauh dari tetangga dan dia. Namun, aku manut dituntun masuk dan diperkenalkan pada lima orang pembantu; tiga lelaki, dua perempuan. Dia langsung pamit. Untuk pertama kali sejak akil balig, dia mencium tanganku. Dadaku disengat rasa senang hingga merembes ke hati. Seharusnya, bukan dari perlakuanku dulu terhadapnya yang dijadikan tolak ukur.

“Ini punya Ibu.” Dia menegaskan lagi sembari naik ke mobil. “Lintang sudah punya tempat lain.” Itu memang yang aku mau. Jauh-jauh dari si Pesolekmu itu. “Saya akan sering-sering ke sini.” Dan mobilnya melaju.

Aku tidak tahu, apa aku sudah dibuangnya atau masih dianggap. Aku juga tidak tahu, kalau rindu bisa menggerogoti kesehatan. Berbulan-bulan dia tidak datang seperti yang dijanjikan. Kami memang sudah sangat lama tidak berbicara, tetapi dia selalu makan apa yang aku hidangkan. Aku terbiasa melihat dia berangkat dan pulang kerja.

Meski sering aku ke kota untuk cek kesehatan, tidak pernah kujumpa batang hidungnya. Sebagian besar waktu aku habiskan di kamar dan akhirnya dia menyempatkan diri datang. Padaku dia bilang, belakangan sangat sibuk. Kuperhatikan memang dia lebih tirus, kantung matanya lebih kentara. Lintang—si Pesolek itu—juga menambah beban pikirannya. Si Pesolek pergi tanpa jejak. Sudah dia cari, tapi belum ketemu. Kasihan anakku.

Dia mengajakku berjalan keliling rumah. Senja sudah datang, lapornya. Kehangatan siang masih terasa, tetapi tidak membuat gerah. Kuturuti maunya. Dia memapahku, aku merasa bersalah. Perasaan itu nyaris membuatku menitikkan air mata. Seharusnya, dari dulu kami seperti ini.

Dia mengajakku ke belakang rumah. Menuruni tangga batu dan aku baru tahu ada rumah kecil di sana. Kami masuk dan bertemu lima babu di situ. Dia membungkuk dan berbisik, “Sebagai anak, saya ingin meminta pada Ibu. Bukankah ini permintaan pertama saya?"

Itu terakhir kali aku mendengar suaranya yang serak dan berat. Melalui tanah dan angin malam yang menggerakkan daun, aku baru tahu jenis pekerjaan apa yang dia geluti. Sekarang, sudah empat puluh delapan purnama terlewat. Aku masih menunggunya di kebun luas, di belakang rumah.

Tidak. Aku tidak akan memakinya seperti si Pesolek atau gadis-gadis lain yang tertimbun tanah di dekat tubuhku terbujur kaku. Aku cuma ingin dia mengembalikan punyaku. Jantung dan hatiku.

****

(Jumlah kata: 999)





UnpredictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang