The First Lie

1.2K 130 93
                                    

Memasuki semester baru Jihan sedang disibukkan dengan urusan bimbingan dan pengerjaan skripsinya. Kegiatan ini sudah cukup menguras tenaga dan pikirannya. Namun sekarang beban gadis itu bertambah satu lagi, yaitu masalah hatinya.

Jujur saja, walaupun Jihan yang meminta putus, tapi dia kan tetap masih mencintai Sungchan. Jihan masih sering kepikiran. Pemuda itu sendiri sudah tidak pernah menghubunginya, padahal nomor telepon Sungchan sudah tidak Jihan blok sekarang.

Tentang putusnya hubungan mereka pun sudah menyebar diteman angkatan mereka. Maka dari itu, Jihan sudah jarang ke kampus sekarang. Gadis itu lebih memilih untuk mengerjakan skripsi di rumah. Ia hanya pergi ke kampus saat ada bimbingan atau meminjam buku di perpustakaan.

Jihan meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku setelah hampir dua jam fokus menyusun laporan bab duanya. Menyingkirkan segala buku dan kertas yang ada di depannya, tangannya berhenti setelah menemukan barang yang ia cari yaitu si ponsel kesayangan. Sambil melirik jam dia menekan lama tombol power untuk menghidupkan.

Sudah pukul 8 malam dan dia belum makan dari tadi sore. Sekarang cacing di perutnya sedang konser minta diberi makan. Walaupun selama mengerjakan tugas mulutnya juga tidak berhenti mengunyah keripik, tetap saja hal itu menguras banyak energinya.

Mengabaikan buku dan laptop yang belum diberesi, Jihan segera berdiri dan pergi ke arah dapur untuk membuka kulkas. Bukan, Jihan bukannya mau masak. Gara-gara dari pagi bimbingan dan sampai rumah langsung mengerjakan skripi gadis itu jadi malas memasak. Pikiran dan tubuhnya sudah terlalu lelah.

Jihan menimbang harus mengambil apa dari dalam kulkasnya. Ada satu potong kue strawberry yang tadi siang ia beli bersama Jiyoon dan satu buah apel disana. Sayangnya itu tidak cukup untuk menggugah seleranya. Otaknya mengirim sinyal bahwa dia harus makan yang pedas-pedas.

Memutuskan untuk menuruti perintah otak, gadis itu segera menutup kulkas lalu mengambil jaket dan dompet. Malam ini dia akan mengisi perut dengan makanan instan dari minimarket. Masa bodoh dengan tidak sehat, dia harus kembali mengisi energinya yang terkuras.

Ia berjalan santai sampai saat di lobby ia menangkap seseorang yang tidak asing. Alis Jihan bertaut, bertanya-tanya dalam hati kenapa bocah itu ada disana. Apalagi ini sudah malam.

Mempercepat langkahnya, Jihan menyapa, membuat anak itu menoleh.

"Raena, sedang apa disini?"

"Menunggu ayah." jawab anak itu singkat.

"Kenapa tidak menunggu di rumah saja?" Si anak cuma memandanginya tanpa menjawab. Jihan jadi berpikir, sepertinya Raena kesepian di rumah.

"Kakak mau ke minimarket. Mau ikut tidak?"

"Tidak tante."

"Mau kubelikan sesuatu?" Anak itu menggeleng lagi.

"Hng, kalau begitu aku pergi dulu ya."

Walaupun masih penasaran dengan sikap Raena, Jihan tetap melangkahkan kakinya keluar. Sekali lagi, ada cacing yang meronta-ronta untuk diberi makan. Selain itu Jihan juga tidak mau terlalu mencampuri urusan orang lain.


🍑🍑🍑

Raena tidak suka dibohongi. Lebih baik jika ayah tidak membuat janji. Tahun-tahun sebelumnya, ayah pernah juga tidak ikut merayakan ulang tahunnya karena sedang banyak kerjaan. Tapi waktu itu ada ibu yang menemaninya.

Raena tidak marah waktu itu, hanya sedikit kecewa. Namun ia maklum setelah diberi pengertian oleh ibu. Raena juga tahu, waktu itu ibu sempat memarahi ayah karena terlalu giat bekerja. Setelah itu ayah pergi ke kamarnya, meminta maaf dan menemaninya tidur sepanjang malam.

Daddy's [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant