Deg!

Terasa nyeri menyayat hati ketika dia berujar demikian. Apakah aku seberarti itu di dalam hidupnya. Hingga ia sampai kehilangan separuh kehidupanya, saat aku memutuskan untuk pergi.

Keberanikan diri untuk menyentuh lembut punggung tanganya. Sebisa mungkin kutahan air matanya yang ingin merembes saat melihat keadaaanya. Rongga dadaku terasa sesak melihat kondisinya.

"Mas, ini aku. Aruna." Setelah mengatakan itu dia menoleh.

Menatapku lekat dengan kisaran waktu yang cukup lama. Mungkin dia tengah meyakinkan penglihatanya, jika ini ilusi atau realita. Lambat laun kemudian, tanganya bergerak menuju wajahku. Menyentuhnya pelan, takut takut aku akan menghilang seperti bayangan saat dia menyentunya.

"Aruna?"

Aku bisa menemukan cahaya dimatanya yang redup. Ya, dia telah mengenaliku. Mengali Arunanya, toxic yang katanya penawar bagi penyakitnya.

"Iya, ini aku." Jawabku sambil tersenyum kecil.

Ini pilihanku pada akhirnya. Aku memilih untuk kembali menyelami kehidupanya yang penuh misteri. Apalagi saat aku tahu jika aku adalah penawar yang tak tergantikan baginya. Aku ingin kembali untuk mendorongnya keluar dari ketakutannya, kecemasannya, bahkan penyakitnya untuk selama lamanya.

Aku kembali sebagai seseorang yang dian cintai, dan sebagai seseorang yang mencintainya kembali dengan sepenuh hati. Mulai detik ini, aku akan membantunya untuk sembuh. Agar dia bisa hidup tampa gangguan lagi.

🏡🏡🏡

"Ayo bangun mas, waktunya minum obat."

Perlahan namun pasti, kelopak mata itu bergerak seirama. Membuka perlahan, lalu meloloskan sepasang manik jelaga yang langsung menyisir seluruh ruangan yang di tempati olehnya. Hingga titik pusat manik jelaga itu berhenti diarahku. Menatapku lama, seakan akan menyampaikan sesuatu yang amat penting dan berkesan lewat tatapanya.

Aku tersenyum kikuk, lalu mengangkat sejenak bubur yang berada di atas pangkuanku.

"Mumpung masih hangat." Ujarku mencairkan suasa.

"Kamu disini, Una?" Bibir pucatnya berkata lirih.

Aku mengangguk, lalu menyodorkan satu sendok bubur dengan extra suiran ayam ke udara. Tepat di hadapan bibir pucat pasi miliknya.

"Aaa, tapi baca do'a dulu."

Afka--dia masih menatapku seolah olah masih tak yakin dengan keberadaanku disini.

"Ini aku mas, Aruna." Ujarku meyankinkan dirinya sebisa mungkin.

"Kenapa kamu disini?" Tanyanya linglung.

Aku tersenyum faham, dengan apa yang dimaksud olehnya.

"Karena mas sakit. Apalagi?"

"Bukan itu, maksud saya." Jawabnya kekeuh.

"Aku disini karena mau ngerawat mas. Buat apa lagi coba?"

"Ada suster, kamu bisa pergi."

Heh, dia baru saja mengusirku? Apa aku tidak salah dengar.

"Una disini mau jagain mas. Kenapa, tidak boleh?"

"Ada Arez dan bang Altar yang jaga saya disini. Kamu tidak perlu repot repot." Ujarnya dengan nada datarnya yang telah kembali.

Dih, kenapa coba? Bingungku, sambil menyimpan bubur di tanganku ke atas nakas sejenak.

"Pergilah, saya bisa jaga diri tanpa kamu--"

"Una di sini buat ngerawat pacar Una. Kenapa gak boleh? Mas mau usir Una? Mau suruh Una pergi setelah lihat mas begini? Mas tega ya sama Una!" Kesalku Emosi.

"Mas yakin mau usir Una? Padahal Una udah kesini dengan susah payah!" Celotehku lagi.

Aku menatapnya lekat, menyalurkan rasa kesalku lewat netra tajamnya yang juga tengah menatapku.

"Una di sini buat mas!" Ujarku lagi penuh penekanan.

Dia tidak menjawab sedikitpun, bibirnya terkatup rapat. Apa aku salah mengira tentangnya kali ini?

"Una, di sini untuk--"

Suaraku tercekat di tenggorokan, saat tubuh tegap namun lemas itu merengkuhku. Tubuhnya bergetar hebat, terasa panas membara ketika merengkuh tubuh mungilku.
Dia kenapa?

Pikirku kini menggema kesana kemari. Tidak ada yang angkat bicara diantara kami. Dia masih memelukku dengan erat, dengan kondisinya yang seperti ini membuatku terenyuh. Tubuh yang merengkuhku bergetar hebat, deru napasnya tersenggal-senggal tak beraturan menerpa perpotongan bahuku.

"Maaf." Cicitnya kecil.

"Maafkan saya Una." Lirihnya lagi, diiringi lahar panas yang terasa membasahi baju bagian bahuku.

Afka menangis?

"Saya menyakiti kamu dengan egoisnya."

Aku tahu apa yang dia alami amat berat. Afka mencoba melewati segalanya sendiri, disaat begitu berat apa yang menimpa hatinya.

"Ssttt, sudah mas." Tanganku bergerak, membalas pelukanya.

Memberikan usapan kecil pada punggung tegap yang nampak tak berdaya tersebut. Aku harus bisa tegar untukknya.

"Una disini buat mas, buat ngerawat mas sampai sembuh."

"Kamu akan tersakiti lagi jika berada di dekat saya, Una."

"Enggak, mas gak akan lakuin itu."

"Iya, saya bisa. Penyakit saya bisa menyakiti kamu."

"Una disini bakal bantu mas sampai sembuh."

"Mustahil Aruna." Ada nada lemah dalam ucapan Afka, dia sepertinya menyerah akan kondisinya kini.

"Enggak ada yang gak mungkin mas. Mas pasti bisa sembuh." Supportku.

"Tapi Una, saya-"

"Ssstt, mas bisa sembuh." Ujarku sambil melonggarkan pelukan kami.

Kuraih kedua tanganya, sambil menatap manik lemahnya sayang.

"Kita masih bisa konsultasi masalah itu sama Psikolog atau Psikiater. Pasti semuanya akan ada jalan keluarnya mas, Una yakin."

Karena akupun sudah memantapkan hati, jika aku kembali untuk dia. Iya, untuk Afka--seorang pria yang berhasil menjungkir balik duniaku dengan segala kerumitan hidupnya. Aku berjanji, dengan sekuat tenaga yang masih aku miliki. Aku akan selalu berada di sisinya, memberinya support agar bisa lepas dari jerat gangguan kecemasan yang menganggu kehidupan normalnya.

***

TBC

Jangan lupa tinggalkan jejaknya
🖑🖑

Yang lagi atittt, sampe gak keurus
😢😢

Yang lagi atittt, sampe gak keurus😢😢

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Typo masih bertebaran ya!!





















Sukabumi 17 sept 2020
Revisi 11 Januari 2021

My Mysterious Dosgan : Dosen Ganteng (Lengkap)Where stories live. Discover now