Guilty and Bad dream?

Start from the beginning
                                    

Eric!

Seketika pelupuk mataku terbuka. Keinginan untuk melihat dan memastikannya baik – baik begitu besar. Aku butuh sebuah kepastian bahwa dia baik – baik saja. Tidak berdarah – darah dan nyawanya yang perlahan – lahan menghilang seperti di mimpi terakhirku.

“ Eric...”

Ditengah pandanganku yang masih berkabut, mataku mencari – cari keberadaan sang pemilik tangan dan... kau bisa menebaknya sendiri. Tak lama, mataku bertemu pandang dengan mata kelabu bagai badai milik Eric.

“ Hi, Ams.”

Mungkin karena mimpi itu terasa sangat nyata, atau juga mungkin karena otak dan akal sehatku yang belum sejalan, tanpa berpikir lebih lanjut aku bangun dari tempat tidurku untuk memeluknya. Aku butuh merasakannya, bersentuhan dengannya agar aku yakin kalau dia nyata.

Aku bisa merasakan keterkejutannya lewat betapa kaku tubuhnya dalam pelukanku. Untungnya hal itu tidak berlangsung lama. Perlahan – lahan, tubuhnya mulai relax, bahkan dia membalas memelukku dengan satu tangannya. Sementara tangannya lain mengelus pelan kepalaku.

“ Mimpi buruk lagi?”

Aku mengangguk dalam pelukannya, belum ingin kehilangan kehangatan tubuhnya. Disaat yang sama aku tahu momen ini tidak akan berlangsung lama. Posisi setengah tidur dengan tangan melingkar di leher Eric, yang notabenenya lebih tinggi dariku, membuat dadaku agak sedikit sesak. Urg, sudah lama tidak pernah sesak sejak kecelakaan pesawat waktu itu. Kenapa terasa seperti ini lagi ya?

Seakan tahu nafasku yang mulai sesak, Eric melepaskan tanganku dari lehernya. Dia membantuku kembali ke posisi tidur yang sudah agak dinaikan tempat tidurnya.  

Begitu kepala menyentuh bantal, aku menutup mataku. Pelan – pelan mengambil dan mengeluarkan napas yang terasa menyiksa. Butuh beberapa tarikan napas panjang sebelum rasa sesak itu hilang.

“ Masih sesak?”

Suara khawatirnya kontras dengan wajah tampannya yang berkerut khawatir.

“ Ya...” Baru ketika menjawab pertanyaannya aku memperhatikan sekelilingku yang semuanya berwarna putih. Bau obat dan desinfektan yang menyengat (dan tentunya ruangan serba putih ini) jelas menunjukkan aku berada di rumah sakit.

 Pertanyaannya, kenapa?

Apa karena rasa sakit di dadaku yang kembali muncul?

“ Bukan. Kau tidak ingat?”

Huh? Mataku beralih menatap Eric yang sudah duduk kembali di samping tempat tidurku.

“ Kau bertanya kenapa berada di rumah sakit. Jawabannya bukan karena sakit di dadamu.”

Eh, Jadi, tadi aku mengatakannya secara langsung ya? Oke, ga banget lemotnya Sky!

“ Er, jadi kenapa?”

“ Kau tidak ingat? Tadi pagi kau pergi bersama Evie ke mall. Lalu ketika pulang, kalian mengalami kecelakaan.”

Tiba – tiba gambar berkelebat di kepalaku. Gambar yang berhubungan dengan si biru, jalan menanjak, tebing, dan mobil berputar tak terkendali, dan kaca pecah. Gambar – gambar itu jelas alasan utama aku berada di tempat terkutuk ini.

“ Oh. Ya. Aku sudah mengingatnya. Bagaimana Evie? Apakah dia terluka?”

Urg, kuharap dia baik – baik saja. Aku tidak butuh rasa bersalah kepadanya kalau ternyata dia juga terluka sepertiku. Namun, satu tatapan bersalah di mata Eric, menjelaskan hampir semua keadaan.

“ A-apa..ba-bagaimana keadaannya? Dia tidak....” Aku tidak sanggup melanjutkan pertanyaanku. Memikirkannya saja rasanya tidak mau. Aku menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran itu.

“Dimana dia?” Dengan suara serak sarat akan emosi aku bertanya pelan.

Eric menatapku seakan dia tidak ingin menjawab pertanyaanku. Di manik matanya aku bisa melihat keengganannya dengan jelas. Bagaimana aku bisa membacanya, aku tidak yakin.

“ Eriiiiiccc...!” Rengekku setengah histeris karena ia tidak kunjung memberitahuku.

Dia menggeleng pelan. “ Tidak. Kalau kuberitahu sekarang, ini hanya akan memberatkanmu. Sementara kau harus segera istirahat.”

“ Kalau begitu, berikan aku satu penjelasan dimana dia sajaaaa dan apa hubungannya dengan Blair.” Setengah memohon.

Aku tidak punya penjelasan kenapa Blair bisa tahu apa yang terjadi dengan Evie. Aku tidak butuh info itu juga sebenarnya,  yang terpenting adalah, dimana Evie? Apakah ia terlempar terus hilang? Oh GOD! Semoga tidak terjadi hal yang begitu buruk padanya!

“ Kalau kuberitahu, kau janji langsung istirahat, oke?”

“ Ya!”

 Well, sebenarnya itu bukan pertanyaan, lebih mirip perintah. Tapi, aku tidak akan membantahnya karena kepalaku juga sudah terasa sangat berat. Aku hanya butuh suatu penjelasan kecil.

“ Evie masih dalam keadaan coma. Benturan di kepalanya cukup keras.”

Sebelum aku tenggelam dalam rasa bersalah dan kesedihan, Eric menekan tombol merah di samping tempat tidurku dan meminta salah seorang suster datang dengan obat tidur. Tak lama setelahnya, seorang suster datang. Dia menanyakan keadaanku, sebelum memberikan obat tidur ke dalam saluran infusku.  

“ Aku sudah menjawabnya, sekarang istirahat dulu. Simpan pertanyaanmu atau rasa bersalahmu nanti. Dan, kau tidak perlu khawatir, Blair akan tahu kalau ada yang tidak beres dengan Evie.”

Aku bisa merasakan obat tidurnya masuk ke dalam pembuluh darahku. Perlahan – lahan mulai menarik kesadaranku dari dunia nyata. Blair? Bagaimana bisa... apa hubungannya... dengan... ev.....

“ Selamat tidur cara. Aku berjanji akan membuat semuanya kembali seperti semua.”

Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang kudengar sebelum kesadaranku hilang ditelan dunia mimpi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 08, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My Silver Winged DemonWhere stories live. Discover now