Fox

10 1 0
                                    

Kak, tungguin aku, ya. Pastiin kalau kakak beneran panggil namaku disaat aku datangi kakak nanti.”

30 Mei 2006

Kamu mengucapkan kalimat itu dengan intonasi berantakan. Waktu itu aku hanya terpaku akan senyum wajahmu. Berharap agar otakku mampu untuk terus mengingatnya. Malam itu kamu menolak pulang. Berbekal sekantung onigiri untuk dinikmati berdua. Duduk berdampingan di bawah lampu taman dekat gerbang kuil, tempat kesukaanmu.

Hari itu bahkan kamu kesal ketika aku menyindir soal kembaranmu. Kamu bilang ingin mengakhiri hari itu penuh damai, sama seperti apa yang kamu katakan jauh hari sebelum tubuhmu semakin melemah. Mungkin, jika aku mengeluarkan pendapat jujurku agar kamu kembali memasang selang penopang hidup pada tubuhmu, kamu akan kabur dan menuntutku penuh tangis. Saat itu aku hanya diam. Menantikan akhir yang tak kuinginkan. Tapi aku harus ikut menginginkan hal itu karena pilihanmu sudah mantap.

Miya Osamu. Surai abu anak kelas satu, kakak kembar Atsumu. Itulah yang aku ketahui tentang dirimu sebelum kita bertemu di kantin sekolah demi menjemput makan siang. Kamu bilang hanya butuh beberapa detik untuk jatuh cinta. Kamu bilang tidak sulit untuk mengungkapkannya karena itulah yang kamu lakukan ketika mata kita saling bercermin.

Semesta ini selalu memberi rasa manis untuk sebuah awal. Aku tahu karena tatapanmu pun tak luput dengan pemahaman itu.

Sejujurnya aku selalu menghindari hal itu. Aku tidak pernah percaya bahkan setuju dengan semua keyakinanmu. Rasa cintamu bukan sebuah masalah, juga bukan satu kesalahan. Itu murni. Sebab kamu mendeklarasikannya tanpa pikir panjang. Berbeda dengan diriku, dengan pemikiranku yang katamu penuh rumus matematika.

Kalau kakak sudah suka sama Samu, bilang ya kak!”

Sore usai sekolah kamu membawaku pergi mendatangi kuil untuk berdo'a. Aku hanya memandang wajahmu ketika kedua mata itu tertutup tetapi bibirmu mengulas senyum. Selesai dengan do'a kamu menatapku dalam diam. Aku memilih menghindari tatapanmu bukan berarti aku malu. Aku memilih untuk menghidari realita. Aku belum siap dengan konsekuensinya.

Kamu terus bercerita tentang masalalu kita. Ingin rasanya kuhentikan detik. Ingin rasanya kubeli waktu. Andai aku bisa menghentikanmu untuk terus mencintaiku. Dalam hati aku berharap untuk tidak pernah mencintaimu. Aku berharap itu hanyalah angin lalu. Begitu banyak penyesalanku. Ketika keraguan menggerogotiku, kamu menautkan jemarimu dengan milikku. Kamu menatapku dengan tatapan sama seperti di kuil waktu itu. Kali itu aku tidak menghindar.

Ku rengkuh tubuhmu. Erat. Sungguh, aku tidak sudi membiarkan apapun merebutmu dariku. Bahkan semesta ini. Kumohon. Meski kamu memberiku waktu cukup lama hanya untuk mempersiapkan diri hari ini, rasanya tidak akan cukup sampai aku bilang jika diriku benar-benar siap. Dan nyatanya aku tidak akan mampu.

“Samu sayang kakak.”

Kalimat itu kamu keluarkan seolah embusan napasmu benar-benar bergantung pada untaian kata itu. Aku hanya menggigit bibirku. Mengeratkan pelukanku pada tubuhmu. Kuharap penyebab kematianmu bukanlah penyakit itu, kuharap keluargamu akan menuduhku dan membiarkanku hidup dibalik jeruji untuk menyesali segalanya. Aku lebih bersedia untuk menyerahkan diriku pada kejamnya dunia atas kematianmu.

“Kakak sayang Samu.”

Air mataku jatuh. Kamu terdiam meski tetesan itu membasahi wajahmu. Kedua matamu tertutup sempurna. Bibirmu mengulas senyum. Aku hanya mampu terisak. Dalam sunyi ditemani suara serangga. Kamu tertidur dalam pelukanku. Sangat nyenyak, bahkan guncangan sekeras apapun tidak akan membangunkanmu lagi.

30 Mei 2020

Aku datang, Samu. Ke tempat terakhir kita membagi kehangatan. Aku datang untuk menemuimu. Kali ini kumohon biarkan aku yang mengambil selangkah lebih dulu dalam kebahagiaan. Semesta ini menghukumku atas semua penyesalanku dulu.

Sekarang, ketika aku duduk dan bersandar pada kursi yang pernah kita tempati berdua untuk terakhir kalinya, aku hanya mampu berusaha untuk terus mengingatmu. Bagaimana kamu menatapku meski aku menghindar, bagaimana kamu tertawa karena hal-hal kecil, bagaimana kamu mendesakku untuk segera membalas perasaanmu. Aku baru menyadarinya ketika waktu untuk kita berdua tidaklah banyak.

Kenyataan kamu memberiku waktu lebih dari belasan malam. Bahkan kurasa mentari begitu lelah untuk menyapaku dan mengingatkanku jika waktu terus terkikis. Tiap detik yang tak mampu kuhargai di masalalu berhasil membalas dendam dengan merebutmu dariku.

Namun, sekarang aku yakin jika kamu akan mendatangiku seperti ucapanmu dulu.

Nanti kalau wujud Samu sudah gak ada di sini untuk nemenin kakak, Samu janji akan nemenin kakak dalam wujud lain.” ucapmu—yang saat itu berbaring diatas bangsal dengan beberapa alat penopang hidup ditubuhmu.

Aku tersenyum, Wujud apa?”

Rubah!”

Ketika otakku sedang mengoreksi memori jadul, dibalik gulita terdapat sebuah cahaya keemasan. Aku diam membatu. Perlahan cahaya itu pudar. Seekor rubah keluar dibalik pohon sambil terus menatapku.

“—Pastiin kalau kakak beneran panggil namaku disaat aku datangi kakak nanti.”

Kalimatmu langsung menyapa jiwaku. Semua ingatan tentangmu ternyata masih tersimpan dengan rapih dibalik tengkorak kepala ini. Aku hanya mampu tersenyum. Menggigit bibirku, harap bisa meredam pedih pada sayatan ini.

Rubah itu mendekati kakiku. Kuangkat hewan itu dan menenggelamkannya ke dalam pelukan.

“Kakak sayang Samu.”

Chegaste ao fim dos capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Aug 19, 2020 ⏰

Adiciona esta história à tua Biblioteca para receberes notificações de novos capítulos!

FOXOnde as histórias ganham vida. Descobre agora